Jurnal Buncek #13 Kepompong 1: Berkata Baik atau Diam

Sekarang kita sampai pada akhir pekan pertama dalam tahap puasa di tahapan kepompong. Puasa adalah sebuah proses yang bisa membantu mengurangi batu sandungan demi mendapatkan tujuan. Karena tujuan belajarku yang utama kali ini adalah mengelola emosi terkait yang diajarkan dalam agama, maka aku memilih satu petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu berkata baik atau diam.

Mungkin kesannya agak jauh dari proses pengelolaan emosi. Namun, aku merasa makna dari berkata baik atau diam ini sungguh luas. Dengan selalu membatasi diri untuk terus berkata baik, kita akan mencoba untuk mengelola gejolak emosi dalam diri kita. Mengelola agar yang keluar dari lisan hanyalah hal-hal baik, setelah semua reaksi emosi itu diproses dengan baik di level kognitif.

Menjaga lisan agar hanya mengeluarkan kata-kata yang baik mengajarkan saya untuk terus mengendalikan diri. Mencoba mengambil sisi positif atas setiap kejadian yang terjadi. Terutama yang berkaitan dengan perilaku anak-anak dan pasangan. Jika memang tidak memungkinkan untuk berkata baik, senjata selanjutnya adalah diam. Berarti dengan melakukan satu kesatuan hadis ini saya punya dua senjata untuk meredam ekspresi emosi yang tidak pantas. Mau itu di saat marah, sedih, atau kondisi lain yang tidak menguntungkan.

Dalam puasa ini, saya tidak hanya mengandalkan diri sendiri untuk menjadi pengendali. Sebagaimana yang biasa dilakukan di industri/organisasi, kita melakukan penilaian 360 agar mendapatkan penilaian yang objektif dan adil. Kali ini aku meminta kepada anak-anak untuk turut serta memberikan penilaian terhadap perilakuku sepanjang hari.

Poin yang aku tekankan adalah marah-marah dan sedih yang berlebihan karena perilaku ini amat erat hubungannya dengan diriku yang berkata buruk kepada orang lain. Bantuan seperti apa yang mereka berikan?

Jadi, aku membuatkan lembar yang bisa diisi oleh anak-anak. Anak-anak diminta untuk menghitung dalam satu hari aku sudah marah-marah atau sedih yang berlebihan berapa kali, lalu menuliskannya di lembar tersebut. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mereka merasa ikut andil dalam mengawasi perilaku ibunya.

Oiya harus ada indikatornya, ya biar puasa ini dibilang sukses atau tidak. Ini indikator yang saya gunakan:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak ada perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.

Setelah mencapai kesepakatan dengan mereka, saya merasa lebih tenang untuk menjalani hari. Saat hari pertama saya merasa aman, nyaman, damai. Sampai akhirnya mendadak si sulung membuat saya kaget, sehingga saya meninggikan suara. Kejadian ini menjadi salah satu catatan penting dalam proses pengelolaan emosi saya. Ternyata, satu sumber yang bisa membuat saya meninggikan suara dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik adalah merasa kaget dan panik.

Pada hari-hari berikutnya saya menemukan kembali kejadian yang serupa. Saat itu, benar saja saya kesulitan untuk mengendalikan intonasi suara. Membuat si sulung jadi kaget dan merasa bersalah. Duh, kalau sudah begini tentunya harus banyak-banyak kembali melatih teknik-teknik relaksasi agar refleks yang muncul ketika panik atau khawatir berlebihan adalah tenang.

Maka, setelah tujuh hari menjalani, sebagian besar, setidaknya 80% saya cukup bisa mengendalikan diri untuk tetap berkata baik atau diam saja sepanjang hari. Hanya satu hari ketika saya merasa butuh meningkatkan kembali kesadaran agar mampu memberikan ketenangan dalam diri saat berhadapan dengan situasi tertentu.

Namun, secara garis besar hal-hal yang membuat saya sukses menjalani hari adalah ketika memulai hari dengan perasaan bahagia, menuntaskan pekerjaan (rumah tangga maupun pribadi), dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Oiya, satu lagi yang sempat terlupa dan tidak tertulis di lembar jurnal puasa adalah puasa gawai.

Saya menggunakan pengaturan Digital Wellbeing di ponsel. Mode Fokus membuat saya akhirnya memahami berapa banyak waktu yang dihabiskan bersama gawai selama ini. Hal inilah yang ternyata membuat pekerjaan saya selama ini tidak selesai. Dengan adanya mode fokus ini, saya hanya akan melihat pesan-pesan penting di aplikasi WA, lalu membalasnya. Karena waktu 5 menit yang disediakan amat terbatas jika kita harus memperhatikan tiap pesan yang masuk.

Pengaturan waktu untuk setiap aplikasi juga penting, karena akhirnya saya bisa mengatur, berapa kali saya bisa melihat aplikasi pesan, berapa lama saya bisa melihat aplikasi lainnya. Benar-benar untuk meningkatkan konsentrasi pada tugas-tugas sesungguhnya, yang selama ini terkadang terabaikan karena asyik dengan ponsel.

Yap, lanjut bersemangat untuk puasa yang sama di pekan kedua. Karena menurut saya, puasa ini harus terus dilakukan agar saya bisa terus konsisten menjalani proses pengelolaan emosi ini.

Nah, kali ini saya akan menyemangati buddy saya yang nun jauh di sana. Semoga tetap semangat dan sehat walau habis diterpa musibah. Semoga apa yang dituliskan dalam jurnal ini bisa membuat kita sama-sama saling mengintrospeki diri, lalu mengambil manfaat dari rangkaian prosesnya.

Semoga Allah membantu kita dalam misi kebaikan ini.

30 Hari Qur’an Journaling untuk Mengelola Emosi

Alhamdulillah sampai juga di tahap ini. Belajar mempraktikkan apa yang sudah dipelajari selama 1,5 bulan kemarin. Setelah kembali merenungi, aku akhirnya merasa bahwa satu kunci penting dalam proses pengelolaan emosiku bukan lagi soal teknik-teknik yang sudah pernah aku pelajari sepanjang belajar di dunia psikologi. Melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yaitu dengan pendekatan agama.

Maka, kali ini, selama tiga puluh hari ke depan aku akan belajar melakukan Qur’an journaling secara konsisten, terkait dengan hal-hal yang aku butuhkan dalam proses mengelola emosi. Sebenarnya, sudah sejak setahun yang lalu ingin melakukan Qur’an journaling, tapi belum kesampaian. Ada banyak kejadian yang akhirnya baru bisa mengantarkan aku ke titik ini. Untuk memulai, untuk belajar konsisten, bukan hanya sekadar kewajiban.

Selama 1,5 bulan terakhir ini juga aku menyadari ada banyak pembahasan emosi di dalam agama, yang tentunya belum aku dalami. Padahal mengelola jiwa, kondisi emosional adalah salah satu yang ditekankan dalam agama. Sebab, agama adalah obat bagi qolbu kita yang kering karena tergerus oleh urusan duniawi. Dengan demikian, fokus pada proses mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an menjadi prioritas utamaku untuk saat ini.

Belum lagi sebentar lagi adalah bulan Ramadhan. Rasanya semakin tepat untuk kembali mengobati hati, yang mungkin selama ini masih sering oleng. Apalagi setelah kemarin mendengarkan kajian “Better than Yesterday”, semakin merasa mantap bahwa aku membutuhkan proses refleksi menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai jalan untuk membuat hati lebih tenang.

Tentunya tujuanku hanya satu, menjadi bahagia. Bukan lagi perihal pencapaian dunia, melainkan bagaimana hati ini menjadi bahagia dengan kebahagiaan yang paling hakiki. Seperti yang disampaikan oleh Ustaz Budi Ashari di kajian terakhir Better than Yesterday hari Jumat kemarin, bahwa bahagia itu tempatnya di hati. Kita harus menemukan surga kebahagiaan itu di hati kita, bukan tempat lain.

Maka, proses perjalanan spiritual kali ini adalah cara menemukan kebahagiaan hakiki itu sendiri. Bahagia yang tak perlu ditemukan dari pengakuan orang lain, tetapi pencarian di lubuk hati paling dalam.

Proses Qur’an Journaling ini aku lakukan mulai dari tanggal 25 Maret 2022 – 23 April 2022. Ulasan akan aku buat di akun IG @mata.syakee atau FB Nurindah FA, InsyaAllah setiap hari.

Hidup yang Tak Butuh Pengakuan Dunia

Semenjak kecil bisa dibilang aku hidup di bawah spotlight. Panggung dunia membuat aku sering menjadi pemeran utama. Menjadi pusat dari perhatian. Walau mungkin dalam diriku sendiri, aku tidak meminta untuk menjadi demikian, tetapi ada banyak skenario kehidupan yang membuatku menjadi dikenal.

Kondisi ini membuatku menyadari, aku tidak bisa merasa bahagia kalau tidak diakui oleh orang lain. Meskipun suka menyendiri, aku terkadang berharap orang lain menyadari keberadaanku. Dengan demikian, ketika aku mulai ditinggalkan, tidak diakui keberadaannya, aku merasa kecil dan tidak berarti.

Rasa sendiri itu yang membuatku mulai mencari. Makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Kembali mencari, apa sebenarnya arti hidup di dunia ini. Dari situlah aku memahami ada banyak kebaikan yang Allah beri untuk menemukan kesejatian diri ini.

Aku merasa sampai di satu titik, sudah waktunya untuk kembali peduli pada diri sendiri. Bukan sebagai manusia yang harus mendapatkan apresiasi dari orang lain baru merasa berharga. Sebaliknya, menemukan rasa berharga itu harus hadir kapan dan di mana pun aku berada.

Tentunya proses ini sulit sekali. Selalu ada nafsu yang membuat aku haus akan perhatian itu. Namun, lagi-lagi menjadi seseorang yang tidak terdeteksi oleh dunia, tetapi diketahui oleh penduduk langit itu amatlah sulit. Butuh banyak pengisian ulang hati, agar ikhlas dalam menjalani kehidupan.

Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan Qur’an journaling ini juga merupakan bagian dari menjaga diri agar terus menundukkan kepala, memahami kebesaran Allah swt, dan menemukan hakekat kehidupan yang paling utama.

Agar aku menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Menjadi manusia yang mampu memaknai setiap petunjuk-Nya dengan hati yang lapang dan bersih. Menjadi manusia yang bisa selalu menyandarkan diri kepada Ia, baik dalam suka maupun duka.

Karena sejatinya apalagi yang dicari oleh kita dalam kehidupan di dunia ini. Jika mencari harta, tak akan pernah ada batasnya. Jika mencari jabatan, tak akan pernah ada rasa puas. Jika terus menuruti hawa nafsu, tidak akan pernah ada habisnya.

Selagi masih ada sisa waktu di dunia ini, proses mentadabburi ayat dari kalam Ilahi adalah proses menambah ilmu yang tidak pernah aku dapatkan selama ini. Karena sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu agama. Bukan yang lain.

Semakin menyelami Al-Qur’an aku semakin memahami. Betapa Islam adalah agama sempurna yang penuh dengan kebaikan. Hal-hal sederhana yang selama ini kita cari melalui teori-teori barat, ternyata ada dan tertera di dalam kalimat-kalimat-Nya yang indah.

Semoga jalan ini bisa terus konsisten dipelajari, dihayati, dan dilaksanakan. Semoga Allah meridai apa-apa yang aku jalani ini sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Semoga ini adalah jalan healing-ku dari semua ujian dunia.

Keluarga: Menjalankan Peran dan Memenuhi Hak

Empat tahun terakhir aku habiskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Berada dekat dengan anak-anak, jarang sekali meninggalkan rumah tanpa anak-anak, kecuali untuk praktik. Setelah pandemi, nyaris tidak ada waktu yang kuhabiskan selain bersama anak-anak. Tuntutan untuk tidak keluar rumah semakin tinggi, sehingga aku pun semakin tidak memiliki waktu tanpa adanya anak-anak.

Namun, di bulan Desember kemarin, kondisi orang tua yang sedang tidak baik di kampung halaman, membuatku memutuskan untuk berangkat sendirian ke sana, meninggalkan anak-anak bersama ayah dan neneknya saja di sini. Untuk pertama kalinya, setelah empat tahun hanya di rumah saja, aku meninggalkan tiga anak, tanpa pengawasanku. Memang, hanya tiga hari, sehingga tidak lama rindu itu tertahan dalam diri.

Ternyata kondisi orang tua semakin memburuk di bulan Februari kemarin. Akhirnya, dengan berat hati aku mencoba meminta izin kepada suami untuk berangkat menjenguk orang tua lagi. Suami sendiri mencoba memahami situasi, sehingga memberi izin untuk pergi agak lama, dengan syarat harus membawa anak kami yang paling kecil.

Aku sendiri tidak punya rencana berapa lama harus menghabiskan waktu di kampung halaman, tetapi ternyata memang apa yang terjadi di kampung halaman sungguh di luar dugaan. Baru dua hari berada di sana, ayah harus masuk rumah sakit dan butuh dirawat. Ternyata saat diperiksa, ada indikasi positif Covid-19, sehingga harus masuk ruang isolasi. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap ibu dan kakak, ternyata ibu pun turut positif, sehingga memilih untuk menjalani isolasi mandiri di rumah saja.

Khawatir sudah terpapar, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal lebih lama, setidaknya sampai ayah keluar dari rumah sakit. Qadarullah, dua pekan berikutnya aku baru bisa kembali ke Jakarta.

Ada beberapa pergolakan diri sepanjang terpisah dengan anak-anak. Antara ingin tetap menunjukkan kasih sayang dan bakti kepada orang tua di kampung halaman. Di sisi lain, harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anak-anak, yang baru kali ini ditinggal lama oleh ibunya. Apalagi si tengah sempat demam tinggi. Si sulung juga batuknya tidak kunjung sembuh.

Dalam hati terpikir, apakah aku sudah melewatkan peranku sebagai seorang ibu? Atau aku masih belum maksimal memenuhi peranku sebagai seorang anak? Bahkan sebagai seorang istri.

Memenuhi Hak Setiap Anggota Keluarga

Rabbmu, Tuhanmu punya hak pada dirimu. Dirimu juga punya hak untuk dipenuhi. Keluargamu juga punya hak untuk dipenuhi. Dan berikanlah pada semua yang berhak, hak mereka.

Kisah Salman Al Farizi dan Abu Dardah, HR Bukhari.

Ternyata pembahasan mengenai peran yang harus dipenuhi sebagai manusia itu dijelaskan juga dalam konsep Islam. MasyaAllah, sungguh benar-benar sebuah karunia bisa mengetahui tentang hal ini. Seperti yang tercantum dalam kutipan di atas, bahwasanya sebagai manusia kita memiliki orang-orang yang butuh dipenuhi haknya. Mulai dari keluarga, sosial, tetangga, persahabatan, diri kita, dan tentunya Allah swt.

Memenuhi hak ini tidak hanya diwajibkan atas pria, tentunya wanita pun sama. Sebagai seorang perempuan, dengan semua peran yang kita miliki ada kewajiban dan hak yang harus dipenuhi. Sayangnya, seringkali ada kewajiban yang lebih kita diutamakan, sehingga ada hak pihak lain yang tidak terpenuhi.

Sebagai contoh, setelah menikah kebanyakan perempuan fokus pada anak-anaknya. Memberikan perhatian terbesar kepada anak maupun urusan rumah tangga. Sampai mungkin melupakan hubungannya dengan suami, atau bahkan menomor berapakan kebutuhan suami. Hak anak di atas segala-galanya, sampai lupa pada hak pribadi untuk memenuhi kebutuhan diri, seperti makan, minum, dan beristirahat.

Tidak salah juga karena sebagai perempuan sudah naluriahnya kita memberikan perhatian dan kasih sayang dalam bentuk kelembutan kepada anak-anak. Akan tetapi, kalau sampai melupakan hak untuk diri sendiri, bahkan kepada suami, bukankah itu sudah membuat ada hak-hak yang tidak terpenuhi.

Sedikit pembahasan mengenai peran seorang perempuan pernah aku bahas di sini, tentang peran perempuan sebagai istri, ibu, dan diri sendiri. Dalam pembahasan tersebut ternyata di dalam Al-Qur’an paling banyak disebutkan peran perempuan sebagai istri, bukan yang lain. Bahkan peran sebagai ibu pun menjadi nomor dua setelah peran sebagai istri. Maka, merujuk pada peran ini, ada baiknya kita kembali memahami posisi suami yang butuh ditunaikan haknya.

Sederhananya saja, saat perempuan ingin aktif secara sosial, bekerja dan menghasilkan karya, hendaknya ada izin dari suaminya. Karena hak suami sangat besar atas istrinya. Jangan sampai kesibukan dengan masyarakat, dengan orang lain di luar sang suami lebih besar dibandingkan kewajibannya memenuhi hak suami. Sibuk melakukan aktivitas sosial, berbagi, rapat, dan sebagainya, tetapi tidak memiliki waktu untuk berbicara dan memenuhi kebutuhan suami.

Tentunya dalam menjelaskan hak apa saja yang dimiliki suami atas istri, kita harus kembali merujuk kepada penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadis. Satu kunci yang paling sering terlupakan adalah mengikuti perintah suami, yang bisa membawa istri ke surga. Perintah seperti apa yang harus dipatuhi, tentu yang membawanya pada ketaatan kepada Allah swt. Jika memang suami sudah memerintahkan untuk berhenti bekerja karena pertimbangan-pertimbangan yang syar’i, maka hendaknya itu dicermati secara bijak.

Misalnya, dengan bekerja membuat anak mendapatkan sedikit perhatian. Tidak mendapatkan haknya sebagai anak, maka sebaiknya meninjau kembali sebenarnya tujuan bekerja itu apa. Tentu niat mulianya selalu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akan tetapi, ketika bekerja membuat ada hak lain yang terpotong bahkan hilang, bukankah harus ditinjau lagi tujuannya bekerja?

Maka, jika sampai hari ini ada urusan kita yang sepertinya masih tidak lancar, kembalilah merenungi hak siapa yang belum terpenuhi. Jangan-jangan masih ada hak suami yang belum bisa kita penuhi, hak anak yang terlupakan, atau hak-hak lain yang belum tertunaikan. Memang berat jika kita harus memenuhi semua hak dari semua peran, tetapi sudah kewajiban kita memenuhi hak itu agar tak menjadi hutang yang akan memberatkan kita di kemudian hari.

Hak yang Membuka Pintu Keberkahan Keluarga

Salah satu yang sedang membuatku sedang berada dalam dilema adalah menjalankan peran sebagai istri atau sebagai anak. Setelah dua minggu meninggalkan rumah karena harus menjenguk orang tua, aku mencoba kembali menelaah, apakah aku sudah cukup menjalankan kewajibanku untuk memenuhi hak suami. Ada banyak pelajaran sepanjang 14 hari berpisah dengan suami. Memberiku cukup waktu untuk kembali membenah diri, sebelum waktunya kembali ke rumah.

Empat belas hari makin memahami kalau tidak mudah menjadi seorang istri yang bisa berbuat baik kepada suami di waktu apapun. Bahkan ketika kita harus tetap memenuhi keinginan suami, di tengah situasi diri yang juga sedang tidak mumpuni. Bagaimana kita sebagai wanita harus mampu mengalahkan ego yang sebenarnya lebih ingin untuk memenuhi kebutuhan diri, dibandingkan kebutuhan orang lain.

Kalau memang sebagai istri kita merasa ada banyak sekali hambatan yang terjadi dalam proses menjalani berbagai peran kehidupan, hendaknya cek kembali bagaimana kita menunaikan hak suami? Jangan-jangan masih ada yang terlanggar karena kita masih asyik untuk mengutamakan kepentingan kita sendiri.

Namun, butuh diingat kita memenuhi hak suami bukan untuk menjadi pribadi yang tanpa pendirian. Kita hanya butuh mengilmui dengan sebanyak-banyaknya ilmu tentang peran istri yang diajarkan dalam agama. Karena di masa depan, peran lain akan tergerus dengan sendirinya. Mau itu peran sebagai ibu, anak, atau wanita di ranah publik. Pada akhirnya, menuju sisa usia kita hanya memiliki pasangan kita jika memang Allah me jodohkan hingga usia tua.

Oleh karena itu, menjaga hak suami-istri butuh dipupuk semenjak dini. Memahami koridor, kapan kita harus mementingkan diri atau kapan waktunya kita memenuhi haknya. Tentunya pemenuhan hak ini tidak bisa dilakukan secara sepihak saja. Suami tidak bisa terus-menerus haknya saja. Begitu pula sebaliknya.

Keduanya harus memahami agar hak diri terpenuhi, harus ada hak orang lain yang juga terpenuhi. Kalau selama ini suami menuntut haknya dari istri, tetapi tidak dapat memenuhi hak istri mendapatkan nafkah lahir dan batin, berarti harus dicek, apakah pernikahannya benar-benar sehat?

Kita tak perlu mengoreksi pernikahan orang lain. Apalagi kasus yang sedang marak Dan heboh saat ini membuat banyak ibu angkat bicara. Membicarakan persoalan itu dari kaca mata mereka yang merasa memiliki penderitaan yang sama. Tidak salah juga sebenarnya, tetapi apakah kita punya hak untuk mengambil sudut pandangnya, sambil memaksakan sudut pandang pribadi?

Sebuah kejadian seperti ini terkadang tak butuh dikomentari. Sebaliknya, menjadi bahn introspeksi atas pernikahan yang dijalani. Kemiripan itu bukan untuk diumbar dan didiskusikan tanpa ujung penyelesaian masalah yang memang menyelesaikan. Sebaliknya, mengambil hikmah atas pengalaman orang lain, lalu merenungi apa yang bisa diperbaiki dari pernikahan sendiri adalah langkah protektif yang lebih baik.

Lalu, bagaimana keberkahan keluarga itu bisa digapai?

Kembali dimulai dengan menelaah, hak apa yang belum terpenuhi dari orang-orang terdekat kita. Hak suami/istri yang mana belum terpenuhi. Hak anak-anak yang mana belum kita tunaikan. Mulai dari dua hal itu saja dulu. Analisis, tarik kesimpulan.

Dari hasilnya, susun langkah yang harus dijalankan. Apa yang butuh kembali ditingkatkan, caranya bagaimana? Jika memang hak anak-anak untuk waktu mereka dengan kita masih belum tercukupi, mempertimbangkan melakukan langkah ekstrim untuk memenuhinya bukan juga pilihan yang salah.

Maka, agar tidak salah memenuhi hak, sudah waktunya kita belajar dari sumber seharusnya. Belajar dari teladan nomor satu. Agar tak salah langkah lagi. Agar pintu keberkahan di rumah kita senantiasa hadir.

Jurnal Buncek #12 Ulat Kedelapan: the Buddy System

Well, tidak berasa sudah sampai di pekan kedelapan tahap ulat di hutan kupu cekatan #3. Ternyata di penghujung tahapan ini ada sebuah kewajiban untuk mencari teman seperjalanan, sebelum masuk ke tahap selanjutnya. Buddy system. Sebuah sistem yang mana kita harus mencari teman untuk saling memotivasi karena di tahap selanjutnya, sepertinya akan lebih intens dalam mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dari kemarin.

uddy, apa itu? Ketika mendengar pertama kali kalau di pekan ini harus punya buddy, pikiran langsung mandeg sesaat. Siapa yang mau jadi Buddy-ku? Itu pikiran yang pertama kali terlintas. Soalnya selama belajar lebih sering jadi single fighter, dibandingkan cari teman. Sejak dulu memang lebih suka belajar sendiri, bahkan ketika sedang ikut pelatihan luring sekalipun.

Pencarian buddy ini memaksaku untuk keluar dari zona nyaman. Selama ini sebagai single fighter aku tidak terlalu suka menyapa orang terlebih dahulu, kecuali memang sudah kenal. Bertemu orang baru dari titik nol, kemudian harus bercerita tentang diri sendiri, sungguh bukan aku. Maksudnya, sudah lama tidak aku lakukan. Selama ini aku berada di lingkungan yang membuatku lebih memilih sendiri, jika memang di luar urusan pekerjaan.

Keluar dari zona nyaman, menyesuaikan dengan tantangan dan beradaptasi dengan cepat, mungkin itu yang aku alami. Diawali dengan memikirkan siapa kira-kira yang bisa diajak untuk bekerja sama.

Pertama memilih seorang teman yang walaupun baru kenal, sepertinya aku bisa nyaman untuk bercerita. Setiap kali buka aplikasi Facebook, postingan dia selalu paling atas, “Wah, jangan-jangan sebuah pertanda,” pikirku. Apalagi aku kagum dengan kemampuannya menggambar, sehingga ingin sekali bisa intens untuk berinteraksi, siapa tahu jadi bisa kecipratan bisa menggambar juga. Eh, ternyata beliau sudah dapat buddy duluan. Jadi, agak minder, hahahaha, karena belum ada orang yang ngajakin jadi buddy. Akhirnya, merasa “Ya, sudahlah, nanti-nanti saja pilihnya.”

Setelah banyak mengobrol di grup regu, akhirnya iseng mengajak karegu untuk jadi buddy. Ternyata beliau juga sudah melamar orang lain. Hihihi, “Duh, nasib!” Lagi-lagi gagal karena lamaran karegu diterima oleh buddy-nya. Lanjut, iseng saja komentar di postingan salah satu teman lagi, eh, ternyata memang, ya kalau jodoh itu datangnya di saat yang tidak terduga. Dari pertanyaan singkat di kolom komentar, malah berlanjut memutuskan untuk menjadi buddy satu sama lain. Namanya Mba Aya.

Mungkin memang begitu, ya. Ada kalanya kita harus melepas ego pribadi, mengeluarkan diri sendiri dari zona nyaman, agar bisa terus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Beradaptasi, sebuah fungsi kehidupan yang seringkali tidak bisa dilakukan ketika sudah di masa dewasa. Sebab, kita terkadang terlalu lelah untuk menjalani hal baru.

Namun, ada sebuah kebaikan yang aku dapatkan dengan menjadikan Mba Aya sebagai pasangan. Aku merasa ada banyak kesamaan yang tidak bisa dijelaskan. Beberapa masalah yang Mba Aya sebutkan bisa aku sandingkan dengan pengalamanku dahulu, yang juga pernah berada di titik yang sama. Mungkin bedanya, aku dikelilingi oleh orang-orang yang bisa membantuku untuk segera mengatasi masalah itu, sedangkan Mba Aya tidak.

Kesamaan-kesamaan yang ada membuatku yakin Allah tidak akan mempertemukan dengan orang yang salah. Bahkan semua kebetulan itu adalah jalan dari Allah yang tidak bisa dipungkiri, hadir karena memang begitulah jalan yang harus ditempuh.

Sebagai hadiah aku memberikan sebuah video yang berisikan kalimat motivasi. Harapannya Mba Aya akan selalu bisa memutarnya ketika sedang merasa lelah selama perjalanan di tahapan berikutnya Bunda Cekatan ini. Videonya berdurasi 2 menit 35 detik, berisikan rekaman suara dan teks motivasi.

Sedari awal mendengarkan cerita dan aliran rasa dari Mba Aya aku memang sudah merencanakan untuk membuat video ini. Sekalian menantang diriku untuk membuat video dengan teks seperti yang diidam-idamkan. Jadilah video ini adalah video pertama yang aku buat dan menjadi kado istimewa karena langsung diberikan kepada yang membutuhkan.

Yah, karena video gak bisa diunggah di sini. Namanya juga hadiah istimewa, untuk Mba Aya saja deh. hehehe..

Semoga dalam perjalanan kita menjadi lebih baik di dunia akan menemukan orang-orang yang pas dalam mendukung upaya kita itu.

Bismillah.

Jurnal Buncek #11 Ulat Ketujuh: Membongkar yang Sudah Didapat

Pekan ketujuh di tahap ulat bunda cekatan ini waktunya untuk mengulas kembali apa yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir. Apakah yang didapatkan sudah sesuai dengan peta belajar yang dimiliki? Hm… sejauh ini merasa sudah, bahkan sudah terpenuhi hampir semua yang dibutuhkan. Walau tidak banyak, tetapi setidaknya bisa memenuhi ruang-ruang ilmu yang memang dibutuhkan.

Bukankah sebaiknya demikian, tidak perlu makan terlalu banyak, tetapi bagaimana eksekusi dari ilmu yang sudah didapat? Mampukah kita melakukan semuanya? Pada akhirnya, ilmu terbaik adalah ilmu yang dipraktikkan, bukan hanya terendap di dalam ingatan atau memori artifisial di ponsel, cloud, atau laptop semata.

Ok, mari mengulas apa saja yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir ini, ya.

Sesuai dengan peta belajar, tema utama yang saya angkat adalah MENGELOLA EMOSI. Akan tetapi, menurut saya agar bisa mengelola emosi saya harus memiliki ilmu tentang manajemen emosi, terapi menulis, manajemen waktu dan tugas, manajemen diri (tidur, makan, dan olahraga), serta tadabbur Al-Qur’an.

Kurang lebih sudah 80 persen materi yang saya butuhkan dalam peta belajar didapatkan dari beragam sumber ilmu yang saya cari. Dua poin yang belum saya sempat dalami, yaitu tentang Terapi Gazalian dan Terapi Menulis. Namun, saya pikir kedua poin ini bisa saya dapatkan sembari perjalanan mengelola emosi ke depannya. Sebab, saya membutuhkan kajian yang lebih dalam mengenai dua sumber ilmu ini, yang tidak bisa saya dapatkan dari hutan pengetahuan.

Setelah membongkar makanan yang sudah didapatkan, ternyata memang saya tidak mengambil terlalu banyak ilmu. Beberapa ilmu dasar saja yang dirasa cukup untuk dipraktikkan saat ini yang memang saya coba kumpulkan. Agar tidak kelebihan ilmu, tetapi juga memiliki dasar untuk praktiknya. Jadi, tidak ada camilan yang berlebihan juga dari semua yang saya dapatkan. Semua sesuai kadarnya, pas.

Ulasan-ulasan yang sudah diberikan teman-teman sepanjang perjalanan mencari pengetahuan bisa menjadi bahan referensi ketika saya memang membutuhkannya dalam proses perjalanan berikutnya. Sekarang, fokusnya adalah bagaimana menerapkan semua ilmu itu. Bagaimana membuat hidup saya lebih nyaman, aman, dan tentunya bahagia.

Beberapa refleksi yang saya dapatkan setelah kembali membongkar ulang makanan selama ini adalah.

Pada dasarnya saya bahagia bisa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang belum saya dapatkan sama sekali. Terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu dan ilmu manajemen emosi berdasarkan Al-Qur’an. Sebab, selama ini saya merasa minim sekali perihal ilmu tersebut. Sejauh ini merasa paling butuh adalah mempraktikkan manajemen waktu agar bisa lebih efektif lagi memanfaatkan waktu sehari-hari.

Selain itu, selama ini saya memang mencari pembahasan emosi berdasarkan Al-Qur’an. Alhamdulillah Allah mudahkan pencarian itu di pekan-pekan terakhir dalam menuntut ilmu di bunda cekatan ini. Semoga dengan makin mentadabburi Al-Qur’an membuat saya makin mampu mengelola hati dan pikiran, agar bisa mencapai tujuan: BAHAGIA untuk semuanya.

Sekarang, waktunya untuk memulai praktik. Semakin rajin untuk mengelola emosi, menginstall semua petunjuk-petunjuk-Nya yang memang sudah tertera jelas di dalam Al-Qur’an agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Better than Yesterday, Waktunya untuk Move On

“Kak, bagaimana caranya move on?”

Kalau kamu mendapatkan pertanyaan seperti ini, apa jawabannya?

Jawaban yang selalu aku berikan kepada para penanya, baik itu teman maupun di setting profesional, selalu dimulai dari: sudah siapkah untuk berubah?

Tanpa adanya kesiapan untuk berubah, move on itu akan sia-sia. Hanya akan menjadi sebuah usaha yang ujung-ujungnya berbalik lagi ke keadaan lama. Meminjam istilah para pediet ketat, efek yoyo. Bolak-balik masalah tidak selesai karena niatnya belum kuat.

Mungkin tampaknya sederhana, tetapi niat tak hanya sekadar keinginan. Ada tujuan jelas yang mendasari niat itu, apa yang hendak kita capai. Maka, dalam meluruskan niat untuk berubah kita butuh ilmu. Ilmu yang benar tentunya, yang mampu mengarahkan perubahan itu menuju kebaikan dunia dan akhirat.

Maka, kali ini kajian “Better than Yesterday” yang aku ikuti mulai pekan ini dari ilmuinaja.id menjawab cara menyiapkan niat yang benar untuk mengubah kehidupan. Kajian ini akan berlangsung selama 30 hari ke depan dengan jumlah kajian 40 topik pembahasan. Wow, banyak, ya. Belum lagi pengisinya sungguh luar biasa. Ustadz Budi Ashari, dr. Zaidul Akbar, dan Ustadz Fitrian Kadir.

Ada tiga topik besar yang dikaji dalam acara ini, yaitu rahasia kehidupan, rahasia kesehatan, dan rahasia keuangan. Tiga topik yang menurutku memang menjadi poin penting dalam kehidupan kita sebagai manusia. Seringkali menjadi ujian terbesar dalam mengarungi perjalanan di dunia ini. Sesuai dengan judul kajiannya, maka harapannya setelah semua materi disampaikan kita bisa menjadi sosok yang lebih baik esok hari.

Berilmu Sebelum Move On

Mengapa harus berilmu dulu sebelum move on?

Sebab untuk tahu ke mana arah perubahan yang kita inginkan, harus ada ilmunya. Apalagi jika ingin perubahan itu berkah, maka ada baiknya kita mengilmui dulu, perubahan seperti apa yang Allah sukai.

Dalam kajian Better than Yesterday benar-benar seperti diberi suntikan semangat untuk berubah. Dimulai dari dengan meniatkan sungguh-sungguh perubahan itu atas nama Allah. Benar, niat kita untuk berubah harus sepenuhnya berdasarkan kecintaan kepada-Nya. Dengan cinta kepada-Nya kita tahu perubahan yang dilakukan tujuannya bukan lagi demi manusia, melainkan zat yang paling hakiki: Tuhan.

Perubahan yang didasarkan pada Allah akan menjadikan keinginan untuk berubah itu lebih kuat. Gambarannya begini, jika kita sedang jatuh cinta, maka dengan semua upaya kita berusaha memenuhi permintaan orang tersebut untuk berubah. Cinta telah membuat kita mampu untuk melakukan hal yang mustahil, demi mempertahankan rasa yang bergelora itu. Bahkan ada saja yang berubah 180 derajat demi mendapatkan cinta dari orang yang disayanginya. Mengapa kita tidak melakukan perubahan itu atas dasar kecintaan untuk Allah?

Allah adalah penguasa atas semua yang terjadi di bumi ini. Kesulitan yang hadir dalam hidup kita pun datangnya dari Allah swt, bukan yang lain. Memang bisa saja ada sebab-sebab di masa lalu yang membuat kita mengalami hal-hal buruk. Namun, itu semua tidak akan hadir tanpa adanya izin Allah. Contoh, sesungguhnya Allah menghadirkan rasa sakit dan bencana untuk menggugurkan dosa kita. Kalaupun sudah tidak ada dosa di diri ini, maka rasa sakit dan bencana itu adalah untuk meningkatkan keimanan.

See. Allah menghadirkan sesuatu yang buruk pun adalah agar kita semakin baik. Melepas keburukan-keburukan, bahkan dosa yang bisa memberatkan timbangan kita menuju neraka. Allah mencintai kita karena berusaha membersihkan sebagian dosa-dosa itu dengan beban yang diterima di muka bumi ini. Belum lagi, ketika dosa itu sudah habis, hadirnya sakit dan bencana ternyata untuk membuat kita naik kelas. Kalau tadinya kita hanya masuk surga karena sudah tak lagi ada dosa, ternyata bisa meningkatkan level surga yang akan kita masuki karena tingkatan imannya juga naik. Logikanya begitu.

Manusia mana yang bisa memberikan kita begitu banyak kebaikan seperti yang Allah kasih. Seseorang yang katanya menolong pun terkadang terbersit keinginan untuk dibalas. Orang-orang yang bisa menolong pun selalu ada keterbatasan, baik waktu, uang, dan tenaga. Maka, mengapa kita hanya mengandalkan manusia untuk memperbaiki diri di tengah kepayahan yang ada?

Berubah karena Allah dimulai dengan mencintai Allah terlebih dahulu. Kalau sebelumnya kita memandang semua ibadah itu hanya sekadar kewajiban, maka jadikan itu sebagai kebutuhan. Kalau selama ini kita baru mengaktifkan rasa syukur ketika mendapatkan kelimpahan berkah, mengapa tidak mulai sekarang mensyukuri tiap jengkal yang kita dapatkan, sekecil atau seburuk apapun itu, sebagai berkah yang datang dari Allah.

Begitu pula meyakini bahwa semua kesulitan ini pasti berlalu seperti janji Allah di QS Al-Insyirah 5-6. Bahwa satu masalah yang hadir itu akan segera terlewati, kemudian digantikan oleh dua kebaikan lain yang tidak pernah kita ketahui bentuk kebaikannya. Bayangkan, siapa coba yang bisa dengan mudahnya memberikan bonus, setelah kita membayarkan sejumlah kewajiban kita kepada orang itu. Adanya kalau melakukan satu pekerjaan, kita diberi upah sesuai pekerjaan itu, bahkan terkadang terasa kurang. Bonus hanya diberikan sesekali saja atau malah tidak sama sekali. Siapa lagi yang akan memberikan bonus sebanyak itu dalam hidup ini.

Dengan demikian, mau move on kita harus kembali mencermati, apa yang membuat kita kurang meniatkan semua perubahan itu karena Allah? Jangan-jangan selama ini kita belum terlalu memaknai semua jalan kehidupan ini sebagai jalan Allah untuk kita. Kalau kata Ustaz Budi Ashari kita belum benar-benar meng-install petunjuk-petunjuk itu secara benar di hati kita, sehingga saat bertemu dengan kesulitan, ujian kehidupan, kita tidak bisa segera menemukan jawabannya.

Ilmu untuk berubah itu mahal harganya karena hanya orang-orang yang memang bersedia untuk berubah yang bisa mencarinya. Belum lagi hak Allah untuk memilih orang-orang yang mendapatkan hidayah.

Jadi, ketika sudah terbesit sedikit keinginan untuk berubah itu, sambutlah ia dengan suka hati. Hati yang sudah terbuka untuk memulai perubahan akan mengarahkan pada satu per satu jalan yang tepat, demi membimbing perubahan tersebut.

Ketika satu per satu langkah perubahan itu hadir, hendaklah selalu mensyukuri dan istiqomah di atasnya. Agar kita selalu mendapatkan keberkahan, dijaga oleh-Nya hingga akhir hayat.

Jurnal Bunda Cekatan #10 Tahap Ulat Keenam: Berbagi Kebahagiaan

Berbagi kebahagiaan.

Sebuah prinsip penting dalam hidup berkomunitas. Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan yang dimiliki kepada orang lain. Tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat yang lebih luas. Prinsip budaya kolektif.

Maka, di pekan ini tugasnya adalah berbagi makanan kepada teman-teman baru yang kenalan di pekan lalu, minimal tiga orang. Akhirnya aku memilih tiga orang yang menurutku memang membutuhkan sekali apel-apel tambahan. Kebetulan makanan tambahan itu sendiri ilmunya sudah aku miliki, sehingga merasa lebih mantap saja untuk dibagikan. Jadi, aku memutuskan untuk mengolah sendiri makanan yang akan aku bagi kepada teman-teman baru ini.

Untuk dua teman, aku memilih untuk merekam video yang menjelaskan materi yang sudah aku persiapkan untuk mereka. Masing-masing aku rekam dengan sapaan personal karena ini adalah istimewa untuk mereka masing-masing. Berikut rangkuman dari hadiah yang aku bagikan.

Bisa dibilang aku memang paling suka berbagi, hehehe. Yah, pengennya banyak berbagi aja, tapi kalau dikasih tetap mau. Memang ada perasaan yang berbeda antara ketika memberikan dibanding saat menerima. Keduanya memunculkan perasaan bahagia, meskipun dalam taraf yang berbeda.

Namun, setelah belajar dari kajian “Better than Yesterday” yang menjadi makananku pekan ni, aku jadi ingin mengamalkan tentang prinsip berbagi ayng sebenarnya. Bagaimana ktia menunaikan kewajiban untuk berbagi kepada orang lain, tanpa mengharapkan pamrih. Tanpa mengharapkan terima kasih dari orang lain. Bagaimana menjalankan prinsip berbagi itu sebagai sebuah kewajiban dan biarkan Allah swt yang membalas kebaikan itu.

Terkadang sebagai manusia kita masih suka mengharapkan ucapan terima kasih atau mendapatkan balasan yang setimpal dari pemberian kita kepada orang tua. Maka, tugas pekan ini benar-benar menguji ilmu yang sudah didapat, apakah aku bisa ikhlas, memurnikan tiap perilakuku hanya untuk Allah semata.

Jadi teringat sebuah tulisan yang aku buat di sebuah naskah yang masih teronggok di penerbit. Naskah yang memuat bagaimana kita harus terus-menerus mengisi ulang keikhlasan dalam hati kita, agar mendapatkan rida dari Allah.

Ya, rida. Jangan lupa hidup ini hanya untuk mendapatkan rida dari-Nya. Dengan demikian, saat berbagi pun mengharaplah itu tujuannya untuk mendapatkan rida dari-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana para sahabat dan orang-orang salih dahulu yang kecintaan dan keimanan kepada Allah begitu besar, maka mereka tidak peduli tentang balasan yang diberikan manusia atas kebaikan dirinya. Melainkan memasrahkan balasan itu semata dari Allah saja.

Bisakah kita demikian?

Oiya, ini makananku saat ini. Kajian dari ilmuinaja.id. Buat yang mau ikut kajian bisa langsung daftar saja. Alasanku memilih kajian ini karena dalam peta belajarku tadabbur Al-Qur’an adalah salah satu kunci dalam pengelolaan emosi. Maka, kajian ini adalah salah satunya. Meskipun tidak spesifik tentang pengelolaan emosi, tetapi bukankah ketika kita memahami prinsip-prinsip perilaku yang benar dari Al-Qur’an dan hadis, maka sejatinya kita bisa mengelola emosi itu dengan sendirinya. Ketika semua prinsip itu sudah terinstal dalam diri kita, maka saat masalah hadir, kita tidak akan termakan oleh emosi yang muncul, sebab dengan sendirinya perilaku kita sudah baik sesuai dengan yang petunjuk yang seharusnya.

Selamat menginstal kebaikan. Karena hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.