Momen Haru untuk Si Sulung

Aku masih ingat ketika pertama kali program Hafidz Cilik ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta. Rasa mengharu-biru hadir ketika mendengarkan anak-anak yang masih belum baligh itu melafaskan dengan mudah ayat-ayat Al-Qur’an. Rasanya begitu indah dan sejuk. Apalagi dengan suara anak-anak yang demikian lembutnya, setiap ayat terasa begitu menyentuh ketika didengarkan.

Setelah program itu pula sepertinya menjadi hafidz mulai menjadi salah satu yang dicita-citakan anak-anak. Tak ketinggalan ada banyak orang tua yang juga menginginkan anaknya untuk menjadi seperti mereka, anak-anak yang tampil di tayangan itu. Aku sendiri sempat merasa iri melihat anak-anak kecil yang masih belia itu bisa dengan lancarnya melafazkan ayat-ayat Al-Qur’an karena sampai usia mendekati 40 tahun saja juz 30 pun aku belum selesai.

Sejak itu, aku mungkin menjadi salah satu orang tua yang berharap anaknya menjadi seorang hafidz. Menjadi sosok yang bisa mengamalkan, tidak hanya melafalkan ayat-ayat suci itu. Sebuah cita-cita yang mungkin rasanya jauh sekali saat itu karena aku masih belum menikah dan belum memiliki anak tentunya. Namun, rasanya gejolak untuk mendekatkan diri pada Islam lebih dalam serta melahirkan anak-anak yang berjalan di jalan-Nya yang lurus adalah sebuah impian.

Hingga tiba ketika tujuh tahun lalu Allah karuniakan kami anak. Sejak ia lahir kami dawamkan untuk memberikan pendidikan Islam secara maksimal. Untuk itulah memilih sekolah yang memberikan pendidikan Islam sebagai ajaran utama adalah yang utama. Sampai bertemu dengan sekolah yang sesuai dengan kriteria dan cita-cita kami itu, semua terasa dimudahkan oleh Allah Swt.

PR-nya tentu ada pada kami, sebagai orang tua yang tidak memiliki latar pendidikan pesantren, membiasakan anak-anak untuk menjadi seorang penghapal Al-Qur’an tentu butuh usaha keras. Bukan hanya anak-anak yang harus dibiasakan dan menghapal, kami orang tuanya pun butuh banyak perbaikan. Satu per satu kami coba perbaiki sebagai usaha untuk menemani anak-anak secara maksimal ketika harus berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Namun, lagi-lagi Allah itu Maha Baik. Rasanya masih jauh usaha ini, Ia telah hadiahkan kami sebuah kebaikan setelah dua tahun Si Sulung belajar di sekolahnya. Salah satu milestone sudah ia lewati sebagai awal pembuka jalan untuk menghapal tiap ayat-ayat Al-Qur’an, menyelesaikan hafalan juz 30. Alhamdulillah, Si Sulung mencapainya.

Saat mendengarkan lantunan yang keluar dari mulutnya, rasanya aku banyak berefleksi tentang apa yang telah dilakukan selama ini saat membersamai anak-anak. Betapa sebagai pendidik, aku masih jauh dari kebutuhan anak-anak. Masih suka lalai, suka abai, ada kalanya malah menggampangkan. Meskipun demikian, ternyata Allah kasih banyak kemudahan. Ia begitu banyak memberikan anugerah tak terhingga itu kepada kami, sehingga rasanya aku merasa malu karena tidak berusaha sampai titik maksimal untuk mendampingi jalan mereka menjadi seorang hafidz.

Terlepas dari itu, rasa haru tidak bisa lepas setiap kali ayat itu terlantun dengan baik. Rasanya tak percaya kami sampai di titik ini, sebuah titik yang dua tahun lalu rasanya masih mimpi. Sebuah titik yang dua tahun lalu kami hanya bisa berdecak kagum ketika para orang tua lain mendampingi anak-anaknya mentasmi’kan hapalan juz 30-nya. Sebuah titik yang membuatku merasa ragu, mampukah untuk terus mendampingi anak-anak dengan benar sampai mereka menyelesaikan semuanya.

Akhrinya, ketika hari ini datang, aku tidak bisa lepas dari rasa syukur. Memperbanyak hamdalah dan istighfar sebagi bentuk rasa syukur kepada Allah yang tiada terkira. Lagi-lagi karena semua ini berkat bantuan-Nya saja. Semua ini berkat Ia yang telah memberikan jalan kebaikan untuk kami semua. Semua ini hanyalah titik untuk menyadarkan kami agar tak lama lalai dalam tugas kami sebagai orang tua.

Orang Tua Berusaha, Allah yang Memudahkan

Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ghazali:

Kalau anak itu dibiasakan dengan kebaikan dan diajarkan kebaikan, maka ia akan tumbuh dalam kebaikan. Tapi kalau dia tumbuh dalam keburukan dan pengabaian sebagaimana diabaikannya hewan-hewan ternak, maka ia akan sengsara dan binasa.

Kita memegang kendali, mau dikemanakan anak-anak ini. Bukan sekolah, bukan pula lingkungan. Melainkan kita sebagai orang tua yang memilihkan jalan, apakah kebaikan atau keburukan yang diajarkan kepada mereka. Dalam ilmu parenting psikologi pun akhirnya ada satu kesimpulan, semua tergantung pada bagaimana orang tua mengasuh. Maka, tidak ada yang bertentangan di antara keduanya.

Sudah tugas kita sebagai orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak-anak, mengajarkan adab, akhlak yang baik, serta menjaganya dari teman/pengaruh lingkungan yang buruk agar mereka terjaga fitrahnya. Terawat bukan hanya fisiknya, melainkan juga hatinya yang dipenuhi keimanan kepada Allah. Jangan merawat anak seperti merawat hewan ternak, hanya dengan memenuhi kebutuhan fisik dan nafsunya, tetapi tidak diiringi pengajaran untuk mengembangkan akal dan hatinya.

Meskipun demikian, terlepas dari semua usaha kita, tetaplah Allah yang bisa memudahkan semua urusan kita dalam mendidik anak. Bukan kekuatan kita yang membuat mereka menjadi baik, penurut, atau penghapal Al-Qur’an. Semua itu karena Allah yang mengizinkan semuanya. Tanpa perlindungan dan izin-Nya, tentu tidak mungkin anak-anak kita terus berada dalam kebaikan.

Sekali lagi, momen haru ketika mendengarkan Si Sulung melantunkan ayat bukan karena aku merasa sudah mendapatkan hasil dari usahaku sebagai orang tua. Sebaliknya, itu adalah haru karena Allah Swt. telah demikian baik kepadaku selama ini. Atas semua berkah-Nya untuk kehidupanku, padahal aku sendiri masih jauh dari sosok orang tua terbaik.

#writober2023 #haru #RBMJakarta #IbuProfesional

Perjalan Si Tengah Mulai Sekolah

Tak berasa Si Tengah sudah memasuki usia lima tahun. Tepatnya lima tahun empat bulan saat ini. Perasaan baru kemarin membahas tentang alasan memilih sekolah untuk Si Sulung. Ternyata waktu begitu cepat berlalu dan sampailah Si Tengah pada masa pendidikan pertamanya.

Sejak pandemi dinilai berakhir di tahun 2022 kemarin, sekolah mulai beroperasi seperti sedia kala. Tetap dengan menjalankan protokol kesehatan, berupaya menjaga agar kesehatan semua sivitas akademika tetap sehat. Maka, kami pun memutuskan agar Si Tengah mulai sekolah.

Kali ini pilihan masih sama, TK dulu untuk membiasakan Si Tengah dengan situasi sosial, guru, teman sebaya, maupun lingkungan sekolah. Tak ayal pandemi tetap membuat anak-anak terbatas pergaulannya. Apalagi Si Tengah termasuk yang tak pernah lepas sisiku. Harapannya, dengan sekolah dulu ia sudah cukup siap untuk masuk ke sekolah Si Sulung yang memang menuntut kemandirian para santrinya.

Kami pun memilih TK yang berbeda dengan Si Sulung setelah beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah kesesuaian pengajaran dengan tempat Si Sulung sekolah. Sebenarnya TK ini juga sempat menjadi incaran ketika mau menyekolahkan Si Sulung, Qodarullah saat itu tidak ada tempat kosong, sehingga ia urung bersekolah di sana.

Mungkin karena baru selesai pandemi, tidak banyak anak yang bersekolah di tingkatan KB, sehingga Si Tengah masih bisa diterima di TK A-nya. Meskipun tidak memiliki fasilitas seperti sekolah Si Sulung, ada rasa yakin saja untuk memasukkan Si Tengah ke sana karena kurikulum yang dipegang oleh sekolah itu. Sebuah landasan yang paling penting ketika memilih sekolah.

Ada banyak rasa takjub yang menghampiri hati dari sekolah itu. Sederhana, tetapi ternyata apa yang didapat sepertinya melebihi yang dibayangkan. Bersyukur bisa memasukkan ananda ke TK ini.

Namun, ternyata kekhawatiran yang diperkirakan terjadi. Saat hari pertama masa orientasi sekolah Si Tengah kesulitan mengendalikan dirinya ketika diantar masuk ke sekolah. Tampak sekali ada rasa cemas, khawatir, dan sedikit ketakutan di matanya. Pesan emosi itu sampai ke diriku. Tadinya sudah berniat meninggalkan ia, akhirnya saya memilih untuk menunggui sampai selesai orientasi.

Benar saja ketika anak-anak mulai berbaris keluar menuju lapangan, tak nampak Si Tengah. Ia keluar belakangan bersama seorang guru dalam kondisi habis menangis. Melihat itu aku terenyuh lalu memanggilnya. Tentu saja ia kembali menangis karena merasa takut saya tinggalkan. Akhirnya, dengan sedikit pembicaraan saya memberitahu bahwa saya ada di sana, walau tidak berada di sebelahnya. Benar saja, sepanjang kegiatan di lapangan, matanya tak lepas, terus mencari saya.

Rasanya berbeda sekali dengan Si Sulung yang ketika tes masuk sekolahnya sekarang berani melangkah maju, walau ada rasa takut yang tampak. Ia tak menangis ketika ditinggalkan bahkan merasa senang sudah menjalani tes kala itu. Benar, ya tiap anak akan punya pengalaman berbeda pula.

Alhamdulillah, Si Tengah bisa segera kembali baik. Setelah melalui proses briefing yang panjang dan usaha dari para guru untuk membuatnya nyaman, Si Tengah betah bersekolah di sana.

Ada banyak petikan hikmah yang kami sebagai orang tua dapatkan setelah ananda bersekolah. Ada banyak potensinya yang mulai terlihat. Di balik emosinya yang mudah sekali terpicu dan memengaruhi perilakunya, ada banyak kelebihan lain yang tak juga kalah.

Salah satu yang mampu menjaga kestabilan emosinya adalah kegiatan mewarnai dan menggambar. Dibanding Si Abang yang lebih senang menghapal dan berimajinasi, ternyata Si Tengah bisa dengan tekun mewarnai dan menggambar.

Sebenarnya bakat ini mulai terlihat saat masih belajar bersama saya di rumah. Namun, belum benar-benar terasah karena aktivitasnya kurang konsisten. Dengan demikian, ada rasa senang ketika akhirnya Si Tengah menemukan kegiatan yang ia sukai dan minati. Bahkan perkembangan gambarnya pun terbilang cepat.

Saat baru masuk, gambarnya masih cukup abstrak. Namun setelah sekitar sembilan bersekolah sekarang dia sudah bisa menggambar sosok orang yang lengkap, bukan lagi stick figure, Alhamdulillah.

Secara kognitif pun ternyata dia penghapal yang baik. Masalahnya lebih pada pelafalan huruf dan kata. Bahkan di kelas ia termasuk salah satu anak yang fokus memperhatikan guru dan aktif menjawab. MasyaAllah, nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan melihat perkembangan ananda. Sudah cukup perkembangan itu melebihi apa yang kami harapkan karena ia mendapatkan stimulasi yang cukup di sekolah.

Maka, ketika usianya lima tahun kami mantap untuk mencobakan tes masuk Kuttab Al Fatih, tempat Si Abang berada. Tetap ada rasa khawatir, mampukah ia menjadi salah satu santri terpilih di anatara calon santri lainnya. Apalagi saingannya adalah anak dari para orang tua santri lama yang lebih senior daripada kami.

Akan tetapi, di atas itu semua ada satu hal yang akhirnya kami yakini, keikutsertaan kami dalam proses seleksi Si Tengah ini adalah cara untuk mengembalikan kami pada jalur yang benar. Menyadarkan lagi tentang kelalaian yang telah dilakukan sebagai orang tua. Mengukuhkan kembali visi pendidikan yang telah kami pilih untuk keluarga ini.

Oleh karena itu, ketika 23 Maret 2023, hari pertama puasa di bulan Ramadhan 1444 H ini kami mendapati nama Si Tengah ada di antara puluhan nama santri yang diterima, betapa bersyukurnya hati kami. Mulai sekarang etape baru akan kami jalani. Memiliki dua anak yang sudah memasuki jenjang pendidikan yang lebih serius artinya sebagai orang tua kami harus lebih serius lagi.

Bismillah, langkah baru bagi Si Tengah dimulai bulan Juli 2023 ini. Semoga Allah meridai langkahnya. Menerangi jalannya dan menjaga hatinya agar selalu dipenuhi cahaya keimanan dan dekat dengan Al-Qur’an.

Menemukan Sekolah dengan Fasilitas Terbaik

Adakah yang pernah berpikir sama seperti ini?

“Aku pilih sekolah itu saja, dari biayanya sudah masuk semua fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler, jadi gak butuh tambahan les lagi, dibanding sekolah lain.”

Salah satu yang saat ini menjadi agenda para orang tua yang memiliki anak usia enam atau tujuh tahun adalah menemukan sekolah pertamanya. Apalagi setelah masa taman kanak-kanak, maka memilih sekolah dasar yang tepat menjadi pertimbangan penting bagi para orang tua ini. Pasalnya, sekolah dasar ini penting untuk perkembangan anak menuju tahap berikutnya. Oleh karena itu, mungkin sudah mulai menjadi tren terkini, bagi mereka yang memiliki kecukupan finansial, memilih memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang diharapkan sesuai dengan visi pendidikan keluarga.

Salah satu yang menjadi pertimbangan orang tua yang memilih menyekolahkan anak-anak ke sekolah swasta adalah pemenuhan fasilitas yang menunjang pendidikan. Fasilitas fisik kerap menjadi sorotan. Bagaimana gedung sekolah? Kelengkapan fasilitas penunjang pendidikan? Bagaimana kondisi ruang kelas? Beserta fasilitas untuk kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.

Oleh sebab itu, saat ini begitu banyak sekolah swasta yang berlomba dari segi fasilitas fisik. Mencoba memperlihatkan kenyamanan dalam belajar sebagai jaminan bagi anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik. Ditambah kurikulum yang begitu ragam, baik itu nasional maupun internasional, yang menjadi nilai jual lainnya. Semua berlomba memberikan fasilitas yang membuat mata orang tua berdecak kagum, sehingga memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sana, meskipun harus merogoh kocek sedemikian dalamnya. Demi satu hal, “Anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik.”

Namun, satu hal yang seringkali aku renungi, apakah cukup fasilitas fisik ini yang membuat anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik? Lalu, bagaimana dengan mereka yang ternyata tidak dianugerahi Allah Swt. kemampuan finansial yang cukup. Apakah itu berarti mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan terbaik?

Itu berarti sama saja kita menyetujui kalau orang miskin dilarang sekolah. Orang miskin tidak layak mendapatkan pendidikan yang layak. Padahal pendidikan adalah hak semua anak. Setiap anak, apa pun latar belakang mereka berhak untuk belajar. Akhirnya, semua orang berlomba-lomba menjadi “kaya” hanya untuk memberikan pendidikan terbaik. Mereka yang tetap Allah Swt. beri rezeki yang cukup saja, tidak diperkenankan untuk menyicip pendidikan dengan fasilitas terbaik itu.

Jadi, sebenarnya apakah pendidikan terbaik identik dengan fasilitas yang lengkap?

Fasilitas Terbaik Itu Adalah Guru

Jika berkaca pada zaman Rasulullah saw. maka kita hendaknya menelaah kembali tentang makna pendidikan dengan fasilitas yang lengkap. Pada saat itu, kita tahu fasilitas yang ada serba terbatas, tidak seperti saat ini. Namun, Allah Swt. menunjukkan mereka yang berada di era Rasulullah saw. beserta dua generasi sesudahnya adalah generasi terbaik umat muslim. Mereka yang hidup dalam keterbatasan, malah menjadi orang-orang mulia. Maka, apakah memang fasilitas fisik adalah satu kunci yang membuat seseorang menjadi hebat?

Ternyata tidak!

Bukan fasilitas fisik yang menjamin sahabat-sahabat di zaman itu menjadi manusia teladan. Melainkan, bagaimana mereka belajar pada guru hebat, itulah yang membuat mereka menjadi manusia yang luar biasa. Para sahabat yang belajar langsung dari Rasulullah saw. Begitu pula para tabi’in dan generasi selanjutnya yang belajar dari para ulama dengan keilmuan luar biasa. Artinya, fasilitas terbaik yang bisa membuat seseorang mampu mendapatkan ilmu yang baik adalah seorang GURU.

Ya, guru. Pernahkah terpikirkan?

Karena ilmu itu diturunkan bukan lewat fasilitas fisik. Bukan pula lewat kurikulum buatan manusia. Melainkan lewat guru yang memiliki keilmuan yang luar biasa. Membawa ilmu lurus yang disampaikan secara benar sejak zaman Rasulullah saw. Sudahkah kita menjadikan ini sebagai satu kriteria ketika memilih sekolah untuk anak-anak kita?

Bisa jadi memang benar. Sekarang ini kita banyak tertipu daya oleh tampilan visual, sehingga kehilangan esensi mengenai pendidikan itu sendiri. Fasilitas fisik hanyalah alat bantu, bukan sebuah keutamaan untuk mendapatkan ilmu. Guru adalah fasilitas utama untuk menghantarkan ilmu itu kepada anak-anak kita. Jadi, sudahkah guru di sekolah anak kita memang memiliki keilmuan yang cukup untuk berbagi dengan anak-anak kita?

Coba sekarang kita telaah bersama. Apakah guru di sekolah anak-anak kita saat ini:

  • Mendapatkan perhatian yang pantas untuk kesejahteraannya, sehingga ia tidak butuh memusingkan kebutuhan keluarganya dan fokus terhadap pembelajaran anak-anak kita.
  • Memiliki pemahaman yang merata untuk dasar-dasar nilai yang mau diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Mendapatkan pembekalan ilmu yang berkelanjutan, sehingga mereka terus bisa menambah pengetahuan terkait ilmu yang diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Dijaga izzahnya, terjaga kehormatannya, sehingga mereka bisa terus menjaga niat dalam mengajarkan ilmu kepada anak-anak kita.

Mengapa semua ini butuh untuk diperhatikan?

Karena sebuah ilmu yang didapatkan anak-anak kita itu butuh keberkahan. Berkah itu didapat dari guru yang mengajarkan mereka ilmu tersebut. Jika kita tidak mampu untuk menjaga kehormatan, menjaga perasaan, menjaga kesejahteraannya, sehingga mereka banyak mengeluh dan menyimpangkan sedikit saja niat mereka dalam mengajar anak-anak kita, apa yang mungkin terjadi?

Seringkali hal ini tidak mendapatkan perhatian yang baik. Padahal bisa jadi ilmu-ilmu yang didapatkan oleh anak-anak kita itu tak kekal karena keberkahan itu hilang seiring dengan hilangnya ketulusan guru dalam mengajari anak-anak kita. Bahkan mungkin kitalah orang tua yang telah membuat berkah itu hilang karena terlalu banyak mengkritik guru dan sekolah.

Ketika memilih sebuah sekolah, artinya mau tidak mau kita menyepakati apapun yang sekolah lakukan untuk anak-anak kita. Karena secara sadar kita memasukkan mereka ke sekolah itu, berarti kita menyetujui setiap jengkal kurikulum yang diterapkan oleh para guru. Termasuk semua itikad baik yang diupayakan sekolah untuk membentuk mental anak-anak kita. Jika memang kita banyak mengeluh, merasa tidak cocok, bisa jadi memang sistem sekolah tersebut tidaklah cocok dengan kita. Berarti sudah waktunya menelaah kembali bagamaina visi pendidikan kita sesungguhnya? Benarkah sudah tepat semua yang kita pilihkan ini?

Kemudian, perihal memiliki nilai yang sejalan dengan sekolah adalah kunci penting lainnya. Minimal sekali harus punya pemahaman yang merata di antara semua guru. Dengan demikian, sistem yang dibawa oleh sekolah akan bisa diterapkan dengan baik pada praktiknya. Setiap guru memiliki jiwa dan semangat yang sama untuk menularkan ilmu-ilmu tersebut kepada anak-anak. Tidak ada perbedaan, termasuk disonansi yang dapat mengganggu pemahaman anak-anak. Oleh karena itu, setidaknya sekolah harus punya sistem matrikulasi atau pendidikan khusus yang harus dimiliki setiap guru, sebelum mereka terjun mengajar.

Selanjutnya, pendidikan yang berkelanjutan, mengapa ini menjadi penting?

Kita bisa berkaca pada diri sendiri saja. Seberapa banyak kita harus mengulang sebuah ilmu agar ilmu itu terus melekat dalam diri. Bahkan sebagai orang tua kita harus terus belajar agar mampu memberikan contoh bagi anak-anak. Oleh karena itu, guru pun demikian. Mereka harus terus belajar menambah ilmu, agar keilmuan yang disampaikan kepada anak-anak menjadi lengkap dan mendalam.

Pertanyaan selanjutnya, adakah sekolah demikian?

Alhamdulillah, kami dipertemukan dengan sekolah yang menyajikan semua itu. Hadirnya guru yang terus dijaga niat, nilai, pengetahuan, dan motivasinya dalam membersamai anak-anak kami. Jika bicara fasilitas fisik, tentu jauh sekali sekolah ini dari harapan. Namun, semangat untuk mengembalikan fasilitas ini kepada tempat seharusnya, itulah yang membuat kami memilih sekolah ini.

Jika ada yang mendatangi tempat ini, tentu akan berpikir, benarkah ini sebuah sekolah?

Akan tetapi, kami yakin bukan fasilitas fisik yang membuat anak-anak menjadi gemilang. Melainkan sistemnya, guru-gurunya, ruh yang terus ditiupkan berbarengan dengan semangat untuk menerapkan adab dan iman dengan sebaik-baiknya. Dari situ kita bisa paham, sekolah bukan dimulai dari sesuatu yang fisik, melainkan kesungguhan hati. Keinginan kita menyajikan pendidikan terbaik dimulai dari guru-guru yang mumpuni.

Jadi, mari berkaca kembali, sudahkah kita memilihkan sekolah anak-anak berdasarkan guru yang memberikan mereka ilmu? Bukan semata fasilitas fisik semata.

Mempersiapkan Anak Menuju Dewasa

Hari ini mendapatkan sebuah kesempatan yang luar biasa. Padahal tidak ada niatan mendengarkan kajian apapun selain dari Radio Rodja kesayangan, tiba-tiba sebuah tautan dikirimkan oleh ibu dari teman sekelas Si Sulung. Alhamdulillah, ternyata tautan kajian dengan narasumber Ustadzah Poppy, salah satu favoritku. Awalnya sempat ragu untuk ikut kajiannya, apalagi temanya adalah seputar menyiapkan anak yang mau beranjak dewasa. Dipikir, anak-anak kan masih kecil, masih jauh dari usia dewasa. Namun, seperti ada yang mendorong akhirnya masuk juga ke ruang meeting-nya.

Benar saja, selama dua jam lebih mendengarkan kajian itu, emosi yang hadir sungguh campur aduk. Sempat merasa sedih ketika sedang membicarakan orang tua. Sempat juga merasa khawatir karena membahas perilaku dahulu saat mengasuh anak-anak saat bayi. Sempat juga merasa bersemangat karena mendapatkan tambahan ilmu. Belum lagi ada beberapa pernyataan Ustadzah Poppy sampaikan ternyata sejalan dengan pemikiranku. Sampai-sampai inginnya langsung bertemu beliau dan mengutarakan kegundahan hati ini demi mendapatkan setitik pencerahan.

Meskipun temanya adalah membahas persiapan apa yang harus dimiliki orang tua saat anak mau memasuki usia dewasa, tetap saja bahasannya terasa menyeluruh. Tidak terkotak-kotakkan secara kaku. Tetap ada sangkut pautnya pembahasan tentang masa kecil si anak, terutama tiga peran utama ibu: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Bagaimana ketika proses ini adalah bagian dari proses pengasuhan yang seringkali terlewatkan.

Pembahasan ini mengingatkan kembali dengan kajian parenting nabawwiyah setahun lalu, yaitu saat pertama kali mendengarkan kajian Ustadzah Poppy tentang ketiga peran perempuan ini. Bagaimana pengaruh dari proses mengandung, melahirkan, dan menyusui ternyata berpengaruh besar pada proses perkembangan kepribadian anak. Mungkin aku merasa nyambung sekali karena memang dalam psikologi sendiri disebutkan bahwa kondisi anak pasca dilahirkan amat dipengaruhi oleh kondisi ibunya saat hamil.

Ternyata dalam Islam, tidak hanya berhenti ketika hamil. Perkembangan kepribadian anak juga ditentukan dalam proses melahirkan maupun menyusui, bahkan sampai menyapih. Karena semua kegiatan ini disebutkan dalam Al-Qur’an artinya memang ketiganya punya nilai lebih atau hikmah yang telah Allah swt siapkan. Tugas kita adalah memahami bahwa ketiga kegiatan ini memiliki peranan penting dalam pengasuhan anak.

Misalnya saja, seringkali kita mengeluh anak kita sulit menuruti kita. Ternyata ini besar kaitannya dengan proses menyusui. Dalam Al-Qur’an proses menyusui memiliki makna menyusui langsung. Artinya bukan tentang memberikan ASI, melainkan bagaimana seorang ibu menyusui anaknya. Bagaimana ibu melakukan interaksi dengan sang anak dalam proses tersebut. Proses menyusui saat ibu-anak saling bertatapan, saat itulah ikatan antara keduanya hadir. Ini diaminkan oleh teori psikologi yang menyatakan ikatan antara ibu-anak lebih baik pada yang menyusui secara langsung.

Ketika dasar ini saja tidak kita lakukan, maka bagaimana mungkin kita berharap anak yang sudah tumbuh besar akan memiliki kedekatan bahkan mendengarkan kita. Karena semenjak kecil memang tidak ada ikatan antara kita dan dia.

Namun, satu pernyataan yang lebih penting dari semua pengetahuan yang beliau sajikan, yaitu tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki. Artinya kita boleh saja menyesali kekeliruan kita di masa lalu. Ada saja hal yang kita luput lakukan sepanjang proses pengasuhan anak kita. Namun, Allah swt begitu pemurah masih memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki semuanya. Selagi kita masih diberi kesempatan untuk hidup, berinteraksi dengan anak-anak kita, artinya masih ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan itu.

Bagaimanapun kita memang manusia yang memiliki kelemahan. Sering khilaf dan melakukan kesalahan. Namun, yang butuh kita lakukan adalah tidak berlama-lama dalam kesalahan tersebut. Ketika sudah mengetahui ilmunya, berarti kita memiliki kewajiban untuk segera menerapkan ilmu itu. Meskipun demikian, ada satu catatan, jangan terjebak dalam kesempurnaan. Merasa gagal ketika ada satu saja celah yang membuat kita tidak bisa mengikuti teori secara sempurna. Ingatlah bahwa ada Allah swt yang akan melengkapi semua. Oleh karena itu, kewajiban kita terakhir adalah mendoakan agar Allah meridai kondisi anak kita apapun itu.

Berhentilah membuat target karena anak-anak bukanlah robot. Bersyukurlah atas setiap pencapaian yang dimiliki anak, terpenting apa yang ia capai itu diberkahi oleh Sang Pencipta. Karena akan sia-sia jika ia memiliki hapalan yang banyak, ternyata itu hasil dari paksaan, sehingga tidak ada keberkahan di dalamnya.

Poin lain yang sangat penting dalam menyiapkan anak memasuki usia dewasa adalah menempatkan diri kita sebagai teman diskusinya. Yap, berhenti mengomel lalu mulailah berdiskusi dengan anak-anak. Ingat, berdiskusi bukan diakhiri dengan keharusan mereka harus menjalankan keinginan atau pemikiran kita. Mau seperti apapun, anak telah berkembang menjadi individu yang memiliki kemampuan berpikir sendiri. Artinya mereka memiliki hak untuk memikirkan apa yang terbaik untuk diri mereka. Tugas kita sebagai orang tua hanyalah sebagai supervisi yang mengingatkan, bukan mengatur apalagi memaksakan kehendak kita.

Memberikan kesempatan untuk berdiskusi mungkin tidaklah gampang. Selama ini kita tidak terbiasa untuk melakukannya dengan orang tua kita. Akan tetapi, lagi-lagi bukankah kita hadir di sini untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik. Jadi, terus belajar untuk mendengarkan lalu memberikan kesempatan adalah kunci terbaik yang bisa kita lakukan sebagai orang tua. Agar kelak saat kita sudah menua, mereka merasakan bahwa kita sebagai orang tua adalah sosok yang memberikan mereka kesempatan untuk berkembang. Kita adalah orang tua yang memberikan kenyamanan bagi mereka sehingga akan dibalas dengan kebaikan yang setara.

Satu kunci terpenting lainnya adalah sebelum memasuki masa dewasa itu, anak-anak haruslah kuat keimanannya yang dipupuk pada usia 2-5 tahun. Mengenalkan bahwa Allah adalah satu-satunya yang menentukan segala sesuatu di semesta ini. Dengan demikian, saat masa pencarian di waktu dewasa keimanan itu sudah melekat dalam hati.

Karena apalagi sesungguhnya yang kita inginkan pada anak-anak kita, selain mereka yang berjalan di jalan Allah dengan selurus-lurusnya. Hidup mereka (maupun kita) yang begitu singkat ini akan begitu sia-sia ketika tidak dihabiskan untuk mendekat kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mendapatkan kasih sayang-Nya.

Jadi, mulailah membuka diri, memperbaiki diri, menjadi orang tua tempat mereka kembali, yang tak ragu menjadi tempat berdiskusi.

Biarlah Allah yang Menjaganya

Titipkanlah anak kepada sebaik-baiknya penjaga.

Satu kalimat itu sudah cukup untuk merangkum kekhawatiranku terhadap masa depan anak. Meyakinkan bahwa sebagai orang tua pada akhirnya kita tidak bisa menjaga anak selama 24 jam. Begitu pula memastikan masa depannya seperti keinginan kita. Bagaimanapun, tetap saja orang tua adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Inderanya terbatas, maka kemampuannya untuk menjaga secara penuh seorang anak tidaklah mungkin.

Namun, tidak menutup mata segala sesuatu yang terjadi pada anak selalu dikaitkan dengan orang tuanya. Bagaimana ia menjaga, merawat, dan mendidik mereka, berkaitan dengan tumbuh kembang anak itu hingga ia dewasa. Contohnya, ketika orang tua terlalu memanjakan anak semenjak kecil, tidak memberikan peluang yang banyak untuk anak mengembangkan keterampilannya, maka di usia dewasa sang anak mengalami kesulitan karena tidak terlatih pada keterampilan tertentu. Akibatnya, berpengaruh pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri di lingkungan, baik sekolah maupun pekerjaan, bahkan pernikahan.

Meskipun demikian, tetap saja ada sesuatu yang berada di luar kuasa orang tua. Sebagai makhluk mereka memiliki takdir yang telah Allah tetapkan. Maka, ketika sebuah musibah terjadi itu sudah bukan lagi di dalam kuasa orang tua. Saat orang tua sudah berupaya menjaga sebaik mungkin, melakukan proteksi maksimal yang bisa dilakukan, tetap saja ada khilaf yang menyebabkan sebuah keburukan terjadi. Kalau begitu, apakah memang artinya kita adalah orang tua ceroboh yang tidak becus menjadi orang tua karena telah membiarkan anak kita kesakitan?

Terjebak Mindset Kesempurnaan

Banyaknya ilmu mengenai pengasuhan saat ini membuat sebagian besar orang tua semakin menyadari pentingnya pola pengasuhan yang baik bagi anak-anak. Namun, ternyata ada sisi buruk yang hadir akibat banyaknya informasi yang berseliweran itu, yaitu keinginan untuk memberikan pengasuhan yang “sempurna” bagi anak-anak mereka.

Membuat para orang tua ini sibuk mengoreksi diri terus-menerus ketika perilakunya di luar teori pengasuhan. Mulai merasa resah jika ada saja detail kecil pengasuhan yang tertinggal, sehingga menghakimi diri sendiri ketika melihat anak mulai menunjukkan perilaku di luar harapan. Ujung-ujungnya menyesali ketika anak berada di luar koridor yang seharusnya.

Sebenarnya tidak salah juga ketika kita ingin memberikan pengasuhan terbaik kepada anak-anak. Dengan catatan, kita memang berusaha belajar, memahami, dan berusaha menerapkannya dengan upaya sebaik-baiknya. Namun, tetap harus berpegang pada prinsip, do our best, let’s Allah do the rest. Kita tetap saja tidak bisa menafikkan, di luar usaha yang sudah kita lakukan, Allah punya ketentuan-Nya yang tidak bisa kita elakkan.

Tentu saja terlalu berpasrah pun tidak baik. Menyerahkan anak dalam perlindungan-Nya, tetapi tidak memberikan bekal kebaikan yang diperlukan, itu pun tidaklah tepat. Bagaimanapun mengasuh anak adalah sebuah seni. Kita butuh berkreasi untuk tahu batasan urusan kita sebagai manusia, kapan memang harus mengencangkan usaha, kapan butuh memasrahkan diri atas kehendak-Nya.

Seringkali kita terlalu condong kanan dan ke kiri. Terlalu banyak usaha, sampai tidak terima kalau ada keburukan menimpa anak, sehingga menyalahkan diri atau lebih parahnya menyalahkan Allah atas semua itu. Sebaliknya, terlalu pasrah, sehingga lupa kalau ada andil kita untuk mendidik anak-anak agar mereka bisa memiliki sikap yang baik kepada manusia lain maupun kepada Allah swt.

Demi menemukan jalan tengah dalam usaha dan kepasrahan ini kita tidak bisa menggunakan pola pikir yang kaku. Apalagi sifat perfeksionis. Sesungguhnya kehidupan itu bukan hanya sekadar hitam-putih, sebuah sebab akibat yang cuma punya satu faktor. Kalau kita melakukan ini, hasilnya pasti itu. Tidak demikian. Kehidupan adalah percampuran antara beragam faktor-faktor yang terjadi pada satu garis masa tertentu. Faktor-faktor itu tidak hadir dengan sendirinya, melainkan sebuah hasil dari banyaknya kejadian lain yang berada di luar kendali kita sebagai manusia.

Artinya, sebagai orang tua kendali kita terhadap kehidupan anak itu hanya sekian persen. Lalu, mengapa kita menuntut untuk menjadi sempurna dalam mengasuh anak?

Sebagai ilustrasi, siapa yang bisa menjamin ketika anak semenjak kecil diberi yang paling baik, seperti susu formula terbaik, vitamin terbaik, makanan terbaik, maupun sekolah terbaik, saat dewasa nanti mereka pasti akan menjadi individu terbaik?

Memang secara penelitian, susu terbaik, vitamin terbaik, dan apapun yang katanya terbaik itu memberikan peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin kalau anak kita termasuk ke dalam batas normal dalam penelitian itu?

Anak bukanlah robot yang ketika diprogram akan menghasilkan perilaku seperti program yang dimasukkan. Anak adalah makhluk hidup. Mereka manusia ciptaan Allah, yang bisa membuat program melebihi kemampuan manusia dalam menciptakan robot. Allah yang telah memprogram anak kita, sehingga siapa kita yang hanya manusia ini, sehingga bisa mengendalikan anak-anak itu?

Allah Sebaik-baik Penjaga

Itulah alasan harus menyematkan doa dalam tiap proses pengasuhan anak kita karena hanya Allah yang mampu menjaga anak-anak di luar kuasa kita sebagai orang tua. Ruang gerak orang tua yang terbatas, akan membuat ada banyak kejadian di luar perkiraan yang bisa terjadi. Oleh karena itu, jika usaha terbaik sudah dilakukan, maka biarkan Allah yang menjaga anak untuk kita.

Lalu, apakah tidak boleh ketika kita bermaksud menjaga anak kita dengan memberikan perlindungan tingkat tinggi kepadanya?

Bukannya tidak boleh. Namun, ketika memberikan perlindungan itu akan membatasi ruang gerak anak, apakah itu baik?

Sebagai orang tua merasa khawatir dan cemas itu adalah sebuah kewajaran. Walau bagaimanapun mereka tetap anak-anak yang kita sayangi. Akan tetapi, menempatkan anak dalam kerangkeng emas, apakah itu akan memberikan kebaikan pada anak juga?

Kekhawatiran yang membuat mereka akhirnya tidak diperkenankan mencoba hal-hal baru. Kecemasan yang membuat mereka akhirnya ikut merasakan kecemasan itu juga. Apakah itu akhirnya bermanfaat?

Jika memang kita merasa cemas saat anak melakukan hal baru yang menurut kita berbahaya, maka bisa dampingi dan awasi. Biarkan mereka merasakan, mana yang memang membuat khawatir dan cemas. Mana yang ternyata ketika dijalani, dengan kehati-hatian, mereka bisa melewatinya.

Sesederhana anak yang naik-turun tangga. Jiwa eksplorasi yang membuat mereka terus mencobanya. Kalau selalu dilarang, kapan mereka akan belajar tentang naik-turun tangga?

Dalam sebuah seminar yang dibawakan oleh Kang Asep, beliau pun mengungkapkan hal yang sama. Anak-anak saat ini mudah merasa cemas, khawatir, terlalu over thinking karena semenjak kecil meniru kekhawatiran itu dari orang tuanya. Ketika para orang tua banyak melarang, tetapi tidak memberikan penjelasan alasan larangan itu. Bukannya memberikan kesempatan dengan pendampingan, malah memutus rangkaian eksplorasi anak karena terlalu takut atau khawatir.

Kembali lagi, kita harus pandai memainkan seni pengasuhan itu. Agar rasa cemas kita berganti menjadi sesuatu yang produktif. Dalam artian, memberikan anak kesempatan untuk berpetualang, tetapi dalam koridor yang benar. Tetap memberikan kesempatan, tetapi dengan pendampingan yang bisa membuat mereka tetap merasa aman ketika menjalaninya.

Orang tua harus pandai memainkan peran-perannya, baik itu sebagai pemimpin, pengajar, pendidik, maupun sebagai fasilitator. Terkadang kita juga menjadi teman, pendengar, dan pemberi semangat. Peran-peran itu harus fleksibel agar anak bisa merasa terjaga dengan baik.

Jikalau kita melakukan kesalahan, maka minta jualah penjagaan kepada-Nya. Mintalah kepada Allah agar menjaga hati anak-anak kita agar tetap baik-baik saja. Meskipun mungkin kita pernah melakukan keburukan pada mereka.

Karena Allah adalah sebaik-baiknya penjaga, Allah sebaik-baiknya pelindung.

Mengikat dengan Iman, Bukan Nasab

pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.

(QS ‘Abasa: 34-36)

Bisa terbayangkan, ketika nanti di akhirat, kita merasa sangat khawatir, menjadi orang yang berlari dari saudara, orang tua, pasangan, maupun anak kita. Karena takut akan dituntut atas kekurangan kita selama berada di dunia. Apakah kita termasuk menjadi sosok yang akan seperti itu?

Kajian Tadabbur Ummahat dari sekolah Si Sulung mengulas tentang hal ini. Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi individu yang demikian. Individu yang sibuk mencari-cari cara agar mendapatkan kebaikan di akhirat nanti, padahal semua sudah terlambat.

Nyatanya dari ayat ini dijelaskan bahwa hubungan nasab tidaklah berarti apa-apa di hari perhitungan nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut, kita akan kabur dari saudara, dari orang tua, bahkan dari pasangan maupun anak-anak yang selama ini kita hidup bersama-sama. Menjadikan kita dan keluarga tercerai-berai karena sibuk mengurusi diri sendiri. Begitulah ciri kita yang merugi di akhirat kelak.

Lalu, bagaimana caranya agar kita tetap bisa berkumpul bersama keluarga di sana nanti? Padahal nasab tidaklah berpengaruh.

Ustaz Ali Markan menjelaskan sebagai orang tua hendaknya kita membekali anak-anak dengan bekal yang sesungguhnya. Secara umum, orang tua akan membekali anak dengan tiga hal: kebutuhan fisik, akal, dan jiwa.

Kebutuhan fisik berupa pakaian, makanan, rumah, mainan, dan semua benda yang biasanya selama ini kita perjuangkan untuk diberikan kepada anak-anak. Bagaimana kita mencoba memberikan semua yang terbaik perihal urusan fisik ini. Memberikan susu terbaik, makanan terbaik, mainan terbaik. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan orang-orang non-muslim jika kita sebagai orang tua muslim hanya berusaha, bekerja untuk memberikan kebutuhan fisik ini saja.

Ada beberapa syarat tentunya agar kebutuhan fisik ini tidak menjadi sia-sia, yaitu memberikan makanan yang halal dan toyyib kepada anak-anak kita. Pemberian makanan yang memang terjaga keberkahannya akan memudahkan anak-anak untuk semakin mendekat kepada-Nya, baik dalam beribadah dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang tidak baik. Sebab, makanan itu nantinya mengalir dalam darah kita, menjadi penentu bagaimana kita melakukan aktivitas keduaniawian, apakah sesuatu yang berkah atau tidak.

Seperti yang dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, Ustaz Ali Markan menjelaskan bahwa jika kita merasa belum baik secara perilaku, maka harus dilihat makanan kita selama ini. Jangan-jangan selama ini kita tidak menjaga asupan makanan bagi keluarga kita. Dengan demikian, bukan sebuah kebaikan yang hadir, malah sebaliknya. Sebab, makanan yang baik akan membuat kita makin mensyukuri nikmat-Nya dan makin mendekatkan hati kita kepada Allah semata.

Kedua, kebutuhan akal, yaitu ilmu. Ustaz Ali Markan menekankan pada ilmu yang selama ini kita berikan kepada anak-anak kita. Sudah benarkah ilmu yang selama ini kita ajarkan kepada anak-anak. Selama ini kita rela menggelontorkan banyak uang agar anak mendapatkan pendidikan terbaik dalam urusan ilmu duniawi. Maka, bagaimana dengan ilmu agama?

Kembali beliau menanyakan, apa bedanya kita dengan para non-muslim, jika hanya sibuk memberikan ilmu duniawi kepada anak-anak, tetapi melupakan ilmu akhirat? Bagaimanapun, tetap saja kita harus membekali anak-anak dengan ilmu yang bermanfaat, manfaatnya bukan hanya untuk dunia, tetapi untuk akhirat kelak.

Mungkin ini juga yang kemarin membuat aku memutuskan untuk kembali mengulas, apakah butuh anak-anak diajarkan sains sedemikian dalamnya semenjak dini. Bukan berarti mengenyampingkan ilmu duniawi satu ini. Akan tetapi, muncul pertanyaan, apakah ketika nanti aku meninggal dunia, anak-anak memang membutuhkan ilmu ini untuk kehidupannya?

Tentu saja, jawabannya bisa ya dan tidak. Ya, ketika memang berkaitan dengan pekerjaannya di dunia. Akan tetapi, apakah mereka akan menjadi anak-anak baik yang menjadi ladang pahala selepas kita pergi? Padahal tiga pokok amal jariyah, amalan yang tak akan terputus meski kita meninggal dunia adalah anak yang salih. Menjadikan anak salih artinya membuat mereka memahami ilmu-ilmu agama karena doa-doa merekalah yang akan sampai kepada kita yang sedang berada di alam kubur.

Pertanyaan lainnya, apakah ilmu itu bermanfaat adalah dengan merenungi, setelah meninggal dunia apakah ilmu yang kita pelajari itu akan bermanfaat di alam kubur maupun akhirat kita? Cobalah kembali renungi, perlukah semua ilmu yang kita pikir amat penting itu dalam membantu kita untuk kembali mendekat kepada-Nya, menjadi penerang kita di dunia selanjutnya. Sebab, ilmu yang bermanfaat akan membuat kita makin mencintai Ia, bukan malah menjauh dari-Nya.

Ternyata kebutuhan terpenting adalah kebutuhan jiwa. Kebutuhan jiwa ialah tentang bagaimana kita mengajarkan tauhid kepada anak-anak kita. Bagaimana mereka bisa menjaga keimanan, bahkan selepas kita tiada. Ternyata ketika nasab tidak bisa mengikat kita dengan anak-anak dan keluarga kita, hanya keimanan ini yang bisa tetap menjaganya.

Lewat kebutuhan jiwa yang terjaga, maka di sanalah kita bisa menemukan senyum yang berseri-seri di hari nanti. Merasa bahagia karena telah mampu menjaga keluarga kita dalam satu bendera tauhid, yaitu keimanan kepada Allah semata. Kebutuhan inilah yang akan bermanfaat untuk dunia maupun akhirat kelak.

Walaupun harus bersusah-payah dalam menanamkan tauhid ini kepada keluarga, percayalah bahwa kesulitan itu akan dibalas Allah dengan rasa bahagia tidak terkira di hari nanti. Saat kita bersama keluarga bisa berkumpul dan bertemu dengan Allah.

Jadi, sudahkah memberikan pendidikan yang memang bisa mengikat keluarga kita di akhirat kelak? Bukan semata memberikan kebutuhan fisik dan akal. Akan tetapi, sudahkah jiwanya kita penuhi dengan ketauhidan kepada Allah swt. semata?