Aku masih ingat ketika pertama kali program Hafidz Cilik ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta. Rasa mengharu-biru hadir ketika mendengarkan anak-anak yang masih belum baligh itu melafaskan dengan mudah ayat-ayat Al-Qur’an. Rasanya begitu indah dan sejuk. Apalagi dengan suara anak-anak yang demikian lembutnya, setiap ayat terasa begitu menyentuh ketika didengarkan.
Setelah program itu pula sepertinya menjadi hafidz mulai menjadi salah satu yang dicita-citakan anak-anak. Tak ketinggalan ada banyak orang tua yang juga menginginkan anaknya untuk menjadi seperti mereka, anak-anak yang tampil di tayangan itu. Aku sendiri sempat merasa iri melihat anak-anak kecil yang masih belia itu bisa dengan lancarnya melafazkan ayat-ayat Al-Qur’an karena sampai usia mendekati 40 tahun saja juz 30 pun aku belum selesai.
Sejak itu, aku mungkin menjadi salah satu orang tua yang berharap anaknya menjadi seorang hafidz. Menjadi sosok yang bisa mengamalkan, tidak hanya melafalkan ayat-ayat suci itu. Sebuah cita-cita yang mungkin rasanya jauh sekali saat itu karena aku masih belum menikah dan belum memiliki anak tentunya. Namun, rasanya gejolak untuk mendekatkan diri pada Islam lebih dalam serta melahirkan anak-anak yang berjalan di jalan-Nya yang lurus adalah sebuah impian.
Hingga tiba ketika tujuh tahun lalu Allah karuniakan kami anak. Sejak ia lahir kami dawamkan untuk memberikan pendidikan Islam secara maksimal. Untuk itulah memilih sekolah yang memberikan pendidikan Islam sebagai ajaran utama adalah yang utama. Sampai bertemu dengan sekolah yang sesuai dengan kriteria dan cita-cita kami itu, semua terasa dimudahkan oleh Allah Swt.
PR-nya tentu ada pada kami, sebagai orang tua yang tidak memiliki latar pendidikan pesantren, membiasakan anak-anak untuk menjadi seorang penghapal Al-Qur’an tentu butuh usaha keras. Bukan hanya anak-anak yang harus dibiasakan dan menghapal, kami orang tuanya pun butuh banyak perbaikan. Satu per satu kami coba perbaiki sebagai usaha untuk menemani anak-anak secara maksimal ketika harus berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Namun, lagi-lagi Allah itu Maha Baik. Rasanya masih jauh usaha ini, Ia telah hadiahkan kami sebuah kebaikan setelah dua tahun Si Sulung belajar di sekolahnya. Salah satu milestone sudah ia lewati sebagai awal pembuka jalan untuk menghapal tiap ayat-ayat Al-Qur’an, menyelesaikan hafalan juz 30. Alhamdulillah, Si Sulung mencapainya.
Saat mendengarkan lantunan yang keluar dari mulutnya, rasanya aku banyak berefleksi tentang apa yang telah dilakukan selama ini saat membersamai anak-anak. Betapa sebagai pendidik, aku masih jauh dari kebutuhan anak-anak. Masih suka lalai, suka abai, ada kalanya malah menggampangkan. Meskipun demikian, ternyata Allah kasih banyak kemudahan. Ia begitu banyak memberikan anugerah tak terhingga itu kepada kami, sehingga rasanya aku merasa malu karena tidak berusaha sampai titik maksimal untuk mendampingi jalan mereka menjadi seorang hafidz.
Terlepas dari itu, rasa haru tidak bisa lepas setiap kali ayat itu terlantun dengan baik. Rasanya tak percaya kami sampai di titik ini, sebuah titik yang dua tahun lalu rasanya masih mimpi. Sebuah titik yang dua tahun lalu kami hanya bisa berdecak kagum ketika para orang tua lain mendampingi anak-anaknya mentasmi’kan hapalan juz 30-nya. Sebuah titik yang membuatku merasa ragu, mampukah untuk terus mendampingi anak-anak dengan benar sampai mereka menyelesaikan semuanya.
Akhrinya, ketika hari ini datang, aku tidak bisa lepas dari rasa syukur. Memperbanyak hamdalah dan istighfar sebagi bentuk rasa syukur kepada Allah yang tiada terkira. Lagi-lagi karena semua ini berkat bantuan-Nya saja. Semua ini berkat Ia yang telah memberikan jalan kebaikan untuk kami semua. Semua ini hanyalah titik untuk menyadarkan kami agar tak lama lalai dalam tugas kami sebagai orang tua.
Orang Tua Berusaha, Allah yang Memudahkan
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ghazali:
Kalau anak itu dibiasakan dengan kebaikan dan diajarkan kebaikan, maka ia akan tumbuh dalam kebaikan. Tapi kalau dia tumbuh dalam keburukan dan pengabaian sebagaimana diabaikannya hewan-hewan ternak, maka ia akan sengsara dan binasa.
Kita memegang kendali, mau dikemanakan anak-anak ini. Bukan sekolah, bukan pula lingkungan. Melainkan kita sebagai orang tua yang memilihkan jalan, apakah kebaikan atau keburukan yang diajarkan kepada mereka. Dalam ilmu parenting psikologi pun akhirnya ada satu kesimpulan, semua tergantung pada bagaimana orang tua mengasuh. Maka, tidak ada yang bertentangan di antara keduanya.
Sudah tugas kita sebagai orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak-anak, mengajarkan adab, akhlak yang baik, serta menjaganya dari teman/pengaruh lingkungan yang buruk agar mereka terjaga fitrahnya. Terawat bukan hanya fisiknya, melainkan juga hatinya yang dipenuhi keimanan kepada Allah. Jangan merawat anak seperti merawat hewan ternak, hanya dengan memenuhi kebutuhan fisik dan nafsunya, tetapi tidak diiringi pengajaran untuk mengembangkan akal dan hatinya.
Meskipun demikian, terlepas dari semua usaha kita, tetaplah Allah yang bisa memudahkan semua urusan kita dalam mendidik anak. Bukan kekuatan kita yang membuat mereka menjadi baik, penurut, atau penghapal Al-Qur’an. Semua itu karena Allah yang mengizinkan semuanya. Tanpa perlindungan dan izin-Nya, tentu tidak mungkin anak-anak kita terus berada dalam kebaikan.
Sekali lagi, momen haru ketika mendengarkan Si Sulung melantunkan ayat bukan karena aku merasa sudah mendapatkan hasil dari usahaku sebagai orang tua. Sebaliknya, itu adalah haru karena Allah Swt. telah demikian baik kepadaku selama ini. Atas semua berkah-Nya untuk kehidupanku, padahal aku sendiri masih jauh dari sosok orang tua terbaik.
#writober2023 #haru #RBMJakarta #IbuProfesional