Bebas Tanggungan, Mungkin Gak Sih?

Setelah memasuki usia dewasa terasa sekali begitu banyak tanggungan yang harus dipikul. Mulai dari membiayai diri sendiri, kalau sudah ada keluarga, maka pasangan dan anak menjadi tanggungan yang harus didahulukan. Belum lagi jika ada anggota keluarga lain yang membutuhkan bantuan untuk ditopang dari sisi finansial. Kalau begitu, kapan kita bisa bebas tanggungan?

Di pertengahan bulan Ramadhan kemarin rasanya senang sekali bisa kehadiran sebuah buku yang demikian apiknya mengangkat tema “Sandwich Generation”. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang teman di Komunitas Ibu Profesional, Mba Reytia. Awalnya, buku ini tidak sengaja hadir di linimasa IG karena memang sudah lama aku tidak melakukan interaksi dengan Mba Rey. Kebetulan sekali di bulan puasa itu Mba Rey baru saja launching buku barunya yang berjudul “Bebas Tanggungan.”

Sekilas membaca sinopsis dan promosi yang dilakukan oleh Mba Rey, aku tertarik untuk membacanya. Apalagi isu tentang generasi roti lapis ini sempat menghangat akhir-akhir ini, sehingga ada rasa tergelitik untuk membaca buku yang mengangkat isu ini. Sebagai seorang praktisi psikologi, fenomena tentang roti lapis ini sebenarnya sudah lama hadir. Pernah aku jelaskan juga di salah satu tulisanku di sini. Jadi, kali ini aku ingin tahu bagaimana sudut pandang dari seorang penulis lain mengangkat isu ini.

Alhamdulillah, aku merasa puas sekali setelah membaca buku ini. Mba Reytia berhasil mengeksekusi dengan baik tentang isu ini dan bisa menyelipkan banyak sekali pesan yang bisa digunakan pembaca untuk menyikapi fenomena generasi roti lapis ini.

Ceritanya cukup sederhana. Tentang Safira, seorang karyawan e-commerce dengan gaji dua digit, tetapi memiliki kehidupan serba pas-pasan di kota Jakarta karena harus menanggung beban utang ayahnya yang mendadak meninggal akibat Covid-19. Belum lagi ia harus ikut membiayai adiknya yang masih kuliah di jurusan Arsitektur yang membutuhkan banyak biaya.

Menariknya, dari satu permasalahan ini, ada alur-alur cerita di luar dugaan yang memberi bumbu pada dinamika ceritanya. Jadi, meskipun isu utamanya adalah tentang mencoba menghadapi kehidupan sebagai seorang “sandwich generation” ada isu-isu psikologi lain yang juga diangkat dan mampu dieksekusi dengan baik. Kesannya tidak ada pemaksaan dari tiap adegan sampai akhirnya cerita ini selesai dengan akhir yang tak disangka.

Buat yang suka romansa, tenang saja ada cerita romansa tipis-tipis di buku ini sebagai bumbu yang pas. Sebagai seseorang yang sudah jadi ibu saja, aku masih senyum-senyum saat baca adegan-adegan romansanya. hehehe.

Tertarik beli? Silahkan langsung ke gramedia apps atau hubungi penulisnya langsung via IG-nya.

Sandwich Generation, Hidup yang Harus Dijalani

Bersyukurnya juga adalah aku bisa ambil bagian dalam launching buku ini secara langsung di Gramedia Grand Indonesia. Mba Rey memintaku menjadi narasumber yang membahas tentang isu roti lapis ini dari sudut pandang psikologi. Jadilah akhirnya hari Sabtu, 27 April 2024 pukul 14.00 WIB kemarin acara “Book Talk: Bebas Tanggungan, Accepting Life as Sandwich Generation” diadakan.

Diskusinya berjalan seru sekali. Diskusi yang hangat bareng Mba Rey dan MC membuat banyak hal yang aku dapatkan juga sebagai seorang praktisi. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin memang sudah banyak beredar di kalangan awam, sehingga bisa jadi perhatian tersendiri bagi kami sebagai praktisi.

Oiya acara ini menggandeng Kalibrasi Indonesia, Hub yang sedang coba aku bangun untuk memberikan pelayanan psikologi kepada masyarakat berlandaskan ilmu psikologi dan agama Islam. Jadi, ini seperti momen yang baik untuk memperkenalkan tentang layanan psikologi juga apalagi ada beberapa pertanyaan juga terkait dengan hal tersebut.

Salah satu poin yang ditekankan dalam diskusi adalah menjadi generasi roti lapis adalah bagian hidup yang harus dijalani. Tidak selamanya kita bisa menghindari kondisi ini, apalagi terus mempertanyakan alasan kita yang harus menanggung banyak beban itu. Pada akhirnya, menjadi generasi roti lapis merupakan satu bagian dari proses pendewasaan diri kita. Karena dalam prosesnya menjadi generasi roti lapis artinya kita harus menunda keinginan diri, memperhatikan orang-orang terdekat yang membutuhkan bantuan kita saat itu.

Tentu saja saat baru menjalaninya kita akan penuh kekagetan dan bisa jadi kemarahan. Namun, jangan biarkan emosi-emosi negatif itu berlangsung lama karena bisa menjadi sumber-sumber masalah lainnya. Jelas akan ada masanya kita merasa lelah atau bahkan sampai burnout, maka mencari pertolongan segera adalah langkah yang harus ditempuh.

Seperti judulnya, accepting life as sandwich generation, tahap pertama yang harus dilakukan adalah menerima dahulu kalau kita memang memiliki tanggung jawab selain menghidupi diri sendiri. Prosesnya tentu berbeda-beda bagi setiap orang hingga sampai di titik penerimaan ini. Namun, percayalah Allah tak akan memberimu sebuah ujian jika tidak bisa menjalankannya. Maka, maukah kita berproses melewati semua ujian ini agar bisa menjadi manusia dewasa yang lebih baik?

Terlepas dari itu semua, tak akan pernah kita ini benar-benar bebas dari tanggungan. Setelah satu tanggungan yang kita rasa berat, percayalah akan ada tanggungan lain yang menanti. So, nikmati saja agar diri ini tidak dipenuhi oleh emosi maupun pikiran negatif yang membuat kita jadi tak ikhlas untuk menjalaninya. Kalau memang masih belum bisa plong meski kewajiban terus berjalan, coba deh diproses dulu agar kita pun tak berat melangkah dan pahala kebaikan itu bisa penuh dimiliki.

So, semangat bagi kita yang menjalani kehidupan dengan banyak tanggungan. Hari di mana kita bebas menanggung semua itu adalah ketika kita menutup mata dan tak lagi bersama dunia. Tinggal maukah kita menjadikan tanggungan-tanggungan itu ladang yang besar untuk kita panen di akhirat kelak ataukah tidak. Semoga kita menjadi orang-orang yang terus bisa mengambil hikmah dari tiap tanggungan yang kita miliki di dunia. Semoga Allah mudahkan kita untuk menyelesaikan beban itu satu per satu lewat pertolongan-Nya yang demikian banyak di dunia ini.

Leave a comment