Jurnal Buncek #13 Kepompong 1: Berkata Baik atau Diam

Sekarang kita sampai pada akhir pekan pertama dalam tahap puasa di tahapan kepompong. Puasa adalah sebuah proses yang bisa membantu mengurangi batu sandungan demi mendapatkan tujuan. Karena tujuan belajarku yang utama kali ini adalah mengelola emosi terkait yang diajarkan dalam agama, maka aku memilih satu petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu berkata baik atau diam.

Mungkin kesannya agak jauh dari proses pengelolaan emosi. Namun, aku merasa makna dari berkata baik atau diam ini sungguh luas. Dengan selalu membatasi diri untuk terus berkata baik, kita akan mencoba untuk mengelola gejolak emosi dalam diri kita. Mengelola agar yang keluar dari lisan hanyalah hal-hal baik, setelah semua reaksi emosi itu diproses dengan baik di level kognitif.

Menjaga lisan agar hanya mengeluarkan kata-kata yang baik mengajarkan saya untuk terus mengendalikan diri. Mencoba mengambil sisi positif atas setiap kejadian yang terjadi. Terutama yang berkaitan dengan perilaku anak-anak dan pasangan. Jika memang tidak memungkinkan untuk berkata baik, senjata selanjutnya adalah diam. Berarti dengan melakukan satu kesatuan hadis ini saya punya dua senjata untuk meredam ekspresi emosi yang tidak pantas. Mau itu di saat marah, sedih, atau kondisi lain yang tidak menguntungkan.

Dalam puasa ini, saya tidak hanya mengandalkan diri sendiri untuk menjadi pengendali. Sebagaimana yang biasa dilakukan di industri/organisasi, kita melakukan penilaian 360 agar mendapatkan penilaian yang objektif dan adil. Kali ini aku meminta kepada anak-anak untuk turut serta memberikan penilaian terhadap perilakuku sepanjang hari.

Poin yang aku tekankan adalah marah-marah dan sedih yang berlebihan karena perilaku ini amat erat hubungannya dengan diriku yang berkata buruk kepada orang lain. Bantuan seperti apa yang mereka berikan?

Jadi, aku membuatkan lembar yang bisa diisi oleh anak-anak. Anak-anak diminta untuk menghitung dalam satu hari aku sudah marah-marah atau sedih yang berlebihan berapa kali, lalu menuliskannya di lembar tersebut. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mereka merasa ikut andil dalam mengawasi perilaku ibunya.

Oiya harus ada indikatornya, ya biar puasa ini dibilang sukses atau tidak. Ini indikator yang saya gunakan:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak ada perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.

Setelah mencapai kesepakatan dengan mereka, saya merasa lebih tenang untuk menjalani hari. Saat hari pertama saya merasa aman, nyaman, damai. Sampai akhirnya mendadak si sulung membuat saya kaget, sehingga saya meninggikan suara. Kejadian ini menjadi salah satu catatan penting dalam proses pengelolaan emosi saya. Ternyata, satu sumber yang bisa membuat saya meninggikan suara dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik adalah merasa kaget dan panik.

Pada hari-hari berikutnya saya menemukan kembali kejadian yang serupa. Saat itu, benar saja saya kesulitan untuk mengendalikan intonasi suara. Membuat si sulung jadi kaget dan merasa bersalah. Duh, kalau sudah begini tentunya harus banyak-banyak kembali melatih teknik-teknik relaksasi agar refleks yang muncul ketika panik atau khawatir berlebihan adalah tenang.

Maka, setelah tujuh hari menjalani, sebagian besar, setidaknya 80% saya cukup bisa mengendalikan diri untuk tetap berkata baik atau diam saja sepanjang hari. Hanya satu hari ketika saya merasa butuh meningkatkan kembali kesadaran agar mampu memberikan ketenangan dalam diri saat berhadapan dengan situasi tertentu.

Namun, secara garis besar hal-hal yang membuat saya sukses menjalani hari adalah ketika memulai hari dengan perasaan bahagia, menuntaskan pekerjaan (rumah tangga maupun pribadi), dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Oiya, satu lagi yang sempat terlupa dan tidak tertulis di lembar jurnal puasa adalah puasa gawai.

Saya menggunakan pengaturan Digital Wellbeing di ponsel. Mode Fokus membuat saya akhirnya memahami berapa banyak waktu yang dihabiskan bersama gawai selama ini. Hal inilah yang ternyata membuat pekerjaan saya selama ini tidak selesai. Dengan adanya mode fokus ini, saya hanya akan melihat pesan-pesan penting di aplikasi WA, lalu membalasnya. Karena waktu 5 menit yang disediakan amat terbatas jika kita harus memperhatikan tiap pesan yang masuk.

Pengaturan waktu untuk setiap aplikasi juga penting, karena akhirnya saya bisa mengatur, berapa kali saya bisa melihat aplikasi pesan, berapa lama saya bisa melihat aplikasi lainnya. Benar-benar untuk meningkatkan konsentrasi pada tugas-tugas sesungguhnya, yang selama ini terkadang terabaikan karena asyik dengan ponsel.

Yap, lanjut bersemangat untuk puasa yang sama di pekan kedua. Karena menurut saya, puasa ini harus terus dilakukan agar saya bisa terus konsisten menjalani proses pengelolaan emosi ini.

Nah, kali ini saya akan menyemangati buddy saya yang nun jauh di sana. Semoga tetap semangat dan sehat walau habis diterpa musibah. Semoga apa yang dituliskan dalam jurnal ini bisa membuat kita sama-sama saling mengintrospeki diri, lalu mengambil manfaat dari rangkaian prosesnya.

Semoga Allah membantu kita dalam misi kebaikan ini.

Leave a comment