Lelaki Pertama dalam Hidup

Siapa lelaki pertama yang menjadi idola dalam hidupmu? Lelaki yang bisa kamu nyatakan sebagai sosok yang kamu kejar, inginnya bisa menjadi seperti dia. Lelaki yang menjadi sosok pertama untuk tetap merasa kuat bertahan di kehidupan. Lelaki yang akan selalu mengisi ruang hati, dengan tempat paling istimewa.

Buatku dia adalah ayah.

Mungkin aku hanyalah satu dari banyak orang yang agak sulit untuk menceritakan tentang ayah. Bukan karena aku tidak menyukainya, melainkan karena belum ada momen yang membuatku bisa menceritakan tentang sosoknya. Namun, berkas-berkas ingatan yang aku miliki tentang dirinya adalah apa yang membentukku menjadi seperti sekarang.

Dari ayah aku belajar kesabaran. Dari ayah aku belajar tentang makna toleransi sesungguhnya. Darinya aku belajar bahwa Allah itu Mahabaik kepada siapa pun. Dari ayah, aku belajar apa pun yang bisa aku pelajari. Baik yang ia ajarkan langsung, hasil pengamatanku, serta hasil pembelajaranku dari kehidupannya.

Alhamdulillah, kali ini bisa menuangkan kisah ayah secara singkat dalam sebuah antologi yang diadakan oleh WIN. “Lelaki Terhebat itu Bernama Ayah” adalah judul dari antologi yang kali ini aku tulis, khusus untuk ayah.

Rasanya pas sekali, kemarin-kemarin sedang galau ingin bercerita tentang ayah. Tadinya mau nulis di blog saja, ternyata ada kesempatan untuk menulis di buku bersama ini. Yah, sebuah momen, sih menurutku. Alhamdulillah bisa kesampaian juga.

Ceritanya hanya singkat, berkisah tentang ayah yang selama ini jadi idola. Ya, idolaku semenjak kecil bukan tokoh-tokoh kenamaan, melainkan ayah sendiri. Bahkan saat menulis cerita ini aku membukanya dengan sebuah momen yang membuatku hanya bisa menyebutkan satu nama saat ditanya tentang siapa pahlawanku, “Ayah.”

Aku lahir saat ayah berusia 39 tahun. Ya, menuju usia 40 tahun. Momen-momen yang aku miliki hanya sekerjap saja, tetapi begitu bermakna. Bahkan sekali waktu, aku diajarkan tentang keikhlasan saat memang harus mengalami kegagalan karena takdir berkata demikian, sebuah petuah yang mungkin tak semudah itu untuk diterima seorang anak berusia 20 tahun kala itu. Namun, sekali lagi aku belajar dari Ayah bahwa kesabaran adalah satu-satunya jalan dalam menghadapi permasalahan.

Ayah tak akan pernah mengeluh dalam kondisi apa pun. Seingatku, aku tak pernah melihat luapan emosinya. Tapi aku tahu, dalam diamnya, banyak cinta untuk keluarga.

Lelaki Terhebat itu Bernama Ayah, WIN

Aku tetap saja salah satu yang beruntung karena masih memiliki ia di sisiku. Masih punya kesempatan untuk menjalankan birrul waliddain kepadanya. Namun, keterbatasan waktu dan jarak hanya bisa membuatku menyampaikan harapan-harapan itu lewat doa. Bagaimanapun, bukankah ia adalah salah satu pintu surga yang disiapkan Allah untukku?

Pertanyaannya, sudahkah aku memanfaatkannya, bukan untuk sibuk berkeluh kesah atas kekurangan yang ada sekarang. Sebaliknya, mencari cara agar rida ayah bisa menjadi bagian dari rida Allah yang aku dapatkan di akhirat kelak.

Ayah, Pintu Surga Terbesar

Semakin dewasa aku makin sadar, sosok ayah itu penting dalam kehidupan. Bukan hanya sekadar pencari nafkah, tetapi lebih daripada itu. Ia adalah QOWAMAH, penegak rumah tangga, penyokong keluarga. Bukan hanya yang memberikan uang atau rezeki untuk keperluan anak dan istri sehari-hari, melainkan orang yang menentukan ke mana keluarganya akan terbawa.

Sekarang ini, peran ayah sedang sangat digalakkan. Salah satu yang aktif adalah Ust. Benri Jaysurrahman, yang banyak membahas tentang pentingnya ayah. Sebab, hilangnya ayah, meskipun secara jasad ada, akan memunculkan kekosongan dalam diri anak-anak. Ayah-ibu dua-duanya penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Keduanya mengisi tangki cinta anak dengan perannya masing-masing. Kalau salah satu tiada, bagaimana jadinya?

Setelah semakin menua, tentunya kita pun menemukan ada banyak kekurangan pada diri ayah kita. Pasti, karena ia tetap manusia biasa dengan keterbatasannya. Kekurangan ilmu, sehingga masih belum bisa meneguhkan sosoknya sebagai ayah, mungkin sampai kita dewasa. Namun, apakah pantas kita sebagai anak tetap “marah” kepadanya sampai akhir hayat kita?

Bagaimanapun, Allah telah menjadikan kita ada melalui dirinya. Itu adalah sebuah ketentuan takdir yang telah Allah tetapkan, bukan hanya kebetulan semata. Maka, ketika sekarang kita paham kalau itu adalah bagian yang tak bisa diganti lagi dari kehidupan ini, bukankah sudah semestinya kita ikhlas menerima ketentuan itu?

Seringkali di usia ini kita masih marah atas perlakuan ayah yang mungkin tidak sebijak pemikiran modern kita hari ini. Di tengah arus pengetahuan bahwa ayah hendaknya memberikan peranan besar dalam sebagian besar kehidupan ini, tentunya kita harus memaklumi ada banyak kekurangannya di dalam kehidupan. Jangan lagi marah kepada mereka, jangan lagi menyesali, jangan lagi berkata “andaikan” karena itu hanya membuat hati kita masih dipenuhi dendam tanpa disadari.

Lalu, bagaimana cara agar kita bisa menjadikan ia pintu surga?

  • Jika memang masih ada waktu dan kita dekat dengannya, berbuat baiklah kepada mereka. Tak perlu yang mewah atau “wah”, sekadar mendengarkan mereka bicara saja sudah cukup. Mungkin ilmu kita lebih tinggi darinya. Pendidikan kita lebih baik darinya. Akan tetapi, bukankah ia tetap ayah yang perlu kita jaga hatinya.
  • Jika memang masih ada hal yang mengganjal dari masa lalu, maka maafkanlah. Sekali lagi, mereka hanya manusia biasa. Kesalahannya kepada kita dalam proses pendidikan dan pengasuhan adalah tanggung jawab ia kepada Allah swt. Kepadanya kita hanya wajib menjalankan perintah-Nya, yaitu berbuat baik, titik. Tidak ada kata “tapi” yang butuh dilontarkan, maafkanlah, maafkanlah sampai hati itu benar-benar lapang.
  • Jika memang ia sudah tiada, maka doakanlah. Jadilah anak salih-salihah, yang bisa menyambungkan kebaikannya. Menjadi jariyah bagi dirinya yang sudah mendahului dengan kebaikan yang kita terus lakukan.

Ayah mungkin berada di urutan keempat setelah ibu. Namun, ibu yang hadir di kehidupan kita pun tak akan ada jika ayah tak ada. Mereka di balik kesibukannya adalah sosok yang menentukan, menjadi keluarga seperti apa kita hari ini. Kalaupun masih sulit untuk memaafkannya, tanyakan kepada hati, mau sampai kapan hati mendendam? Mau sampai hati gelisah? Bukankah status ia sebagai ayah kita tak akan pernah hilang sampai kapanpun jua.

Jikalau hari ini belum menyapanya, sapalah.

Jikalau hari ini belum bicara kepadanya, bicaralah.

Jikalau hari ini belum mendoakannya, doakanlah.