Day 30 Qur’an Journaling: Takdir yang Menenangkan Hati

Pada akhirnya ke mana kehidupan ini akan berakhir? Allah sudah menggariskan setiap detik napas kita ini melalui Qadar-Nya. Sebuah ketentuan yang Ia buat jauh sebelum penciptaan bumi dan manusia. Maka, apalagi yang bisa kita perbuat atas ketentuan takdir ini?

Qur’an Journaling yang aku lakukan ditutup dengan satu surat, yaitu QS At-Taubah ayat 51. Sebuah ayat yang dikaji saat sedang mempelajari tentang Iman Kepada Qada dan Qadar.

“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

QS At Taubah 51

Dari ayat ini tersirat makna bahwa apa yang terjadi pada diri kita sudah menjadi bagian dari ketentuan Allah. Artinya apapun yang terjadi, baik, buruk, sesuatu yang mungkin tidak sama seperti orang lain. Maupun segala sesuatu yang berjalan tanpa pernah bisa kita prediksi, semua ada dalam ketetapan Allah. Keyakinan bahwa setiap yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izin-Nya, itulah yang membuat hati menjadi tenang.

Betul, ketenangan hati, itulah bentuk pengelolaan emosi yang sesungguhnya. Ketika hati tenang, qolbu tidak ada masalah, tidak akan ada lagi emosi yang tidak stabil menghampiri kita. Bukankah selama ini yang membuat kita sibuk berurusan dengan emosi itu karena merasa tidak nyaman dengan kejadian yang di luar perkiraan? Ketidaknyamanan yang hadir karena merasa ada yang kurang tepat saat sebuah peristiwa terjadi.

Saat sudah memiliki keimanan penuh terhadap qada dan qadar, tidak akan ada lagi rasa sedih dan marah terhadap masa lalu. Karena apa yang sudah terjadi, memang qadarullah terjadi atas kehendak Allah. Semua sudah terjadi atas kehendak-Nya, sehingga sebagai manusia apa lagi yang bisa kita lakukan?

Jikalau masih marah, sebenarnya marah untuk apa? Apakah itu akan mengubah masa lalu? Jika mau bersedih, mau sampai kapan, apakah itu pun akan mengubah masa lalu itu?

Seringkali kita fokus pada takdir yang sudah terjadi, tetapi lupa mengambil hikmah dari kejadian itu. Baik maupun buruk, Allah sudah siapkan jawaban kebaikan di baliknya. Hanya saja kita yang seringkali terpaku pada keburukannya saja, tetapi tidak bisa bersabar untuk mencari kebaikan di baliknya.

Begitu pula dengan masa depan, sampai kapan ingin merasa cemas? Mengapa harus khawatir? Bukankah ada takdir Allah swt yang memang menanti. Sesederhana takut esok akan makan apa. Jika demikian, berarti kita tidak memercayai bahwa janji Allah untuk memberi rezeki itu adalah pasti.

Terlalu sibuk khawatir dengan hari esok membuat hati menjadi lemah. Berlebihan dalam memikirkan semua kemungkinan yang belum tentu akan terjadi. Yah, kalaupun terjadi, langsung menyesali karena tidak bisa mengantisipasi. Padahal kita ini siapa? Apakah kita ini Tuhan yang bisa memprediksi setiap jengkal kemungkinan kehidupan kita?

Bahkan dalam perhitungan statistik yang menggunakan prediksi saja ada level of error, artinya ada kemungkinan kesalahan yang terjadi selama perhitungan. Faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan, yang bisa menyebabkan kesalahan itu, tidak akan pernah bisa diprediksi. Dalam ilmu perilaku sendiri dibolehkan kesalahan terjadi setidaknya 5%. Lima dari seratus orang mungkin hasilnya akan berbeda dari kesimpulan perhitungan.

Jadi, sah-sah saja kan kalau kita memang tidak perlu memikirkan hari esok itu dengan berlebihan? Toh, apa yang terjadi esok saja itu hanya hasil dari perkiraan. Bahkan kalaupun yang kita pikirkan itu terjadi, detail dari kejadian itu akan selalu berada di luar perkiraan. Contohnya, kita mungkin sudah menyusun rencana esok akan melakukan kegiatan apa saja. Tetap yang bisa kita tentukan hanyalah garis umum kegiatan kita esok hari, melakukan hal baru atau menjalankan rutinitas saja, tetapi tidak bisa memperkirakan sampai detail kejadiannya seperti apa.

Gambaran lainnya, jika tinggal di Jakarta kita terbiasa dengan kemacetan setiap harinya, tetapi apakah mobil kita akan mengantri dalam urutan yang selalu sama setiap harinya? Tentu tidak. Beberapa kali kita mungkin menemui mobil yang sama karena jam keberangkatan yang selalu tidak jauh berbeda dengan kita. Namun, selebihnya kita tidak pernah bisa memprediksi sedetail itu.

Jadi, dibanding sibuk memikirkan beragam kemungkinan yang belum terjadi itu, mengapa tidak memasrahkan kehidupan itu hanya kepada Allah semata? Bahwa Allah telah menentukan masa depan kita seperti apa. Tinggal kita, maukah menjalankan ibadah sebaik-baiknya agar takdir itu bergulir menghampiri kita.

Ya, bukan cuma ikhtiar yang mampu untuk mendatangkan takdir itu. Ada pula doa yang bisa membuat takdir itu diubah. Hanya dengan kekuatan doa yang sungguh-sungguh bisa mengubah keburukan yang mungkin terjadi. Tinggal kita meyakini, saat memang sesuatu yang kita khawatirkan itu tetap terjadi, meyakini itu adalah kehendak Allah adalah satu-satunya jalan untuk tetap tenang.

Mungkin perjalanan mentadabburi Al-Qur’an ini tidak akan berhenti sampai di sini. Selanjutnya, agar lebih bisa mendalami ayat-ayat Allah aku berencana untuk mengisi hari dengan setidaknya satu kajian sehari. Kemudian, membuat rangkumannya agar bisa lebih dalam mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan lebih komprehensif dalam memahami, petunjuk-petunjuk-Nya.