Biarlah Allah yang Menjaganya

Titipkanlah anak kepada sebaik-baiknya penjaga.

Satu kalimat itu sudah cukup untuk merangkum kekhawatiranku terhadap masa depan anak. Meyakinkan bahwa sebagai orang tua pada akhirnya kita tidak bisa menjaga anak selama 24 jam. Begitu pula memastikan masa depannya seperti keinginan kita. Bagaimanapun, tetap saja orang tua adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Inderanya terbatas, maka kemampuannya untuk menjaga secara penuh seorang anak tidaklah mungkin.

Namun, tidak menutup mata segala sesuatu yang terjadi pada anak selalu dikaitkan dengan orang tuanya. Bagaimana ia menjaga, merawat, dan mendidik mereka, berkaitan dengan tumbuh kembang anak itu hingga ia dewasa. Contohnya, ketika orang tua terlalu memanjakan anak semenjak kecil, tidak memberikan peluang yang banyak untuk anak mengembangkan keterampilannya, maka di usia dewasa sang anak mengalami kesulitan karena tidak terlatih pada keterampilan tertentu. Akibatnya, berpengaruh pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri di lingkungan, baik sekolah maupun pekerjaan, bahkan pernikahan.

Meskipun demikian, tetap saja ada sesuatu yang berada di luar kuasa orang tua. Sebagai makhluk mereka memiliki takdir yang telah Allah tetapkan. Maka, ketika sebuah musibah terjadi itu sudah bukan lagi di dalam kuasa orang tua. Saat orang tua sudah berupaya menjaga sebaik mungkin, melakukan proteksi maksimal yang bisa dilakukan, tetap saja ada khilaf yang menyebabkan sebuah keburukan terjadi. Kalau begitu, apakah memang artinya kita adalah orang tua ceroboh yang tidak becus menjadi orang tua karena telah membiarkan anak kita kesakitan?

Terjebak Mindset Kesempurnaan

Banyaknya ilmu mengenai pengasuhan saat ini membuat sebagian besar orang tua semakin menyadari pentingnya pola pengasuhan yang baik bagi anak-anak. Namun, ternyata ada sisi buruk yang hadir akibat banyaknya informasi yang berseliweran itu, yaitu keinginan untuk memberikan pengasuhan yang “sempurna” bagi anak-anak mereka.

Membuat para orang tua ini sibuk mengoreksi diri terus-menerus ketika perilakunya di luar teori pengasuhan. Mulai merasa resah jika ada saja detail kecil pengasuhan yang tertinggal, sehingga menghakimi diri sendiri ketika melihat anak mulai menunjukkan perilaku di luar harapan. Ujung-ujungnya menyesali ketika anak berada di luar koridor yang seharusnya.

Sebenarnya tidak salah juga ketika kita ingin memberikan pengasuhan terbaik kepada anak-anak. Dengan catatan, kita memang berusaha belajar, memahami, dan berusaha menerapkannya dengan upaya sebaik-baiknya. Namun, tetap harus berpegang pada prinsip, do our best, let’s Allah do the rest. Kita tetap saja tidak bisa menafikkan, di luar usaha yang sudah kita lakukan, Allah punya ketentuan-Nya yang tidak bisa kita elakkan.

Tentu saja terlalu berpasrah pun tidak baik. Menyerahkan anak dalam perlindungan-Nya, tetapi tidak memberikan bekal kebaikan yang diperlukan, itu pun tidaklah tepat. Bagaimanapun mengasuh anak adalah sebuah seni. Kita butuh berkreasi untuk tahu batasan urusan kita sebagai manusia, kapan memang harus mengencangkan usaha, kapan butuh memasrahkan diri atas kehendak-Nya.

Seringkali kita terlalu condong kanan dan ke kiri. Terlalu banyak usaha, sampai tidak terima kalau ada keburukan menimpa anak, sehingga menyalahkan diri atau lebih parahnya menyalahkan Allah atas semua itu. Sebaliknya, terlalu pasrah, sehingga lupa kalau ada andil kita untuk mendidik anak-anak agar mereka bisa memiliki sikap yang baik kepada manusia lain maupun kepada Allah swt.

Demi menemukan jalan tengah dalam usaha dan kepasrahan ini kita tidak bisa menggunakan pola pikir yang kaku. Apalagi sifat perfeksionis. Sesungguhnya kehidupan itu bukan hanya sekadar hitam-putih, sebuah sebab akibat yang cuma punya satu faktor. Kalau kita melakukan ini, hasilnya pasti itu. Tidak demikian. Kehidupan adalah percampuran antara beragam faktor-faktor yang terjadi pada satu garis masa tertentu. Faktor-faktor itu tidak hadir dengan sendirinya, melainkan sebuah hasil dari banyaknya kejadian lain yang berada di luar kendali kita sebagai manusia.

Artinya, sebagai orang tua kendali kita terhadap kehidupan anak itu hanya sekian persen. Lalu, mengapa kita menuntut untuk menjadi sempurna dalam mengasuh anak?

Sebagai ilustrasi, siapa yang bisa menjamin ketika anak semenjak kecil diberi yang paling baik, seperti susu formula terbaik, vitamin terbaik, makanan terbaik, maupun sekolah terbaik, saat dewasa nanti mereka pasti akan menjadi individu terbaik?

Memang secara penelitian, susu terbaik, vitamin terbaik, dan apapun yang katanya terbaik itu memberikan peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin kalau anak kita termasuk ke dalam batas normal dalam penelitian itu?

Anak bukanlah robot yang ketika diprogram akan menghasilkan perilaku seperti program yang dimasukkan. Anak adalah makhluk hidup. Mereka manusia ciptaan Allah, yang bisa membuat program melebihi kemampuan manusia dalam menciptakan robot. Allah yang telah memprogram anak kita, sehingga siapa kita yang hanya manusia ini, sehingga bisa mengendalikan anak-anak itu?

Allah Sebaik-baik Penjaga

Itulah alasan harus menyematkan doa dalam tiap proses pengasuhan anak kita karena hanya Allah yang mampu menjaga anak-anak di luar kuasa kita sebagai orang tua. Ruang gerak orang tua yang terbatas, akan membuat ada banyak kejadian di luar perkiraan yang bisa terjadi. Oleh karena itu, jika usaha terbaik sudah dilakukan, maka biarkan Allah yang menjaga anak untuk kita.

Lalu, apakah tidak boleh ketika kita bermaksud menjaga anak kita dengan memberikan perlindungan tingkat tinggi kepadanya?

Bukannya tidak boleh. Namun, ketika memberikan perlindungan itu akan membatasi ruang gerak anak, apakah itu baik?

Sebagai orang tua merasa khawatir dan cemas itu adalah sebuah kewajaran. Walau bagaimanapun mereka tetap anak-anak yang kita sayangi. Akan tetapi, menempatkan anak dalam kerangkeng emas, apakah itu akan memberikan kebaikan pada anak juga?

Kekhawatiran yang membuat mereka akhirnya tidak diperkenankan mencoba hal-hal baru. Kecemasan yang membuat mereka akhirnya ikut merasakan kecemasan itu juga. Apakah itu akhirnya bermanfaat?

Jika memang kita merasa cemas saat anak melakukan hal baru yang menurut kita berbahaya, maka bisa dampingi dan awasi. Biarkan mereka merasakan, mana yang memang membuat khawatir dan cemas. Mana yang ternyata ketika dijalani, dengan kehati-hatian, mereka bisa melewatinya.

Sesederhana anak yang naik-turun tangga. Jiwa eksplorasi yang membuat mereka terus mencobanya. Kalau selalu dilarang, kapan mereka akan belajar tentang naik-turun tangga?

Dalam sebuah seminar yang dibawakan oleh Kang Asep, beliau pun mengungkapkan hal yang sama. Anak-anak saat ini mudah merasa cemas, khawatir, terlalu over thinking karena semenjak kecil meniru kekhawatiran itu dari orang tuanya. Ketika para orang tua banyak melarang, tetapi tidak memberikan penjelasan alasan larangan itu. Bukannya memberikan kesempatan dengan pendampingan, malah memutus rangkaian eksplorasi anak karena terlalu takut atau khawatir.

Kembali lagi, kita harus pandai memainkan seni pengasuhan itu. Agar rasa cemas kita berganti menjadi sesuatu yang produktif. Dalam artian, memberikan anak kesempatan untuk berpetualang, tetapi dalam koridor yang benar. Tetap memberikan kesempatan, tetapi dengan pendampingan yang bisa membuat mereka tetap merasa aman ketika menjalaninya.

Orang tua harus pandai memainkan peran-perannya, baik itu sebagai pemimpin, pengajar, pendidik, maupun sebagai fasilitator. Terkadang kita juga menjadi teman, pendengar, dan pemberi semangat. Peran-peran itu harus fleksibel agar anak bisa merasa terjaga dengan baik.

Jikalau kita melakukan kesalahan, maka minta jualah penjagaan kepada-Nya. Mintalah kepada Allah agar menjaga hati anak-anak kita agar tetap baik-baik saja. Meskipun mungkin kita pernah melakukan keburukan pada mereka.

Karena Allah adalah sebaik-baiknya penjaga, Allah sebaik-baiknya pelindung.