Mencari Maaf yang Sesungguhnya

Ramadan sudah sampai di penghujung. Sudah sampai mana kita memperbaiki hati yang selama ini mungkin sudah banyak teracuni oleh rasa sakit hati terhadap dunia? Sudah seberapa kita mampu untuk membuka hati, melapangkan hati agar mendapatkan cahaya kebaikan dari semua proses hidup yang sudah kita jalani?

Hari Rabu kemarin, tanggal 27 April 2022 ada sebuah webinar menarik yang disajikan oleh Temani Indonesia, menyangkut soal topik ini, pemaafan. Disajikan oleh Kastini S. Kaspan, M. Pd., LCPC, webinar kali ini mengangkat judul Forgiveness: Memaafkan dengan Tulus, Bukan Sekedar Basa-Basi. Sebuah tajuk yang erat kaitannya dengan kebiasaan yang hadir setelah Ramadan berakhir, yaitu saling maaf-memaafkan.

Sebuah pertanyaan menarik yang mewakili webinar ini adalah apakah selama ini kita sudah benar-benar memaafkan, bukan hanya lisan yang berucap “maaf” atau “memaafkan”? Karena ada saja peristiwa yang memaksa kita untuk memaafkan, tetapi rasanya ada hati yang terganjal untuk merasa lega setelah berucap maaf. Apakah itu berarti kita belum benar-benar memaafkan?

Dalam webinar ini Mba Kastini membedah dengan sangat baik tentang pengertian memaafkan yang sesungguhnya, beserta proses yang harus dijalani seseorang ketika hendak memaafkan, termasuk langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memulai proses memaafkan.

Selama proses diskusi juga Mba Kastini menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta dengan cukup komprehensif, sehingga peserta bisa mendapatkan jawaban-jawaban yang aplikatif, bukan hanya teoritis. Apalagi isu pemaafan ini sendiri adalah isu yang diangkat dari pengalaman pribadi Mba Kastini. Artinya, apa yang disajikan oleh Mba Kastini telah terbukti mampu untuk memproses pemaafan itu.

Maaf dalam Hati, Pikiran, dan Perilaku

Sebagai salah satu yang juga concern dalam isu pemaafan ini, saya sendiri suka dengan apa yang disampaikan oleh Mba Kastini. Sejalan dengan apa yang selama ini saya pelajari dalam proses pemaafan. Bahwa memaafkan yang sesungguhnya bukan hanya urusan lisan, melainkan seluruh aspek yang ada di diri seseorang.

Mba Kastini menyampaikan ada tiga tahapan yang harus dilakukan oleh seseorang dalam proses memaafkan, yaitu menyadari, memahami, dan melepaskan. Ketiga tahapan ini melibatkan semua aspek yang ada dalam diri kita. Menyadari artinya mengakui adanya emosi yang hadir akibat peristiwa tersebut. Memahami artinya memberi tempat bagi ruang kognitif atau berpikir kita untuk memproses peristiwa tersebut. Kemudian, melepaskan artinya kita melakukan sebuah perilaku yang menunjukkan kita melepaskan beban emosi dan pikiran yang selama ini kita bawa.

Dalam memproses pemaafan diawali dengan kita butuh menyadari adanya emosi-emosi negatif terkait suatu peristiwa. Mengakui bahwa kita mungkin masih merasa marah, kesal, dendam, benci terhadap peristiwa itu maupun kepada pelakunya. Tahap ini menyadari ini penting karena dengan demikian emosi negatif yang mungkin selama ini disimpan, diberikan tempat untuk hadir kembali. Dengan mengenali bahwa ternyata ada emosi negatif yang tersulut akibat peristiwa itu, artinya kita mengakui memang ada masalah yang terjadi dalam diri kita terkait peristiwa tersebut.

Selanjutnya, kita memahami peristiwa itu secara kognitif kita. Ini memberikan kesempatan untuk menilai, bagian apa dari peristiwa itu yang membawa keburukan. Bagian apa pula yang tidak kita sukai dari peristiwa itu, sehingga mengganggu ketenangan jiwa kita. Apa kebutuhan diri yang dilanggar pelaku ketika peristiwa itu terjadi. Termasuk juga mengambil hikmah, sebenarnya apa arti dari peristiwa itu hadir dalam kehidupan kita.

Setelah kedua tahap ini disadari dan dikenali, maka kita bisa dengan lebih nyata mengetahui beban apa yang sesungguhnya kita bawa selama ini. Bisa jadi sepanjang hidup kita tidak menyadari adanya beban ini karena mengabaikannya, tidak berani menyentuhnya. Padahal jika kita terus membiarkan rasa sakit itu ada, bukan hanya masalah psikologis yang hadir, penyakit fisik pun bisa hadir sebagai imbas kita yang terus membawa beban rasa sakit itu.

Dengan demikian, ketika sudah mengenali emosi-emosi yang hadir, pikiran-pikiran yang mengikuti, maka sudah waktunya melepaskan semua itu. Berikan ruang di diri kita untuk meletakkan atau membuang semua beban yang ada. Sebab, sampai kapan kita akan membawa beban itu?

Proses Tanpa Batas

Memaafkan adalah proses tak berbatas. Tidak bisa diselesaikan dalam hitungan hari atau bulan. Proses ini bisa memakan tahunan, dengan catatan kita seriusi untuk menyelesaikannya. Walaupun mungkin ada peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diselesaikan, setidaknya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita berproses menuju ke sana.

Maka, di penghujung Ramadan ini, di sepuluh hari yang terakhir, inilah waktu yang paling tepat untuk memproses semua itu. Meminta maaf kepada Allah, termasuk memaafkan semua yang pernah terjadi. Menggali kembali hati, menemukan yang selama ini mungkin terserak. Menemukan arti maaf yang sesungguhnya di dalam diri.

Selama ini mungkin kita sering mencoba untuk menyadari dan memahami apa yang sedang terjadi pada diri kita. Namun, berapa banyak yang mampu kita lepaskan. Kebanyakan kita masih memilih menyimpan emosi-emosi negatif itu. Memikirkan terlalu dalam pertanyaan-pertanyaan terkait alasan terjadinya peristiwa tersebut. Akan tetapi, belum berani untuk melepaskannya.

Ini tentu berkaitan dengan kesediaan diri kita untuk berubah. Seberapa kita mau dan yakin bahwa perubahan ini adalah sesuatu yang baik untuk kita. Terkadang kita masih sibuk membuat diri menderita dengan trauma-trauma menyakitkan itu, tetapi tidak mengambil langkah untuk menyembuhkannya. Akhirnya, membiarkan rasa sakit itu tetap hadir, menyadari tanpa bermaksud melepaskannya.

Padahal saat memaafkan, kita yang harus bisa melapangkan hati itu seluas-luasnya untuk menerima bahwa peristiwa itu tak dapat lagi diubah. Kejadian itu tidak mampu kita hapus dari kehidupan ini. Artinya, satu-satunya jalan adalah memaafkan bahwa kejadian itu hadir sebagai bagian dari takdir kita, bukan orang lain.

Termasuk juga melapangkan hati untuk memaafkan orang-orang yang telah membuat hati kita sakit. Orang-orang yang terus mendorong agar luka itu tetap hadir. Termasuk diri sendiri yang telah membiarkan rasa sakit itu bercokol lama dalam diri. Kita butuh memaafkan semuanya.

Tentunya tidak ada orang yang akan mulus perjalanan memaafkannya. Akan ada fase naik-turun, saat kita merasa berhasil, maupun saat merasa kembali gagal. Namun, percayalah naik-turunnya kemampuan kita dalam memaafkan itu bukanlah sebuah kegagalan, melainkan sebuah proses.

Sebuah proses yang diberikan Allah agar kita terus bisa naik tingkat, lagi dan lagi. Agar kita tidak mudah berpuas diri. Agar kita tahu, bahwa kemampuan kita untuk mengobati hati itu tidak berhenti sampai di sini. Ada Allah yang membantu kita untuk kembali menyadari semua masalah kehidupan ini mampu kita hadapi.

Maka, sudahkah kamu belajar untuk bisa memaafkan dengan sesungguhnya?