Difabel, Ciptaan Sempurna Tuhan

Kisahnya tuh sama aja dengan orang biasa, bedanya cuma gelap aja.

Seloroh teman kerja yang seorang difabel menuai tawa di antara kami. Saat itu aku dan teman-teman sedang membuat sesi membahas tentang relasi sehat bersama teman-teman tuna netra. Sebuah sesi yang diadakan sebagai program pengabdian masyarakat dari kampus tempatku bekerja.

Ini adalah pengalaman pertamaku berinteraksi dengan difabel, khususnya para tuna netra. Menjadi salah satu hal baru yang aku lakukan, mengingat selama ini aku memang tak pernah bersisian dengan dunia tersebut. Bahkan ketika mengambil profesi psikologi aku urung mengambil jurusan psikologi pendidikan karena dalam praktiknya pasti akan berurusan dengan para difabel.

Pengalaman pertama ini begitu berkesan untukku. Membongkar sikap defensifku selama ini ketika berhubungan dengan para difabel. Bukan, bukan karena aku tak suka mereka. Hanya saja aku sering bingung bagaimana harus bersikap ketika berada di depan mereka. Harus berempati, tetapi juga tidak mau terlihat kaku. Jadinya, serba salah.

Namun, aku sendiri punya kekaguman tersendiri kepada para difabel ini. Ketika pertama kali melihat para difabel ikut acara kuis yang terkenal saat aku SMA, aku langsung terpesona. Bagaimana mungkin dengan keterbatasan mereka, ada capaian prestasi yang luar biasa.

Di acara kuis itu aku terkesima dengan seorang tuna rungu yang menjadi pimpinan kelompok. Ia begitu bersemangat mengikuti permainan dan menjawab dengan benar pertanyaan – pertanyaan yang diberikan. Bahkan mereka menjadi pemenang di dalam acara itu, sungguh luar biasa.

Kekaguman itu berlanjut ketika melihat seorang senior di kampus yang memiliki masalah dalam penglihatannya. Baru aku ketahui setelah akhirnya menjadi rekan kerja, bahwa kondisinya itu termasuk ke dalam golongan tuna netra. Mengapa aku bisa sekagum itu?

Dalam keterbatasan secara fisik, ia mampu aktif di beragam kepanitiaan kampus. Bahkan prestasi akademiknya pun tidaklah buruk. Setelah sama-sama mengajar, aku sungguh terkagum dengan kemampuannya menguasai kelas. Bisa dibilang dia yang paling jago kalau mau memberikan training di antara semua dosen.

Melihatnya aku sungguh makin terkagum dengan para difabel ini. Lalu berkaca sendiri, aku yang Allah beri kelengkapan inderawi ini memiliki kelebihan apa?

Kelebihan di Tengah Kekurangan

Kita mungkin selama ini fokus pada kesempurnaan fisik ketika melihat seseorang. Maka, ketika bertemu dengan para difabel tanpa disadari kita fokus pada kekurangan inderawinya itu. Kemudian menilai mereka dengan perasaan kasihan karena tidak memiliki wujud fisik sama seperti kebanyakan orang.

Padahal kalau kita kembali merujuk, bukankah kita diciptakan Allah dalam wujud yang paling sempurna. Artinya, ketika Allah ciptakan kita dengan kondisi demikian, ada bagian yang berbeda dari orang kebanyakan, bukankah itu juga berarti itu adalah wujud paling sempurna untuk orang tersebut.

Aku belajar banyak dari buku anak-anak Nussa yang bercerita tentang seorang anak lelaki difabel yang tidak memiliki tungkai kaki kanan. Dengan apiknya sang penulis menjelaskan tentang makna penciptaan dengan wujud sebaik-baiknya.

Ketika mungkin kita diberi bagian tubuh yang lengkap, bisa jadi malah bagian tubuh tertentu itu malah bermaksiat kepada Allah.

Maka, tiadanya bagian tubuh itu berarti adalah kebaikan untuk kita karena menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk yang bisa dibuatnya. Hilangnya bagian itu bukan karena Allah membenci, melainkan menjadi berkah karena membuat kita terhindar dari hal yang mungkin tidak baik.

Selain itu, diambilnya satu fungsi tubuh kita akan Allah ganti dengan hal lain yang bisa membantu kita untuk terus beradaptasi dengan kehidupan.

Sebagai contoh rekan kerja yang saya sebutkan di atas. Allah memberi ganti hilangnya fungsi mata dengan fungsi telinga yang lebih tajam dibanding orang lain. Yap, jangan suka bisik-bisik di belakangnya, apalagi para mahasiswa, ia bisa mendengar percakapan itu, hehehehe.

Ya, Allah itu Mahaadil. Ia tak akan mengambil sesuatu kalau tidak menggantinya dengan hal lain. Sayangnya, terkadang kita fokus kepada kekurangan, fokus pada kehilangan, sehingga tidak lagi mampu melihat kebaikan yang hadir di tengah kekurangan itu. Bukankah mencari hikmah adalah kewajiban kita?

Akan tetapi, bagaimana kalau kita menjadi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus?

Orang Tua Kunci Keberhasilan

Awalnya rekan kerja saya itu seorang yang normal penglihatannya. Namun, sebuah kecelakaan terjadi saat ia duduk di bangku SD, membuat sebelah matanya mengalami penurunan daya penglihatan. Lebih buruknya lagi, saat ia mengalami kecelakaan kedua dan harus menjalani operasi, terjadi kesalahan yang membuat matanya sebelah lagi harus kehilangan daya lihatnya.

Tentunya ini merupakan pukulan besar bagi orang tuanya. Dalam sekejap anak yang tadinya lahir dalam keadaan baik-baik saja, berubah harus diperlakukan secara khusus. Aku berpikir sangat keras, bagaimana proses penerimaan orang tuanya ketika semua ini terjadi?

Namun, melihat rekan saya yang tumbuh dan berkembang dengan baik setelah semua kejadian itu, aku patut mengacungi jempol kepada kedua orang tuanya. Rekan kerja saya itu tidak hanya aktif dan cemerlang. Ia selalu bersekolah di tempat terbaik. SMA unggulan di Jakarta, universitas unggulan di Indonesia.

Etos kerja yang tinggi membuatku sering memeprtanyakan, selama ini aku mungkin hidup terlalu sering di zona nyaman. Sebaliknya, ia yang pernah terpuruk berusaha sekuat tenaga untuk kembali bangkit agar mampu memiliki prestasi yang tak kalah dari orang lain.

Dari para difabel ini aku belajar kalau kehidupan bukan melulu tentang kesempurnaan. Melainkan sebuah lahan untuk kita syukuri dan nikmati apapun keadaannya. Dengan demikian, sebanyak apapun kekurangan itu akan Allah gantikan dengan sesuatu yang lebih baik.

Karena kita sudah diciptakan dengan bentuk paling sempurna, maka kita semua sempurna bagaimanapun keadaannya.