Tujuan Hidupku: Menjadi Ibu Rumah Tangga?

Masih berkaitan dengan kegalauan yang sedang dilanda saat ini: memilih tujuan hidup. Mungkin dua tahun lalu aku masih dengan semangat menggebu, inginnya melakukan sesuatu untuk banyak orang. Kemudian, memilih langkah-langkah yang ternyata membuat aku menjauh dari kebutuhan keluarga yang utama. Membuatku tanpa disadari mengabaikan sesuatu yang paling penting dalam hidup ini, yaitu keluarga.

Mungkin itu juga dalih, agar aku merasa aman. Jika selama ini menjadi ibu rumah tangga murni membuatku merasa asing. Asing karena merasa tidak mumpuni dalam melakukannya dan masih terbayang-bayang oleh kejayaan masa lalu sebagai seorang yang punya banyak prestasi. Ternyata, kali ini aku benar-benar harus melepas jubah ego yang sudah membelengguku untuk menyusun langkah mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.

Mungkin Allah juga sudah menunjukkan benang kusut yang akhirnya menyelimuti ketika aku berfokus pada sesuatu yang tidak menjadi hakekatku ketika kemarin memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Bergelut dengan target orang lain, sampai-sampai aku lupa, sesungguhnya targetku sendiri apa.

Oleh karena itu, kali ini aku berusaha merangkum, menuliskan langkah apa yang harus aku lakukan untuk mencari tahu tujuan hidupku sebenarnya.

  • Menemukan Alasan Utama

Agaknya aku harus kembali pada masa empat tahun lalu. Alasan yang membuatku melepas kejayaan sebagai seorang dosen. Masih bisa diingat dengan jelas tentang perasaan kala itu, ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak. Ingin mengasuh anak dengan tangan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Maka, ketika sekarang aku sepertinya sudah jauh melenceng, aku harus kembali mengingat perasaan saat aku harus melepas kesombongan duniawiku itu dengan sesuatu yang lebih jauh ke depan, mempertanggungjawabkan peranku sebagai ibu di hadapan Allah. Ternyata aku sendiri yang selama ini sudah melupakan alasan ini. Membuatku terlempar pada titik ini, merasa bingung dengan 1001 alasan yang tak masuk akal. Jadi, sudahkah ini saatnya aku kembali pada alasan utama ini?

  • Memenuhi Harapan Pasangan

Mungkin selama ini aku masih lalai untuk memenuhi target ini, padahal seseorang yang akan bertanggung jawab atas kehidupanku kelak bukanlah orang-orang yang ada di luar sana, melainkan pasanganku sendiri. Sungguh, merasa lalai untuk mengetahui keinginan dari pasangan, menurutku adalah sebuah kegagalan. Sederhananya, akan percuma kita memiliki segudang prestasi dan pujian dari orang di luar sana, tetapi tidak mendapatkan apapun dari pasangan. Apalagi ketika diri ini sudah mendapati kalau mungkin yang selama ini sudah keluar jalur adalah diri sendiri, bukan orang lain. Kembali belajar agama, mendalami tentang makna pernikahan, membuatku merasa sudah cukup banyak hal yang terlewat batas. Lalu, bagaimana caranya aku bisa kembali memenuhi harapan ini?

  • Mencari Rida Allah

Apalagi sih yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk mendapat rida-Nya? Tentu mendapatkan rida suami. Ini cukup tricky sebenarnya, apalagi kalau suami bukan tipe pemaksa. Harus banyak kesadaran sebagai istri untuk memahami kalau akan percuma sepak terjang di luar sana kalau ternyata isi rumah menjadi terbengkalai. Terutama sampai ada sedikit saja ketidakridaan dari suami atas perilaku kita, bagaimana bisa kita mendapatkan rida Allah? Sesederhana hadis yang disampaikan Rasulullah saw, ternyata berat sekali untuk menjadi taat kepada suami karena harus menyingkirkan ego kita sebagai seorang perempuan yang butuh pengakuan. Menjadi qonaah dengan semua kepemilikan saat ini, tanpa mengharap hal lain selain keridaan semata. Padahal ketika melakukannya, ganjaran surga itu berada di depan mata, tanpa harus kita cari-cari di luar dengan alasan memberikan manfaat kepada banyak orang. Dengan demikian, sudah waktunya menentukan target yang memang bertujuan kepada Allah. Jikalau itu artinya mengganti haluan dari pemenuhan pribadi menjadi sesuatu yang lebih luas, yaitu keluarga, mengapa tidak?

Di tengah semua godaan manusia lain, tentu akan sulit untuk tetap istiqomah dalam garis lurus. Mungkin setelah ini sudah waktunya untuk keluar dari lingkaran yang mengatasnamakan eksistensi diri itu. Kembali pada fitrahnya sebagai seorang perempuan yang dengan semua keterbatasan itu adalah wujud sayangnya Allah kepada kita. Batasan itu adalah cara Allah untuk mencegah diri kita dari hukuman yang lebih berat. Jangan sampai, keegoan untuk memiliki sesuatu sama seperti orang lain malah menjerumuskan ke dalam neraka, bukankah artinya kita sungguh merugi? Dunia belum tentu dapat, akhirat pun lewat.

Jadi, ketika memang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, sudah waktunya untuk pasang kaca mata kuda. Tidak lirik kiri-kanan lagi agar hati lebih aman dan sejahtera. Fokus pada keluarga dan mencari keridaan-Nya semata. InsyaAllah hati akan menjadi lebih tenang.

Bismillah.

Ingin Jadi Apa, Dikenal Sebagai Apa?

Jujur, ini pertanyaan mendasar tentang hidupku saat ini. Di tengah semua aktivitas yang dilakukan sekarang, sebagai ibu, istri, perempuan, sesungguhnya semua itu dilakukan untuk apa.

Dua bulan terakhir aku menghabiskan untuk memikirkan ini. Sebenarnya mau ke mana aku melangkah di banyaknya pilihan jalan yang terbentang. Keraguan untuk memilih hadir karena aku takut. Takut salah melangkah, salah mengambil keputusan, lalu menyesal belakangan.

Diskusi dengan suami lagi-lagi sampai di sini saja, pikirkan baik-baik, dengan matang. Setidaknya untuk saat ini qonaah dulu dengan yang dimiliki. Bersyukur atas hadirnya suami, anak-anak, keluarga, dan pekerjaan yang bagi sebagian besar orang mungkin menjadi ujian baginya.

Hmm… Sebenarnya ini ujian juga, sih untuk aku. Bagaimana aku memutuskan, memilih satu jalan saja, lalu istiqomah di dalamnya. Tanpa menyesali jalan ini di kemudian hari maupun silau oleh pilihan-pilihan yang tidak aku ambil.

Bukan hal mudah untuk menentukan. Apalagi ini menuntut konsistensi di sisa usia yang terbilang tak banyak. Akan tetapi, ada saja egoku sebagai manusia inginnya mengerjakan semua. Demi mendapatkan pujian sebagai manusia luar biasa.

Padahal tidak demikian. Orang-orang di luar sana “sukses” atas ketekunan yang ia miliki. Tekun dan cekatan atas apa yang ia yakini menjadi jalan hidupnya. Lalu, terus menempatkan dorongan energinya untuk menggapai tujuan itu.

Lalu, aku bagaimana?

Rasanya masih jauh. Meskipun orang-orang ada saja yang bilang silau dengan pencapaianku, tetap saja aku masih merasa kurang. Mungkin karena tadi, aku belum menjadi orang yang spesifik memiliki satu tujuan saja. Orang yang akan menghabiskan dan menujukan semua energinya ke tujuan itu. Sayangnya, masih belum, masih banyak kedipan godaan yang membuatku lupa diri. Mengisi ego diri yang mungkin sedang lemah, sehingga lupa diri.

Jadi, aku harus bagaimana?

Mengenal Diri, Bermanfaat Bagi Orang Lain

Sebenarnya ketika sudah sampai di titik mengenal ingin jadi apa, ingin dikenal sebagai apa, dengan sendirinya kita akan melakukan langkah-langkah untuk bermanfaat bagi orang lain. Orang yang mengenal kita sebagai sosok itu akan mendapatkan manfaat itu, tanpa kita sadari.

Kuncinya hanya satu, menjadi orang yang konsisten pada tujuan hidupnya. Tentu menentukan tujuan hidup ini harus jelas. Jangan sampai keluar dari tujuan penciptaan manusia sesungguhnya, yaitu beribadah kepada-Nya. Maka, tujuan apa yang membuat kita bisa beribadah terus, baik dengan ibadah pribadi maupun bermuamalah dengan orang lain.

Sepertinya harus kembali menyusuri ingatan-ingatan tentang cita-cita. Apa yang terlewat selama ini? Membuka kembali catatan tentang keinginan yang selama ini belum kesampaian, jangan-jangan itu tujuan utama kehidupan ini.

Mungkin selama beberapa tahun terakhir aku banyak mengelak dari peran menjadi ibu rumah tangga. Pekerjaan yang aku dambakan dulu karena menginginkan kedekatan dengan anak-anakku. Terdistraksi karena merasa tak mendapat apresiasi ketika hanya menyandang peran ini saja, padahal ini adalah pekerjaan paling mulia yang amalnya tersembunyi, tetapi akan mengalir terus.

Iya, menjadi ibu rumah tangga. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Jangan-jangan karena aku masih merasa belum capable untuk melakukannya. Bingung dan sendiri. Terdesak oleh imaji bentukan orang atas profesi yang dimiliki selama ini.

Mungkin sekarang waktunya untuk mereset kembali, sebelum semua terlambat. Semoga, semoga, semoga semua keputusan yang dibuat setelah ini tak lagi membuat bimbang.

Susah Beberes Rumah? Kenali Sebabnya

Sebagai ibu rumah tangga, beberes sudah menjadi makanan sehari-hari. Sepertinya tiap detik yang dikerjakan oleh ibu rumah tangga hanyalah membereskan rumah yang tak pernah luput dari kekacauan. Apalagi saat ini anak-anak masih tergolong balita, tiada hari tanpa harus membereskan rumah yang berantakan.

Namun, ada kalanya ada perasaan enggan untuk membereskan barang-barang itu. Susah sekali untuk membuat rumah beres dan rapi selayaknya rumah yang ada di media sosial. Well, pada dasarnya aku suka beberes, tetapi tetap saja ada hal-hal yang membuat rumah tidak pernah serapi jali yang diharapkan. Sampai di satu titik harus selalu berdamai dengan rumah yang tak pernah bertahan kerapiannya lewat dari satu jam. Bahkan ketika satu sisi rumah terlihat rapi, ada bagian lain yang akhirnya harus berantakan karena belum tersentuh tangan.

Setelah menjalani perjalanan panjang berdamai dengan semua urusan beberes ini, akhirnya sampai pada beberapa kesimpulan terkait ini semua. Mengapa sulit sekali untuk beberes rumah? Mungkin kamu memiliki satu atau lebih dari alasan berikut ini.

  • Menuntut Kesempurnaan

Salah satu yang bikin urusan beberes ini tidak jua kelar adalah keinginan untuk menata rapi semuanya secara sempurna. Sebenarnya tidak masalah juga, malah ini bisa jadi pemicu untuk terus-menerus menjaga agar rumah tetap terjaga kebersihan dan kerapiannya. Namun, ketika masih ada anak-anak di rumah, kemungkinan untuk rapi secara sempurna itu terasa nihil sekali. Dibanding merasa puas dengan kesempurnaan itu, sebaliknya malah menjadi tertekan karena tidak bisa memberikan kesempurnaan. Alhasil, merasa cemas dan tidak pernah puas untuk menganggap rumah sudah rapi dan bersih.

  • Terlalu Banyak Barang

Yap, dalam konsep berbenah rumah, seringkali yang jadi masalah adalah barang yang ada di rumah itu terlalu banyak, sehingga memakan waktu untuk dibereskan. Saya jadi teringat ketika kecil kebagian tugas untuk mengelap barang-barang di rumah. Di awal sangat bersemangat mengerjakannya, tetapi lama-kelamaan menjadi lelah karena barangnya terlalu banyak. Alhasil, kerjaan tidak selesai karena keburu capek duluan. Jadi, benar saja prinsip saat ini yang mengharuskan kita memilah barang yang ada di rumah. Semakin sedikit barang, maka energi yang digunakan untuk memerhatikannya pun semakin sedikit. Membereskannya pun akan semakin cepat dan mudah.

  • Tidak Ada Tempat Khusus

Kita akan mudah menata barang ketika masing-masing barang memiliki tempat. Sayangnya, berkaitan dengan poin sebelumnya seringkali barang-barang itu tidak memiliki tempat karena banyaknya barang di rumah. Di sisi lain, belum adanya tempat khusus untuk menyimpan barang-barang tersebut agar tidak berserakan. Salah satu cara praktis untuk membuat barang-barang menjadi mudah dibereskan adalah tempat penyimpanan yang bisa langsung menampung banyak barang, tidak perlu waktu lama untuk memilah-milah barang itu juga. Dengan demikian, tidak perlu waktu lama untuk membereskannya.

  • Tidak Punya Ketrampilan Menata Ruang

Mungkin memang ada di antara kita yang berbakat untuk menata ruang, sehingga dengan mudahnya membereskan rumah. Namun, bagi yang kurang berbakat apakah tidak bisa? Menurut saya, semua tergantung pada kemauan untuk belajar dan menjadikan itu kebiasaan. Pada dasarnya orang yang rajin beberes disebabkan oleh kebiasaannya untuk selalu beberes. Rasanya tidak nyaman kalau tidak beberes sehari saja. Walaupun tidak bisa beberes secara sempurna, setidaknya meletakkan kembali barang-barang pada tempatnya adalah pilihan agar rumah tetap rapi.

  • Menunda-nunda untuk Membereskan Barang

Penyakit lain yang membuat susah beberes adalah menunda-nunda untuk membereskan. Awalnya, mungkin kita hanya perlu membereskan satu bagian rumah saja. Akan tetapi, sikap menunda-nunda membuat kekacauan di rumah bertambah. Alhasil, bukannya efektif, malah menambah beban dalam proses beberes itu. Beban yang bertambah membuat energi yang harus dihabiskan pun bertambah. Waktu yang harusnya hanya 30 menit berganti jadi lebih dari satu jam hanya untuk membereskan rumah.

Meskipun demikian, di atas semua alasan itu kita harus kembali pada prinsip dasarnya, membereskan rumah untuk apa. Mencari alasan utama mengapa butuh melakukan sebuah aktivitas akan membuat kita lebih terdorong untuk melakukannya, daripada tanpa alasan atau kurangnya alasan yang mendorong untuk melakukannya.

Seringkali saya selalu mengingat kecintaan Allah pada hal yang bersih dan rapi. Saya ingin sekali bisa dicintai Allah karena telah melakukan perilaku yang Ia sukai. Maka, ketika memang langkahmu sangat sulit untuk tergerak membereskan rumah, kenali juga alasan kamu membereskan rumah untuk apa. Jika belum mendalam, galilah alasan terdalam agar energimu ikut bergerak, memotivasi untuk segera membereskan rumah.

Oiya, jangan cuma dikenali, ya tapi juga harus dilakukan. Karena sebuah pekerjaan akan selesai ketika kita mengerjakannya. Bukan hanya dipikirkan saja.

5 Hal yang Butuh Kamu Ketahui Sebelum Konseling Pernikahan

Pernikahan adalah sebuah hal sakral yang kita harapkan hanya terjadi sekali seumur hidup. Beragam upaya kita lakukan untuk mempertahakan pernikahan tersebut. Sayangnya, seringkali ketidakterampilan dalam menyelesaikan masalah pernikahan bisa jadi berujung pada pernikahan yang disfungsi, kehilangan fungsinya. Artinya pernikahan itu tidak bisa lagi menjalankan fungsi sebagaimana mestinya sebagai organisasi terkecil dalam tataran masyarakat, yang mampu memberikan kebaikan kepada anggota-anggota yang ada di dalamnya.

Bagaimanapun, tidak ada pernikahan yang tidak memiliki masalah. Masing-masing pernikahan akan diuji oleh beragam masalah yang tidak serupa satu sama lain. Ada yang berkaitan dengan komunikasi pasangan, kepribadian, permasalahan anak, sampai kondisi finansial. Semua itu hadir sesungguhnya memiliki arti, yaitu untuk mengembangkan diri orang-orang yang terlibat dalam pernikahan itu.

Sayangnya, tidak semua orang bisa mengatasi konflik dalam pernikahan itu dengan baik. Kurang matangnya kemampuan menyelesaikan masalah, kurangnya komunikasi, sampai kesalahpahaman memaknai arti pernikahan bisa menjadi sumbernya. Karena memang tidak ada orang sempurna yang masuk dalam pernikahan. Sebaliknya, pernikahan adalah ladang berkembangnya seseorang.

Ketika kita tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan, konseling pernikahan bisa menjadi solusi. Menghadirkan pihak ketiga yang mampu menjadi penengah, melihat objektivitas dari permasalahan pernikahan itu, bisa menjadi jalan untuk mendamaikan konflik yang hadir antara pasangan suami-istri.

Namun, ada baiknya kita mengetahui beberapa hal berikut ini terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk mengikuti konseling pernikahan. Apa saja?

  • Komitmen untuk Berubah

Konseling pernikahan hadir sebagai fasilitas bagi pasangan suami-istri untuk memperbaiki pernikahannya yang sudah mulai kehilangan fungsi. Seperti konseling lainnya, bagi mereka yang ingin menjalani konseling pernikahan hendaknya memiliki komitmen untuk berubah. Bukan hanya satu pihak, melainkan keduanya. Sebab, pernikahan adalah tempat berkembangnya dua orang, bukan salah satunya. Meskipun pada beberapa pendekatan terapi keluarga, konseling bisa saja dilakukan hanya pada salah satu anggota keluarga, tetap saja yang paling efektif adalah menghadirkan semua yang terlibat di saat bersamaan, agar permasalahan bisa tuntas.

  • Hak yang Setara

Baik suami maupun istri memiliki hak yang setara. Artinya masing-masing memiliki tempat untuk menceritakan permasalahan dari sudut pandang masing-masing. Ini dibutuhkan agar pihak lain memahami sudut pandang pihak lain dalam memandang masalah. Ini juga berfungsi untuk menyatukan kembali komunikasi antara suami-istri yang biasanya buruk akibat konflik yang terjadi.

  • Konselor Sebagai Fasilitator

Perlu dipahami, dalam sesi konseling konselor adalah fasilitator, artinya berperan dalam menjembatani permasalahan. Konselor akan memandang permasalahan secara objektif, membantu pasangan suami istri mencari akar permasalahan, lalu menawarkan solusi. Namun, eksekusi semuanya kembali lagi pada pasangan suami-istri tersebut, apakah akan menjalankan solusi yang ditawarkan atau tidak.

  • Menentukan Tujuan Bersama

Tujuan akhir konseling bukan hanya untuk mempertahankan pernikahan. Ada sebuah tujuan bersama yang seharusnya dicapai oleh pasangan sebelum menjalani konseling. Tujuan ini menjadi pegangan ketika nanti sepanjang proses konseling ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Melalui tujuan bersama, masing-masing memahami seberapa banyak usaha yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Bisa jadi bagi satu pihak usaha yang dilakukan harus lebih besar agar sama dengan pihak lainnya. Dengan demikian, konseling bisa berakhir ketika tujuan bersama ini bisa terpenuhi.

  • Menyadari Isu Pribadi

Dalam pernikahan, seringkali masalah-masalah yang hadir merupakan efek dari isu-isu pribadi yang belum selesai. Menyadari hal ini penting agar sumber utama permasalahan itu bisa dipecahkan. Terkadang dibutuhkan sesi konseling pribadi untuk menyelesaikannya. Setelah masing-masing selesai dengan permasalahan pribadi, biasanya akan lebih bisa menyelesaikan masalah pernikahannya.

Dari kelima hal ini tampak sekali konseling hadir untuk menyelesaikan masalah secara sehat. Bukan hanya sekadar sebagai tempat curhat salah satu pihak, untuk menyalahkan pihak lainnya. Di dalam sesi konseling harus dihadirkan kesadaran, konseling ini dijalani untuk kebaikan semua pihak, bukan salah satu saja. Konseling juga bukan tempat untuk mengubah sifat pihak lain yang tidak kita sukai. Dengan memanfaatkan bantuan konselor, kita mengubah bagian yang tidak kita sukai dari pasangan.

Sungguh cara kerja konseling bukan demikian. Jika memang ingin curhat dahulu, silahkan saja. Akan tetapi, harus ada solusi akhir yang didapatkan, bukan hanya mengekspresikan kedongkolan. Konseling bukan juga tempat untuk memberikan hukuman bagi pihak lain yang dirasa bersalah.

Bagaimanapun pernikahan adalah tempat untuk berkembang bersama. Bukan hanya mengedepankan ego pribadi, melainkan tempat untuk memahami ada hal yang lebih harus didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi. Ketika sudah memutuskan menikah, kita seharusnya sudah paham bahwa ada yang harus diubah agar pernikahan itu bisa berfungsi sebagaimana seharusnya.

Oleh karena itu, sebelum menjadi masalah besar dalam pernikahan, memang lebih baik kita menjalani konseling pranikah terlebih dahulu untuk mengetahui isu-isu besar yang bisa menjadi pemicu konflik dalam pernikahan. Mengetahui apa yang butuh diketahui, dipahami, dan dilakukan mengenai pernikahan itu akan lebih memudahkan kita saat berada dalam konflik pernikahan. Karena secara mental kita telah lebih siap untuk mengehadapi permasalahan itu.

Kalaupun ada saja masalah pernikahan yang mungkin luput dari antisipasi saat masa pranikah, tetap saja dengan belajar banyak keterampilan menyelesaikan masalah dan belajar cara berkomunikasi yang baik dengan pasangan merupakan kunci pernikahan bisa dijalani dengan langgeng. Sebab, pernikahan bukan hanya milik satu orang, melainkan milik keduanya. Bahkan setelah hadir anak-anak, kita bertanggung jawab memberikan gambaran pernikahan terbaik kepada mereka.

Jadi, sudah matangkah pertimbanganmu untuk mengkonsultasikan pernikahanmu?

Belajar Jadi Rapi, Bagaimana Caranya?

Apa rasanya jika melihat meja berantakan, kamar berantakan, rumah berantakan?

Bagi sebagian orang itu rasanya menggemaskan sekali, membuat tidak nyaman dan bisa bikin cepat marah. Sebaliknya, sebagian yang lain merasa tidak masalah dan malah nyaman dengan semua ketidakteraturan itu.

Itu kalau kita bicara tentang apa yang terlihat di depan mata kita. Bagaimana perilaku kita membuat apa yang ada di sekitar kita tampak well-organized atau tidak. Nah, bagaimana dengan isi pikiran kita?

Otak kita setiap hari akan menangkan jutaan informasi bahkan di setiap detiknya. Bagaimana otak yang tampaknya kecil ini bisa mengorganisasi itu semua? Jawabannya ada pada: otak kita memang pintar. Orang yang kita nilai bodoh pun sebenarnya memiliki otak yang “pintar” untuk dirinya sendiri.

Coba sesekali kita intip apa yang terjadi dalam proses berpikir kita. Ilmu psikologi kognitif mencoba menemukenali tentang hal ini. Bagaimana kognitif kita memproses setiap stimulus yang masuk ke indera kita, terutama mata. Sebagian besar kita memperoleh asupan informasi dari penglihatan kita, maka penelitian mengenai hal ini pun banyak dikaitkan dengan mata.

Cukup banyak teori yang membahas mengenai pemrosesan informasi dalam kepala kita. Mulai dari saat informasi masuk sampai bagaimana kita menerjemahkan informasi itu. Sebuah proses yang kalau dijabarkan akan melibatkan apa yang bernama sensasi, persepsi, atensi, dan memori.

Sederhananya empat hal itu, tetapi kalau dijabarkan bukunya bisa mencapai 1000 halaman ukuran A4. Tertarik? Silahkan cari buku dengan judul Psikologi Kognitif karya Sternberg yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Namun, saran saya tetap harus baca versi Bahasa Inggrisnya agar lebih paham.

Sulitnya penelitian mengenai kognitif manusia ini membuat penelitian dengan tema ini cukup jarang ditemukan di Indonesia. Baru beberapa tahun belakangan, dengan semakin bertambahnya teknologi pemindai otak yang masuk ke Indonesia, semua orang berlomba-lomba meneliti tentang hal ini.

Bahkan ini menjadi terobosan penelitian lintas disiplin, yaitu kedokteran, psikologi, dan teknologi informasi. Ini bisa menjadi langkah awal kalau memang tak akan pernah ada yang namanya eksklusivitas profesi. Semua profesi saling berhubungan dan dapat saling bekerja sama untuk menjawab sebuah permasalahan.

Ok, bagaimana sebenarnya kita memproses informasi. Saya akan pangkas membahas langsung pada apa yang terjadi di dalam kognitif kita saat informasi itu datang. Beragam hipotesis dikemukakan untuk menjawab tentang ini. Satu yang paling saya ingat bahwa sebenarnya informasi yang ada di dalam otak kita itu saling terkoneksi satu sama lain.

Jadi, ketika kita misalnya melihat es krim di kejauhan, kita bisa saja membayangkan bentuk-bentuk es krim, banyaknya rasa es krim yang ada, pengalaman makan es krim pertama kita, mantan yang pertama kali membelikan kita es krim, dsb. Kita bisa mengingatnya di saat bersamaan karena semua informasi itu terhubung menjadi satu. Bisa kita sebut itu sebagai teori jejaring. Jadi, saat satu informasi terstimulus maka informasi lain yang terhubung dengannya akan ikut kita ingat dan kita proses.

Teori yang lain adalah kita memiliki kompartemen-kompartemen dalam pikiran kita. Dari hal yang paling umum ke hal yang khusus. Jadi, kita memberi nama pada setiap kompartemen itu berupa kategori-kategori mengenai informasi yang kita simpan. Masih tentang es krim tadi, kita seperti membuat diagram mulai dari hal umum apa saja mengenai eskrim, yaitu bentuk, rasa, dan tempat belinya. Di bawah masing-masing kategori ini baru kita bagi kembali ke beragam informasi yang pernah kita dapatkan untuk masuk ke dalam kategori itu. Kalau ada informasi baru maka kita akan memasukkannya ke dalam kategori yang ada.

Teori ini yang dipakai dalam NLP. Bahwa ketika kita membahasakan sesuatu selalu ada bagian umum ke khususnya. Ketika kita mencoba memberikan informasi maka gunakan informasi sedetail mungkin agar pemrosesan menjadi lebih mudah.

Jika dibayangkan maka tampaknya sungguh rumit sekali proses yang terjadi di dalam otak kita. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika isi otak kita amburadul seperti kamar yang berantakan? Bisa jadi kita membutuhkan waktu lama hanya untuk memahami sesuatu.

Tanpa kita sadari otak kita mengorganisasi pikirannya dengan caranya sendiri. Bagi yang sangat well-organized tak bisa dipungkiri sistem pengorganisasian di dalam otaknya sangatlah teratur. Seperti daftar yang ada di standar prosedur operasional jika kita melakukan sesuatu, tipe ini memiliki runtutan di dalam kepalanya seperti itu. Secara sistematis dan analitis, ia akan membuat kompartemen di dalam kepalanya dengan sangat rapi. Jadi, saat akan diambil tidak akan jatuh berceceran.

Antara Jenius dan Biasa Saja, Mana yang Lebih Teratur?

Lalu, bagaimana dengan tipe yang bertolak belakang? Bukan berarti sistem dalam kepalanya tidak terkategori. Hanya saja ia merekam semua informasi, menyimpannya dalam memori dengan caranya sendiri. Jelas berbeda dengan tipe sebelumnya. Makanya ketika kamarnya dibereskan, dia malah akan sebal dan marah. Sebab dia sudah memiliki pembagian sendiri di dalam kepalanya, yang bisa dibilang terorganisasi dengan caranya sendiri.

Bagaimana dengan orang yang memiliki kapasitas intelektual rendah?

Sebuah cerita menarik saya dapatkan dari teman saya. Ketika ia membimbing anak-anak magang ke sebuah tempat pendidikan untuk tuna netra, terjadi sebuah percakapan menarik. Kebetulan di tempat tersebut ada seorang tuna netra dengan kapasitas intelektual yang tak terlalu tinggi. Jika diajak bicara, lawan bicaranya sulit menangkap apa yang dia maksudkan. Ketika para mahasiswa magang ini berkomunikasi dengannya, mereka mengatakan tak ada masalah dengan komunikasinya. Mereka malah bingung mengapa orang lain menganggap si tuna netra ini aneh.

Saat itulah teman saya menyadari, sesama individu dengan kapasitas intelektual yang tidak terlalu tinggi memiliki cara pemrosesan informasi yang sama. Karena kebetulan memang mahasiswa yang magang itu semuanya memiliki kapasitas intelektual biasa-biasa saja atau bahkan agak kurang.

Di sisi lain, bagaimana dengan orang-orang yang dianggap jenius? Kembali pada bagaimana mereka merekam jejak-jejak informasi itu. Jika orang biasa menyelesaikan persoalan dengan lima langkah, maka individu dengan kapasitas intelektual jauh di atas rata-rata akan memangkas langkah yang tidak perlu atau membiat langkah baru sehingga langkah yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit.

Saya melihat ini pada teman-teman yang dulu ikut olimpiade matematika. Cara mereka menyelesaikan persoalan tidak dengan cara atau langkah matematis yang biasa diajarkan. Mereka lebih melalukan logika matematis yang akan bisa memperpendek cara langkah-langkah matematis yang memang diajarkan di sekolah.

Manajemen Rumah Tangga Ala Emak-Emak

Sebagai ibu rumah tangga, menjaga rumah agr tetap teratur dan rapi adalah bagian penting untuk menjaga kesehatan mental. Oleh karena itu, menjadi seorang yang well-organized amatlah penting. Jika tidak, apa yang bisa terjadi di rumah?

Setelah empat tahun menjadi ibu rumah tangga, sampai sekarang aku masih mencari pola. Rutinitas seperti apa yang membuatku bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, tetap memperhatikan anak-anak, dan di saat bersamaan tetap mampu untuk berkiprah menggapai mimpi.

Sudah beberapa kali aku mencoba mengganti rutinitas itu. Biasanya selalu gagal setelah hampir satu minggu mencoba. Selalu saja ada hal yang merusak rencana yang sudah disusun atau mengganggu rutinitas itu.

Nah, kali ini aku sedang mencoba rangkaian habit baru dalam upaya untuk mengatur semua peran yang ada di rumah ini. Alhamdulillah sudah berjalan selama lima hari dan sejauh ini masih bisa dilakukan dengan cukup konsisten, walau ada beberapa kendala dalam pelaksanaannya.

Ada beberapa yang benar-benar aku sadari, yaitu membuat daftar kerja harian adalah sesuatu yang penting. Hal ini membuat kita tahu sesungguhnya setiap hari harusnya melakukan apa saja. Lebih baik lagi jika ditambahkan waktu pengerjaannya. Dengan demikian, jadi benar-benar tahu persisnya selama ini berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk itu.

Mulai hari ini aku pakai aplikasi timer di ponsel sebagai cara menghitung waktu yang dihabiskan untuk satu tugas. Jika sudah habis waktunya, langsung beralih ke tugas lainnya. Termasuk untuk istirahat juga diberi batasan waktu, sehingga tidak kebablasan.

Menjeda dengan istirahat juga penting untuk kembali memulihkan energi. Misalnya take a nap 15 menit atau hanya merebahkan badan 5 menit saja sudah cukup. Karena tetap saja kita butuh istirahat di tengah kerjaan ibu rumah tanggal yang 24 jam itu.

Oiya aku mulai melakukan ini selain untuk membentuk habit baru adalah sebagai bagian dari bentuk mengelola emosi. Seperti yang sempat aku singgung di awal tulisan ini, rumah dan pekerjaan rumah tangga yang berantakan hanya membuat emosi memuncak. Alih-alih beres, akhirnya banyak yang tidak dikerjakan.

Cara berikutnya adalah berusaha tidak lagi menunda. Duh, satu ini yang paling super susah. Rasa malas dan inginnya tidur saja itu selalu mengikuti. Namun, ketika aku mulai tidak menunda, misalnya urusan setrika saja, entah mengapa kerjaan satu ini terasa lebih mudah. Sebab, lama-kelamaan kerjaan setrikanya semakin sedikit. Bukannya itu enak?

Nah, yang belum dilakukan adalah mendata dan menghitung waktu untuk tugas dari peran lainnya. Harapannya ketika sudah dapat semua datanya aku bisa lebih mengatur semuanya dengan lebih baik. Bisa mengelola mana yang memang harus aku hentikan, mana yang harus aku teruskan.

Karena sesungguhnya aku sudah mulai merasa jenuh dan lelah dengan semua ini. Terlalu banyak yang aku kerjakan malah bikin pusing sendiri. Semoga setelah memanfaatkan sifat well-organized ku dulu, aku bisa kembali memperbaiki kualitas kehidupanku. Lalu, tentunya tidak lagi marah-marah karena semua tugas sudah aku selesaikan dengan sebaik-baiknya.

Anyway, silahkan dicoba sedikit tips ala emak-emak untuk mengelola hari dan kebiasaanmu.

Hidup Sebagai Pencilan, Apa Rasanya?

“Ndah, kamu gak ikutan silakbar FUSI hari ini? Rame loh!”

Sudah kali ke berapa aku mendengar pertanyaan serupa. Mempertanyakan alasanku yang tidak hadir saat reuni para anggota dan pengurus FUSI, sebuah organisasi kampus yang mewadahi bidang dakwah Islam. Bukan hanya kehadiran saat reuni, termasuk ketika aku tidak tergabung di grup alumni.

Bukan tanpa alasan pertanyaan ini muncul. Kedekatanku dengan teman-teman yang bergerak di bidang dakwah telah memberikan branding yang sama kepada diriku. Bahwa aku adalah bagian dari pengurus yang mendukung pergerakan Islam di kampus.

Padahal nyatanya tidak. Aku tidak pernah aktif menjadi anggota maupun secara resmi menjadi pengurus. Aku tidak pernah mendeklarasikan diriku sebagai bagian dari FUSI, termasuk untuk turut serta dalam kepanitiaan lepas yang dibentuk ketika mereka mengadakan acara. Meskipun ikut serta dalam kajian kelompok kecil yang diadakan oleh organisasi ini selama berada di kampus.

Namun, ketidakaktifanku di pengurus bukan berarti membuatku melupakan jasa FUSI sendiri. Melalui organisasi inilah aku mengenal dakwah Islam. Lewat FUSI aku kembali belajar tentang Islam, yang selama ini tidak pernah aku temukan selama pelajaran agama sepanjang sekolah. Bisa dibilang FUSI telah menjadi salah satu lingkungan sosial yang mendukungku untuk hijrah semenjak kuliah. Walaupun aku sendiri tidak pernah aktif dalam pergerakan. Tidak pula aktif dalam dakwah. Aku hanya menjadi orang yang menerima indahnya ukhuwah yang diciptakan oleh organisasi ini.

Mungkin ini berangkat dari prinsipku ketika kuliah, bahwa aku tidak ingin mengidentifikasikan diri pada golongan tertentu. Jadinya tidak pernah melekatkan diri pada organisasi tertentu semasa kuliah. Berasa saja menjadi pencilan di sana dan di sini, hehehehe.

Pencilan dan Prinsip

Menjadi pencilan di berbagai situasi mungkin sudah membuatku terbiasa. Semenjak SD saja bisa dibilang aku seperti pencilan dibanding teman-teman yang lain. Punya latar belakang, kemampuan, dan kebiasaan yang berbeda dari rata-rata teman sekelas. Begitu pula saat memasuki masa SMP, masih merasa menjadi sosok yang pencilan dibanding teman-teman lain. Hasilnya, sampai sekarang aku merasa tidak punya teman yang benar-benar lekat. Seiya-sekata, selalu curhat, bahkan tahu semua masa naik-turun yang aku punya.

Berlanjut hingga sekarang aku makin terbiasa hidup dalam situasi seperti itu. Walaupun aku sendiri merasa nyaman ketika berada pada kelompok-kelompok tertentu, merasa ada temannya di saat itu. Mungkin ini yang disebutkan bahwa kita itu ditentukan oleh bagaimana teman-teman kita.

Seperti saat kuliah dulu, memilih untuk tidak berteman dengan teman-teman yang “berada” karena memang tak memiliki kemampuan untuk mengikuti gaya kehidupannya. Hal ini menjadi biasa sampai sekarang. Tidak suka ikut dalam hal yang sedang “hype” karena merasa itu bukan gaya sendiri dan merasa tidak mampu untuk mengikutinya. Apakah ini artinya aku punya prinsip?

Pada dasarnya semua kembali pada potensi yang dimiliki. Bagaimana kita bisa mengobrol santai dengan seseorang semua tergantung pada keselarasan cara berpikir, kebiasaan, dan wawasan. Selama ini dikelilingi oleh orang-orang dengan kecerdasan di atas rata-rata membuatku merasa lebih “nyambung” dengan mereka.

Akan tetapi, mungkin dalam diriku juga ada kepribadian yang sifatnya skizofrenik, yang lebih nyaman menyendiri dibanding ikut serta dalam kelompok dan menjadi sama dengan orang lain. Akhirnya, lagi-lagi aku menjadi pencilan dibanding orang lain.

Menjadi pencilan sendiri bukanlah hal mudah karena terkadang ada rasa kesepian di situ. Merasa tidak ada orang yang memahami, sehingga mudah sekali timbul kesalahpahaman. Oleh karena itu, butuh untuk berkumpul dengan para pencilan lain agar kembali merasa baik-baik saja. Merasa jiwanya terpenuhi oleh orang-orang yang memang sejalan dan semakna.

Intinya, menjadi pencilan bukan hal buruk selagi itu memang menggambarkan diri kita yang sesungguhnya. Terpenting, kita sendiri merasa nyaman menjadi seorang pencilan karena selama hidup kita akan menemui beragam situasi yang menuntut untuk menjadi sama dengan orang lain. Dengan menjadi pencilan, kita tahu keunikan diri, tetapi di saat bersamaan harus mampu menerima tidak semua orang mampu mengerti kita.

Kembali pada prinsip kehidupan kita, saat ini lebih banyak untuk dihiasi oleh rasa kesepian yang hadir karena merasa jadi pencilan atau merasa puas dengan kehidupan karena mampu menemukan jati diri. Tak semua orang bisa merasa puas dengan kehidupannya karena masih tidak mampu memisahkan diri dari jati diri kelompok. Dengan demikian, beruntunglah buatmu yang merasa jadi pencilan, di tengah semua kenormalan itu.

Oiya, satu lagi pencilan terbaik adalah pencilan yang penuh kebaikan. Menjadi unik karena baik untuk kehidupan. Jangan menjadi pencilan yang penuh gangguan, ya. Kita tetap harus meyakini Allah menciptakan kita dalam keunikan agar kita berada pada jalan kebaikan, bukan jalan yang buruk. Tetap positif dengan semua keunikan itu, sehingga tetap bisa menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Jurnal Buncek #17 Tahap Kupu-kupu 2: Menemukan Mentor-Mentee

Setelah mengeset diri menjadi mentor, pekan ini waktunya untuk mulai pencarian mentor pribadi maupun mentee. Sampai detik waktunya formulir pendaftaran mentee dibuka aku masih bingung mau memilih ilmu apa yang ingin dipelajari. Maka, ketika menengok kembali peta belajar yang pernah aku buat.

Hampir semua aspek dari peta belajar tentnag mengelola emosi ini sudah aku lakukan. Mencoba menerapkan terapi emosi, mengelola tugas/waktu agar lebih stabil secara emosi, bahkan di tahap kepompong kemarin mencoba mengendapkan pengelolaan emosi ini ke salah satu petunjuk yang paling utama, yaitu Al-Qur’an. Belum lagi mencoba menjalani program puasa bersikap emosional dengan berkata baik atau diam saja. Aku merasa sudah semua aku jalani, tinggal bagaimana caranya melakukan semua itu secara konsisten di perjalanan kehidupan berikutnya.

Setelah ditengok-tengok lagi, ternyata yang belum lengkap adalah pembelajaran tentang mengelola diri, khususnya tentang tidur, makan, dan olahraga. Akhirnya, aku memutuskan mencari mentor yang bisa memberikan bantuan untuk melakukan ketiga hal ini.

Namun, setelah mengulik-ulik dari album mentor memasak, ternyata yang diincar semua sudah taken. Hehe, sempat panik, dong. Yah, wajar saja karena memang baru mencari secara serius setelah pertempuran perebutan mentor di waktu pembukaan formulir pengisian mentee. Semua mentor yang terlihat cetar sudah terambil orang teman-teman yang gerak cepat.

Kemudian, aku beralih ke album mentor “lain-lain,” maksudnya adalah para mentor yang isi ilmunya berada di luar kategori album mentor lainnya. Kemarin saat melirik sebentar album ini aku menemukan hidden gem yang tidak disangka-sangka. Keahlian para mentor yang tidak tertangkap oleh album lainnya. Ternyata di album ini aku menemukan beberapa yang sesuai kebutuhan. Utamanya tentang memasak, gizi, dan dapur. Selain itu, ada juga tentang terapi fisik yang memang dirasa aku butuhkan selain pembelajaran tentang olahraga.

Sampai aku menemukan satu CV yang dari pencarian sebelumnya juga sempat menarik perhatianku. Seorang dokter, general practicioner, yang sekarang berdomisili di Australia. Mba Maya Divina. Salah satu poin yang menarik dari CV yang dibagikannya adalah tentang pendalamannya mengenai ilmu geriatri.

Well, aku sendiri merasa sedang butuh ilmu ini. Walaupun dulu juga belajar tentang ilmu geriatri di psikologi perkembangan, tetapi ingin tahu dari ahlinya juga. Apalagi Mba Maya adalah seorang dokter umum yang memang berpraktik di sana. Artinya ia tidak hanya sekadar tahu, tetapi juga menghadapi secara langsung pasien-pasien ini.

Sebagai seorang psikolog, aku meyakini bahwa perubahan diri menyangkut aspek bio-psiko-sosio-spiritual. Aspek biologis menyangkut kondisi tubuh kita, mulai dari tidur, asupan makanan yang masuk, pergerakan, dan sebagainya. Aspek psikologi berkaitan dengan segala sesuatu yang berujung pada kestabilan emosi, pikiran, dan perilaku. Aspek sosial yaitu berkaitan dengan hal-hal sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana lingkungan memberikan dukungan terhadap perubahan diri kita. Terakhir, aspek spiritual, yaitu bagaimana kita memaknai kekuatan di luar diri kita ternyata mengendalikan kehidupan ini.

Dalam perjalanan mengelola emosi, aku banyak fokus dalam aspek psikologi dan spiritual. Tertuang dalam prosesku dari tahap ulat sampai kupu-kupu. Lalu, bagaimana kedua aspek lain?

Aku merasa bisa mendapatkan bantuan dari Mba Maya. Ilmu geriatri bisa mendukungku untuk memahami lebih lanjut kondisi sosial yang aku miliki saat ini terkait orang tua. Karena aku menyadari kondisi orang tua saat ini yang paling menggerus kondisi emosionalku. Kemudian, jika memungkinkan ada ilmu lain yang juga dimiliki Mba Maya, yaitu tentang kesehatan anak dan gizi yang juga menjadi perhatianku saat ini. Salah satu aspek yang juga menentukan kestabilan emosiku.

Dengan demikian, saat meminang aku mencoba menitikberatkan pada dua hal ini. Betapa aku membutuhkan kedua hal ini dalam kehidupanku. Keilmuan langka yang dimiliki oleh Mba Maya aku harapkan mampu memberiku lebih banyak pelajaran terkait masalah yang aku hadapi saat ini. Belum lagi, beliau adalah seorang dokter yang berpraktik di luar negeri, bisa menjadi tambahan ilmu lain yang bisa aku dapatkan ke depannya.

Jadi, aku merasa bersyukur menemukannya. Ini adalah sebuah takdir, sebuah langkah yang Allah buatkan dan aku yakin ada kebaikan ke depannya. Semoga perjalananku di tahap kupu-kupu ini bisa lebih baik dari tahapan sebelumnya.

Terima kasih, Mba Maya sudah menerima diriku sebagai mentee-mu.

Saatnya Menjadi Mentor: Menulis untuk Memaafkan

Sekarang sedikit cerita perjalanan mendapatkan mentee dalam topik yang aku angkat “Memaafkan lewat Tulisan.” Seperti yang aku ceritakan kemarin sebenarnya topik ini cukup berat karena bisa menjadi satu sesi untuk terapi sendiri. Rasa “berat” ini aku baru rasakan setelah mengunggah CV, duh, kebiasaan ya selalu telat menyadari.

Oleh karena itu, aku memang mencari mentee yang memang memiliki keseriusan untuk menjalani proses ini. Sebab, proses memaafkan, mau dengan cara apapun adalah langkah yang berat. Kita akan berhadapan dengan kondisi-kondisi yang mungkin selama ini sudah bikin kacau jiwa dan raga kita. Dengan demikian, aku hanya ingin menerima mentee yang sudah betul-betul siap untuk menjalani proses ini.

Cukup terkaget karena baru saja setengah jam berlalu dari waktu pembukaan sudah dua yang melamar. Walau batas penerimaan mentee memang dua, harapannya, sih gak banyak-banyak yang mendaftar, he-he-he.

Dari kedua mentee ini, portofolionya cukup menarik. Keduanya terlihat sangat tertarik untuk menjalani topik yang aku angkat. Pertanyaannya, seberapa siap mereka?

Mba Agi, yang pertama mendaftar ternyata sudah cukup banyak menuliskan perihal menulis untuk menyembuhkan luka. Ia melampirkan beberapa portofolio tulisannya terkait hal ini. Sebuah tawaran yang menarik karena aku memang butuh mentee yang sudah terbiasa menulis, sehingga bisa mengeksplorasi rasa yang dimiliki. Sebab, tidak banyak orang yang merasa butuh untuk memaafkan, tetapi mampu menulis dengan baik.

Setelah beberapa pertanyaan terkait motivasi dan alasan mendasar untuk menjalani proses memaafkan ini, akhirnya aku menerimaan Mba Agi sebagai mentee. Well, pada dasarnya aku itu sulit menerima orang, jadi memang tinggal merasa cocok gak ya dalam hati.

Kemudian, mentee kedua yang mendaftar adalah Mba Anne. Selama berada di hutan kupu-kupu aku sudah beberapa kali berhubungan dengan Mba Anne. Mulai jadi narasumber untuk kelompok self-care tempat ia berada. Sampai berlanjut hubungan di acara perkenalan teman-teman di kupu cekatan. Dari percakapan itu aku mendapati Mba Anne orang yang cukup gigih untuk berjuang memperbaiki dirinya.

Saat portofolio diserahkan, aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai proses yang sudah dia lakukan. Satu yang menarik untukku adalah dia telah menyelesaikan “jurnal syukur” selama 30 hari di tahap kepompong kemarin. Ini merupakan sebuah kunci lain, yaitu konsistensi. Kemampuannya untuk konsisten membuatku menerimanya menjadi mentee dengan harapan ia mampu menjalankan proses memaafkan ini sebaik jurnal syukur yang sudah ia lakukan.

Sebagai seorang psikolog, aku terkadang ingin membantu lebih banyak orang, tetapi apa daya kemampuan dan waktu yang kurang. Dengan demikian, aku merasa cukup puas saja mendapatkan kedua mentee ini. Semoga ke depannya proses mentoring bisa berjalan dengan lancar dan keduanya bisa mendapatkan sedikit dari apa yang bisa saya bagi ini.

Selanjutnya, tinggal lanjut untuk menyelesaikan tantangan membagikan pengalaman sebagai mentor. Semoga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada para mentee tentang proses yang bisa mereka lakukan selama beberapa pekan ke depan.

Ganbatte ne.

Bismillah.

Jurnal Buncek #16 Tahap Kupu-kupu 1: Menjadi Mentor

Semua guru, semua murid.

Setelah menjalani banyak peristiwa dalam hidup ini, akhirnya memahami bahwa kita bisa belajar dari mana saja. Bahkan dari waktu, kejadian, maupun orang yang tidak pernah dengan sengaja kita berguru kepadanya. Ilmu yang selama ini mungkin menurut kita sederhana, ternyata bisa saja menjadi jalan kebaikan bagi orang lain.

Maka, sebagai tahap pertama di kupu-kupu Bunda Cekatan #6 ini adalah mengajukan diri sebagai mentor. Menjadi seseorang yang berbagi kebaikan kepada orang lain. Karena sebaik apapun ilmu yang kita miliki kalau tidak pernah dibagikan, tidak akan pernah berkembang.

Buat aku, karena selama ini sudah pernah bekerja di posisi sebagai “mentor” baik ketika menjadi dosen, psikolog maupun penulis, sebenarnya tidak masalah untuk menjadi seorang mentor. Malahan semangat berbagi ini begitu menggebu-gebu karena kebutuhan untuk membantu orang lain itu begitu mendarah daging. Namun, pertanyaannya aku mau menjadi mentor dalam bidang apa?

Selama ini selalu berasa menjadi seorang yang “palu gada”, apa yang kamu mau aku ada/bisa. Setiap kali diminta mengisi bahasan psikologi selalu setuju saja. Ketika ada pertanyaan yang terkait psikologi pun selalu berusaha menjawabnya dulu, baru merujuk kepada yang lebih ahli jika ingin jawaban lebih baik. Jarang sekali untuk langsung merujuk, kecuali memang di luar kemampuan.

Jadi, ketika memilih apa yang mau dibagi, agak bingung. Bukan karena tidak ada, tetapi inginnya sesuatu yang unik dan memang bisa membantu. Kalau ikut kata Magika, personal branding-nya apa?

Saking bingungnya lalu menanyakan seputar branding ini di status WA. Beberapa menjawab dengan pekerjaan, ada juga yang menjawab dengan sifat. Hmm, menarik, ya. Ternyata memang profesi sebagai psikolog sudah cukup melekat. Beberapa yang menjawab seputar profesi ini adalah orang-orang yang memang baru berinteraksi setelah aku bekerja sebagai psikolog dan mengisi beberapa seminar.

Sebaliknya, yang menjawab dengan sifat adalah mereka-mereka yang berinteraksi denganku sebelum mengambil profesi psikologi. Baik itu teman kuliah maupun orang yang mengenalku ketika masih dibangku sekolah. Imaji yang mereka dapatkan tentangku itu tak salah juga. Bahkan membangkitkan semangatku lagi karena akhir-akhir ini merasa tangkapan mereka atas gambaran diriku itu tidaklah benar. Well, aku memang sempat di masa krisis kemarin.

Akhirnya, satu jawaban yang cukup melekat adalah jawaban dari salah satu mentor menulis yang dulu adalah mahasiswaku di kampung halaman. Jawaban psikolog yang menulis mungkin memang menggambarkan diri ini sekarang. Dengan demikian, aku menimang-nimang apa yang bisa aku bagikan dengan menggabungkan dua poin ini.

Finally, setelah perenungan cukup lama memilih topik yang memang sudah cukup mendarah daging dalam diri. Memaafkan lewat menulis. Alasannya, topik ini adalah satu dari sekian banyak topik psikologi yang sangat aku sukai. Isu ini pula yang masih aku angkat hingga hari ini. Kemudian, aku ingin sekali lagi memanfaatkan keterampilan menulis menjadi bagian dari proses berbagi ini. Tadinya, mau menjadi mentor menulis saja, tetapi terasa kurang greget karena terlalu umum. Makanya, topik ini terasa pas sekali.

Ini bukan pertama kali menjadi mentor dalam topik pemaafan. Tahun 2019 akhir kemarin aku menerbitkan satu buku kolaborasi bersama teman-teman yang berhasil menulis tentang proses memaafkannya kepada ibu yang tak sempurna. Sebuah buku berjudul Melepas Luka menjadi salah satu buku yang sangat aku sukai. Karena dalam buku ini tidak hanya memuat cerita masing-masing penulis yang ikut serta, tetapi juga teori-teori tentang proses memaafkan pun aku masukkan.

Alhasil, sekarang aku ingin kembali merajut mimpi yang sudah berulang kali aku coba tanamkan dalam diri. Membantu orang lain dalam proses memaafkan dan menerima diri. Semoga dengan menjadi mentor dalam tahap kupu-kupu ini bisa menjadi salah satu langkah menuju jalan itu. Semoga Allah meridai langkah ini.

Oiya, kalau saja ini berhasil dan berjalan lancar, apakah mungkin setelah ini aku lebih percaya diri untuk membantu lebih banyak orang perihal ini, ya?

Semoga Allah yang memampukan dan memudahkan.

Rumahku, Surgaku?

Setelah menikah, memiliki rumah sendiri adalah sebuah impian. Membangun rumah tangga bersama pasangan, membesarkan anak-anak, menjadikan rumah itu sebagai surga dunia yang akan selalu dirindukan penghuninya ketika jauh. Namun, apakah semua rumah bisa menjadi surga bagi para anggota keluarga yang menempatinya?

Tidak mencoba untuk bersikap muluk, hanya satu pertanyaan sederhana yang bisa menjadi indikator dari kondisi ini, “Apakah ketika jauh kita merindukan rumah itu?”

Iya rasa rindu menandakan adanya ikatan antara kita dengan sesuatu. Ikatan yang terbentuk tidak sembarang. Ikatan itu hadir sebagai hasil dari interaksi yang telah terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Kalaupun tidak lama, tetapi memiliki kualitas yang baik sekali, sehingga membuat kita merasa nyaman berada di dalamnya.

Betul, kualitas yang baik, yang bisa menghasilkan kenyamanan, itulah indikasi rumah kita telah menjadi surga bagi para penghuninya. Rumah yang bisa membuat setiap anggota keluarga merasa itulah tempat kembali. Rumah yang bisa membuat para penghuninya berkembang hingga titik maksimal untuk kemudian terbang melesat mengarungi dunia. Rumah yang dengan setia memberikan kehangatan, dengan tangan terbuka akan menerima siapapun yang ingin mendatanginya. Rumah yang ketika kamu bercerita kepada orang lain membuat air matamu menetes karena begitu merindukannya.

Sudahkah memiliki rumah yang demikian?

Mungkin tidak semua di antara kita yang mendapatkan rumah yang demikian. Buatku orang-orang yang sudah menemukan rumah demikian di kehidupannya adalah orang-orang yang telah Allah pilih dengan keberkahan luar biasa. Namun, bukan berarti orang-orang yang tidak memilikinya berarti tidak dicintai Allah. Bukan, bukan demikian.

Sebagaimana yang seharusnya kita pahami sebagai seorang muslim, baik itu sebuah kebaikan maupun keburukan, keduanya adalah takdir yang telah Allah tetapkan. Di dalam keduanya ada pembelajaran yang harus bisa diambil hikmah agar bisa menjalani kehidupan ini sebagai hamba-Nya yang baik.

Bagi yang memiliki rumah yang nyaman, maka telah Allah beri kelebihan di atas kekurangannya yang lain. Bisa saja mereka tak memiliki kecukupan harga, tetapi mampu memberikan kehangatan hati dan perhatian sepenuh jiwa. Sebaliknya, rumah yang tak membuat kita betah menjadi tempat untuk terus mengasah keikhlasan, melewati ujian yang bernama keluarga. Bahkan bisa jadi kita sebenarnya mendapatkan kelebihan di sisi lain, yang mungkin harus kita juga perhatikan.

Rumahku, Ujian Kehidupanku

Mau membuat rumah menjadi surga atau neraka, semua kembali kepada kita. Apakah kita sudah memiliki kesadaran bahwa menjadikan rumah sebagai surga adalah salah satu cara untuk mendapatkan keberkahan dari Allah dalam kehidupan?

Ketika rumah telah menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang, berapa banyak doa-doa kebaikan terpanjat untuk rumah ini. Berapa banyak malaikat yang akan hadir untuk mengamini doa-doa itu. Komunikasi satu sama lain akan terbentuk dengan mudahnya, tidak ada ganjalan-ganjalan emosi yang hadir menunda kebahagiaan satu sama lain.

Akan tetapi, terkadang kita lupa atau terlambat menyadari tentang keberhargaan rumah ini. Sibuk mencari kebahagiaan di luar rumah, sampai lupa bahwa sesungguhnya rumah adalah jalan pertama untuk menuju surga-Nya setelah menjadi surga dunia.

Saya sendiri sedang berada di titik ini. Membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk melihat ke dalam diri, ke dalam rumah, tentang arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Bahwa kebahagiaan untuk mendapatkan surga itu sebenarnya tidak perlu aku cari susah-payah dengan mengerjakan banyak peran di luar sana. Sebaliknya, menjalankan peran yang baik sebagai istri maupun ibu, itulah jalan surga yang sesungguhnya.

Benar saja, berapa banyak pun peran yang kita jabat di luar. Namun, kegagalan untuk memberikan kenyamanan bagi anggota keluarga, tak akan pernah memudahkan jalan kita ke surga. Sayangnya, waktu untuk menyadari ini begitu singkat. Di masa ketika kita melihat ada banyak orang yang bisa menjalankan banyak peran di usia yang sama, membuat ego tergelitik untuk menggapai hal yang sama.

Padahal lagi-lagi, kita tak pernah sama dengan orang lain. Di saat ada orang-orang yang Allah beri banyak peran karena memang peran-perannya di rumah sudah selesai, tentu ada juga orang-orang seperti diri ini yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan perannya di rumah. Sayap yang mungkin selama ini sudah terlalu mengembang untuk banyak orang di luar sana, sudah waktunya untuk dilipat dan kembali memberi kehangatan bagi orang-orang yang ada di rumah.

Namun, ada satu hal lain yang aku sadari. Jangan-jangan selama ini banyak mencari peran di luar sana karena menghindar untuk bertanggung jawab menciptakan surga itu. Karena jelas sekali, membuat rumah menjadi surga dunia tak semudah membalikkan telapak tangan.

Apalagi ketika kita sendiri dulu mungkin tak menemukan rumah yang damai. Harus berusaha mendamaikan diri dulu agar bisa membagi getaran positif itu kepada anggota keluarga lain. Fuh, berat tetapi bukan berarti tidak mungkin.

Jangan lupa kita diciptakan untuk terus mendekat dengan-Nya. Belajar dari kehidupan masa lalu untuk memperbaiki kehidupan saat ini. Artinya, semua tergantung pada diri kita, mau menjadikan rumah itu surga atau tetap berada pada bayangan keburukan di masa lalu

Bagaimana caranya agar bisa menjadikan rumah sebagai surga?

  • Kembali memaknai peran/fitrah sebagai perempuan yang utama setelah menikah, yaitu istri. Tentang ini sudah pernah saya tuliskan di cerita tentang peranmu, surgamu. Yes, sesederhana itu untuk masuk surga sebagai perempuan, menjadi taat kepada suami. Maka, ketika kembali pada fitrah sebagai perempuan, sebagaimana yang Allah ciptakan, InsyaAllah rumah menjadi surga seutuhnya.
  • Mengambil tanggung jawab penuh atas peran tersebut. Artinya menyadari sepenuh hati bahwa dalam peran itu ada tanggung jawab yang mesti dikerjakan. Sebaiknya mulai buat daftar panjang tanggung jawab itu beserta kesediaan waktu untuk menjalankannya.
  • Bekerja sama dengan pasangan untuk mendapatkan keridaan-Nya. Jelas surga seorang perempuan itu terletak pada suaminya. Bagaimana pasangan membimbing, menemani, dan mengarahkan adalah salah satu kunci penting lain. Namun, tetap saja diikuti oleh sikap qonaah kita sebagai perempuan. Bagaimana bersikap dan melapangkan diri untuk bisa berjalan dan belajar dengan baik dan benar untuk kepentingan seluruh keluarga.
  • Terakhir, berdoa memohon keridaan Allah untuk keluarga kecil kita. Minta kepada Ia ketika merasa senang, sedih, susah, marah, karena hanya kepada Ia satu-satunya kita meminta pertolongan. Tidak ada senjata lain yang bisa mengubah nasib ini selain berdoa, bukan?

Tentunya cara-cara ini kembali harus pada tuntunan ya. Minta juga kepada Allah petunjuk agar kita selalu menjadi individu yang baik. Bisa menularkan getaran-getaran positif kepada orang-orang di sekitar kita. Terutama kepada suami maupun anak-anak. Jangan sampai kita terlihat baik di luar, baik kepada semua orang, tahunya kepada anak sendiri berjarak jauh tanpa pernah bisa melekat.

Well, PR sejatinya seorang ibu, seorang perempuan itu bukan tentang ia yang bisa menjalankan semua tugas secara sempurna. Bukan pula yang punya banyak peran. Namun, sesederhana menjadikan rumahnya surga, agar bisa membawa seluruh anggota keluarga ke surga.

Bismillah, semoga Allah mudahkan jalan kita menjadikan rumah ini sebagai surga.

Euforia Lebaran Setelah Dua Tahun Pandemi, Apa Kabar Kampung Halaman?

Dua lebaran terlewati karena pandemi. Tiba-tiba saat ini semua orang langsung serentak menuju kampung halaman. Darat, laut, udara, semua moda transportasi penuh sesak. Bahkan semua orang rela mengeluarkan kocek yang tak sedikit, mengorbankan waktu bermacet-macet ria, semua demi satu hal berlebaran di kampung halaman.

Mungkin tak bisa dipungkiri, mobilisasi paling besar di negara kita adalah saat momen Idulfitri. Ketika hampir seluruh lapisan masyarakat merayakan dengan suka cita sebuah hari raya setelah satu bulan penuh berpuasa. Idulfitri benar-benar disambut dengan gegap gempita.

Apalagi setelah dua tahun pandemi, rasa rindu menuju kampung halaman itu tak terelakkan lagi. Semua rindu yang dikumpulkan untuk bertemu orang-orang terkasih seolah tumpah ruah kali ini. Semua merasa bahagia, semua bergembira seolah tak perlu menahan diri lagi atas semua kesulitan yang terjadi sepanjang pandemi.

Seolah semua serentak berkata, “Ini waktunya, sudah waktunya.”

Betul, sepertinya sekarang tidak ada lagi yang merasa takut dengan pandemi. Sudah cukup lelah dengan semua keterbatasan yang dijalani selama dua tahun terakhir. Sudah cukup banyak kehilangan yang dirasakan sepanjang pandemi menemani kehidupan ini. Maka, sudah waktunya kembali untuk merayakan kemenangan bersama keluarga tercinta. Momen yang selalu dinanti dalam kehidupan para umat Muslim di Indonesia.

Patuh Prokes, Jaga Diri dan Keluarga

Meskipun semangat untuk mudik sudah membara, tetap saja menjaga protokol kesehatan harus dinomorsatukan. Entah sejak kapan, secara otomatis kita telah terbiasa menggunakan masker. Bahkan sudah seperti bagian dari fashion sehari-hari yang tak boleh ketinggalan.

Termasuk cuci tangan dan menjaga diri ketika sedang ada gejala sakit. Dua tahun dibiasakan untuk menjadikan prokes ini sebagai rutinitas, ternyata telah membuatnya menjadi bagian dari gaya hidup. Hmm, ampuh juga, ya. Jikalau sebelum pandemi amat sulit mengajarkan orang untuk menjaga diri maupun orang lain, ternyata setelah pandemi dengan mudahnya semua itu menjadi kebiasaan. Sebuah nilai positif yang didapat dari pandemi ini, right?

Kembali lagi, jangan lupa karena terlena dengan kebersamaan dengan keluarga, sampai lupa menjaga kebersihan dan kesehatan. Meskipun mungkin sebenarnya kita semua sudah terpapar virus COVID-19 tanpa kita sadari, tetap saja harus bisa menjaga kesehatan secara luas untuk semua penyakit.

Bukankah sebagai Muslim kita diwajibkan menjaga kebersihan dan kesehatan itu?

Mulai dari sebelum Salat saja kita harus menyucikan diri dulu, baik dari hadas besar maupun kecil. Lalu, menjaga diri dari najis yang mengotori diri maupun pakaian. Bahkan semua petunjuk tentang bersuci bisa kita temukan dalam agama ini.

Begitu pula perihal kesehatan, baik itu kesehatan jiwa maupun fisik semua diatur. Contoh sederhananya adalah pembahasan tentang Ikhlas, yang sebenarnya bisa menjabarkan cara-cara untuk membuat kita terbebas dari luka-luka masa lalu. Termasuk juga cara-cara mengelola emosi, menjauhkan diri dari penyakit hati, yang kalau dipraktikkan dengan baik akan menjauhkan kita dari masalah-masalah psikologis.

Apabila berkaitan dengan kesehatan fisik, maka kita diingatkan untuk banyak menjaga makanan yang kita konsumsi. Makanan yang halal serta thoyyib. Halal dalam mendapatkannya dan baik dalam menyajikannya. Karena nantinya makanan inilah yang akan mengalir dalam tubuh, memengaruhi ibadah kita nantinya.

Semakin hari setelah menelaah ayat-ayat Allah secara mendetail, betapa banyak petunjuk yang selama ini lalai dilakukan. Nyatanya kelalaian itulah yang membuat kita jadi tidak bisa menikmati kehidupan dengan baik. Berarti protokol kesehatan utama seorang Muslim sebenarnya adalah petunjuk yang telah disampaikan Allah swt beserta pedoman yang diajarkan Rasulullah saw. Jika kita mampu kembali pada petunjuk itu, InsyaAllah kehidupan kita menjadi lebih baik.

Euforia yang Tak Melewati Batas

Sebagai Muslim kita boleh sekali bergembira, tetapi tidak boleh melebihi batas. Batas yang seperti apa?

Misalnya, berlebihan dalam mempersiapkan perayaan itu, sampai tidak memperhatikan tetangga yang mungkin sedang kesulitan. Berlebihan dalam menunjukkan “rasa baru” di lebaran, sampai membuat kantong jebol.

Walau dalam kondisi bergembira kita tetap harus menjaga agar semua dalam koridor yang seharusnya. Tetap dalam kegembiraan yang tak melebihi batas maupun tidak melukai orang lain.

Jangan sampai yang tadinya ingin mendapatkan keberkahan atas semua ibadah di bulan suci, akhirnya menguap begitu saja karena muncul rasa yang tidak pada tempatnya. Semoga setelah Ramadan berlalu kita tetap bisa menjaga hati, pikiran, dan hawa nafsu. Menjadi individu yang lebih baik lagi, dalam kehidupan duniawi maupun mempersiapkan bekal akhirat.

Selamat Idulfitri 1443 H. Taqabbalallahu Minna wa minkum.. taqabbal Yaa Karim.