September 2022: Belajar Kembali Membangun Kebiasaan Baik

Bagaimana bulan September mu tahun ini? Adakah hal baik yang sudah dilakukan?

Aku agak bingung mau mendefinisikan bulan ini sebagai apa. Apakah baik atau buruk? Hmm.. mungkin sama seperti bulan-bulan lainnya, selalu ada kebaikan, begitu pula hal buruknya. Namun, secara umum suasana hati yang dibangun selama satu bulan ini, berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Jelasnya, tidak lagi diselimuti oleh persaan gloomy dan keinginan untuk banyak bermalas-malasan (walaupun masih), tetapi juga tidak yang 100 persen luar biasa. Setidaknya, satu kalimat, “Aku mulai baik-baik saja.”

Lalu apa saja yang sudah aku lakukan selama bulan September 2022 ini?

Aku pikir cukup banyak kebiasaan baik yang mulai dibuat. Walau ada hari-hari saat keinginan untuk kembali dalam cangkang dan hanya diam di dalamnya itu begitu kuat. Namun, ada satu kegiatan yang menurutku berpengaruh signifikan dalam membangun beberapa kebiasaan baik selama satu bulan ini.

Dalam urusan rumah tangga, aku mulai menemukan kenyamanan mengerjakan semua tugas-tugas. Mulai bisa tahu seberapa banyak waktu yang harus aku habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu. Mungkin ini juga yang membuat aku berani untuk kembali mulai melakukan satu hal baik itu, yaitu menulis.

Kali ini aku menantang diri untuk kembali pada kemauan menulis yang kuat dengan ikut kelas editor dari salah satu penerbit buku anak. Awalnya, tidak menyangka akan mendapatkan kelas ini. Diawali dengan coba-coba saja untuk nge-bit agar bisa masuk, ternyata takdir membawa aku masuk ke kelas ini. Sempat meragu, mampukah untuk mengkuti ritmenya. Apalagi kelas ini langsung disponsori oleh sebuah penerbit dan kita memang seperti sedang bekerja, menulis untuk penerbit tersebut. Bedanya, kita bayar saja, sih. He-he-he.

Jadi, aku dan 26 penulis buku lain masuk ke kelas ini tanpa tahu seperti apa kelasnya. Kupikir akan seperti kelas-kelas lainnya, yang materi, kebutuhan, cari ide, dan langsung nulis. Ternyata tidak! Pada masa pelatihan pra-penulisan, ada kebutuhan untuk melakukan riset pasar terlebih dahulu. Untuk itu, kami peserta harus membaca dari setidaknya 17 penerbit. Setiap penerbit harus menemukan 40 judul buku anak terbitan mereka. Belum lagi riset judul dari empat situs yang menyediakan buku anak gratis, laman membaca cerita anak, dan penyedia buku berbayar luar negeri. Wow, rasanya seperti digempur habis-habisan untuk selesai membaca semua itu.

Aku sendiri rasanya hampir menyerah untuk melakukannya. Apalagi saat ini masih ada hutang setidaknya 2 penerbit lagi dan sekitar 300 lebih judul yang harus dibaca. Gleg! kalau dihitung ternyata banyak juga. Namun, saat mengerjakannya, kok terasa happy saja. Apalagi sudah lama sepertinya aku tidak menyentuh buku-buku anak baru. Sudah setahun lamanya aku tidak menjambangi toko buku maupun tahu perkembangan buku yang baru terbit di agen-agen perbukuan. Artinya, ini seperti kesempatan langka untuk mendapatkan banyak melihat beragam buku yang sudah beredar di masyarakat maupun di dunia.

Sepanjang melakukan riset ini, ada banyak pemikiran yang membuat aku paham alasan riset dibutuhkan sebelum menulis. Pertama, tentunya membuka wawasan. Ketika selama ini kita pikir ide yang telah dimiliki adalah segalanya, ternyata tidak benar, Ferguso! Ada banyak orang dengan jutaan ide berhasil mengeksekusi ide itu dengan baik. Ada yang luar biasa membuat tercengang sampai tak habis pikir, dari mana ide itu berasal. Membuat ide yang sudah dipunya terkesan kecil sekali, tak ada apa-apanya.

Kedua, tentunya bisa melihat tipe-tipe buku yang telah dimiliki tiap penerbit. Bagaimanapun, setiap penerbit memiliki ciri khas, seperti apa buku yang rutin mereka terbitkan. Ini sebenarnya memudahkan kita untuk mencoba mengirimkan naskah ke penerbitan itu. Namun, hal ini tidak didapat hanya dengan membaca satu-dua judul saja. Butuh pengalaman menembus lebih dari 100 judul untuk paham karakteristik setiap penerbit serta perbedaannya dengan penerbit lain. Lagi-lagi, bikin melek mata buatku yang jarang meriset selama ini. Tahunya nulis aja.

Ketiga, ada dorongan untuk mendobrak habit buruk yang mulai terbentuk ketika aku memutuskan untuk resign. Tiba-tiba ada semangat yang memotivasi untuk kembali bangkit, aktif, dan melawan kemalasan itu. Sesuatu yang sebenarnya memang sudah sangat menggangguku, sampai-sampai membuat suasana hatiku terus kembali ke kondisi depresif. Setidaknya, berada dalam kondisi yang penuh tenggat waktu, banyak tuntutan ini, seolah mengembalikan energi dan motivasiku yang selama ini sudah tenggelam bersama kehidupan yang terasa begitu santai.

Meskipun demikian, aku berusaha tidak ngoyo atau memaksakan diri. Mengerjakan sebisa mungkin, sesuai waktu yang ditentukan. Walau sampai sekarang masih ada hutang, beberapa tugas lainnya bisa aku selesaikan tepat waktu. Aku mencoba kembali menata waktu dengan energi baru yang datang ini. Sambil menemukan kembali juga tujuan hidup yang sempat mengendur selama enam bulan terakhir. Mungkin memang, ini waktunya aku kembali memanjat setelah kembali dalam jurang yang kelam kemarin itu. Mengurai benang kusut kehidupan yang ada di kepala, dengan perlahan-lahan menata hati dan kehidupan.

Merancang Kegiatan Masa Depan

Satu yang mulai terbiasa aku lakukan adalah merancang kegiatan, menilai mana yang bisa dilakukan, mana yang tidak. Karena sudah mulai ajeg dengan urusan rumah tangga, aku mulai mencari lagi mana yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan diri. Agar waktu tak sia-sia habis dengan perilaku yang tak bermanfaat. Bukankah waktuku terlalu berharga untuk dihabiskan dengan cara yang biasa-biasa saja.

Selain itu, ada beberapa tawaran yang membuat aku mulai merasa bersemangat lagi. Baik itu untuk menulis ataupun memiliki peran secara keilmuan. Sekarang masih mencoba menentukan, kegiatan apa yang akan difokuskan selama tiga bulan ke depan. Setidaknya, untuk bulan Oktober sudah ada aktivitas yang terjadwal, semoga bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Belajar sekali lagi untuk melatih diri berhadapan dengan orang banyak. Melatih lagi untuk mengelola pikiran dan emosi agar bisa kembali maksimal.

Setidaknya apa yang dilakukan satu bulan mendatang menjadi bekal untuk bulan-bulan selanjutnya. Kembali membuat daftar mana yang boleh dan tidak boleh. Memilah mana yang prioritas dan tidak. Karena tetap saja tujuan hidup tak boleh keluar dari peran utama yang sudah dipilih, ibu rumah tangga. Jikalau ingin sibuk, maka menyibukkan diri untuk sesuatu yang manfaat bagi anak-anak. Memperbaiki diri agar terus bisa manfaat bagi keluarga. Naik level agar bisa kembali ke surga bersama mereka, mengapa tidak?

Sekali lagi, waktu itu semakin sempit. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi, bahkan untuk beberapa detik ke depan. Terpenting kita menjalankan setiap detik hidup ini dengan sesuatu yang bermanfaat. Bagi kita, tentu yang manfaat itu bernilai ibadah kepada Allah swt semata.

Kalau kamu, apa yang sudah kamu lakukan? September belum benar-benar berakhir, maka temukan apa yang belum kamu lakukan. Belum terlambat untuk merancangnya dan melakukannya untuk tiga bulan mendatang. Setidaknya, sebelum tahun berganti ke 2023.

Kembali Belajar di Desa Pelajar

Banyak pelajaran penting setelah Bunda Cekatan kemarin selesai. Belajar cara menemukan masalah, memilah, lalu menentukan prioritas. Mana yang butuh dikembangkan saat ini juga atau ditunda belakangan. Mencari mana yang paling tepat untuk dikuasai sambil memperbaiki pola kebutuhan agar menjadi seseorang yang cekatan. Cekatan dalam menemukan kebutuhan diri, cekatan pula menemukan solusi. Hmm.. luar biasa.

Buat diri yang mulai menentukan prioritas setelah semua kekacauan setengah tahun pertama ini, cara-cara memilah memang teramat penting. Agar tidak salah langkah, termasuk tak salah memperhitungkan apakah kegiatan ini akan jadi di luar kendali. Pastinya ada efek baik yang didapat setelah berjibaku selama 7 bulan kemarin. Setidaknya aku mulai merasakan kehidupan yang mulai teratur dan ada maknanya.

Namun, tentu itu semua tidak mudah. Butuh banyak penyesuaian dan adaptasi agar perilaku benar-benar bisa berubah. Ternyata dukungan lingkungan teramat penting dalam membentuk habit itu. Agar tak keluar jalur, termasuk menjadi pengingat tentang tantangan yang sedang dijalankan. Mungkin itu alasan kembali bergabung di desa pelajar.

Tadinya, sih tidak mau ambil kelas-kelas dari Ibu Profesional lagi dulu karena merasa sedang overwhelmed sekali. Apalagi saat tahu kelas berikutnya masih di bulan Januari 2023. Namun, lagi-lagi karena ada kebijakan baru, maka yang mau ikut kelas tahapan di awal tahun nanti haruslah masuk ke Desa Pelajar ini. Hmm.. awalnya merasa, duh berat banget sih harus ikutan lagi. Inginnya mengurangi dulu hal-hal yang berbau tuntutan seperti ini. Apalagi kaitannya dengan capaian personal yang sesungguhnya tidak harus diprioritaskan dahulu. Namun, karena ini adalah syarat, ya sudah jalani saja.

Nah, kebetulan sebenarnya memang sedang ada target seputar kesehatan fisik dan mental. Hehehe, tetap ya. Fokusnya lebih pada kesehatan fisik yang sepertinya sudah benar-benar red flag. Jadi, kali ini aku mau fokus di situ dulu. Oiya, Desa Pelajar sendiri sebenarnya seperti perpanjangan tangan dari kelas Bunda Cekata. Seperti kelas pendalaman atau pengayaan sebelum masuk kelas Bunda Produktif yang kabarnya lebih menguras energi. Jadi, mungkin memang karena itulah dibutuhkan pematangan dari segi konsep dan pembiasaan agar ketika masuk ke kelas berikutnya tidak keteteran.

Konsepnya baik, kebetulan juga sedang ingin mengurusi fisik secara serius, jadi ikutan deh. Kali ini tidak bahas yang berat-berat dulu, seperti pengelolaan emosi. Namun, back to the basic, urus badan dulu. Perbaikan konsumsi makan dan olahraga teratur, itu target cekatanku sampai akhir tahun. Karena mental yang baik tak akan bisa lepas dari asupan yang baik. Bagaimanapun, apa yang masuk ke dalam mulut lalu diproses oleh tubuh, itulah bahan bakar yang digunakan otak untuk bekerja. Oleh karena itu, memperbaiki asupan, gizi, dan memperbaiki kebiasaan sehari-hari adalah kunci penting lainnya untuk mendapatkan mental yang sehat.

Kita bisa belajar dari bagimana kehidupan Rasulullah saw yang tidak pernah sakit seumur hidupnya, kecuali karena dua hal, terkena racun dan mau meninggal dunia. Artinya apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw sepanjang hidupnya patut dicontoh untuk mendapatkan kebugaran tubuh maupun kesehatan mental yang baik. Jangan-jangan selama ini kita sudah banyak zalim sama diri sendiri, sehingga keburukan konsumsi itu kembali dalam bentuk buruknya kondisi tubuh dan mental kita.

Perbaikan Fisio-Psiko-Spiritual

Maka, dalam kesempatan kali ini aku mencoba untuk memperbaiki dengan membuat peta belajar berkaitan dengan tiga hal, kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan kesehatan spiritual. Menurutku, sudah cukup perbaikan yang aku lakukan seputar psikologis dan spiritual dengan memperbaiki kebiasaan selama dua bulan terakhir ini, yaitu menyeimbangkan pengaturan waktu untuk tugas-tugas wajib, serta menambah porsi ibadah untuk meningkatkan nilai spiritualitas hati.

Kali ini sudah waktunya untuk fokus pada kesehatan fisik yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Jadi, kali ini aku mau mengunyah secara layak tentang diet sehat, gizi seimbang, dan olahraga yang tepat. Tentu seua sambil dijalani, bukan hanya dipelajari. Rasanya sia-sia ketika selama ini sudah punya ilmunya, tetapi masih belum bisa paripurna dalam melaksanakannya.

Tantangannya tentu banyak, tetapi bukankah tidak ada hal yang menarik di dunia ini kalau tidak ada tantangannya. Aku akan mulai dengan membaca buku-buku seputar diet sehat yang sudah diborong saat pergi ke Bandung kemarin. Yep, mengambil buku-buku tentang diet yang memenuhi lemari kakak perempuanku yang dulu maunya diet, tapi eksekusinya belum juga jalan.

Mungkin dengan belajar ke basic ini aku semakin bisa memahami, kebutuhan diri ini sesungguhnya apa. Karena sebenarnya makanan yang kita makan itu hanyalah untuk menegakkan badan semata. Tujuannya satu, agar bisa beribadah. Jika apa yang kita konsumsi ternyata membuat kita sulit beribadah dengan benar, artinya sudah waktunya kita memperbaiki semuanya.

Dari buku yang aku dapatkan aku ingin belajar:

  • Jenis-jenis makanan sehat dan gizi seimbang.
  • Menentukan makanan yang cocok dan mudah didapatkan untuk diri sendiri.
  • Membuat menu yang pas sambil mencocokkan dengan kebutuhan anak-anak yang picky eater.

Selain itu, aku mau mulai kembali berolahraga. Kembali mengaktifkan aplikasi Yoga Go! yang sudah ter-install semenjak dua bulan lalu. Kembai mengikuti channel Youtube Dien Limano tentang olahraga low impact. Dengan target minimal bisa mengerjakannya lima kali dalam seminggu. Tentunya kembali terasa berat ketika masih dipikirkan saja. Setidaknya dengan mulai benar-benar menyediakan 30 menit untuk mengerjakna itu semua.

Bismillah.

Yuk, kita belajar sehat bersama.

Kurikulum Merdeka, Betulkah Kurikulum yang Tepat untuk Anak Indonesia?

Saat ini dunia pendidikan sedang dihadapkan pada sebuah perubahan besar: kurikulum merdeka. Sebuah kurikulum yang dicanangkan oleh menteri pendidikan terkini, Nadiem Karim. Sebuah gebrakan besar, pasalnya kurikulum ini seolah membongkar kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun belakangan. Bahkan lebih jauh lagi, benar-benar membongkar habis sistem pendidikan Indonesia selama ini.

Sebenarnya pembahasan tentang pendidikan Indonesia ini selalu menarik untuk dikaji. Sebagai penduduk yang sudah merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia ini semenjak kecil, bahkan pernah duduk memandangnya dengan peran yang lain selain sebagai siswa, ada banyak kritik terhadap arah perkembangan pendidikan kita ini.

Rasanya pendidikan ini makin lama makin kehilangan arah. Seiring banyaknya perubahan kurikulum setidaknya selama dua puluh tahun terakhir. Seolah tak ada pendidikan yang ajeg karena selalu berganti kurikulum. Ganti menteri, ganti kurikulum.

Mengapa aku bisa bilang kehilangan arah?

Sebagai mantan pendidik di perguruan tinggi, aku benar-benar merasakan efek tidak menyenangkan dari hasil sistem yang ada selama ini. Betapa rasanya pendidikan kita begitu gagal karena tak bisa mencetak individu yang memiliki keterampilan yang cukup sebagai seorang manusia dewasa.

Kok bisa? Bukankah itu sebuah penilaian yang dianggap subjektif semata? Belum ada penilaian terukur untuk membuktikan semua itu. Hanya ada opini-opini serupa yang hadir, tetapi tanpa data terpercaya. Yah, mau bagaimana juga, kita tak hanya bisa berbicara tentang opini tanpa data faktual. Toh, kita tak sebanding dengan orang-orang yang merancang maupun melaksanakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, ada sebuah kesimpulan menarik ketika beberapa hari yang lalu aku dan saudaraku mendiskusikan tentang kurikulum merdeka ini. Ada cukup banyak perubahan yang sangat signifikan terkait tenaga pengajar, hasil lulusan, dan makna “kemerdekaan” yang diusung kurikulum ini. Detailnya coba dicari sendiri, ya karena tulisan ini tak akan membahas detail seperti itu. Melainkan sebuah opini untuk melihat, sebenarnya apa arti pendidikan yang sesungguhnya.

Ya, sebenarnya pendidikan itu maknanya apa?

Kalau berkaca pada apa yang sudah dijalani sejak kecil, meskipun sekarang kurikulumnya sudah berubah, sepertinya konsepnya masih sama saja. Mengejar kompetensi, persaingan antar individu, siapa yang pintar dia yang menang. Kesimpulan paling tepat dari sistem pendidikan kita adalah pendidikan yang jauh dari pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang menjauhkan dari konsep belajar yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan itu.

Jika mengambil dari definisi belajar, “Menambah repertoir memori manusia,” maka rasanya pendidikan itu sudah gagal total. Buktinya, seberapa banyak perubahan yang terjadi, seberapa banyak materi yang dipelajari masih melekat dalam ingatan kita setelah beranjak dewasa. Semua itu disebabkan oleh selesainya “belajar” yang dimaksud setelah ujian berakhir. Pendidikan hanya sekadar mendapatkan nilai tertinggi agar mendapatkan status yang dibutuhkan di masyarakat. Jadi, ketika gagal, maka dianggap sebagai kegagalan total.

Dalam diskusi pekan lalu itu akhirnya ada sebuah kesimpulan yang menurutku benar-benar mencerminkan arti pendidikan itu. Pendidikan itu seharusnya tentang membandingkan kemampuan anak hari ini dengan kemampuannya kemarin. Begitu pula tentang merancang apa yang dibutuhkan oleh seseorang ke depannya. Artinya, pendidikan itu bukan tempat ajang persaingan. Melainkan bagian dari bagaimana mengembangkan individu agar mencapai manfaat semaksimal mungkin. Sesuai dengan konsep belajar, ketika pendidikan diberikan secara khusus, spesial untuk setiap orang, maka proses belajarnya akan menjadi lebih maksimal. Repertoirnya akan terus bertambah karena pendidikan itu disetting khusus sesuai kemajuan individu.

Yap, bukan tentang persaingan, siapa yang paling pintar, melainkan apakah saya sudah lebih pintar dibandingkan diri saya kemarin. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk menentukan jalan belajarnya sendiri. Sebuah konsep yang harusnya dilatihkan kepada anak-anak semenjak kecil agar ketika dewasa ia bisa menerapkan konsep belajar seumur hidup. Ketika dewasa, tak akan ada kebingungan, “Saya itu potensinya apa?” atau “Apa pekerjaan yang saya pilih?” karena sudah memiliki peta yang jelas tentang pencapaian pribadinya.

Akhirnya, pendidikan yang demikian akan mengajarkan dorongan dari dalam, belajar karena kebutuhan, menjadi terdidik karena memang membutuhkan. Bukan karena paksaan dari luar, tuntutan lingkungan yang kalau gak sekolah dinilai buruk. Sebab, ketika sekolah, menjalani pendidikan, atau belajar itu hanya karena tuntutan lingkungan, maka motivasi internalnya tidak ada. Jika demikian, ketika pendidikan tidak memberikan kenyamanan yang dibutuhkan, tidak memberikan kebutuhan, atau lebih buruknya lagi menjadi tempat bertemunya banyak keburukan, bukankah menjadi wajar akhirnya merasa sekolah itu tak butuh. Berhenti, kalaupun masih sekolah, tidak menemukan makna belajar yang sesungguhnya. Hanya demi memenuhi nilai, dengan menghalalkan semua cara.

Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang mendapatkan keterampilan untuk berpikir, bersikap analitis, mampu memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, berkomunikasi dengan baik, dan sebagainya. Keterampilan-keterampilan yang didapat setelah anak terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian, ia memiliki bekal yang cukup untuk kehidupan masa depan.

Visi Pendidikan Keluarga dan Kurikulum Pendidikan

Okelah sekarang mau tidak mau kita harus hidup di kondisi yang tidak ideal. Pendidikan formal yang diberikan pemerintah masih mencari warna yang pas untuk memberikan pendidikan terbaik bagi warganya. Perubahan kurikulum itu mungkin masih akan menjalani perjalanan panjang, hingga bisa mengimplementasikan kemerdekaan sesungguhnya kepada calon penerus bangsa.

Kebingungan dalam kurikulum ini pula membuat semakin banyaknya orang tua yang memilihkan anak-anak mereka untuk homeschooling, bersekolah di rumah. Bukan berarti memindahkan sekolah dengan semua kurikulumnya ke rumah, homeschooling mengusung visi pendidikan keluarga sebagai basisnya. Termasuk melihat kebutuhan masing-masing anak, sehingga setiap anak dalam sebuah keluarga bisa jadi mendapatkan pendidikan berbeda. Ritme masing-masing pun berbeda, jika memang bisa cepat, silahkan, jika tidak silahkan. Bahkan ada beberapa teman yang praktisi homeschooling yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya memilih keterampilan/pengetahuan apa yang mau mereka kembangkan pada satu semester.

Tentunya kemampuan untuk menentukan pilihan itu tidak lahir instan. Diawali dengan orang tua yang harus berjibaku terlebih dahulu menanamkan visi keluarga, memberikan kesempatan untuk mencobakan semua materi kepada anak-anak, termasuk jeli melihat potensi anak agar bisa terarah kebutuhannya. Hasilnya, tampak sekali itulah makna pendidikan sesungguhnya, mereka menemukan jalan yang dibutuhkan.

Namun, tidak melulu kita akhirnya harus beralih kepada homeschooling. Semua sebenarnya kembali pada visi pendidikan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki bayangan ke depan anak kita akan seperti apa. Menjadi anak baik? Baik yang seperti apa? Menjadi pintar? Pintar seperti apa? Visi ini harus jelas, kembalikan lagi pada keyakinan yang dimiliki masing-masing.

Menyekolahkan anak tanpa visi pendidikan sama saja seperti membiarkan mereka menyelam dalam lautan yang dalam tanpa punya tujuan. Berbeda ketika punya visi, misalnya mereka ingin menjadi orang pertama yang masuk ke dalam palung terdalam, maka mereka akan mencari beragam cara untuk mewujudkan itu. Bisa jadi dengan belajar mana saja palung yang ada di bumi ini. Lalu, belajar bagaimana caranya menciptakan alat yang bisa membantu manusia menyusuri palung terdalam. Ketika bervisi, anak menjadi jelas, apa yang harus ia capai dari semua pendidikan ini. Dengan demikian, ketika lelah melanda, mereka akan kembali bersemangat karena memiliki visi tersebut.

Sebagai seorang muslim, apa visi pendidikan kita?

Kajian terakhir untuk orang tua santri saat Si Sulung kelas satu kemarin benar-benar kembali mengisi ulang semangat untuk kembali pada visi pendidikan ini. Visi pendidikan tidak hanya mengarahkan anak-anak, tetapi juga menjadi petunjuk bagi orang tua, bekal apa yang mereka butuhkan untuk mendidik anak-anak. Termasuk memilihkan pendidikan untuk anak-anak.

Jika memang masih membayangkan anak kita menjadi “robot” serba bisa, maka silahkan saja menyekolahkan ke tempat yang menyediakan semua itu. Jika memang ingin me-launching anak-anak menjadi anak bertaraf internasional, silahkan saja untuk menyekolahkan ke sekolah dengan tujuan tersebut. Namun, coba renungi kembali, setelah semua mimpi duniawi yang tercapai itu: anak yang pintar, lulus perguruan tinggi bergengsi, dapat pekerjaan di perusahaan multinasional, punya mobil, rumah, dan sebagainya, sebenarnya apa yang dibutuhkan dari mereka selanjutnya?

Kami sebagai orang tua masih percaya, agama harus didahulukan dibanding hal lainnya. Di atas semua pelajaran duniawi yang diberikan di bangku sekolah. Matematika, Bahasa, IPA, IPS, beserta turunannya, sebenarnya apa yang membuat semua ilmu itu lebih baik dibandingkan ilmu agama. Jika memang takut nantinya anak tidak bisa survive karena tidak bisa memiliki ilmu duniawi, tidak pandai, tidak juara, tidak ikut kompitisi, coba renungi kembali sebenarnya apa yang ditakutkan?

Namun, bisa jadi memang kita semua berada di jalur yang berbeda-beda. Kita memiliki dunia yang berbeda dalam memandang visi pendidikan . Jadi, kita pun tidak bisa saling mendebatkan mana yang terbaik. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan seberapa banyak anak kita mampu belajar di saat bersamaan? Mampukah ia menguasai semuanya? Mana sebenarnya ilmu yang harusnya ia kuasai terlebih dahulu, dibanding ilmu lainnya?

Semua jawaban itu akan didapat ketika kita mencari ilmunya. Mencari tahu, sesungguhnya pendidikan terbaik sebagai muslim itu yang seperti apa? Menyusuri riwayat pendidikan itu dalam sejarah Rasulullah saw, sang pengajar terbaik sepanjang zaman. Menghasilkan orang-orang terbaik, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Jika menemukan, sudahkah visi pendidikan maupun pilihan kurikulum kita sudah sejalan dengan itu semua?

Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 2)

Kita lanjut ya pembahasan tentang terapi apa yang cocok untuk diri kita?

Di artikel sebelumnya, kita sudah bahas ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan sebuah teknik terapi untuk mengatasi permasalahan psikologis kita. Mulai dari kondisi pribadi, misal kepribadian, motivasi, kehidupan masa kecil, dan sebagainya. Sampai sesuatu yang mungkin lebih dalam dari itu, yaitu seberapa besar masalah itu sudah masuk ke dalam diri, sehingga sulit sekali buat kita untuk “sembuh” dari semua luka masa lalu itu.

Di bagian akhir dari artikel pertama kemarin saya juga menyinggung tentang sebuah terapi yang baru dipelajari. Sebuah terapi yang menurut saya teramat cocok untuk kita yang sulit sekali menerapkan berbagai teknik yang ada. Bahkan mungkin kita merasa masih penuh dengan penolakan untuk melakukan perubahan, meskipun tahu ada masalah yang terjadi atau bahkan sudah tahu sumber masalah utamanya apa.

Dialectical Behavior Therapy (DBT) adalah sebuah solusi menarik yang bisa kita coba ketika berhadapan dengan dualisme kondisi yang saling bertentangan, tetapi membutuhkan kompromi besar untuk menerima kedua kondisi itu.

Kita ambil sebuah contoh masalah yang sekarang sedang sering diangkat oleh banyak orang. Bagaimana menghadapi orang tua toxic? Di satu sisi kita sangat tidak nyaman ketika diperlakukan secara tidak baik oleh orang tua. Merasa bahwa ada banyak kemarahan terpendam akibat perilaku orang tua yang tidak sesuai keinginan maupun kebutuhan kita. Di sisi lain, masih ada keinginan untuk mencintainya, bahkan mungkin kita sungguh berharap mereka menjadi sosok baik yang bisa dicintai.

Kita tidak bisa melepas mereka sepenuhnya sebagai orang tua karena kita tahu sebagai seorang makhluk masih menjadikan mereka sosok yang patut dihormati. Kita juga masih mengharap cinta mereka dengan memperlakukannya sebagaimana anak harus memperlakukan. Namun, di dalam hati ada banyak kemarahan yang menuntut untuk dipenuhi.

DBT memainkan perannya ketika di satu sisi kita harus menerima dan di saat bersamaan harus mengubah pola pikir atau perasaan kita agar bisa berkompromi dengan situasi tersebut. Yap, kita terkadang kita tidak bisa hanya cukup menerima saja sebuah kondisi yang tidak ideal, tetapi butuh perubahan sikap, cara pandang, maupun kondisi emosional kita agar ketika berhadapan dengan situasi yang sama kita bisa memandang masalah itu secara berbeda. Alhasil, saat masalah itu datang lagi kita tahu bahwa ini masalah sudah bisa saya terima dan tak lagi membuat saya terpengaruh karena cara saya memandangnya sudah berbeda.

Setidaknya ada empat hal yang butuh dilatihkan dalam DBT:

  • Mindfulness
  • Distress Tolerance
  • Emotion Regulation
  • Interpersonal Effectiveness

Sangat kompleks dan memang keempat hal ini adalah empat keterampilan dasar yang memang paling kita butuhkan untuk mengatasi masalah. Well bukan cuma masalah, memang itulah yang kita butuhkan agar hidup bisa lebih lancar.

Sayangnya, untuk menguasai semua keterampilan ini, butuh banyak pertemuan dengan konselor. Sesi pun tidak cukup secara individual. Oleh karena itu, penggunaan DBT di sini pun masih jarang dilakukan. Sebab, dibutuhkan tim untuk bisa melakukan semua perbaikan secara utuh. Yap, kita tidak bisa bergantung pada satu konselor saja.

Menerima Takdir dan Mengubah Makna

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir konsep yang dibawa DBT ini sudah ada di dalam ajaran Islam. Hal ini juga sempat disinggung oleh narasumber ketika aku ikut seminarnya kemarin. Konsep menerima apapun yang terjadi, baik atau buruk serta beradaptasi dengan situasi tersebut sebenarnya akan lebih mudah bagi masyarakat Indonesia. Karena sebagai penduduk dengan dasar agama yang kuat, konsep “nrimo” takdir dan tak memaksakan orang lain berubah, melainkan perubahan diri itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

Buktinya dari mana?

Ada cukup banyak yang bertahan dalam pernikahan yang kalau dinilai secara objektif oleh orang lain sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Walau awalnya mungkin terdengar klise, yaitu untuk menghindari stigma sebagai seorang janda, ternyata dengan tetap bertahan dalam pernikahan itu ada perubahan yang terjadi pada dirinya selama proses menerima ketidakidealan pernikahan itu.

Misalnya, menjadi lebih rajin beribadah, mendekat kepada Allah, sampai meminta petunjuk, adakah makna lain selain yang kita pahami yang bisa kita petik pelajarannya dari sebuah pernikahan penuh masalah. Kemampuan untuk tetap bertahan di situasi yang terberat sekalipun sambil mengubah jalan pikiran untuk menerima keputusan takdir yang ada sebagai sebuah kebaikan, bukankah itu konsep yang dibawa oleh DBT.

Bagaimanapun dalam kehidupan akan selalu terjadi dualisme yang muncul ketika kita menghadapi situasi tidak ideal menurut kita. Di satu sisi kita ingin mendekat, tapi di sisi lain hendak menjauh. Sebuah konsep love-hate ini tergambar jelas ketika kita dituntut ikhlas menerima takdir dari Allah.

Sebagai contoh, kematian orang tercinta adalah sesuatu yang pasti tidak kita sukai. Mendatangkan sebuah kesedihan yang kadang merenggut akal sehat kita. Sayangnya, sebagai makhluk-Nya kita dipaksa untuk menerima ketentuan itu dengan sebuah keyakinan, ada kebaikan lain yang Allah telah siapkan atas nikmat bahagia yang sudah dicabut itu.

Maka, ketika kita bisa menerima rasa kehilangan itu sebagai sebuah takdir yang tak bisa diubah, lalu mencoba mencari maknanya lewat tanda-tanda kebesaran-Nya yang lain, rasa ikhlas itu akan dengan mudahnya kembali hadir. Karena kita tak menghakimi diri, berprasangka buruk kepada Allah, berusaha sekuat tenaga mencari jalan agar tekanan yang kita rasakan itu berkurang.

Lalu, dengan sendirinya kita berlatih mengelola emosi agar emosi-emosi negatif yang muncul terkait permasalahan itu bisa segera tertangani. Terakhir, tentunya apa lagi yang paling penting selain menjaga muamalah, hubungan kita dengan orang lain? Yaitu kita bisa memaafkan, lalu kembali menjalin hubungan baik kepada mereka yang telah menyakkti kita.

Tentunya tidak sebentar waktu yang kita butuhkan untuk sampai pada titik ikhlas ini. Butuh perjuangan seumur hidup karena ada kalanya konsistensi kita diuji dengan beragam ujian yang hadir silih berganti. Selama ini kita mungkin memaksakan diri agar bisa langsung berubah begitu mencoba satu-dua teknik atau berpuluh teknik. Dengan demikian, hati menjadi kecil ketika tak ada satu pun di antara teknik itu berhasil mengobati.

Bagaimanapun, sebuah perubahan adalah ujian yang harus kita jalani sepanjang hidup. Maka, ketika disarankan untuk menjalani teknik terapi tertentu, bersabarlah menekuninya. Bersabarlah pula ketika harus semakin banyak menata diri, bukan orang lain. Karena fokus terapi itu bukan pada orang lain, melainkan diri kita sendiri.

Jadi, apa terapi yang paling cocok?

Jawabannya kembali pada diri sendiri. Seberapa jauh niat untuk berubah, seberapa siap untuk berubah. Seberapa kita ingin naik level ke tingkatan yang lebih tinggi lagi.

Karena perubahan itu berlangsung seumur hidup. Jika tak ada lagi yang harus diubah, artinya memang kita tak perlu lagi hidup di dunia. Namun, siapa yang menentukannya?

Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 1)

Sudah cukup sering aku mendengar ada yang menanyakan hal ini, “Aku sudah coba lakuin semua, kenapa masih belum ada perubahan apa-apa?” atau juga ada kalimat seperti ini, “Kok gak ada efeknya padahal aku sudah coba teknik ini dan teknik itu?”

Well, jika kita bahas tentang terapi tentunya setiap orang akan memiliki kecocokan yang berbeda, ya. Sama seperti kita yang punya perbedaan makanan kesukaan dengan orang lain, maka terapi pun demikian. Apa yang cocok di orang itu, belum tentu cocok di diri saya. Apa yang cocok di saya, belum tentu bisa diterapkan 100 persen di orang itu. Bagaimanapun terapi adalah sebuah seni dan tugas seorang psikolog atau konselor adalah menemukan terapi yang pas untuk setiap orang sesuai dengan karakteristik kepribadian, permasalahan, dan latar belakang masa lalunya.

Terkadang kesuksesan terapi itu juga ditentukan oleh seberapa kita gigih untuk melakukannya. Seringkali efeknya tidak seinstan yang kita kira. Tidak seperti minum obat sakit kepala, yang sekali minum bisa langsung ces-pleng. Bukankah ada kalanya juga obat yang biasa kita minum ternyata tidak mempan karena sakit fisik yang kita derita memiliki sebab yang berbeda. Apalagi jika penyakit itu sudah kronis, bisa jadi malah obat yang banyak ditemui di pasaran tidak akan mempan.

Oleh karena itu, bersabarlah terlebih dahulu ketika memang merasa tak ada satu pun teknik yang dicontohkan orang-orang bisa berhasil mengatasi masalah mental kita. Bisa jadi ada yang kurang tepat di sana. Misalnya, seorang yang selama ini logis dan memecahkan masalah lewat kognitifnya, seorang yang pintar atau memiliki inteligensi tinggi, terkadang tidak akan mempan dengan teknik-teknik yang menggunakan pendekatan psikoanalisis, seperti hipnoterapi. Ada pula yang merasa sudah menerapkan semua teknik mindfulness, tetapi tetap saja tidak bisa mengurasi kecemasan yang ada.

Sebagaimana mashab psikologi yang ada banyak, maka kita harus kenali juga selama ini diri ini lebih banyak menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan apa. Apakah cukup dengan banyak-banyak menenangkan diri, berpikir positif, sehingga masalah dengan lebih mudah dihadapi. Jangan-jangan selama ini memang lebih sukanya straight to the point untuk memecahkan masalah dengan beragam alternatif jawaban. Bahkan ada pula yang ternyata cara penyelesaiannya semudah memiliki petunjuk perilaku apa saja yang harus diperbaiki dengan jelas.

Mungkin itu alasan saat dulu belajar profesi psikologi kita harus memahami banyak pendekatan. Karena bagi tiap pendekatan, sebab masalah pun berbeda-beda. Bagi penganut psikoanalisis, sangat percaya unsur-unsur alam bawah sadar berpengaruh besar bagi perilaku seseorang. Untuk aliran behavioris, mempercayai masalah muncul karena proses belajar yang kurang tepat. Pendekatan psikologi kognitif akan bicara kalau perilaku kita ditentukan oleh proses yang ada di dalam otak. Dengan demikian, menemukan penyelesaiannya pun harus sesuai dengan pemahaman dari mana masalah itu muncul.

Seringkali akhirnya kita memang mencoba semua pendekatan itu, sampai berada di titik tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tidak ada perubahan signifikan dari klien karena mungkin ada bagian yang tidak tersentuh sama sekali. Mungkin juga memang klien itu sulit saja, sehingga butuh pendekatan yang berbeda.

Menjawab permasalahan ini, Alhamdulillah dipertemukan dengan teknik terapi yang sudah pernah aku dengar beberapa tahun lalu, tetapi belum sempat aku cari tahu secara lebih mendalam. Dialectical Behavior Therapy (DBT). Ada kesempatan untuk kembali belajar kemarin hari Minggu, 18 September 2022 melalui aplikasi zoom meeting yang diadakan oleh IPK Sumatera Barat.

Awalnya, tertarik karena rasa penasaran semata. Apalagi baru selesai memperpanjang STR psikolog klinis, jadinya butuh mengisi kembali pundi-pundi SKP yang sudah kembali ke angka nol. Akhirnya, berakhirlah pilihan pada teknik terapi ini karena memang sudah waktunya untuk memutakhirkan keterampilan terapi.

Jeng, jeng.

Ternyata setelah selama tiga jam mengikuti seminarnya, aku merasa inilah teknik terapi yang selama ini dicari-cari. Yang dibutuhkan bukan hanya untuk klien, tetapi juga untuk diriku sendiri. Hehehe. Yah, seperti biasa, sebelum dicobakan kepada klien, biasanya sebuah teknik terapi akan dicobakan ke diri psikolognya dulu. Tentu saja agar kita bisa merasakan peran sebagai seorang klien. Jadi, kita bisa tahu bagaimana sudut pandang seorang klien saat diterapi, sekalian membereskan masalah-masalah dalam diri yang masih belum selesai, hehehe.

Ok, lanjut, mengapa terapi ini aku bilang sedang tepat saat ini?

Jadi, ada klaim dari si pembuat terapi beserta para praktisinya bahwa terapi ini bisa menangani klien-klien sulit. Maksudnya bagaimana? Klien-klien yang selama ini sudah mencoba banyak hal tetapi tidak berhasil juga. Termasuk klien yang penuh penolakan terhadap masalah-masalahnya yang sesungguhnya.

Pada prinsipnya terapi ini menekankan pada dua hal acceptance and change. Artinya kita tidak cukup hanya menerima, melainkan harus ada perubahan dalam diri kita dalam proses penerimaan itu. Mau itu perubahan pikiran atau pola pikir maupun perasaan kita terhadap masalah yang hadir. Biasanya teknik ini berhasil pada klien yang mengalami dualisme pemikiran di saat bersamaan.

Misalnya, seseorang yang merasa marah kepada suami yang sering berselingkuh, tetapi tidak mampu keluar dari pernikahan itu karena masih mencintai suaminya. Dalam kasus seperti ini, biasanya kita akan memberi pilihan tentang “stay” atau “move” dari hubungan. Beserta konsekuensi-konsekuensi untuk tiap keputusan yang harus dipahami sebelum keputusan diambil. Nyatanya, walau kita memberikan pilihan ini, terkadang masih saja ada klien yang susah untuk move tetapi merasa berat untuk stay.

Maka, solusi dari teknik terapi ini adalah kita “stay” tetapi harus bisa mengubah pola pikir kita agar bisa tetap bertahan saat “stay” di hubungan tersebut. Kita harus mampu bertahan atas rasa sakit yang hadir karena seringnya diselingkuhi. Kita harus berupaya mencari kenyamanan dari ketidaknyamanan yang hadir dalam kehidupan kita.

Kedengarannya berat? Yoa. Tapi begitulah realitanya. Jika memang kita susah pergi dari masalah itu, bagaimana caranya mengubah diri agar bisa menerima dan tetap bertahan meskipun masalah itu kembali hadir. Sama halnya ketika sekarang isu tentang toxic parent sedang merebak. Kita merasa tidak nyaman dengan sikap orang tua yang mungkin tak sesuai harapan, tetapi di saat bersamaan masih ada rasa sedikit rasa sayang yang terselip untuk mereka.

Lalu, apa yang harus dilakukan dengan pendekatan terapi ini?

Kita lanjut di artikel berikutnya ya.

5 Resep Agar Kehidupan Lebih Mudah Dijalani

Happy September!

Apa kabarnya semua? Bagaimana kamu memulai hari ini, apakah terasa begitu mudah? Mulai dari bangun pagi sampai menutup mata, tidak ada hal-hal kecil yang mengganggu suasana hatimu. Semua terasa mulus tanpa cela, tanpa beban. Tidak ada friksi kecil yang memutar balik hari. Maupun pikiran-pikiran negatif yang membuat tidur makin sulit.

Well, sayangnya hidup terkadang tidak semudah itu dijalani. Dalam satu hari saja, ada hal-hal yang bisa membuat hati kita menjadi “not in a good mood.” Rasa-rasanya semua kebahagiaan yang dibangun langsung terempaskan hanya karena satu-dua hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Belum lagi hasil pemutakhiran status teman-teman di media sosial yang bikin geram hati, merasa pencapaian sampai hari ini begitu sia-sia. Ada saja kejadian yang bikin kita merasa, “it’s not a perfect day.”

Sebenarnya batu-batu sandungan yang terjadi sepanjang hari, selama kita hidup ini wajar terjadi. Sayangnya, sejak dulu kita mungkin tidak dibiasakan memiliki cara untuk menghadapinya dengan cara yang baik. Dengan demikian, saat harus berhadapan dengan semua situasi yang merusak kebahagiaan sesaat itu, kita mengorbankan sisa hari yang kita miliki. Padahal tidak ada kehidupan yang sangat mulus. Bahkan jalan termulus sekalipun akan ada momen ketika kita harus menghindari kerikil kecil agar tak terjadi kecelakaan.

Jadi, kehidupan yang mudah itu bukanlah sebuah keniscayaan. Asalkan kita tahu cara yang tepat untuk menghadapi hal-hal di luar harapan atau rencana. Cara ini butuh dilatih agar kita bisa selalu siap menghadapi semua masalah, seberat apapun itu kelihatannya. Yuk, sekarang kita coba intip lima resep yang bikin kehidupan menjadi mudah.

  • Banyak Bersyukur

Kelihatannya klise, ya kalau kita bilang banyak-banyak bersyukur. Namun, sudah jelas sekali kalau dengan bersyukur kita berupaya untuk menghargai setiap jengkal pencapaian yang dilakukan. Bahkan untuk hal-hal sederhana atau yang mungkin menurut orang lain lumrah dilakukan sekalipun, kita akan bisa menemukan hikmahnya. Misalnya, seberapa sering kita mengapresiasi ketika bisa bangun pagi, makan pagi, dan berangkat ke kantor ditemani kekasih? Mungkin buat kita bangun dan makan pagi itu adalah rutinitas yang biasa saja. Padahal hanya untuk bangun saja, itu semua adalah berkah dari Tuhan untuk kita. Ia yang telah menghidupkan kita di hari itu, agar bisa kembali beraktivitas. Bertemu orang atau hanya untuk duduk menuangkan ide gila di kepala. Tak perlu membandingkan diri dengan orang-orang yang kurang beruntung untuk dapat bersyukur. Memaknai bahwa sekecil apapun yang kita miliki hari ini adalah berkah dari Tuhan, adalah bentuk bersyukur paling mujarab.

Eits, jangan lupa pula untuk bersyukur seperti apapun kondisi. Jadi, ketika mungkin ada kejadian, situasi, atau hal lain yang menurutmu buruk, itu pun harus disyukuri. Mengapa? Karena itu artinya ada kebaikan lain yang bisa didapatkan setelah situasi itu terlewati. Kebanyakan dari kita seringkali lebih banyak melihat sisi buruknya, sampai terlewat sisi baiknya. Seperti ketika atasan mungkin memberikan banyak revisi, kita lebih suka mengeluh dan membicarakan si bos di belakang. Padahal tujuan revisi itu adalah untuk memperbaiki kerja yang mungkin belum maksimal. Saat mengerjakan perbaikan itu pula kita mungkin bisa menambah pelajaran lain, yang belum dimasukkan pada materi kerja yang sudah dibuat.

So, apa yang bisa membuatmu bersyukur hari ini? Baik dari kejadian yang membahagiakan ataupun kejadian yang bikin sedih sekalipun.

  • Memaafkan yang Sudah Terjadi

Resep kedua adalah dengan memaafkan. Bukan hanya sekadar berkata maaf atau memberikan maaf, tetapi memasukkan makna maaf itu sampai ke hati. Ketika memaafkan berarti kita sudah tidak masalah dengan hal buruk itu, artinya tidak ada lagi sakit hati yang muncul saat nanti diungkit. Memaafkan bukan pula tentang kita melupakan, melainkan cara kita agar merasa tetap baik-baik saja, seburuk apapun orang lain memperlakukan.

Misalnya, ada teman yang dulu pernah menyakiti kita lewat kata-kata dan perilakunya. Tentunya ketika kita tidak sengaja berhubungan dengan teman ini, secara langsung atau tidak langsung, akan membuat memori masa lalu itu hadir kembali. Berakhir pada perubahan suasana hati karena ingatan yang lalu itu telah mengganggu suasana hati kita menjadi buruk. Oleh karena itu, butuh memaafkan perbuatan mereka itu, agar kita tetap merasa nyaman. Bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih mudah karena tidak ada dendam yang nyangkut di hati. Tidak ada keburukan orang yang kita bawa sampai tidur malam.

  • Bikin Daftar Pekerjaan

Seringkali kita disibukkan oleh banyaknya pekerjaan akibat terlalu banyak peran yang diambil dalam satu waktu. Akhirnya, menjadi beban, sampai kita tidak bisa membagi waktu dengan baik. Oleh karena itu, buatlah daftar pekerjaan yang harus diselesaikan tiap harinya. Buat menjadi pekerjaan yang rutin harus dilakukan dan pekerjaan tambahan yang bisa dikerjakan hari itu.

Misalnya, sebagai ibu rumah tangga maka pekerjaan rutinnya adalah menyapu, mengepel, mencuci, menggosok, memasak, dan menemani anak-anak belajar/bermain. Kemudian, secara pribadi yang rutin dilakukan adalah makan, mandi, dan tidur/istirahat siang. Di sisi lain, pekerjaan tambahannya adalah segala sesuatu yang kita lakukan di luar itu. Sebagai contoh, mengurus online shop, kerja freelance, atau peran lain yang diambil selain peran utama ini.

Masing-masing aktivitas diberi waktu untuk mengetahui sebenarnya selama ini semua pekerjaan itu cukup tidak dalam waktu 24 jam sehari yang kita miliki. Jika memang kelebihan, maka harus kembali disesuaikan. Prinsipnya adalah pekerjaan tambahan tidak boleh melebihi pekerjaan rutin. Kita bisa menambahkan 1-2 pekerjaan tambahan dalam sehari, sesuai dengan berat pekerjaan seperti itu.

Contoh menghitung jenis aktivitas dan waktu yang dibutuhkan.

Gambar di atas adalah contoh yang saya buat untuk menghitung selama ini apa saja aktivitas rutin yang harus saya lakukan setiap harinya, lalu berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Tentu tiap orang akan punya daftar aktivitas masing-masing. Sesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing ya.

  • Menyesuaikan Peran

Terkait dengan poin sebelumnya, terkadang kita kesulitan karena terlalu banyak peran yang dijalani. Saya selalu teringat dengan perkataan guru saya dulu, “Ukurlah baju di badan.” Artinya kita yang paling tahu seberapa banyak peran yang bisa dijalani. Jangan sampai karena kita terlalu banyak keinginan, sampai peran utama kita malah jadi terbengkalai. Tentunya ini akan disesuaikan seiring dengan berjalannya waktu. Ada peran-peran yang bisa dilepas di situasi saat ini, tetapi bisa juga kita menambahkan peran lain di situasi lainnya.

Pada akhirnya, kuncinya satu untuk merasa hidup lebih mudah, bekerjalah sesuai dengan kemampuanmu. Tidak perlu membandingkan diri dengan siapapun, tak pula perlu merasa sedih ketika memang kita tak bisa “sehebat” yang lain. Sebab, Tuhan menciptakan dengan kapasitas berbeda, sehingga mudah buat orang lain belum tentu bagi kita. Begitu pula mudah bagi kita, belum tentu untuk orang lain.

  • Minta Pertolongan Tuhan

Resep terakhir yang paling penting adalah mintalah kepada Tuhan untuk memudahkan jalan itu. Bagaimanapun, semua masalah yang hadir berasal dari Ia. Maka, sudah sepantasnyalah kita mengembalikan pertolongan itu kepada Ia. Berdoa agar hari-hari dijalani dengan baik, kalaupun harus berhadapan dengan musibah atau bencana, mintalah kesabaran dan keihklasan hanya kepada-Nya.

Seringkali kita lupa untuk melakukan ini. Hanya menyandarkan segenap usaha itu kepada diri kita sendiri. Akhirnya, beban bertumpuk akhirnya merugikan diri. Padahal ketika akhirnya diserahkan segala sesuatu itu kepada Ia, ada hal-hal di luar bayangan kita akan menjadi jalan keluar tak terduga. Sudah mencobanya?

Yap, itu dia lima resep agar kehidupan menjadi mudah. Sejatinya kemudahan itu hadir ketika kita sudah bisa mengubah mindset terhadap semua kesulitan selama ini. Perubahan mindset ini tidak akan terjadi kalau tidak ada motivasi untuk berubah. Terkadang mindset ini juga menandakan seberapa bertumbuhnya kita sebagai seorang manusia.

Jadi, jangan mudah menyerah. Jadikanlah kehidupanmu sesuatu yang mudah, dengan lebih banyak membuka diri atas pengalaman-pengalaman baru, hidup dengan lebih teratur, bisa memilah mana yang butuh diprioritaskan, tentunya dengan mensyukuri semua pertolongan itu hanya datang dari Tuhan semata.

Semangat memudahkan kehidupan.