Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 1)

Sudah cukup sering aku mendengar ada yang menanyakan hal ini, “Aku sudah coba lakuin semua, kenapa masih belum ada perubahan apa-apa?” atau juga ada kalimat seperti ini, “Kok gak ada efeknya padahal aku sudah coba teknik ini dan teknik itu?”

Well, jika kita bahas tentang terapi tentunya setiap orang akan memiliki kecocokan yang berbeda, ya. Sama seperti kita yang punya perbedaan makanan kesukaan dengan orang lain, maka terapi pun demikian. Apa yang cocok di orang itu, belum tentu cocok di diri saya. Apa yang cocok di saya, belum tentu bisa diterapkan 100 persen di orang itu. Bagaimanapun terapi adalah sebuah seni dan tugas seorang psikolog atau konselor adalah menemukan terapi yang pas untuk setiap orang sesuai dengan karakteristik kepribadian, permasalahan, dan latar belakang masa lalunya.

Terkadang kesuksesan terapi itu juga ditentukan oleh seberapa kita gigih untuk melakukannya. Seringkali efeknya tidak seinstan yang kita kira. Tidak seperti minum obat sakit kepala, yang sekali minum bisa langsung ces-pleng. Bukankah ada kalanya juga obat yang biasa kita minum ternyata tidak mempan karena sakit fisik yang kita derita memiliki sebab yang berbeda. Apalagi jika penyakit itu sudah kronis, bisa jadi malah obat yang banyak ditemui di pasaran tidak akan mempan.

Oleh karena itu, bersabarlah terlebih dahulu ketika memang merasa tak ada satu pun teknik yang dicontohkan orang-orang bisa berhasil mengatasi masalah mental kita. Bisa jadi ada yang kurang tepat di sana. Misalnya, seorang yang selama ini logis dan memecahkan masalah lewat kognitifnya, seorang yang pintar atau memiliki inteligensi tinggi, terkadang tidak akan mempan dengan teknik-teknik yang menggunakan pendekatan psikoanalisis, seperti hipnoterapi. Ada pula yang merasa sudah menerapkan semua teknik mindfulness, tetapi tetap saja tidak bisa mengurasi kecemasan yang ada.

Sebagaimana mashab psikologi yang ada banyak, maka kita harus kenali juga selama ini diri ini lebih banyak menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan apa. Apakah cukup dengan banyak-banyak menenangkan diri, berpikir positif, sehingga masalah dengan lebih mudah dihadapi. Jangan-jangan selama ini memang lebih sukanya straight to the point untuk memecahkan masalah dengan beragam alternatif jawaban. Bahkan ada pula yang ternyata cara penyelesaiannya semudah memiliki petunjuk perilaku apa saja yang harus diperbaiki dengan jelas.

Mungkin itu alasan saat dulu belajar profesi psikologi kita harus memahami banyak pendekatan. Karena bagi tiap pendekatan, sebab masalah pun berbeda-beda. Bagi penganut psikoanalisis, sangat percaya unsur-unsur alam bawah sadar berpengaruh besar bagi perilaku seseorang. Untuk aliran behavioris, mempercayai masalah muncul karena proses belajar yang kurang tepat. Pendekatan psikologi kognitif akan bicara kalau perilaku kita ditentukan oleh proses yang ada di dalam otak. Dengan demikian, menemukan penyelesaiannya pun harus sesuai dengan pemahaman dari mana masalah itu muncul.

Seringkali akhirnya kita memang mencoba semua pendekatan itu, sampai berada di titik tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tidak ada perubahan signifikan dari klien karena mungkin ada bagian yang tidak tersentuh sama sekali. Mungkin juga memang klien itu sulit saja, sehingga butuh pendekatan yang berbeda.

Menjawab permasalahan ini, Alhamdulillah dipertemukan dengan teknik terapi yang sudah pernah aku dengar beberapa tahun lalu, tetapi belum sempat aku cari tahu secara lebih mendalam. Dialectical Behavior Therapy (DBT). Ada kesempatan untuk kembali belajar kemarin hari Minggu, 18 September 2022 melalui aplikasi zoom meeting yang diadakan oleh IPK Sumatera Barat.

Awalnya, tertarik karena rasa penasaran semata. Apalagi baru selesai memperpanjang STR psikolog klinis, jadinya butuh mengisi kembali pundi-pundi SKP yang sudah kembali ke angka nol. Akhirnya, berakhirlah pilihan pada teknik terapi ini karena memang sudah waktunya untuk memutakhirkan keterampilan terapi.

Jeng, jeng.

Ternyata setelah selama tiga jam mengikuti seminarnya, aku merasa inilah teknik terapi yang selama ini dicari-cari. Yang dibutuhkan bukan hanya untuk klien, tetapi juga untuk diriku sendiri. Hehehe. Yah, seperti biasa, sebelum dicobakan kepada klien, biasanya sebuah teknik terapi akan dicobakan ke diri psikolognya dulu. Tentu saja agar kita bisa merasakan peran sebagai seorang klien. Jadi, kita bisa tahu bagaimana sudut pandang seorang klien saat diterapi, sekalian membereskan masalah-masalah dalam diri yang masih belum selesai, hehehe.

Ok, lanjut, mengapa terapi ini aku bilang sedang tepat saat ini?

Jadi, ada klaim dari si pembuat terapi beserta para praktisinya bahwa terapi ini bisa menangani klien-klien sulit. Maksudnya bagaimana? Klien-klien yang selama ini sudah mencoba banyak hal tetapi tidak berhasil juga. Termasuk klien yang penuh penolakan terhadap masalah-masalahnya yang sesungguhnya.

Pada prinsipnya terapi ini menekankan pada dua hal acceptance and change. Artinya kita tidak cukup hanya menerima, melainkan harus ada perubahan dalam diri kita dalam proses penerimaan itu. Mau itu perubahan pikiran atau pola pikir maupun perasaan kita terhadap masalah yang hadir. Biasanya teknik ini berhasil pada klien yang mengalami dualisme pemikiran di saat bersamaan.

Misalnya, seseorang yang merasa marah kepada suami yang sering berselingkuh, tetapi tidak mampu keluar dari pernikahan itu karena masih mencintai suaminya. Dalam kasus seperti ini, biasanya kita akan memberi pilihan tentang “stay” atau “move” dari hubungan. Beserta konsekuensi-konsekuensi untuk tiap keputusan yang harus dipahami sebelum keputusan diambil. Nyatanya, walau kita memberikan pilihan ini, terkadang masih saja ada klien yang susah untuk move tetapi merasa berat untuk stay.

Maka, solusi dari teknik terapi ini adalah kita “stay” tetapi harus bisa mengubah pola pikir kita agar bisa tetap bertahan saat “stay” di hubungan tersebut. Kita harus mampu bertahan atas rasa sakit yang hadir karena seringnya diselingkuhi. Kita harus berupaya mencari kenyamanan dari ketidaknyamanan yang hadir dalam kehidupan kita.

Kedengarannya berat? Yoa. Tapi begitulah realitanya. Jika memang kita susah pergi dari masalah itu, bagaimana caranya mengubah diri agar bisa menerima dan tetap bertahan meskipun masalah itu kembali hadir. Sama halnya ketika sekarang isu tentang toxic parent sedang merebak. Kita merasa tidak nyaman dengan sikap orang tua yang mungkin tak sesuai harapan, tetapi di saat bersamaan masih ada rasa sedikit rasa sayang yang terselip untuk mereka.

Lalu, apa yang harus dilakukan dengan pendekatan terapi ini?

Kita lanjut di artikel berikutnya ya.

One thought on “Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 1)

  1. Pingback: Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 2) – Mata Syakee

Leave a comment