Tiga Jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mana yang Lebih Keji?

Isu tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mencuat. Seorang aktris yang terkenal dengan hubungan romantis dengan suaminya, ternyata berujung pada petaka. Siapa yang menyangka, romantisme yang mereka sajikan di media sosial berujung pada perilaku kekerasan yang dilakukan suami kepada istri. Bahkan urusan ini sudah dilaporkan ke pihak berwajib.

Tentunya kejadian ini langsung memicu perhatian banyak orang. Para netizen langsung berspekulasi, beropini, bahkan terang-terangan memberikan cacian maupun pujian. Namun, di balik itu semua, pertanyaannya adalah apakah kekerasan yang dilakukan suami sudah dilakukan selama ini? Apakah intimasi yang mereka tunjukkan di media sosial hanyalah kamuflase semata untuk menutupi bobroknya hubungan pernikahan?

Membahas tentang isu kekerasan dalam hubungan, khususnya rumah tangga atau pacaran, sudah menjadi perhatian saya semenjak awal menjadi psikolog. Saat masih menjadi dosen pun, topik penelitian yang saya angkat adalah seputar kekerasan dalam hubungan ini juga. Beberapa hasil penelitiannya pun sudah dipublikasikan di jurnal nasional maupun seminar internasional. Maka, ketika membaca begitu banyak pendapat, opini, bahkan spekulasi yang diungkapkan banyak pihak, hati ini tergelitik untuk menjabarkan sesuatu yang penting terkait memahami kekerasan yang terjadi dalam hubungan.

Sebuah pertanyaan yang muncul adalah: apakah ketika satu kali memukul sudah masuk ke dalam kekerasan? Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kekerasan dalam hubungan?

Saya pernah menulis dalam buku Kapan Siap Nikah? tentang tiga pembagian tipe kekerasan pada pasangan romatis yang diungkapkan oleh Michael Johnson.

  • Situational Couple Violence (SCV) yaitu kekerasan yang muncul ketika konflik kian memanas. Kedua pihak biasanya dalam kondisi marah, sehingga merasa argumentasi pasangan dianggap mengancam dirinya. Akibatnya, tanpa disadari salah satu atau keduanya kehilangan kontrol dan menggunakan kekerasan untuk mengakhiri pertengkaran. Kekerasan jenis ini hanya terjadi sesekali, muncul karena individu tidak mampu mengendalikan dirinya yang sedang penuh amarah.
  • Intimate Terrorism (IT) yaitu ketika salah satu pihak menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mengendalikan dan menekan pihak lain. Kekerasan memang digunakan sebagai taktik untuk mengendalikan pihak lainnya, bisa dalam bentuk mengancam, mengisolasi, sehingga pihak lain tidak memiliki daya untuk melawan. Kekerasan ini biasanya memunculkan luka secara jelas pada diri korban. Terjadinya bisa semakin sering jika pasangan terus bersama, bahkan bisa mengakibatkan kematian.
  • Violence resistence yiatu terjadi ketika pasangan yang selama ini disakiti melawan balik pasangannya yang telah melakukan intimate terrorism.

Nah, dari ketiga jenis ini mana yang sebenarnya paling keji?

Di antara tiga jenis ini yang paling mengerikan sebenarnya adalah nomor dua, intimate terrorism. Bukan berarti yang pertama masih diperbolehkan. Apapun bentuknya, kekerasan tetaplah perilaku yang keji karena kita menggunakan serangan kepada orang lain. Namun, pada jenis yang pertama kuncinya terletak pada amarah yang tadinya mungkin disimpan, malah terumbar karena tak mampu lagi terbendung. Artinya ini hal yang masih bisa dikatakan “wajar” terjadi sama seperti ketika bertemu orang yang menyebalkan di luar rumah, sampai ingin sekali menghajarnya.

Pada jenis yang kedua, makna terorisme yang terkandung di dalamnya itulah arti kekerasan dalam hubungan yang sebenarnya. Karena kekerasan dimanfaatkan untuk mengendalikan, mengatur, dalam bentuk manipulasi dan mengisolasi pasangan. Awalnya, biasa dilakukan secara psikologis, mengendalikan emosi pasangan dan membuat pasangan merasa tidak bisa apa-apa selain bersama dirinya. Ada unsur “kedudukan yang lebih tinggi” di dalamnya, sehingga pasangan yang melakukan kekerasan tidak mampu menghargai martabat pasangannya. Alih-alih memberikan rasa sayang dan cinta, malah berujung pada bentuk merendahkan, seolah pasangan tidak ada harga tanpa dirinya.

Salah satu cerita yang menurut saya bisa mewakili bentuk ini ada di serial pendek yang sedang tayang di salah satu penyedia film. Judulnya, “Ada yang Hilang dalam Cinta”. Menurut saya, acting yang ditunjukkan oleh Reza Rahadian di film itu benar-benar bisa mencerminkan, apa yang dilakukan oleh pelaku kekerasan dalam hubungan, dan apa dampaknya kepada pasangan.

Dalam film ini dikiaskan karena kepercayaan diri sang wanit direnggut sedemikian rupa, dianggap tidak berharga dan tak memiliki harga, sampai membuat dirinya memilih untuk menghilang dan tak terlihat oleh orang lain. Benar-benar bisa menggambarkan bagaimana dinamika psikologis yang terjadi pada para korban yang sulit untuk keluar dalam hubungan ini.

Mengapa demikian keji? Selain karena menghilangkan nyawa ketika kekerasan fisik dilakukan berkali-kali tanpa henti, bisa menghilangkan eksistensi seseorang. Membuatnya kehilangan jati diri, bahkan merasa tak memiliki daya maupun upaya untuk keluar dalam hubungan.

Meskipun demikian, hal yang paling kejam terkadang terjadi pada orang yang melakukan jenis ketiga. Saat mereka membalas dendam, malah dirinya yang mendapat cacian dari pihak luar. Saat membalas memukul, malah mereka yang mendapat hukuman. Akan tetapi, perlakuan yang mereka terima selama ini tidak mendapatkan hukuman apa-apa. Keji? Sangat.

Siklus Kekerasan yang Mengerikan

Serangan demi serangan seringkali dilontarkan kepada pihak yang mendapatkan kekerasan. Mengapa melaporkan? Mengapa tidak bisa bertahan? Memangnya tidak bisa menenangkan pasangan? Dan sebagainya. Maka, untuk yang berkomentar demikian, coba deh sesekali masuk ke dalam siklus itu, lingkaran kekerasan yang dialami mereka. Saya yakin akan diam seribu bahasa.

Harusnya kita lebih berempati, mengapa para penyintas ini kesulitan untuk keluar dari hubungan penuh kekerasan?

Kita harus mampu memahami dinamikanya secara keseluruhan. Mulai dari posisi suami-istri di rumah, kehadiran anak dan kekuatan finansial, belum lagi karakter kepribadian masing-masing, serta dukungan sosial yang bisa membuat mereka bisa bertahan atau keluar dari hubungan yang tidak baik ini. Seringkali malah lingkungan yang membuat mereka tetap bertahan, bahkan tidak bisa melapor. Ada begitu banyak mulut-mulut tak bertanggung jawab yang membuat mereka bungkam seribu bahasa. Hingga nanti ketika kematian sudah datang, baru ada banyak yang bersimpati, merasa kasihan kepada nasib mereka semua.

Tentunya menghentikan kekerasan dalam hubungan itu bukan hanya perkara para korban yang harus mau berubah dan keluar. Baik pasangan yang melakukan kekerasan pun harus menyadari tindakannya itu telah menghancurkan satu insan manusia. Di balik ego yang perlu terus mereka pertahankan, ada banyak pihak harus dikorbankan karena ketidakmauan untuk mengalah.

Betul, ego maupun harga diri telah mengacaukan semuanya. Membuat pelaku menggunakan kekerasan untuk mempertahankan martabatnya. Seolah mereka akan menjadi lemah hanya karena tak mampu mengendalikan pasangan dengan menggunakan kekerasan. Selain itu, pemakluman bahwa kekerasan itu boleh terjadi, semakin menambah runyam masalah.

Jika membahas tentang penyelesaiannya maka kita harus menarik benang yang sudah kusut itu menuju akarnya. Kembali pada bagaimana pengasuhan di keluarga, tentang peran pria maupun wanita. Bagaimana pria dan wanita bersikap satu sama lain, termasuk cara-cara untuk menunjukkan kasih sayang secara benar dan tepat. Dengan demikian, anak-anak yang lahir dalam kondisi orang tua yang memahami dengan baik fungsi masing-masing, menghargai martabat satu sama lain, menunjukkan kasih sayang yang sesuai tempatnya itu, akan menjadi anak-anak yang bisa lebih menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan dalam hubungan.

Meskipun demikian, kita kembali pada prinsip pernikahan. Ada ujian dalam tiap pernikahan sesuai porsi masing-masing. Hal paling penting adalah masing-masing menyadari adanya kesalahan atau masalah dalam hubungan pernikahan tersebut. Sesuatu yang bisa dikektahui ketika kita memiliki ilmunya.

Jadi, sudahkah kita cukup berilmu agar kehidupan pernikahan itu menjadi ladang bertumbuh bersama? Karena pernikahan bukan tentang kesempurnaan, melainkan tempat kita menaikkan derajat keimanan secara perlahan, berdua, bersama.

Leave a comment