Mengkaji Ulang Makna Kesehatan Mental

Ternyata sekarang sudah 10 Oktober lagi. Hari kesehatan mental dunia. Kalau dipikir, mengapa untuk membahas tentang isu kesehatan mental ini sampai ditentukan tanggalnya, ya? Segala sesuatu saat ini sepertinya perlu momentum, harus ada hari untuk memperingatinya. Seolah tanggal itu menjadi sakral, bahkan biasanya bulan Oktober akan ada kampanye besar-besaran perihal kesehatan mental. Padahal jika mau membahas tentang mental, bukankah kita bisa melakukannya kapan saja?

Jika mengangkat isu kesehatan mental artinya kita bicara tentang apa yang dimiliki oleh manusia sampai detik ini. Jiwa yang dianugerahi Tuhan kepada masing-masing makhluk, seberapa kita menjaganya agar tetap selalu sehat dan kembali pada tugas utama untuk hidup di dunia ini. Namun, sudah bertahun-tahun masalah kesehatan mental dianggap sebagai momok yang tak boleh disentuh. Seakan itu adalah dunia lain, begitu mistisnya, hingga tak berani disentuh dan dipenuhi oleh stigma.

Maka, ketika sekarang dunia mulai bergerak untuk mengkajinya lagi, memberikan kesadaran penuh kepada banyak orang mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental, gegar budaya pun terasa. Isu yang tadinya dianggap tak boleh dilihat karena merupakan aib per individu, diangkat menjadi isu masyarakat yang perlu perhatian penuh.

Di satu sisi ini adalah sebuah kebaikan. Kesadaran masyarakat mengenai sehat mental menjadi berubah. Ada perhatian terhadap kondisi kejiwaan manusia yang sesungguhnya teramat rapuh, sebenarnya. Namun, di lain pihak ada sisi negatifnya yang juga ikut terbawa. Betapa banyak isu kesehatan mental dijadikan alasan agar bisa membolehkan perilaku yang tidak tepat. Kesehatan mental pula dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab. Ternyata menaikkan kesadaran mengenai isu kesehatan mental ini malah menjadi bumerang yang melemahkan pribadi karena selalu menyandarkan kegagalan pada kelemahan mental.

Oleh karena itu, ada baiknya kita mengkaji ulang masalah ini dengan lebih seksama, sebenarnya apa yang disebut sebagai kesehatan mental?

Saat dulu belajar psikologi, ada mata kuliah wajib yang harus kami ambil: psikologi klinis, psikologi abnormal, dan konseling. Menurut saya, tiga mata kuliah inilah yang menjadi dasar utama untuk memahami masalah kesehatan mental. Sebab, dari ketiga mata kuliah ini saya memahami, sesungguhnya tidak ada manusia yang benar-benar sempurna mentalnya.

Ya, jika kita menganggap saat ini orang yang sehat mental artinya orang yang tidak punya masalah, itu jelas salah sama sekali. Karena tak ada orang yang tak punya masalah sepanjang hidupnya. Tak ada pula orang yang akan terbebas dari rasa khawatir sepanjang hidupnya. Orang yang sehat mental bukanlah orang yang selalu bahagia sepanjang hidup, melainkan orang yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya, sehingga ia bisa kembali ke titik ekuilibrium. Seimbang kondisi mentalnya agar mampu kembali menjalani kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, salah kaprah tentang sehat mental = bahagia ini yang membuat orang jadi gampang sekali “terganggu”. Maksudnya, mudah sekali merasa tidak sehat mental ketika sedikit saja merasa tidak bahagia. Entah itu karena melihat orang lain yang lebih bahagia dengan pencapaiannya atau ada saja ketidakberuntungan menimpa kehidupannya.

Padahal setiap hari ada fase naik dan turun yang akan kita jalani. Selayaknya roda kehidupan yang terus berputar, ada masanya kita bahagia dan sehat, ada pula masanya kita terpuruk dan merasa gagal. Dua-duanya adalah masa yang harus kita hadapi dengan cara yang baik. Kemampuan untuk mengatasi kedua fase kehidupan ini dengan baik, itulah kunci untuk menggambarkan kesehatan mental yang sempurna.

Sehat Mental: Mampu Menyelesaikan Masalah

Pada akhirnya, seberapa sehatnya mental kita tergantung pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Mengapa demikian? Karena yang membuat mental terganggu adalah ketidakmampuan untuk menolerir masalah yang hadir dalam kehidupan. Pada dasarnya kita sudah memiliki kemampuan dasar untuk menghadapi rintangan hidup. Namun, ada saja peristiwa di dalam hidup ini yang ternyata melebihi kapasitas masing-masing.

Contohnya, saat menghadapi peristiwa traumatis, ada orang-orang yang akhirnya bisa baik-baik saja, tetapi ada juga yang mengembangkan gejala-gejala trauma setelah peristiwa itu berakhir beberapa waktu. Memunculkan masalah kesehatan mental yang disebut gangguan stres pasca trauma.

Bagi yang baik-baik saja, artinya ia memiliki kompetensi untuk berhadapan dengan peristiwa traumatis itu. Ia mampu mengatasi efek buruk yang muncul akibat peristiwa traumatis itu. Dengan demikian, sebesar apapun peristiwa yang dihadapi, efeknya akan berkurang bahkan menghilang seiring berjalannya waktu.

Di sisi lain, ada orang-orang yang akhirnya mengembangkan gangguan stres pasca trauma. Ini disebabkan oleh kapasitasnya untuk menghadapi masalah ternyata lebih kecil dibanding besarnya efek dari peristiwa traumatis yang dihadapi. Alhasil, terjadi ketidakseimbangan (inekuilibrium) di dalam diri kita, berujung pada mental yang jadi tidak sehat.

Kuncinya di sini adalah adanya kapasitas atau tidak. Ketika punya kapasitas, maka masalah hadir langsung bisa diselesaikan. Jika tidak, maka akan muncul masalah psikologis dalam diri. Dengan demikian, yang butuh dikembangkan adalah kapasitas kita itu. Kapasitas untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya, ada yang bisa meningkatkan kapasitas itu dengan sendirinya, tetapi ada juga yang tidak. Bagi mereka yang tidak mampu meningkatkan kapasitas itu sendiri, bahkan ketika usaha pribadi sudah dilakukan, saat itulah mereka membutuhkan bantuan profesional.

Sejatinya, kita selalu mengembangkan kapasitas menyelesaikan masalah itu seiring bertambahnya usia. Coba saja, ketika kamu membayangkan tentang dirimu 10 tahun yang lalu, apakah ada yang berbeda?

Kalau saya bisa menyebutkan kalau saya yang sekarang bisa memandang masalah sepuluh tahun lalu itu sebagai hal yang mudah untuk dilalui dari kaca mata saat ini. Padahal ketika saya menjalaninya sepuluh tahun lalu, ada rasa putus asa yang mampir karena merasa masalah itu tak kunjung selesai. Bahkan rasa menyerah sempat melipir karena sudah sedemikian putus asanya.

Itulah individu yang sehat, selalu berkembang dan mengembangkan kemampuan saat berhadapan dengan masalah. Mungkin kita tidak sadar, tetapi semakin banyak kesulitan dunia, ternyata mampu mengantarkan kita menjadi individu tangguh seperti saat ini. Ketangguhan yang tidak mungkin didapat ketika hidup hanya diisi oleh kebahagiaan semata.

Jadi, mengapa masalah kesehatan mental ini sedemikian terasa sulit untuk generasi saat ini?

Bisa jadi karena mereka tidak terlatih untuk mengelola masalah. Tidak terbiasa untuk berhadapan dengan situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Lebih buruknya lagi, tidak pernah diajarkan cara mengatasi masalahnya. Artinya, kapasitas mengatasi masalah ini tidak tumbuh pada diri mereka. Dengan demikian, mudah sekali untuk menyerah dan merasa tidak sehat mental.

Padahal sekali lagi, sehat mental bukan berarti kita tak akan berhadapan dengan masalah. Sehat mental adalah hasil yang kita dapatkan ketika mampu bertumbuh menjadi individu dengan kapasitas yang terus bertambah. Tumbuh baik dari sisi afektif maupun kognitif. Artinya mampu mengelola perasaan maupun pikiran agar terus bisa menyesuaikan dengan keadaan.

Islam Mengajarkan tentang Sehat Mental

Bagaimana Islam memahami kesehatan mental? Seberapa penting kesehatan mental ini dalam Islam?

Dalam sebuah kajian yang disampaikan oleh dr. Zaidul Akbar, ternyata kesehatan mental adalah kunci penting yang dibahas dalam Islam. Bahkan sebelum membahas kesehatan fisik, Islam lebih dulu mementingkan kesehatan mental individu. Seseorang yang sehat mentalnya, InsyaAllah akan sehat secara fisiknya. Mengapa bisa demikian?

Salah satunya tercantum pada ayat berikut:

“Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

QS Al Baqarah: 153

Ini adalah salah satu petunjuk yang menggambarkan betapa Allah sesungguhnya sudah memberikan petunjuk terbaik dalam mengatasi masalah. Sabar dan salat sebagai penolong kita dari segala macam kesulitan dunia. Bahkan Allah menjanjikan akan selalu bersama orang-orang yang sabar. Bukankah itu sebuah keistimewaan, saat kita mampu untuk terus meningkatkan kapasitas kita untuk berhadapan dengan masalah itu. Berarti Allah akan selalu berada di dekat kita.

Ini juga membuktikan bahwa Allah mungkin telah memberi kita masalah. Akan tetapi, Ia pula memberikan jawabannya lewat kalam yang selama ini mungkin sudah lama tidak kita sentuh. Selama ini kita mungkin terlalu sibuk mencari penyembuhan itu di mana-mana, tetapi melupakan petunjuk utama kehidupan, yaitu Al-Qur’an. Sebab, mungkin selama ini kita tidak pernah menengok lebih dekat isinya. Tidak pula mentadabburinya lekat-lekat. Hingga kita tak temukan kesembuhan saat membacanya, malah menjadi beban berat karena menganggapnya sebagai sebuah halangan untuk memuaskan hawa nafsu kita.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai menyadari, bagian apa dari kesabaran dan salat kita yang belum benar, sehingga sulit sekali untuk menemukan merasakan sehat mental di dalam kehidupan. Sejatinya, ketika kita sudah mampu menerapkannya bukankah kita bisa menjadi sosok yang aman dan tentram, tidak merasakan lagi kegelisahan. Sebab kita tahu kebahagiaan sejati, bukan tentang merasa bahagia di dunia.

#writober2022 #kaji #RBMJakarta #IbuProfesional

One thought on “Mengkaji Ulang Makna Kesehatan Mental

  1. Pingback: Mengkaji Ulang Makna Kesehatan Mental – novi fathia

Leave a comment