Mencari Rida Allah Menuju Surga

Apakah peluang amal itu hanyalah yang bisa dilihat oleh manusia lain?

Mungkin kita butuh mengingatkan pada diri sendiri sebuah hadis dari Rasulullah saw.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Abu Hurairah berkata, Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang laki laki diampuni karena sebab membuang duri dari jalan manusia.” (HR. Ahmad no. 9292)

Secuil duri yang mungkin tampak remeh, tetapi telah menjadi sebab seseorang diampuni oleh Allah Swt. Semua berawal dari keinginannya untuk melindungi orang lain, mencegah keburukan untuk orang lain, maka Allah memberikan ampunan untuknya. Sebuah perbuatan yang bisa jadi tak ada manusia lain yang mengetahui, tetapi Allah tahu karena Ia Maha Melihat.

Darinya kita belajar bahwa jangan menganggap ringan setiap amalan kecil yang kita lakukan. Begitu pula amalan itu tidak terbatas pada ibadah besar yang selama ini kita pikirkan, seperti salat, puasa, sedekah, dan sebagainya. Karena sejatinya ketika setiap yang kita lakukan itu diniatkan hanya untuk Allah ta’ala, itulah ibadah. Ibadah juga tak terbatas diniatkan untuk diri sendiri, layaknya salat dan puasa, tetapi juga berkaitan dengan muamalah atau kebaikan kita kepada manusia lain. Maka, sudah semestinya kita membuka hati lebar-lebar untuk rida terhadap tiap ketentuan-Nya, jalan kebaikan mana yang harus dilalui untuk menuju surga-Nya. 

Ya, kadang kita yang masih kurang terima dengan jalan yang telah Ia tetapkan. Jalan itu bukan hanya ada di setiap pilihan-pilihan hidup kita, tetapi apa yang dijalani detik dan saat ini, itu pula jalan yang sudah Ia tetapkan. Maka, ketika ada kendala-kendala yang kita pikir menghalangi sebuah kebaikan besar yang tampak di depan mata, sekali lagi jangan melihatnya demikian.

Allah Maha Tahu mana jalan yang baik untuk kita. Saat ada sebuah jalan yang tidak Ia berikan untuk kita, bisa jadi jalan itu bukanlah jalan kebaikan untuk diri ini. Jangan-jangan kita malah menjadi zalim setelah menjalaninya, bisa jadi itulah yang ingin Allah hindarkan dari kehidupan kita.

Sebagai contoh, kita merasa sedih karena tidak bisa menghadiri kajian sebab terkendala masih memiliki anak kecil atau tidak memiliki izin dari suami. Percayalah niatan kita untuk maksimal membersamai dan mengasuh anak yang kecil akan tetap dicatat sebagai pahala dengan syarat hati ini rida dengan keadaan yang telah Allah tetapkan. Begitu juga ketika tak mendapatkan izin dari suami, InsyaAllah kita akan mendapatkan berkah tersendiri sebab telah mematuhi perintahnya.

Jadi, doakanlah diri agar terhindar dari perbuatan buruk dan sia-sia. Seperti berkumpul dengan niatan menjalin silaturahim, tetapi ternyata berisikan banyak maksiat kepada-Nya. Baik itu melupakan ibadah sampai membicarakan saudara sesama muslim lainnya.

Sebab, dengan mudahnya kita manusia yang lemah ini akan jatuh pada keburukan. Jika iman masih belum kuat sekali, mencoba menghindari situasi yang mungkin membuatmu mudah jatuh pada keburukan, bisa menjadi sebuah kebaikan. Menata diri, menata hati, bahkan saat itu semua membuatmu menjadi merasa sendirian, janganlah takut. Bukankah Allah selalu bersamamu.

Allah tidak akan pernah menutup mata dari tiap apa yang kita lakukan, meskipun itu tak pernah dilihat orang lain. Sayangnya, era media sosial membuat kita mudah sekali jatuh pada rasa was-was dan keinginan membuktikan diri. Was-was karena belum melakukan perbuatan baik selayaknya orang lain. Lalu, ada keinginan untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa kita tak kalah dari mereka dalam berbuat baik. Rasanya begitu menyedihkan, ya karena sedemikian rapuhnya diri ini karena masih membutuhkan pengakuan dari orang lain. Bahwa kita ini baik, kita ini bisa berbuat baik.

Di samping itu, rasa iri dengan mudahnya menyelinap karena melihat orang lain yang sepertinya punya kehidupan lebih baik daripada diri ini. Menyelinap hingga mengasingkan rasa syukur yang sudah dipupuk lama, lagi-lagi karena kita tak mampu untuk menjaga hati yang demikian mudahnya terpuruk. Belum lagi rasa sombong yang ikut menyusup ketika sedikit saja rasa syukur hilang akibat terlalu berbangga atas pencapaian diri. Sungguh salut kepada orang-orang yang bisa demikian menjaga hatinya agar tak ada rasa sombong sedikit pun meskipun membanggakan pencapaian, kehidupan, maupun kebahagiaan mereka.

Kembali mempertanyakan, apakah memang perbuatan baik itu selalu harus ketika orang lain tahu?

Ada yang berpendapat itu adalah keinginannya untuk berbuat kebaikan. Agar orang lain ikut serta dalam kebaikan yang telah ia perbuat. Namun, sebenarnya seberapa banyak batasan yang kita butuh berikan agar tak terperosok dalam jurang kesombongan?

Semalam saat sedang belajar secara daring mendapatkan sebuah pencerahan tentang alasan mengapa Islam itu hadir di muka bumi. Pada dasarnya agama itu diciptakan atau syariat itu ditegakkan dengan dua tujuan:

  • Menghilangkan kemudharatan
  • Mencegah kemudharatan menjadi bertambah besar

Nah, kira-kira ketika kita melakukan sesuatu di luar tuntunan yang ada, apakah itu bisa memenuhi salah satu dari tujuan ini? Apakah benar yang kita lakukan selama ini adalah hal baik yang bisa mencegah keburukan lainnya?

Walaupun berat dan tidak bisa langsung dirasakan efeknya, menerapkan ajaran agama merupakan sebuah efek domino. Efeknya mungkin terasa kecil saat ini, tetapi menjadi besar ketika ajaran itu diterapkan secara berkesinambungan dan luas oleh banyak orang. Ketika satu per satu terus mengajarkan kebaikan itu, tanpa tercampur oleh usaha lain yang memengaruhi prosesnya, yakinlah akan tiba hari di mana keindahan ajaran itu benar-benar tampak jelas di depan mata kita.

Sayangnya, kapan itu bisa terjadi kalau sepanjang perjalanan memperjuangkan syariat itu, prosesnya ternodai oleh nafsu manusia. Nafsu yang membuat penerjemahan arti dari tiap aturan itu menjadi kabur.

Meskipun demikian, yakinlah akan ada jalan untuk meraih surgamu sendiri. Jadi, jangan terpengaruh oleh pencapaian orang lain yang bisa jadi belum tentu pas untukmu. Boleh kita merasa tertantang untuk bisa berbuat kebaikan sebagaimana orang lain. Namun, jika Allah belum mengizinkan, yakinlah ada kebaikan lain yang menunggumu terlepas dari apa yang sudah kamu rencanakan.

Jangan bersedih karena jalan Allah menuju surga itu demikian banyaknya. Tinggal kita mau atau tidak untuk mencari jalan itu dengan berbekal keyakinan untuk terus mendapatkan rahmat-Nya. Dengan bekal menjalankan semua perintah-Nya dan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan tiap detik waktu kita untuk berbuat kebaikan. Sebab, kita tak pernah tahu kebaikan mana yang akan membawa kita ke surga. Kebaikan mana yang benar-benar murni kita lakukan tanpa keinginan untuk mendapat pengakuan manusia. Kebaikan mana yang murni kita perbuat dengan membersihkan niat untuk Allah Ta’ala semata.

Semoga jalan kebaikan kita saat ini adalah jalan menuju surga. Meski sederhana, walau hanya di rumah, walau tak terasa imbasnya bagi banyak orang, percayalah Allah catat tiap kebaikan itu. Percayalah Allah tak pernah menutup mata bagi tiap hamba-Nya yang ikhlas menjalankan segala sesuatunya. Karena kita masuk surga bukan karena banyaknya ibadah yang dilakukan, banyaknya orang yang merasakan kebaikan, melainkan ketika Allah rida kita masuk ke dalam surga-Nya.

Jadi, sudahkah kita menjalankan kebaikan itu untuk mendapatkan rida-Nya?