Merawat Diri, Merawat Mental Sepenuh Hati

Siapa yang paling butuh menjaga hati ini? Tentunya diri sendiri. Bukan orang lain yang harus bertanggung jawab bagaimana hati kita kembali baik.

Melainkan kita yang butuh kembali mengingatkan, ketenangan jiwa itu berasal dari kemampuan kita untuk menjaga diri. Ketenangan hati berasal dari kita yang mau memperbaiki dan merawat diri.

Sebagaimana isu kesehatan mental yang terus naik daun, sudah sepantasnya kita semakin memahami kalau tiada lagi yang bisa mengembalikan kondisi kita menjadi baik selain diri sendiri. Kita yang seharusnya memiliki kendali atas semua reaksi terhadap permasalahan kehidupan. Baik yang besar maupun kecil, semuanya seharusnya bisa kita hadapi asalkan mau mengubah sudut pandang dengan cara yang tak lagi sama seperti sebelumnya.

Di bulan Juli 2023 kemarin sebuah buku akhirnya hadir. “Merawat Hati, Merawat Diri,” judulnya. Buku yang ditulis bersama teman-teman psikolog yang memang fokus membahas tentang isu kesehatan mental.

Yah, apalagi sih kerjaan kami selain bahas tentang kesehatan mental? Mau itu di ranah pendidikan, pekerjaan, tua, muda, anak-anak, semua membahas hal yang sama, bagaimana kita semua bisa tetap sehat mental di tengah kesulitan yang ada.

Cover Buku “Merawat Hati, Merawat Diri”

Nah, fokus utama dari buku ini sendiri adalah membahas tentang cara merawat diri (self-care) dalam berbagai situasi. Ada pembahasan tentang self-care sebagai seorang ibu, care giver, para pekerja, atau terkait isu-isu mental, seperti Bipolar Disorder.

Di buku ini sendiri aku mengangkat sebuah isu yang ditulis berdasarkan pengalaman selama berada di komunitas ibu-ibu. Sebuah pemikiran bahwa seorang ibu, terutama ibu rumah tangga, yang sesungguhnya tak punya jeda antara perannya sebagai seorang ibu dan waktunya untuk diri sendiri. Sebagai seorang pekerja 24/7, ibu memiliki kecenderungan sendiri untuk mudah mengalami kelelahan emosional. Akibatnya, para ibu menjadi rentan mengalami masalah psikologis.

Sedikit bahasannya sempat aku singgung di acara bareng Quadra Sinergi  saat launching buku ini. Bisa disimak sedikit kesimpulannya di sini.

Tulisan kali ini memang lebih kental aspek keilmiahannya, dibanding tulisanku di buku-buku lain. Wajar saja ini adalah bunga rampai yang berisikan tulisan ilmiah populer, artinya memang lebih banyak ditulis based on artikel ilmiah. Namun, tetapi ditutup dengan solusi yang bisa dilakukan oleh para pembaca untuk merawat diri dan hatinya.

Meskipun isinya hanya sembilan artikel, tapi padat dengan pengetahuan, pemahaman, dan solusi. Tidak hanya membahas secara serius, tetapi juga memberikan sudut pandang baru tentang beberapa permasalahan yang mungkin jamak kita temui pada diri sendiri ataupun orang di sekitar.

Nah, karena sudah cukup lama, buku ini sebenarnya masih bisa dipesan langsung ke penerbitnya, Stiletto. Kamu bisa pesan langsung di toko oranye atau kalau pengen dapetin versi e-book nya sudah ada juga di Gramedia Digital, yay!

Merawat Diri yang Tak Berhenti di Sini

Sebenarnya dalam merawat diri yang terpenting bukan hanya kita tahu dan memahami sebab kita mengalami sebuah masalah. Melainkan kita mampu mencari jalan keluar agar tak lagi terpengaruh oleh masalah itu atau setidaknya sudah berdamai. Tujuannya adalah kita tak lagi sibuk dengan masa yang sulit itu, tetapi mampu untuk meraih kebahagiaan selepasnya.

Sayangnya, kita banyak fokus di sebab, mengulang-ulang bahwa itu memang luka, sehingga terjebak dalam pusaran yang sama. Akhirnya, bukannya keluar dari kegelapan malah terus terjerumus dalam kemarahan.

Padahal kita tak bisa demikian. Allah menciptakan lupa bukan tanpa sebab. Ia ingin kita tak mengingat hal yang tak perlu, tak ingin juga kita terluka terus-menerus. Namun, kita yang sibuk mengikuti nafsu, mengorek luka itu hingga selalu terbuka sampai tak terurus.

Bahkan hal buruk lainnya adalah kita yang makin lari karena tak sanggup menanggung rasa sedih di hati. Kabur karena merasa tak ada jalan baik dari setiap kesulitan yang telah Allah beri sampai detik ini.

Sejatinya kita sungguh egois kalau begitu. Hanya fokus pada diri sendiri, lupa kalau untuk merawat diri sebenarnya Allah sudah kasih rumusnya sejak kita kecil. Dekat dan beribadah kepada-Nya dengan kesungguhan hati. Namun, lagi-lagi kita sibuk menyalahi takdir yang tak bisa lagi berubah sebagai bentuk proteksi diri.

Yah, tapi bukan berarti kita harus berhenti di sini. Selagi masih ada waktu artinya masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan lengah karena merawat diri tak berhenti hanya sampai di sini. Sampai kita hanya memahami yang bikin merana diri, tetapi apa yang bisa dilakukan agar kembali mendapat rida dari Ilahi.

Tes Sidik Jari, Validkah Memahami Kepribadian Manusia?

Bismillah.

Disclaimer: ini adalah hasil ulasan pengalaman pribadi serta pemahaman keilmuan yang dimiliki, bukan endorse terhadap produk tertentu atau menjelekkan produk lainnya. Tapi kalau mau diskusi lebih lanjut dan berujung konsultasi, amat terbuka sekali.

“Tebak, dong aku ini orangnya seperti apa.”

Yah, sudah cukup sering bertemu dengan orang-orang yang bertanya begitu setelah tahu kalau diri ini belajar ilmu psikologi. Seakan kalau kita belajar psikologi dengan mudahnya menerawang seseorang apalagi langsung menebak karakternya.

Padahal saat belajar psikologi, kita tidak langsung belajar tentang menebak karakter seseorang seperti menjentikkan jari. Sebaliknya, belajar psikologi membuat kita belajar memahami secara lebih mendalam tentang dinamika seseorang dalam hidupnya hingga membentuk karakter-karakter tertentu. Pada akhirnya, ketika bisa mengenali seseorang itu memiliki ciri kepribadian tertentu, itu bukanlah karena kita ahli nujum, melainkan sebuah hasil dari pengetahuan, pembelajaran, dan pengalaman.

Yap, itulah sebabnya tak semudah itu langsung bisa menyimpulkan kehidupan seseorang hanya lewat satu tes semata. Sesuatu yang saat ini sedang banyak merambah di masyarakat juga, langsung bisa mendapatkan penjelasan mengenai diri lewat sebuah tes saja. Akhirnya, ketika sebuah tes dijual dengan embel-embel bisa mengenal karakter secara cepat, terutama potensi atau bakat pada anak-anak, tes itu menjadi laku dengan cepat. Merambah pasar mereka yang membutuhkan pemahaman tentang diri atau anak secara cepat, tanpa menunggu lama.

Padahal tes sendiri dalam dunia psikologi hanyalah sebuah alat dalam menilai seseorang. Bersandingan dengan dua alat lain yang sejatinya lebih penting: wawancara dan pengamatan. Yes, tes tak bisa berdiri sendiri, dibutuhkan pengecekan ulang melalui hasil wawancara maupun pengamatan langsung terhadap mereka yang menjalani tes agar hasilnya bisa dipercaya sepenuhnya.

Itulah yang kadang kala membuat kami yang bergerak di bidang psikologi masih kurang pas ketika ada sebuah tes yang bisa secara instan dan cepat menyimpulkan karakter manusia apalagi kalau itu hanya menggunakan satu cara saja untuk mendapatkan datanya, rasanya selalu bertanya-tanya,”Kok bisa?”

Salah satu yang sering jadi kontroversi adalah tes sidik jari.

Kita semua tahu kalau sidik jari sendiri unik untuk setiap manusia, lalu bagaimana caranya sidik jari yang berbeda-beda itu bisa disimpulkan menjadi kepribadian tertentu lewat program komputer yang sudah dibuat?

Logika sederhananya seperti ini, ketika sebuah program dibuat, dia membutuhkan data. Yah, walau memang ada penelitian yang bilang sidik jari kita itu bisa dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan pola yang mirip, apakah memang bisa kita langsung mengaitkannya dengan pola kepribadian tertentu?

Dan ketika kita ingin mengelompokkan orang-orang tertentu berdasarkan tipe kepribadian itu, bukankah butuh data valid yang memang mengonfirmasi bahwa pemilik sidik jari dengan pola tertentu memiliki kecenderungan tipe kepribadian tertentu. Bukankah itu membutuhkan setidaknya ratusan atau ribuan data sehingga kita bisa mengelompokkannya dan bisa diterima secara statistik?

Misalnya kita ingin mengelompokkan orang-orang menjadi lima tipe kepribadian saja, jika pola sidik jari memiliki tiga jenis, maka dibutuhkan setidaknya lima belas kelompok sampel untuk bisa memenuhi semua kriteria. Masing-masing kelompok sendiri setidaknya terdiri dari tiga puluh orang sebagai syarat minimal jumlah orang dalam sampel. Maka, dibutuhkan minimal 450 sampel untuk mendapatkan data paling minimalnya saja.

Belum lagi untuk mengkonfirmasi kalau memang yang tipe kepribadian itu benar dimiliki seseorang, maka dibutuhkan penilaian profesional yang memang sangat memahami tipe kepribadian tertentu. Artinya prosesnya pun tidak semudah kita hanya menyebarkan angket. Melainkan ada sebuah proses serius untuk mendapatkan sebuah penilaian kepribadian yang akurat.

Secara logika, demikian keraguan itu hadir karena secara ilmiah hal ini sulit untuk dilakukan pembuktiannya dan membutuhkan data yang besar. Belum lagi kalau terjadi kesalahan sepanjang proses validasi itu, biayanya pun tidak murah.

Sebab, hal ini tidak bisa hanya menjadi sebuah hipotesis, tetapi harus bisa dibuktikan kebenarannya agar bisa menjadi alat tes yang akurat dan bisa dipercaya. Apalagi kalau ada yang mengatakan kalau dari satu sidik jari bisa mengetahui lebih banyak lagi variabelnya. Sebagai contoh tidak hanya mengetahui tipe kepribadian, tetapi juga gaya belajar, kondisi emosional, dan lainnya. Bukankah itu berarti membutuhkan banyak sekali data untuk bisa menyajikan data terolah seperti itu setelah dilakukan pemeriksaan sidik jari?

Sayangnya, berapa banyak yang bisa membuktikan ini? Apakah benar sebuah tes sidik jari bisa untuk mengejawantahkan kepribadian dan kondisi seseorang secara komprehensif? Padahal setiap orang itu unik dan berbeda. Apakah benar bisa dengan mudahnya disederhanakan hanya melalui satu tes sederhana itu?

Walau dikaitkan dengan bahasan bawaan dan tujuan penciptaan masing-masing manusia, apakah benar nasib atau kondisi seseorang bisa tertebak hanya dengan melihat sidik jarinya? Padahal kita tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya Allah menciptakan diri kita, termasuk takdir di masa depan. Lalu, mengapa satu hal seperti ini langsung bisa membuat kita yakin bisa memahami diri dengan lebih baik?

Kita lanjut bahas di bawah ya.

Mengasuh Layaknya Mengasah Permata

Mengasuh Anak Menjadi Permata. Bismillah.

Setelah jadi orang tua, pastinya kita ingin sekali mengasuh anak dengan sebaik-baiknya. Namun, selalu muncul kekhawatiran akankah bisa mengasuh mereka dengan baik hingga dewasa. Terutama adanya kekhawatiran mampukah membantu anak-anak mengembangkan potensi-potensi dalam diri mereka agar berkembang dan bermanfaat bagi banyak orang.

Kadang kala rasa khawatir itu berangkat dari pengalaman sendiri yang dulu mungkin telah banyak salah mengambil langkah sehingga tidak maksimal menemukan dan mengembangkan potensi diri. Bagaimana seharusnya mengasuh mereka?

Nah, buku yang kali ini launching ditulis berdasarkan kekhawatiran tersebut. Merasa kalau hidup selama lebih dari 30 tahun ini ternyata masih saja belum mengenali diri dengan baik. Akhirnya, setelah punya anak bertekad menjadi ibu yang bisa membantu anak-anak menemukan jalan itu. Yah, jalannya tidak mudah, tetapi bukankah mengasuh itu selayaknya kita mengasah permata? Mengasah sedikit demi sedikit sampai anak-anak itu menemukan kilaunya?

Buku “Mengasuh Anak Menjadi Permata” ini juga ditulis untuk menjawab pertanyaan yang seringkali mampir dalam diskusi bersama para ibu, “Gimana caranya mengenali bakat anak?” atau “Gimana caranya tahu bakatnya anak?” Alhasil, buku ini hadir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai bekal para ibu untuk mencermati potensi anak-anaknya.

Berbekal dengan pengetahuan dan ilmu yang didapat selama belajar psikologi, kembali belajar tentang bakat dari berbagai sumber, plus hasil kontemplasi sebagai seorang ibu, buku ini diupayakan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seringkali hadir sepanjang proses menemani anak. Mulai dari memahami arti potensi, bakat, membahas tentang teori-teori yang bisa membuat kita mudah memahami tentang arti potensi itu, sampai cara menemukannya.

Fokus utama dalam buku ini sendiri bukan tentang cara praktis menemukan bakat anak, melainkan bagaimana sebagai orang tua kita menjadi orang tua yang mampu untuk mendampingi anak-anak menemukan potensi terbaiknya. Untuk itu sebagai orang tua kita butuh dua bekal: pengetahuan dan sikap yang tepat. Buku ini membahas kedua hal itu. Tidak hanya membekali orang tua tentang memahami bakat anak beserta jenis-jenisnya, tetapi bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang tua untuk menumbuhkan potensi itu.

Sebab, ada kalanya yang membuat anak tidak berkembang itu bukan karena mereka tidak menemukannya, melainkan kita sebagai orang tua telah sudah salah bersikap. Sikap yang membuat anak-anak menjadi terbatas dalam mengeksplorasi diri dan potensinya. Sampai di usia dewasa akhirnya bingung harus mencari jati diri ke mana.

Buku ini tidaklah tebal, hanya 167 halaman saja. Alhamdulillah setelah beredar lebih dari 2 tahun dalam bentuk naskah, setelah melewati masa pandemi, akhirnya dipinang oleh BIP Digital, di bawah bendera Gramedia. Rasanya penuh syukur sekali karena bisa menjadi salah satu penulis yang bukunya diterima oleh Gramedia.

Karena digital, jadi bentuknya e-book. Buat teman-teman yang suka baca buku digital bisa mampir ke Gramedia Digital atau langsung ke sini aja.

Apakah akan ada buku cetaknya? Doakan saja, masih dalam proses memikirkan gimana caranya buku ini bisa tersebar lebih banyak. Semoga ada jalan untuk menjadikannya buku cetak sehingga bisa menjangkau teman-teman yang mungkin kurang nyaman untuk membaca melalui e-book.

Mencari Rida Allah Menuju Surga

Apakah peluang amal itu hanyalah yang bisa dilihat oleh manusia lain?

Mungkin kita butuh mengingatkan pada diri sendiri sebuah hadis dari Rasulullah saw.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Abu Hurairah berkata, Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang laki laki diampuni karena sebab membuang duri dari jalan manusia.” (HR. Ahmad no. 9292)

Secuil duri yang mungkin tampak remeh, tetapi telah menjadi sebab seseorang diampuni oleh Allah Swt. Semua berawal dari keinginannya untuk melindungi orang lain, mencegah keburukan untuk orang lain, maka Allah memberikan ampunan untuknya. Sebuah perbuatan yang bisa jadi tak ada manusia lain yang mengetahui, tetapi Allah tahu karena Ia Maha Melihat.

Darinya kita belajar bahwa jangan menganggap ringan setiap amalan kecil yang kita lakukan. Begitu pula amalan itu tidak terbatas pada ibadah besar yang selama ini kita pikirkan, seperti salat, puasa, sedekah, dan sebagainya. Karena sejatinya ketika setiap yang kita lakukan itu diniatkan hanya untuk Allah ta’ala, itulah ibadah. Ibadah juga tak terbatas diniatkan untuk diri sendiri, layaknya salat dan puasa, tetapi juga berkaitan dengan muamalah atau kebaikan kita kepada manusia lain. Maka, sudah semestinya kita membuka hati lebar-lebar untuk rida terhadap tiap ketentuan-Nya, jalan kebaikan mana yang harus dilalui untuk menuju surga-Nya. 

Ya, kadang kita yang masih kurang terima dengan jalan yang telah Ia tetapkan. Jalan itu bukan hanya ada di setiap pilihan-pilihan hidup kita, tetapi apa yang dijalani detik dan saat ini, itu pula jalan yang sudah Ia tetapkan. Maka, ketika ada kendala-kendala yang kita pikir menghalangi sebuah kebaikan besar yang tampak di depan mata, sekali lagi jangan melihatnya demikian.

Allah Maha Tahu mana jalan yang baik untuk kita. Saat ada sebuah jalan yang tidak Ia berikan untuk kita, bisa jadi jalan itu bukanlah jalan kebaikan untuk diri ini. Jangan-jangan kita malah menjadi zalim setelah menjalaninya, bisa jadi itulah yang ingin Allah hindarkan dari kehidupan kita.

Sebagai contoh, kita merasa sedih karena tidak bisa menghadiri kajian sebab terkendala masih memiliki anak kecil atau tidak memiliki izin dari suami. Percayalah niatan kita untuk maksimal membersamai dan mengasuh anak yang kecil akan tetap dicatat sebagai pahala dengan syarat hati ini rida dengan keadaan yang telah Allah tetapkan. Begitu juga ketika tak mendapatkan izin dari suami, InsyaAllah kita akan mendapatkan berkah tersendiri sebab telah mematuhi perintahnya.

Jadi, doakanlah diri agar terhindar dari perbuatan buruk dan sia-sia. Seperti berkumpul dengan niatan menjalin silaturahim, tetapi ternyata berisikan banyak maksiat kepada-Nya. Baik itu melupakan ibadah sampai membicarakan saudara sesama muslim lainnya.

Sebab, dengan mudahnya kita manusia yang lemah ini akan jatuh pada keburukan. Jika iman masih belum kuat sekali, mencoba menghindari situasi yang mungkin membuatmu mudah jatuh pada keburukan, bisa menjadi sebuah kebaikan. Menata diri, menata hati, bahkan saat itu semua membuatmu menjadi merasa sendirian, janganlah takut. Bukankah Allah selalu bersamamu.

Allah tidak akan pernah menutup mata dari tiap apa yang kita lakukan, meskipun itu tak pernah dilihat orang lain. Sayangnya, era media sosial membuat kita mudah sekali jatuh pada rasa was-was dan keinginan membuktikan diri. Was-was karena belum melakukan perbuatan baik selayaknya orang lain. Lalu, ada keinginan untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa kita tak kalah dari mereka dalam berbuat baik. Rasanya begitu menyedihkan, ya karena sedemikian rapuhnya diri ini karena masih membutuhkan pengakuan dari orang lain. Bahwa kita ini baik, kita ini bisa berbuat baik.

Di samping itu, rasa iri dengan mudahnya menyelinap karena melihat orang lain yang sepertinya punya kehidupan lebih baik daripada diri ini. Menyelinap hingga mengasingkan rasa syukur yang sudah dipupuk lama, lagi-lagi karena kita tak mampu untuk menjaga hati yang demikian mudahnya terpuruk. Belum lagi rasa sombong yang ikut menyusup ketika sedikit saja rasa syukur hilang akibat terlalu berbangga atas pencapaian diri. Sungguh salut kepada orang-orang yang bisa demikian menjaga hatinya agar tak ada rasa sombong sedikit pun meskipun membanggakan pencapaian, kehidupan, maupun kebahagiaan mereka.

Kembali mempertanyakan, apakah memang perbuatan baik itu selalu harus ketika orang lain tahu?

Ada yang berpendapat itu adalah keinginannya untuk berbuat kebaikan. Agar orang lain ikut serta dalam kebaikan yang telah ia perbuat. Namun, sebenarnya seberapa banyak batasan yang kita butuh berikan agar tak terperosok dalam jurang kesombongan?

Semalam saat sedang belajar secara daring mendapatkan sebuah pencerahan tentang alasan mengapa Islam itu hadir di muka bumi. Pada dasarnya agama itu diciptakan atau syariat itu ditegakkan dengan dua tujuan:

  • Menghilangkan kemudharatan
  • Mencegah kemudharatan menjadi bertambah besar

Nah, kira-kira ketika kita melakukan sesuatu di luar tuntunan yang ada, apakah itu bisa memenuhi salah satu dari tujuan ini? Apakah benar yang kita lakukan selama ini adalah hal baik yang bisa mencegah keburukan lainnya?

Walaupun berat dan tidak bisa langsung dirasakan efeknya, menerapkan ajaran agama merupakan sebuah efek domino. Efeknya mungkin terasa kecil saat ini, tetapi menjadi besar ketika ajaran itu diterapkan secara berkesinambungan dan luas oleh banyak orang. Ketika satu per satu terus mengajarkan kebaikan itu, tanpa tercampur oleh usaha lain yang memengaruhi prosesnya, yakinlah akan tiba hari di mana keindahan ajaran itu benar-benar tampak jelas di depan mata kita.

Sayangnya, kapan itu bisa terjadi kalau sepanjang perjalanan memperjuangkan syariat itu, prosesnya ternodai oleh nafsu manusia. Nafsu yang membuat penerjemahan arti dari tiap aturan itu menjadi kabur.

Meskipun demikian, yakinlah akan ada jalan untuk meraih surgamu sendiri. Jadi, jangan terpengaruh oleh pencapaian orang lain yang bisa jadi belum tentu pas untukmu. Boleh kita merasa tertantang untuk bisa berbuat kebaikan sebagaimana orang lain. Namun, jika Allah belum mengizinkan, yakinlah ada kebaikan lain yang menunggumu terlepas dari apa yang sudah kamu rencanakan.

Jangan bersedih karena jalan Allah menuju surga itu demikian banyaknya. Tinggal kita mau atau tidak untuk mencari jalan itu dengan berbekal keyakinan untuk terus mendapatkan rahmat-Nya. Dengan bekal menjalankan semua perintah-Nya dan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan tiap detik waktu kita untuk berbuat kebaikan. Sebab, kita tak pernah tahu kebaikan mana yang akan membawa kita ke surga. Kebaikan mana yang benar-benar murni kita lakukan tanpa keinginan untuk mendapat pengakuan manusia. Kebaikan mana yang murni kita perbuat dengan membersihkan niat untuk Allah Ta’ala semata.

Semoga jalan kebaikan kita saat ini adalah jalan menuju surga. Meski sederhana, walau hanya di rumah, walau tak terasa imbasnya bagi banyak orang, percayalah Allah catat tiap kebaikan itu. Percayalah Allah tak pernah menutup mata bagi tiap hamba-Nya yang ikhlas menjalankan segala sesuatunya. Karena kita masuk surga bukan karena banyaknya ibadah yang dilakukan, banyaknya orang yang merasakan kebaikan, melainkan ketika Allah rida kita masuk ke dalam surga-Nya.

Jadi, sudahkah kita menjalankan kebaikan itu untuk mendapatkan rida-Nya?

Bebas Tanggungan, Mungkin Gak Sih?

Setelah memasuki usia dewasa terasa sekali begitu banyak tanggungan yang harus dipikul. Mulai dari membiayai diri sendiri, kalau sudah ada keluarga, maka pasangan dan anak menjadi tanggungan yang harus didahulukan. Belum lagi jika ada anggota keluarga lain yang membutuhkan bantuan untuk ditopang dari sisi finansial. Kalau begitu, kapan kita bisa bebas tanggungan?

Di pertengahan bulan Ramadhan kemarin rasanya senang sekali bisa kehadiran sebuah buku yang demikian apiknya mengangkat tema “Sandwich Generation”. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang teman di Komunitas Ibu Profesional, Mba Reytia. Awalnya, buku ini tidak sengaja hadir di linimasa IG karena memang sudah lama aku tidak melakukan interaksi dengan Mba Rey. Kebetulan sekali di bulan puasa itu Mba Rey baru saja launching buku barunya yang berjudul “Bebas Tanggungan.”

Sekilas membaca sinopsis dan promosi yang dilakukan oleh Mba Rey, aku tertarik untuk membacanya. Apalagi isu tentang generasi roti lapis ini sempat menghangat akhir-akhir ini, sehingga ada rasa tergelitik untuk membaca buku yang mengangkat isu ini. Sebagai seorang praktisi psikologi, fenomena tentang roti lapis ini sebenarnya sudah lama hadir. Pernah aku jelaskan juga di salah satu tulisanku di sini. Jadi, kali ini aku ingin tahu bagaimana sudut pandang dari seorang penulis lain mengangkat isu ini.

Alhamdulillah, aku merasa puas sekali setelah membaca buku ini. Mba Reytia berhasil mengeksekusi dengan baik tentang isu ini dan bisa menyelipkan banyak sekali pesan yang bisa digunakan pembaca untuk menyikapi fenomena generasi roti lapis ini.

Ceritanya cukup sederhana. Tentang Safira, seorang karyawan e-commerce dengan gaji dua digit, tetapi memiliki kehidupan serba pas-pasan di kota Jakarta karena harus menanggung beban utang ayahnya yang mendadak meninggal akibat Covid-19. Belum lagi ia harus ikut membiayai adiknya yang masih kuliah di jurusan Arsitektur yang membutuhkan banyak biaya.

Menariknya, dari satu permasalahan ini, ada alur-alur cerita di luar dugaan yang memberi bumbu pada dinamika ceritanya. Jadi, meskipun isu utamanya adalah tentang mencoba menghadapi kehidupan sebagai seorang “sandwich generation” ada isu-isu psikologi lain yang juga diangkat dan mampu dieksekusi dengan baik. Kesannya tidak ada pemaksaan dari tiap adegan sampai akhirnya cerita ini selesai dengan akhir yang tak disangka.

Buat yang suka romansa, tenang saja ada cerita romansa tipis-tipis di buku ini sebagai bumbu yang pas. Sebagai seseorang yang sudah jadi ibu saja, aku masih senyum-senyum saat baca adegan-adegan romansanya. hehehe.

Tertarik beli? Silahkan langsung ke gramedia apps atau hubungi penulisnya langsung via IG-nya.

Sandwich Generation, Hidup yang Harus Dijalani

Bersyukurnya juga adalah aku bisa ambil bagian dalam launching buku ini secara langsung di Gramedia Grand Indonesia. Mba Rey memintaku menjadi narasumber yang membahas tentang isu roti lapis ini dari sudut pandang psikologi. Jadilah akhirnya hari Sabtu, 27 April 2024 pukul 14.00 WIB kemarin acara “Book Talk: Bebas Tanggungan, Accepting Life as Sandwich Generation” diadakan.

Diskusinya berjalan seru sekali. Diskusi yang hangat bareng Mba Rey dan MC membuat banyak hal yang aku dapatkan juga sebagai seorang praktisi. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin memang sudah banyak beredar di kalangan awam, sehingga bisa jadi perhatian tersendiri bagi kami sebagai praktisi.

Oiya acara ini menggandeng Kalibrasi Indonesia, Hub yang sedang coba aku bangun untuk memberikan pelayanan psikologi kepada masyarakat berlandaskan ilmu psikologi dan agama Islam. Jadi, ini seperti momen yang baik untuk memperkenalkan tentang layanan psikologi juga apalagi ada beberapa pertanyaan juga terkait dengan hal tersebut.

Salah satu poin yang ditekankan dalam diskusi adalah menjadi generasi roti lapis adalah bagian hidup yang harus dijalani. Tidak selamanya kita bisa menghindari kondisi ini, apalagi terus mempertanyakan alasan kita yang harus menanggung banyak beban itu. Pada akhirnya, menjadi generasi roti lapis merupakan satu bagian dari proses pendewasaan diri kita. Karena dalam prosesnya menjadi generasi roti lapis artinya kita harus menunda keinginan diri, memperhatikan orang-orang terdekat yang membutuhkan bantuan kita saat itu.

Tentu saja saat baru menjalaninya kita akan penuh kekagetan dan bisa jadi kemarahan. Namun, jangan biarkan emosi-emosi negatif itu berlangsung lama karena bisa menjadi sumber-sumber masalah lainnya. Jelas akan ada masanya kita merasa lelah atau bahkan sampai burnout, maka mencari pertolongan segera adalah langkah yang harus ditempuh.

Seperti judulnya, accepting life as sandwich generation, tahap pertama yang harus dilakukan adalah menerima dahulu kalau kita memang memiliki tanggung jawab selain menghidupi diri sendiri. Prosesnya tentu berbeda-beda bagi setiap orang hingga sampai di titik penerimaan ini. Namun, percayalah Allah tak akan memberimu sebuah ujian jika tidak bisa menjalankannya. Maka, maukah kita berproses melewati semua ujian ini agar bisa menjadi manusia dewasa yang lebih baik?

Terlepas dari itu semua, tak akan pernah kita ini benar-benar bebas dari tanggungan. Setelah satu tanggungan yang kita rasa berat, percayalah akan ada tanggungan lain yang menanti. So, nikmati saja agar diri ini tidak dipenuhi oleh emosi maupun pikiran negatif yang membuat kita jadi tak ikhlas untuk menjalaninya. Kalau memang masih belum bisa plong meski kewajiban terus berjalan, coba deh diproses dulu agar kita pun tak berat melangkah dan pahala kebaikan itu bisa penuh dimiliki.

So, semangat bagi kita yang menjalani kehidupan dengan banyak tanggungan. Hari di mana kita bebas menanggung semua itu adalah ketika kita menutup mata dan tak lagi bersama dunia. Tinggal maukah kita menjadikan tanggungan-tanggungan itu ladang yang besar untuk kita panen di akhirat kelak ataukah tidak. Semoga kita menjadi orang-orang yang terus bisa mengambil hikmah dari tiap tanggungan yang kita miliki di dunia. Semoga Allah mudahkan kita untuk menyelesaikan beban itu satu per satu lewat pertolongan-Nya yang demikian banyak di dunia ini.

Liburan yang Tak Lagi Sama

Masa mudik sudah tiba, ke mana dirimu kali ini? Apakah kembali pulang ke kampung halaman atau pergi liburan bersama keluarga karena memang tak ada kampung yang akan dikunjungi? Atau hanya berada di rumah menikmati waktu bersama keluarga dekat yang tetap hangat meski tak perlu ke luar kota?

Libur lebaran kali ini agak berbeda buatku. Tentu saja masih dalam proses grieving karena lebaran kemarin tepat dua bulan setelah Mama pergi. Tentunya liburan ke kampung halaman tak lagi sama karena tak ada lagi Mama yang menanti menyambut diri ini.

Sekelebat momen kepergian Mama masih bermain dalam ingatan. Waktu-waktu di mana Allah secara cepat mengambil Mama yang tercinta. Tak bisa bilang mudah, tapi juga tak mau menganggapnya sulit karena tiap kejadian bukankah sudah menjadi suratan takdir Allah yang selalu baik buat kita, betul?

Tentu aku masih harus bersyukur. Libur lebaran kali ini masih tetap menyempatkan diri untuk pulang demi mengunjungi Papa yang telah sendiri. Dalam sakit dan kondisi fisik yang tak lagi prima seperti dulu, apa lagi yang bisa dilakukan oleh kami sebagai anak yang merantau jauh dari orang tua ini selain mengupayakan bertemu kala ada hari raya menanti?

Aku jadi teringat pesan Mama saat terakhir pulang dan bertemu dengannya Desember lalu. Secara tak langsung Mama berpesan untuk sering pulang bersama anak-anak. Saat itu aku pulang sendiri dan pesan itu begitu menohok. Pesan untuk pulang lebih sering membawa anak-anak menengok Papa. Seolah pertanda memang Mama tak akan lagi ada.

Secarik nasehat itu, entah mengapa membuat hati terasa perih. Karena tak akan ada lagi pesan-pesan lain yang hadir meskipun sekarang setiap kali bertemu momen tertentu, bayangan Mama begitu melekat. Seakan masih bisa mendengar suaranya yang menasehati.

Akhirnya aku harus menikmati momen ini. Saat ternyata Mama memang salah satu orang signifikan yang menumbuhkan diriku seperti sekarang. Karena tiap langkah, tiap momen akan selalu ada Mama di sana. Setiap kali aku menikmati sesuatu ternyata itu berkaitan dengan Mama.

Termasuk di liburan kali ini, rasanya sungguh ada yang berbeda. Tak lagi menemukan sosoknya di sana. Senang bercerita, tahu kalau anaknya sedang merasa susah, walau dirinya pun sedang penuh kesulitan dengan penyakitnya. Meski mencoba untuk membuat momen lebaran kali ini masih seperti saat ada Mama, baik makanan, peralatan makan, taplak meja, bahkan foto bersama, tetap ada yang membuat air mata tak terbendung.

Apalagi saat harus mengunjungi makam Mama. Seperti ada tembok yang butuh untuk diruntuhkan, tetapi tak bisa. Tembok yang masih mencoba menjaga agar ego ini tak runtuh seketika. Tembok yang menopang agar aku tetap tegar dengan semua ini.

Liburan ini tak lagi sama. Tak ada lagi Mama. Namun, apakah aku juga bisa tak lagi sama? Menjadi manusia yang bisa lebih lapang lagi menerima kehilangan ini tanpa menyisakan sedikit pun luka. 

Kampung Halaman dan Rezeki Para Perantau

Enak ya punya kampung halaman. Iya, enak punya rezeki banyak biar bisa mudik.

Sejujurnya aku masih bertanya-tanya apa maksud dari kalimat di atas. Kalau kamu ada yang bilang demikian, apa kira-kira reaksimu?

Mungkin sebagian akan bilang, ya udah aminkan saja, anggap sebagai doa. Sebagian yang lain bisa mengucap Alhamdulillah sebagai wujud pujian kepada Allah karena memang diberi rezeki untuk bisa mudik. Namun, saat mendapati kalimat ini aku merasa sebuah ketidaknyamanan, apa pasalnya?

Kalimat di atas hanya sepotong saja dari rangkaian kalimat-kalimat lain yang menurut orang bisa saja netral. Akan tetapi, terasa tidak enak karena dibicarakan dalam konteks “lo enak punya kampung halaman, gue gak punya jadi gak enak.” Lagi-lagi ini masalah persepsi, ya. Cuma menurutku membahas tentang punya atau tidak kampung halaman itu sebenarnya gak esensi. Cukup dengan bilang, “Selamat berkumpul bersama keluarga,” itu sudah menyenangkan. Sayang, ketika diikuti makna kalau “kehidupanmu lebih enak dari kehidupanku, itu mulai rasanya tidak menyenangkan.”

Ya ujung-ujungnya ke sana. Kita yang merantau Allah kasih rezeki banyak buat bisa mudik, sudah syukur sekali. Namun, itu gak bisa dijadikan sebuah wujud yang patut dibuat iri. Bukankah Allah sudah menitipkan rezeki masing-masing untuk tiap hamba-Nya. Tak akan tertukar, tak akan pula berkurang kadarnya selagi kita mencari dengan ikhtiar sebaik-baiknya.

Aku sendiri menganut rezeki itu tidak hanya Allah beri dalam bentuk uang. Setelah semakin bertambah usia, rezeki terbaik adalah masih diberi nikmat merasakan keindahan Islam. Masih bisa beriman dan beribadah dengan tenang. Bahkan di sela-sela rasa pahit, masih patut disyukuri masih Allah kasih kesempatan untuk berbuat baik minimal untuk diri sendiri maupun keluarga sendiri dengan banyak mensyukuri kehidupan.

Maka, ketika mulai membandingkan apa yang aku punya dan kamu tidak punya, sungguh rasanya cuma bikin gak enak. Dalam kasus ini, menurutku rezeki orang-orang yang dekat dengan keluarganya demikian besar. Walau mungkin secara uang tidak banyak, tetapi masih bisa berkumpul dengan mereka setiap hari, menyentuh, memeluk, mencium, bahkan sekadar mendengar sedikit kabarnya itu sudah cukup disyukuri. Itu adalah sebuah rezeki karena tidak semua orang Allah kasih bagian itu. Jadi, aku semakin yakin rezeki itu bentuknya luas dan gak bisa selalu kita nilai dari banyaknya kekayaan yang dimiliki.

Poin lain adalah kita hendaknya bersyukur ternyata Allah paling tahu tentang diri kita. Ia tahu kita tak tahan untuk berjauhan dengan keluarga barang sejengkal saja maka ia titipkan rezeki harta dan pekerjaan cukup dekat sehingga kita tak perlu merantau demi sesuap makan untuk diri dan keluarga. Ya, Allah Maha Tahu loh, jadi mengapa kita membandingkan diri dengan orang lain yang nyatanya mungkin diberi Allah kelapangan hati yang demikian besar biar bisa berjauhan dengan keluarga.

Jikalau menilai enak dan gak enaknya, jauh dari keluarga jelas banyak gak enaknya. Sulit bersilaturahmi apalagi kalau ada yang sakit amat susah untuk mengatur biar bisa pulang menemani. Ya kalau memang ada rezeki lebih bisa pulang untuk mengunjungi, jika tidak hanya bisa gigit jari. Perkara akhirnya bisa pulang atau tidak ketika mendapati orang tua meninggal atau sakit lagi-lagi Allah yang mudahkan semua. Bukan karena kita punya uang terus lebih, tetapi memang Allah yang kasih jalannya biar kita bisa setidaknya mengucapkan kalimat perpisahan terakhir.

Jangan banyak melihat kepada mereka yang memang Allah mudahkan untuk pulang ke kampung halaman. Banyaklah melihat kepada mereka yang masih harus menahan rindu sekian puluh purnama karena tak kunjung punya rezeki lebih untuk menemui keluarga. Bahkan ketika mendengar kabar kematian orang tercinta sedang terpisah jarak ribuan kilometer dan tak sempat bersua sama sekali.

Apalagi menuju lebaran ini akan semakin banyak yang bertanya, “kenapa gak mudik?” Cobalah sesekali ganti pertanyaannya, ya. Pasti bukan karena mereka gak mau mudik, tapi ada kondisi yang tidak memungkinkan. Apalagi saat momen libur panjang begini tiket pesawat bagi yang mereka harus mudik antar pulau harganya pasti mencekik leher. Lagi-lagi jangan pernah bilang kalau, perantau rezekinya banyak! Doakan saja mereka bisa lebih mudah mencari jalan untuk melepas rindu kepada orang-orang tercinta.

Bisa jadi yang terlihat menyenangkan dari memiliki kampung halaman adalah kita memiliki alasan untuk melakukan perjalanan. Di sana juga belum tentu akan pergi pelesir karena tidak semua kampung halaman punya tempat wisata. Murni liburan ke kampung halaman itu untuk menunaikan bakti kepada orang tua jika masih ada. Sejauh ini setiap kali pulang mudik pun lebih banyak di rumah. Ucapkan selamat tinggal pada acara reuni, halal bi halal, dan sebagainya. Bisa agak lama di rumah saja sesuatu yang patut disyukuri.

Semua Sudah Punya Porsi Rezekinya

Tetap saja kita harus banyak memahami tak ada rezeki yang tertukar. Ketika memang kita hanya memiliki apa yang dipunya saat ini, itulah yang terbaik. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi kalau kita diberikan rezeki orang lain, apakah kita lebih mampu atau malah tidak mampu?

Tidaklah perlu silau juga dengan apa yang dimiliki orang lain. Apa yang menurut kita enak belum tentu memang mampu kita jalani. Selama ini kita hanya melihat apa yang kita inginkan, tetapi tidak menginginkan lainnya. Termasuk dalam urusan merantau ini.

Jangan melihat enaknya orang punya kampung halaman, tetapi tak sanggup untuk merasa jauh dari keluarga. Padahal di setiap kondisi selalu ada konsekuensi yang harus kita hadapi, sanggupkah?

Benarlah apa kata Allah:

Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. Al Baqarah: 216)

Tak akan pernah ada yang salah. Tak akan pernah ada porsi yang tertukar. Cukup bersyukur pada yang Allah beri hingga detik ini. Karena itulah takdir kita, bukan untuk yang lain. Semoga Allah selalu menjaga hati kita untuk tidak banyak mengeluh dan merasa kurang dengan kepemilikan saat ini.

Bagi perantau, selamat berlibur, selamat berkumpul bersama keluarga.

Rasa Bersalah yang Menggerogoti

What is the worst feeling?

It’s self-blaming.

Ketika kita merasa ada banyak kesalahan yang telah diperbuat. Ketika merasa tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah apa yang telah dilakukan. Ketika ada perilaku yang tidak pada tempatnya, lalu kita merasa tak sanggup untuk menerima kalau kesalahan itu pernah dilakukan.

Menyalahkan diri kalau sudah tidak berbuat sempurna. Menyalahkan diri karena telah jauh dari hal baik yang hendaknya diperbuat. Menyalahkan diri karena telah jahat kepada orang lain yang mungkin tak salah apa-apa.

Menyalahkan diri tak pernah menjadi lebih buruk ketika kita tidak mendapatkan setidaknya pemakluman dari manusia lain. Akhirnya, makin merasa tak memiliki arti hingga akhirnya putus asa. Jelas, ini sangatlah buruk jika dibiarkan terlalu lama.

Menyalahkan diri adalah salah satu poin yang harus dilakukan ketika memaafkan diri. Saat bertobat dan memohon ampunan dari Allah SWT. Menyadari kalau kita sudah berbuat apa-apa sesuatu yang keji dan tak dapat dimaafkan. Berusaha mencari jalan diri merasa baik-baik saja.

Namun, lagi-lagi rasa itu kembali. Tanpa peringatan ia kembali menggerogoti diri. Seolah tak memberi celah untuk berbelah kasih terhadap diri sendiri. Semakin mempertanyakan, “apakah aku memang manusia seburuk itu? Hingga tak punya celah untuk merasa menjadi manusia yang baik?”

Lagi-lagi hati ini dibuat seakan tercabik. Seolah tak ada lagi hari esok yang terisi dengan hal baik. Apakah memang demikian, rasa bersalah itu tak jua bisa pergi?

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui

(QS Ali Imran: 135)

Sesungguhnya siapa yang tak memaafkan diri ini kalau ternyata Allah saja Maha Mengampuni?

Ya, kita sendiri. Merasa lebih berhak menghakimi diri dibanding apa yang sudah Allah beri. Merasa lebih tahu kesalahan diri dan menganggap sebagai titik akhir dibanding merasa kalau itu adalah cara Allah untuk memperbaiki diri. Merasa kalau tak ada lagi hak kita untuk mendapatkan cinta, padahal cinta Allah itu lebih besar dan luas dibanding yang kita pikir.

Kok bisa?

Bukankah Allah yang lebih tahu apa yang terjadi di langit dan bumi. Ia yang lebih tahu apa yang sudah, sedang, dan akan lakukan. Maka, apa yang membuat kita merasa semua yang terjadi itu tak layak terjadi kalau memang sudah menjadi ketetapan-Nya?

Ini tinggal masalah hati. Hati yang Rida menerima apa yang terjadi. Tak menyesali yang telah terjadi karena memang tak ada hal lain yang bisa mencegah sesuatu jika Allah menghendaki.

Tinggal kita yang mau atau tidak. Menerima kembali kesalahan diri lalu mengubahnya. Tak lagi melakukan dan memilih jalan yang berbeda. Dan kalaupun melakukan lagi, segera kembali bertobat dan memohon ampunan. Berupaya melakukan hal lain agar dirimu baik-baik saja.

So, how do we overcome the self-blaming?

Pertama, sadari dulu memang ada kesalahan. Kenali sebabnya dan akui memang kita bersalah.

Kedua, kalau berhubungan dengan manusia lain minta maaflah walau mungkin belum dimaafkan. Kepada Allah, mohonlah ampun. Ungkapkan perasaanmu dengan sejujurnya kepada Ia agar apa yang selama ini menyesakkan bisa terangkat segera.

Ketiga, berubah. Pelan-pelan ubahlah baik dari apa yang dirimu lakukan secara terang-terangan, begitu pula hatimu. Banyak obati hatimu dengan kembali mendekat kepada ilahi agar hati yang baik itu terwujud dalam bentuk muamalah yang baik kepada sesama. Jadilah manusia baru dengan terus belajar.

Jangan menyerah ketika dirimu masih jatuh bangun. Karena bisa jadi ada banyak fase naik turun untuk terus menguji ketahananmu sebagai manusia. Namun, percayalah Allah selalu bersamamu.

Terakhir, perbanyak waktumu untuk bermunajat. Kembali koneksikan dirimu kepada-Nya. Karena tak ada lagi yang bisa menyembuhkan rasa, selain Ia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Maafkanlah dirimu. Maafkanlah rasa bersalahmu.

Makanan Penuh Kenyamanan, Makanan Penuh Kenangan

Apa comfort food versi kamu?

Sebagai seorang perantau, akhirnya saya menemukan kalau makanan yang memberikan banyak kenyamanan adalah makanan dari kampung halaman. Bukan hanya karena makanan-makanan itu memberikan rasa yang berbeda dengan makanan di tanah rantau ini, entah mengapa rasanya makanan kampung halaman itu menyajikan kehangatan karena memiliki kenangan yang membuat hati demikian damainya.

Sebagai seorang putri berdarah Palembang, makanan utama yang membuat saya merasa nyaman adalah pempek, tentu saja. Jelas, makanan ini memang enak. Namun, lagi-lagi kalau mencarinya di luar Palembang tentu harganya tidak masuk akal. Tidak seperti di kampung halaman, dirimu bisa menemukan pempek mulai dari harga yang paling murah sampai paling mahal, dan rasanya tak ada yang gagal. Mau itu pempek dengan ikan atau tidak, tetap saja semua terasa enak sekali.

Awal merantau dua puluh tahun lalu, saya sendiri tidak terlalu merasa pempek sebagai comfort food. Namun, tetap saja makanan ini menjadi demikian istimewanya karena baru bisa dimakan kalau pulang kampung atau ada yang membawakannya sebagai oleh-oleh. Sebab, tentu saja sebagai mahasiswa dengan keuangan terbatas, amat sayang mengeluarkan uang hanya untuk makan pempek padahal bisa digunakan untuk makan makanan berarti.

Apalagi harga yang mahal membuat saya tidak bisa makan pempek sepuas-puasnya. Maklum saja, bagi orang Palembang asli makan pempek itu jumlahnya bisa banyak sekali. Makanya, betapa terkaget ketika melihat teman-teman di Jakarta, khususnya keluarga suami yang makan pempek hanya dipotong-potong dan secukupnya saja. Buat saya itu gak nampol. hehehehe.

Saya benar-benar merasa pempek menjadi comfort food saya malah setelah menikah. Di saat sedang merasa sulit, merasa sedang butuh mood booster, pempek menjadi senjata. Semakin terasa selama empat puluh hari ini menjalani proses griefing setelah kepergian Mama. Sejak hari pertama Mama tiada, pempek menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan perut yang memang tak terasa begitu lapar. Makanan ini terasa seperti bisa melengkapi bagian hati yang hilang karena kepergian Mama.

Sampai ketika kembali ke Jakarta aku hanya membawa pempek sebagai bekal perjalanan. Rasanya tak ada makanan lain yang membuat aku merasa tenang setelah memakan ini. Apalagi begitu memasuki bulan Ramadhan, begitu rindu dengan proses berbuka puasa di kampung halaman yang tidak akan lepas dari pempek setiap harinya. Sampai-sampai di akhir pekan pertama puasa, aku memaksakan diri untuk membuat sendiri pempek. Voala, ternyata berhasil. Padahal sebelum-sebelumnya aku selalu gagal membuat makanan satu ini. Entah mengapa keinginan untuk makan yang membuat aku merasa nyaman menjadikan ada tekad agar aku bisa menghadirkannya hari itu.

Aku jadi teringat, dulu saat Mama dan Papa harus merantau jauh dari Palembang untuk sekolah, juga harus membuat pempek sendiri. Tentu saja dahulu belum secanggih sekarang. Kalau dirimu kangen bisa langsung pesen via marketplace meskipun dengan ongkos kirim yang relatif menguras kantong. Di kota-kota besar juga sudah mudah menemukan penjual pempek yang rasanya mulai otentik, sehingga bisa memiliki banyak pilihan. Tentunya tidak demikian 40 tahun lalu.

Mama yang sebenarnya tidak terlalu suka ikan karena sangat sensitif terhadap baunya, akhirnya terpaksa belajar membuat pempek karena Papa yang seorang Palembang tulen sangat membutuhkannya. Belajar mulai dari menyiangi, mengupas kulit, memisahkan daging dan tulang, sampai menghaluskannya. Semua demi memenuhi kebutuhan Papa yang memang sangat menyukai pempek. Sungguh salut karena Mama mampu menyingkirkan ketidaksukaannya, demi menyenangkan suaminya.

Aku sendiri setidaknya bersyukur kalau sekarang ingin membuat sendiri sudah ada pemasok yang menyediakan daging ikan giling beku. Walau pernah satu kali di awal-awal pernikahan aku mencoba untuk membuatnya dari nol, langsung menyerah karena tak sanggup memisahkan antara daging ikan dan tulangnya. Yah, setidaknya sekarang aku mengalami peningkatan kan ya, dari yang dulu gagal membuatnya, sekarang sudah bisa membuat yang layak dimakan. Hahahaha.

Kembali ke alasan pempek menjadi comfort food buatku tidak lain tidak bukan karena begitu banyak kenangan yang ada di dalamnya. Selain indra perasa yang sudah demikian familiar dengan tekstur dan rasa, sehingga bisa melepaskan hormon-hormon bahagiaku, ternyata makanan ini tetap menyimpan kenangan yang berharga untukku. Kenangan saat mengadon dan memasak pempek bersama Mama di rumah.

Iya, bisa dibilang hampir setiap rumah di Palembang akan membuat pempeknya sendiri, setidaknya untuk dikonsumsi sehari-hari. Walaupun produsen pempek semakin banyak, dari yang rumahan sampai skala restoran, tetap saja ada stok pempek buatan sendiri menemani hari-hari. Jelas kalau beli terus akan lebih boros. Sebaliknya, kalau membuat sendiri akan ada penghematan dan kita bisa makan sepuasnya, hehehehe.

Ada momen yang menyenangkan saat pembuatan pempek itu. Mama akan memberikan kami sedikit adonan untuk membentuknya sesuka hati. Rasanya senang sekali karena bisa mengkreasikan adonan itu menjadi bentuk sesuai kesukaan kita. Apalagi setelah direbus dan matang, memakannya adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Ada rasa bangga dan kepemilikan di situ.

Terlepas dari makanan ini mewakili kenangan-kenangan yang ada, sekali lagi pempek telah menjadi bagian dari grieving-ku sampai hari ini. Selama empat puluh hari sepeninggal Mama, aku baru merasa nyaman dan tenang setelah mendapatkannya.  Bahkan hari ini ketika mendapatkan kiriman pempek buatan asisten rumah tanggaku dulu, langsung saja diserbu karena sudah sangat rindu rasanya.

Rindu rasa mendapatkan kasih sayang dari makanan yang disajikan oleh orang-orang terkasih. Bagaimanapun, makanan yang membuatku nyaman kali ini adalah makanan yang membuatku terus bisa mengingat bahwa Mama menyayangiku sedemikian rupa. Hingga aku hanya bisa merindu akan dirinya yang telah pergi untuk selamanya.

Ah, Mama, jelas aku merindu makanan buatanmu. Sudah lama aku tak merasakannya. Bolehkah aku mencicipinya lagi bersamamu di surga kelak?

Semoga doaku sampai, semoga harapanku terkabul, kita berkumpul di surga-Nya kelak. Aamiin.

Hari Ketiga Puluh, Masihkah Menangis?

Tak berasa sudah hari ketiga puluh Mama kembali ke sisi-Nya. Apakah aku masih menangis?

Sejujurnya sejak hari pertama kepergian Mama, aku tak pernah sengaja menyempatkan diri untuk menangis. Meraung atau memohon kepada-Nya karena tak percaya ia telah pergi untuk selamanya. Entah dari mana kekuatan untuk tetap berdiri tegak itu hadir saat berhadapan dengan Mama untuk terakhir kalinya.

Dan kekuatan itu yang membawaku sampai di sini. Memberikanku keyakinan memang Allah memberikan sebuah kejadian saat kita memang siap menghadapinya. Tinggal kita mau atau tidak menggunakan semua ilmu yang dimiliki untuk menyikapi sebuah musibah. Ketika ujian kehilangan menghampiri, mampukah untuk tetap berpegang pada seutas tali keimanan agar tak mudah berputus asa atas keputusan-Nya yang tentu perih untuk dirasa.

Hanya saat sekelebat ingatan tentang Mama hadir, air mata ini mengalir. Mengingat bahwa ia yang tak akan mendapatkan lagi berita tentang semua kebahagiaan dan pencapaian yang didapat hingga saat ini. Setidaknya menjadi tanda bahwa hati ini benar-benar kehilangan ia yang sudah mengisi kehidupan semenjak kecil.

Di titik ini pun aku menyadari, ketika seseorang pergi semua rasa tidak suka itu bisa menghilang. Yah, sebagai anak kita bisa saja menemui kondisi yang tidak pas saat berinteraksi dengannya. Namun, semua itu ternyata menghilang tanpa bekas begitu beliau tiada. Apakah itu pertanda sesungguhnya semua gesekan yang terjadi di masa lalu itu hanya hasil bisikan para penggoda agar kita selalu mengedepankan ego semata? Atau bisikan was-was yang sesungguhnya tiada kalau kita bisa sepenuh hati menjalankan syariat tentang berbakti kepada orang tua? Wallahu’alam.

Setidaknya dalam tiga puluh hari ini aku menyadari betapa Allah sudah menyiapkan hati ini. Ia mengabulkan apa-apa yang aku harapkan dan menjauhkan apa yang selama ini menghambatku untuk bersikap lebih baik lagi kepada orang tua. Lagi-lagi, bukankah itu cara Allah menjaga kita yang ditinggalkan ini untuk tetap bisa melihat hikmah di balik derita yang ada? Menjadi cara yang aku gunakan untuk tetap waras dan on track dalam proses kedukaan yang tak pernah tahu akan sampai kapan aku rasakan.

Namun, tentu saja ada masanya di mana aku merasa tak sanggup untuk berpijak. Bahkan sekadar berpikir untuk sesuatu yang wajib aku utamakan dalam peran sebagai istri dan ibu. Rasanya sulit sekali mengajak pikiran untuk berkompromi, memikirkan hal-hal yang masih rutin dilakukan demi setidaknya menunaikan kewajiban di urusan rumah tangga. Yah, tetap saja sekuat-kuatnya mencoba bertahan tetap saja diri ini manusia yang sesungguhnya rapuh luar dalam.

Sekali lagi tetap butuh seutas tali keimanan demi bisa bertahan menghadapi badai hati yang siap bergemuruh kapan saja. Itulah sebabnya butuh terus bersentuhan dengan obat-obat penyembuh hati yang bisa mujarab menyembuhkan luka tak terlihat ini, bukan?

Terang saja cinta Allah itu nyata adanya. Ia tunjukkan pelan-pelan tentang proses penyembuhan hati itu. Lewat tiap kajian dan pertemuan yang membuatku air mata tak mampu dibendung oleh akal yang mulai menunjukkan ketidaksanggupan. Ternyata Allah legakan dan sembuhkan dengan cara-cara yang tak sederhana, tetapi ampuh untuk membuatku merasa kembali baik-baik saja.

Kini, di hari ketiga puluh ini aku kembali merindukan. Masa-masa puasa dahulu semasa kecil bersama Mama. Masa yang penuh canda tawa karena menyiapkan menu berbuka bersama-sama. Setidaknya memberikan sebuah rasa puas bahwa pernah ada masa indah itu walau ingatan mulai mengabur seiring bertambahnya usia.

Mama, semoga apa yang kami lakukan di Ramadhan tahun ini bisa terus menjadi penerang kuburmu. Menjadi amal jariyah yang bisa menemani di tidur panjangmu sampai nanti kita bertemu di surga firdaus.

Aku mencintaimu karena Allah, Ma.

Senyummu kan abadi dalam ingatan, Ma.