Bebas Tanggungan, Mungkin Gak Sih?

Setelah memasuki usia dewasa terasa sekali begitu banyak tanggungan yang harus dipikul. Mulai dari membiayai diri sendiri, kalau sudah ada keluarga, maka pasangan dan anak menjadi tanggungan yang harus didahulukan. Belum lagi jika ada anggota keluarga lain yang membutuhkan bantuan untuk ditopang dari sisi finansial. Kalau begitu, kapan kita bisa bebas tanggungan?

Di pertengahan bulan Ramadhan kemarin rasanya senang sekali bisa kehadiran sebuah buku yang demikian apiknya mengangkat tema “Sandwich Generation”. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang teman di Komunitas Ibu Profesional, Mba Reytia. Awalnya, buku ini tidak sengaja hadir di linimasa IG karena memang sudah lama aku tidak melakukan interaksi dengan Mba Rey. Kebetulan sekali di bulan puasa itu Mba Rey baru saja launching buku barunya yang berjudul “Bebas Tanggungan.”

Sekilas membaca sinopsis dan promosi yang dilakukan oleh Mba Rey, aku tertarik untuk membacanya. Apalagi isu tentang generasi roti lapis ini sempat menghangat akhir-akhir ini, sehingga ada rasa tergelitik untuk membaca buku yang mengangkat isu ini. Sebagai seorang praktisi psikologi, fenomena tentang roti lapis ini sebenarnya sudah lama hadir. Pernah aku jelaskan juga di salah satu tulisanku di sini. Jadi, kali ini aku ingin tahu bagaimana sudut pandang dari seorang penulis lain mengangkat isu ini.

Alhamdulillah, aku merasa puas sekali setelah membaca buku ini. Mba Reytia berhasil mengeksekusi dengan baik tentang isu ini dan bisa menyelipkan banyak sekali pesan yang bisa digunakan pembaca untuk menyikapi fenomena generasi roti lapis ini.

Ceritanya cukup sederhana. Tentang Safira, seorang karyawan e-commerce dengan gaji dua digit, tetapi memiliki kehidupan serba pas-pasan di kota Jakarta karena harus menanggung beban utang ayahnya yang mendadak meninggal akibat Covid-19. Belum lagi ia harus ikut membiayai adiknya yang masih kuliah di jurusan Arsitektur yang membutuhkan banyak biaya.

Menariknya, dari satu permasalahan ini, ada alur-alur cerita di luar dugaan yang memberi bumbu pada dinamika ceritanya. Jadi, meskipun isu utamanya adalah tentang mencoba menghadapi kehidupan sebagai seorang “sandwich generation” ada isu-isu psikologi lain yang juga diangkat dan mampu dieksekusi dengan baik. Kesannya tidak ada pemaksaan dari tiap adegan sampai akhirnya cerita ini selesai dengan akhir yang tak disangka.

Buat yang suka romansa, tenang saja ada cerita romansa tipis-tipis di buku ini sebagai bumbu yang pas. Sebagai seseorang yang sudah jadi ibu saja, aku masih senyum-senyum saat baca adegan-adegan romansanya. hehehe.

Tertarik beli? Silahkan langsung ke gramedia apps atau hubungi penulisnya langsung via IG-nya.

Sandwich Generation, Hidup yang Harus Dijalani

Bersyukurnya juga adalah aku bisa ambil bagian dalam launching buku ini secara langsung di Gramedia Grand Indonesia. Mba Rey memintaku menjadi narasumber yang membahas tentang isu roti lapis ini dari sudut pandang psikologi. Jadilah akhirnya hari Sabtu, 27 April 2024 pukul 14.00 WIB kemarin acara “Book Talk: Bebas Tanggungan, Accepting Life as Sandwich Generation” diadakan.

Diskusinya berjalan seru sekali. Diskusi yang hangat bareng Mba Rey dan MC membuat banyak hal yang aku dapatkan juga sebagai seorang praktisi. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin memang sudah banyak beredar di kalangan awam, sehingga bisa jadi perhatian tersendiri bagi kami sebagai praktisi.

Oiya acara ini menggandeng Kalibrasi Indonesia, Hub yang sedang coba aku bangun untuk memberikan pelayanan psikologi kepada masyarakat berlandaskan ilmu psikologi dan agama Islam. Jadi, ini seperti momen yang baik untuk memperkenalkan tentang layanan psikologi juga apalagi ada beberapa pertanyaan juga terkait dengan hal tersebut.

Salah satu poin yang ditekankan dalam diskusi adalah menjadi generasi roti lapis adalah bagian hidup yang harus dijalani. Tidak selamanya kita bisa menghindari kondisi ini, apalagi terus mempertanyakan alasan kita yang harus menanggung banyak beban itu. Pada akhirnya, menjadi generasi roti lapis merupakan satu bagian dari proses pendewasaan diri kita. Karena dalam prosesnya menjadi generasi roti lapis artinya kita harus menunda keinginan diri, memperhatikan orang-orang terdekat yang membutuhkan bantuan kita saat itu.

Tentu saja saat baru menjalaninya kita akan penuh kekagetan dan bisa jadi kemarahan. Namun, jangan biarkan emosi-emosi negatif itu berlangsung lama karena bisa menjadi sumber-sumber masalah lainnya. Jelas akan ada masanya kita merasa lelah atau bahkan sampai burnout, maka mencari pertolongan segera adalah langkah yang harus ditempuh.

Seperti judulnya, accepting life as sandwich generation, tahap pertama yang harus dilakukan adalah menerima dahulu kalau kita memang memiliki tanggung jawab selain menghidupi diri sendiri. Prosesnya tentu berbeda-beda bagi setiap orang hingga sampai di titik penerimaan ini. Namun, percayalah Allah tak akan memberimu sebuah ujian jika tidak bisa menjalankannya. Maka, maukah kita berproses melewati semua ujian ini agar bisa menjadi manusia dewasa yang lebih baik?

Terlepas dari itu semua, tak akan pernah kita ini benar-benar bebas dari tanggungan. Setelah satu tanggungan yang kita rasa berat, percayalah akan ada tanggungan lain yang menanti. So, nikmati saja agar diri ini tidak dipenuhi oleh emosi maupun pikiran negatif yang membuat kita jadi tak ikhlas untuk menjalaninya. Kalau memang masih belum bisa plong meski kewajiban terus berjalan, coba deh diproses dulu agar kita pun tak berat melangkah dan pahala kebaikan itu bisa penuh dimiliki.

So, semangat bagi kita yang menjalani kehidupan dengan banyak tanggungan. Hari di mana kita bebas menanggung semua itu adalah ketika kita menutup mata dan tak lagi bersama dunia. Tinggal maukah kita menjadikan tanggungan-tanggungan itu ladang yang besar untuk kita panen di akhirat kelak ataukah tidak. Semoga kita menjadi orang-orang yang terus bisa mengambil hikmah dari tiap tanggungan yang kita miliki di dunia. Semoga Allah mudahkan kita untuk menyelesaikan beban itu satu per satu lewat pertolongan-Nya yang demikian banyak di dunia ini.

Leader Terbaik Versi Seorang Introvert

Terkadang bertanya-tanya pada diri, apakah aku sudah cukup baik sebagai seorang leader? Apalagi ketika harus memimpin sekelompok orang yang asing, apakah mereka bisa menerima kepemimpinan diriku dalam kelompok itu?

Itulah pertanyaan yang selalu bernaung di kepala sejak pertama kali memutuskan menjadi leader CH di perkuliahan Bunda Produktif Batch 3. Ada sedikit rasa tidak percaya diri karena kali ini harus berhubungan dengan orang-orang yang belum pernah kukenal. Bahkan tidak pernah beririsan di perkuliahan Ibu Profesional sebelumnya.

Makanya ketika akhirnya menerima umpan balik dari para anggota, rasa khawatirnya begitu memuncak. Sudah cukupkah aku memuaskan mereka sebagai seorang pemimpin? Apakah aku mampu mengakomodir kebutuhan mereka semua?

Untungnya ketika mendapatkan umpan balik, sebagian besar merasa terbantu dengan pelayanan yang aku berikan. Yah, tentu saja seorang leader itu sejatinya pelayan, di mana pun kelompoknya. Mau itu negara, komunitas, keluarga sekali pun. Leader terbaik adalah mereka yang totalitas memberikan pengabdian kepada para anggota kelompoknya.

Meskipun tetap saja ada yang merasa belum dijangkau, itu sebuah catatan untukku sendiri. Bagaimana ke depannya aku tetap bisa menjaga ritme pribadi sambil menyesuaikan dengan kebutuhan semuanya.

Jujur, jadi leader itu berat, loh! Apalagi buat aku yang bukan people oriented. Lebih sukanya kerja di balik layar walau tidak masalah untuk mengungkapkan pendapat di dalam diskusi maupun tampil sebagai narasumber acara. Kalau untuk berhubungan intensif dengan orang lain itu terkadang berat. Inginnya berhenti sejenak dan diam saja dulu biar energi kembali penuh.

Yes, indeed I’m an introvert, tho.

Habis jadi narasumber webinar saja harus leha-leha dulu biar pikiran gak korslet. Kalau habis sesi dengan klien harus banyak makan biar energinya balik lagi, eh. Apalagi kalau seharian penuh dengan aktivitas yang berhubungan dengan orang lain, rasanya ingin tidur saja di sisa hari dan gak peduli yang lainnya.

Akan tetapi, di balik karakter introvert ini punya keinginan kuat untuk mengendalikan orang lain. Selalu tergerak untuk terlibat dengan kelompok untuk menunjukkan kebolehan diri. Bisa dibilang ada motivasi berprestasi yang butuh untuk diasup, tetapi tidak didukung oleh karakter yang inginnya gak banyak berhubungan dengan orang lain ini.

Akhirnya, ketika sudah kepilih jadi leader kadang panik sendiri. Duh, sudah bisa belum ya membimbing atau mengarahkan orang lain secara benar? Lebih tepatnya, aku tetap asyik gak, sih sebagai pemimpin?

Kepemimpinan Berdasarkan Karakter

Pada akhirnya tipe kepemimpinan orang akan tergantung pada karakter yang ia miliki. Pernah kan kamu merasakan ada orang yang sangat dominan, sangat ramah, lebih berorientasi pada tugas, atau tidak mau mencari musuh saat dia memimpin kita.

Dalam teori kepribadian DISC, Dominance-Influence-Steadiness-Compliance, tipe seseorang akan menentukan bentuk kepemimpinannya. Keunikan yang mencolok dari orang tersebut akan memengaruhi caranya memimpin sebuah kelompok.

Pada tipe Dominance (D), biasanya saat memimpin akan menyampaikan pendapatnya secara langsung, tegas, cepat, dan tidak terlalu memperhatikan perasaan orang lain. Baginya hasil adalah segalanya sehingga anggota kelompok atau bawahan biasanya diperintah untuk menyelesaikan serentetan tugas dan dituntut menyelesaikannya tepat waktu. Tipe D yang baik tentu ikut serta dalam mengerjakan, bahkan anak buahnya bisa terbawa terhadap ritmenya. Kalau tidak sesuai otomatis akan keteteran.

Tipe Influence (I) lebih mementingkan hubungan interpersonal dengan orang lain. Ramah, perhatian, optimis, biasanya menjadi ciri kepemimpinannya. Biasanya tipe ini yang menjadi favorit dari bawahan karena jauh dari kesan “neraka”. Ada perasaan nyaman ketika berada di bawah arahannya. Di sisi lain, sangat suka untuk tampil dan mendapatkan perhatian.

Tipe Steadiness (S) biasanya adalah tipe pemimpin yang sabar. Ia menunjukkan ketulusan dalam mendampingi, tetapi kurang suka untuk berbicara di depan umum. Tidak suka dengan pertikaian, maka seringkali menawarkan solusi yang win-win atau diupayakan tidak merugikan orang lain. Ia berupaya untuk mendukung setiap pendapat orang karena tidak mau ada yang tersakiti.

Tipe Compliance (C) adalah tipe yang bekerja sesuai dengan aturan dan jadwal. Maka, ketika memimpin ia amat teliti terhadap hasil kerja bawahannya. Berbeda dengan Dominance yang bisa langsung menyuarakan pendapatnya, tipe ini memilih diam dan memikirkan sendiri jalan keluar permasalahan. Terkadang konflik bisa terjadi karena tuntutannya terhadap hasil kerja yang sangat tinggi.

Sebagai seorang yang memiliki tipe campuran antara C dan S, dengan karakter C yang lebih besar, maka aku terkadang mengharapkan anggota kelompok memiliki kemampuan kerja yang sangat baik. Ketika memiliki anggota kelompok yang level kapasitasnya sama besarnya, seringkali tidak menjadi masalah.

Masalah hadir ketika anggota kelompok ternyata terdiri dari beragam kemampuan. Membuat terkadang merasa “kesal sendiri” karena perintah kerja tidak dilakukan maksimal akibat kemampuan yang tidak persis sama. Di sisi lain, adanya karakter S membuat semua kegelisahan ini tidak bisa disampaikan. Keinginan untuk menjaga stabilitas membuatku sulit untuk komplain terhadap hasil kerja orang lain.

Alhasil, berharap orang lain saja yang bilang tentang kekurangan hasil kerja orang lain. Baru deh setelah itu mendukung pendapat itu. Hahaha.

Well, tentunya tidak ada yang baik dan buruk karena kembali lagi karakter itu tidak bisa disalahkan. Bagaimanapun itu adalah pemberian Allah SWT. kepada kita. Kalaupun ada yang merasa tidak puas, ya wajar saja. Kita kan tidak bisa memuaskan semua pihak, toh.

Tinggal aku belajar untuk menerima “kritik” itu. Terkadang rasa kekhawatiran yang tinggi sebagai tipe C membuat aku sulit menerima masukan maupun kritikan. Jadi, sudah waktunya untuk belajar membesarkan hati atas masukan-masukan orang lain karena kita tak bisa kan jadi yang selalu sempurna.

Buatku pengalaman memimpin kali ini mengajarkan banyak hal. Bukan hanya untuk menunjukkan kapabilitas diri, tetapi kembali mengelola hati dan pikiran agar tetap bisa bersahaja dengan orang lain.

Ada kalanya juga aku berusaha menahan diri untuk tidak terlalu dominan. Tetap saja butuh belajar memberikan kesempatan kepada orang lain untuk terus belajar bersama dan mengembangkan kemampuan.

Lagi-lagi tiap pengalaman itu akan menyisakan kebaikan. Kali ini Allah mungkin memberikan kesempatan agar kembali bersikap diligent, totalitas ketika mengerjakan sesuatu. Walau, yah sekarang lagi banyak sekali yang dikerjakan semoga diri ini bisa menjalani semuanya dengan baik.

Setidaknya ini bisa jadi bukti tak melulu orang ekstrovert yang jadi pemimpin. Seorang introvert bisa memimpin dengan gaya mereka sendiri. Mau terasa enak atau tidak enak, kembali lagi kita butuh menghargai cara setiap orang memimpin. Di balik perilakunya kepada kita, ada usaha keras untuk mengoptimalkan hasil kerja bersama.

Kembali Belajar di Desa Pelajar

Banyak pelajaran penting setelah Bunda Cekatan kemarin selesai. Belajar cara menemukan masalah, memilah, lalu menentukan prioritas. Mana yang butuh dikembangkan saat ini juga atau ditunda belakangan. Mencari mana yang paling tepat untuk dikuasai sambil memperbaiki pola kebutuhan agar menjadi seseorang yang cekatan. Cekatan dalam menemukan kebutuhan diri, cekatan pula menemukan solusi. Hmm.. luar biasa.

Buat diri yang mulai menentukan prioritas setelah semua kekacauan setengah tahun pertama ini, cara-cara memilah memang teramat penting. Agar tidak salah langkah, termasuk tak salah memperhitungkan apakah kegiatan ini akan jadi di luar kendali. Pastinya ada efek baik yang didapat setelah berjibaku selama 7 bulan kemarin. Setidaknya aku mulai merasakan kehidupan yang mulai teratur dan ada maknanya.

Namun, tentu itu semua tidak mudah. Butuh banyak penyesuaian dan adaptasi agar perilaku benar-benar bisa berubah. Ternyata dukungan lingkungan teramat penting dalam membentuk habit itu. Agar tak keluar jalur, termasuk menjadi pengingat tentang tantangan yang sedang dijalankan. Mungkin itu alasan kembali bergabung di desa pelajar.

Tadinya, sih tidak mau ambil kelas-kelas dari Ibu Profesional lagi dulu karena merasa sedang overwhelmed sekali. Apalagi saat tahu kelas berikutnya masih di bulan Januari 2023. Namun, lagi-lagi karena ada kebijakan baru, maka yang mau ikut kelas tahapan di awal tahun nanti haruslah masuk ke Desa Pelajar ini. Hmm.. awalnya merasa, duh berat banget sih harus ikutan lagi. Inginnya mengurangi dulu hal-hal yang berbau tuntutan seperti ini. Apalagi kaitannya dengan capaian personal yang sesungguhnya tidak harus diprioritaskan dahulu. Namun, karena ini adalah syarat, ya sudah jalani saja.

Nah, kebetulan sebenarnya memang sedang ada target seputar kesehatan fisik dan mental. Hehehe, tetap ya. Fokusnya lebih pada kesehatan fisik yang sepertinya sudah benar-benar red flag. Jadi, kali ini aku mau fokus di situ dulu. Oiya, Desa Pelajar sendiri sebenarnya seperti perpanjangan tangan dari kelas Bunda Cekata. Seperti kelas pendalaman atau pengayaan sebelum masuk kelas Bunda Produktif yang kabarnya lebih menguras energi. Jadi, mungkin memang karena itulah dibutuhkan pematangan dari segi konsep dan pembiasaan agar ketika masuk ke kelas berikutnya tidak keteteran.

Konsepnya baik, kebetulan juga sedang ingin mengurusi fisik secara serius, jadi ikutan deh. Kali ini tidak bahas yang berat-berat dulu, seperti pengelolaan emosi. Namun, back to the basic, urus badan dulu. Perbaikan konsumsi makan dan olahraga teratur, itu target cekatanku sampai akhir tahun. Karena mental yang baik tak akan bisa lepas dari asupan yang baik. Bagaimanapun, apa yang masuk ke dalam mulut lalu diproses oleh tubuh, itulah bahan bakar yang digunakan otak untuk bekerja. Oleh karena itu, memperbaiki asupan, gizi, dan memperbaiki kebiasaan sehari-hari adalah kunci penting lainnya untuk mendapatkan mental yang sehat.

Kita bisa belajar dari bagimana kehidupan Rasulullah saw yang tidak pernah sakit seumur hidupnya, kecuali karena dua hal, terkena racun dan mau meninggal dunia. Artinya apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw sepanjang hidupnya patut dicontoh untuk mendapatkan kebugaran tubuh maupun kesehatan mental yang baik. Jangan-jangan selama ini kita sudah banyak zalim sama diri sendiri, sehingga keburukan konsumsi itu kembali dalam bentuk buruknya kondisi tubuh dan mental kita.

Perbaikan Fisio-Psiko-Spiritual

Maka, dalam kesempatan kali ini aku mencoba untuk memperbaiki dengan membuat peta belajar berkaitan dengan tiga hal, kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan kesehatan spiritual. Menurutku, sudah cukup perbaikan yang aku lakukan seputar psikologis dan spiritual dengan memperbaiki kebiasaan selama dua bulan terakhir ini, yaitu menyeimbangkan pengaturan waktu untuk tugas-tugas wajib, serta menambah porsi ibadah untuk meningkatkan nilai spiritualitas hati.

Kali ini sudah waktunya untuk fokus pada kesehatan fisik yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Jadi, kali ini aku mau mengunyah secara layak tentang diet sehat, gizi seimbang, dan olahraga yang tepat. Tentu seua sambil dijalani, bukan hanya dipelajari. Rasanya sia-sia ketika selama ini sudah punya ilmunya, tetapi masih belum bisa paripurna dalam melaksanakannya.

Tantangannya tentu banyak, tetapi bukankah tidak ada hal yang menarik di dunia ini kalau tidak ada tantangannya. Aku akan mulai dengan membaca buku-buku seputar diet sehat yang sudah diborong saat pergi ke Bandung kemarin. Yep, mengambil buku-buku tentang diet yang memenuhi lemari kakak perempuanku yang dulu maunya diet, tapi eksekusinya belum juga jalan.

Mungkin dengan belajar ke basic ini aku semakin bisa memahami, kebutuhan diri ini sesungguhnya apa. Karena sebenarnya makanan yang kita makan itu hanyalah untuk menegakkan badan semata. Tujuannya satu, agar bisa beribadah. Jika apa yang kita konsumsi ternyata membuat kita sulit beribadah dengan benar, artinya sudah waktunya kita memperbaiki semuanya.

Dari buku yang aku dapatkan aku ingin belajar:

  • Jenis-jenis makanan sehat dan gizi seimbang.
  • Menentukan makanan yang cocok dan mudah didapatkan untuk diri sendiri.
  • Membuat menu yang pas sambil mencocokkan dengan kebutuhan anak-anak yang picky eater.

Selain itu, aku mau mulai kembali berolahraga. Kembali mengaktifkan aplikasi Yoga Go! yang sudah ter-install semenjak dua bulan lalu. Kembai mengikuti channel Youtube Dien Limano tentang olahraga low impact. Dengan target minimal bisa mengerjakannya lima kali dalam seminggu. Tentunya kembali terasa berat ketika masih dipikirkan saja. Setidaknya dengan mulai benar-benar menyediakan 30 menit untuk mengerjakna itu semua.

Bismillah.

Yuk, kita belajar sehat bersama.

Menjadi Bahagia: The End of Bunda Cekatan #3

Akhirnya setelah hampir sebulan berlalu sejak selebrasi di Bunda Cekatan #3 aku bisa menulis jurnal penutup ini.

Rasanya campur aduk saat akhirnya tampil di IG Live Ibu Profesional Jakarta sebagai bagian dari selebrasi akhir Bunda Cekatan #3. Campur antara bingung, sedih, dan bahagia. Bingung karena tidak tahu secara pasti apa yang benar-benar didapatkan setelah semua perjuangan ini. Sedih karena waktu untuk eksplorasinya sudah habis. Bahagia karena di balik semua yang sudah terjadi Allah yang sudah menyampaikan aku di akhir ini.

Saat harus menentukan tema untuk IG Live pun sempat ragu. Sampai akhirnya memilih untuk mengambil peta belajar awal. Tujuan yang aku buat saat memutuskan memilih topik “Mengelola Emosi” sepanjang perjalanan Bunda Cekatan #3 ini. Tujuan agar aku merasa bahagia, begitu pula orang-orang di sekitarku. Itulah yang aku harapkan dapat dicapai setelah semua proses ini berakhir.

Tentunya proses ini belum selesai. Malah mungkin separuh perjalanan akhir di Bunda Cekatan #3 aku malah lebih banyak berkontemplasi tentang tujuan hidupku. Tentang kelelahan yang aku miliki akibat begitu banyak keinginan hadir, tetapi tidak diiringi kesediaan waktu. Berujung pada banyak melepas kegiatan, bahkan mungkin cenderung menutup diri. Bersembunyi dalam cangkang aman agar tak merasa terganggu.

Ini adalah ujian. Ketika yang lain mungkin harusnya menambah banyak kebaikan setelah tahapan Bunda Cekatan #3 ini, aku memilih menarik diri. Memperbaiki kehidupan dengan cara tak biasa. Memilah kembali apa tujuan hidup yang sebenarnya.

Meskipun tak lama sama dengan semangat di awal, aku tetap menemukan tujuan itu. Menjadikan diri bahagia dan orang lain bahagia. Walau tetap saja butuh waktu untuk mewujudkannya. Masih banyak PR yang harus dijalankan. Masih banyak perubahan yang harus dikerjakan. Semuanya butuh waktu dan konsistensi. Ditambah kegigihan untuk kembali menemukan jati diri.

Yap, bisa dibilang aku sempat kehilangan diri. Merasa bingung melangkah, ragu atas keputusan sendiri. Bahkan mungkin merasa malu terhadap aku yang dulu. Apakah ini pertanda aku mengalami kemajuan atau malah kemunduran?

Namun, di balik itu semua, aku sungguh berterima kasih atas kesempatan yang Allah beri. Masih diberi waktu untuk memperbaiki diri bahkan ada jalan-jalan tak terduga untuk mengembalikan hati yang sempat melenceng.

Well, setidaknya aku yang hari ini adalah landasan diriku di masa depan. Maka, sudah sepantasnya aku tuntaskan dahulu perjuanganku di hari ini baru mulai melangkah lagi dengan benar. Melepaskan hal-hal yang butuh dilepaskan, menarik langkah mundur sesaat, tetapi menjadi siap untuk melesat ke depan.

ABCDE Hidup Bahagia

Setelah merenung apa yang terjadi sepanjang Bunda Cekatan #3, aku mendapatkan lima hal ini. Sebut saja tips, jalan menuju kebahagiaan. Lebih lengkapnya bisa ditonton di IG Ibu Profesional Jakarta.

Ini adalah rangkuman tentang apa yang aku harap bisa konsisten dilakukan setelah ini. Bisa istiqomah agar menjadi lebih siap untuk sesuatu yang lebih besar di masa mendatang.

A: Allah lagi dan lagi!

Sebagai muslim sudah pasti kita harus menjadikan Allah sebagai tujuan kita berbuat sesuatu. Pada dasarnya sebagai manusia hidup itu harus bertujuan agar terus termotivasi untuk terus berkembang. Kalau dalam kondisi umum, kita mungkin termotivasi untuk mencapai cita-cita, keinginan, dan masih banyak lagi. Semua itu mendorong kita agar terus belajar, berkembang, menjadi manusia yang baik.

Namun, sebagai muslimah maka sudah pasti tujuan kita yang utama adalah Allah. Allah adalah satu-satunya harapan kita hidup di dunia. Oleh karena itu, mengeset goal atau tujuan dengan Allah menjadi target utama adalah landasan pertama kita bisa merasa bahagia hidup di dunia.

Contohnya begini, saat kita menjadikan Allah sebagai alasan hidup, maka seburuk apapun orang lain memperlakukan kita, tak akan berpengaruh apa-apa. Karena kita tahu yang butuh kita bujuk untuk mencintai kita adalah Allah semata. Sebaliknya, ketika yang menjadi tujuan kita hal yang sifatnya duniawi, seperti menjadi terkenal, mendapatkan harta yang banyak, ketika semua sudah tercapai atau gagal dicapai akan mudah mengguncangkan jiwa kita.

Cukup banyak contoh ketika seseorang gagal meraih cita-cita berujung pada masalah psikologis karena tujuannya bersifat semu.

B: Berkata Baik atau Diam

Pada prinsipnya menjaga hubungan interpersonal adalah kunci mendapatkan kebahagiaan. Karena ketika hubungan kita baik dengan orang lain, kita ga bakal gampang untuk kecewa, sedih, atau merasa kesepian. Namun, kita harus bisa dan mampu menjaga hubungan baik itu dengan orang lain.

Pada prinsipnya komunikasi yang baik adalah yang mampu membuat orang-orangnya merasa nyaman berkomunikasi. Sayang, ketika kita banyak berbicara ternyata ada saja kata-kata yang bisa menyinggung orang lain. Oleh karena itu, memilih waktu yang tepat, situasi yang tepat dan kata yang tepat adalah cara terbaik menjaga komunikasi dengan orang lain.

C: Cukup Satu-satu

Salah satu yang mudah bikin stress adalah kita punya banyak kerjaan. Serasa waktu 24 jam gak cukup untuk mengerjakannya. Oleh karena itu, belajar mengelola tugas dan waktu adalah kunci terbaik agar tidak mudah stres.

Tentunya diawali dengan memilih dahulu mana kerjaan atau peran yang memang harus dikerjakan. Lalu, ditentukan prioritasnya mana yang harus mendapat perhatian terlebih dahulu, mana yang belakangan. Jangan lupa bahwa kita ini manusia yang butuh waktu untuk istirahat juga. Jadi, bagilah waktu sesuai porsinya.

Ketika sudah bisa memilih mana peran yang mau dijalani, kerjakanlah satu-satu. Bahasa kerennya sekarang kita bersikap mindful, kalau kerjain satu jangan kepikiran yang lain.

Sebenarnya sebagai muslimah sendiri kita sudah diingatkan dalam QS Al Insyirah ayat 7: bahwa setelah selesai satu urusan baru kerjain urusan lain. Jangan semua dikerjain sekaligus atau di saat bersamaan.

D:Dzalim? Jangan!

Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Namun, yang paling baik adalah kita menjaga diri dari menyakiti orang lain, seringan apapun itu kelihatannya. Karena kita tidak pernah tahu persepsi orang lain tentang diri kita, perilaku kita.

Seringan kita tidak terlalu mengumbar kehidupan, agar tak terbesit sedikit rasa iri yang bisa menjadi penyakit ‘ain bagi kita. Berat, sih karena di era media sosial ini rasanya tak lengkap kalau tak berbagi. Padahal sama seperti harapan agar unggahan kita bermanfaat, bisa jadi ada sedikit perilaku yang menyakiti orang lain.

E: Eh sudah maafin saja

Ini kunci terakhir yang paling penting, karena mungkin ada banyak masa lalu yang tidak sesuai harapan kita, maafkanlah semua masa lalu itu. Memaafkan artinya kita ridho dengan semua yang Allah takdirkan kepada diri kita. Memaafkan artinya kita berdamai dengan diri kita. Memaafkan adalah cara kita menjaga agar tetap sehat mental.

E yang terakhir ini agak beda ya dengan yang aku sampaikan saat live. Setelah kemarin merenungi lagi, apa yang paling terlewat dari semua ini. Setidaknya, tetap tidak mengubah makna, inilah cara agar aku bisa bahagia.

Yah, setelah semua perjalanan ini berakhir, selalu doa yang sama dipanjatkan. Semoga rasa bahagia yang hadir akan kekal seberapa keras pun kehidupan ini menantang ke depannya.

Bismillah.

Jurnal Buncek #17 Tahap Kupu-kupu 2: Menemukan Mentor-Mentee

Setelah mengeset diri menjadi mentor, pekan ini waktunya untuk mulai pencarian mentor pribadi maupun mentee. Sampai detik waktunya formulir pendaftaran mentee dibuka aku masih bingung mau memilih ilmu apa yang ingin dipelajari. Maka, ketika menengok kembali peta belajar yang pernah aku buat.

Hampir semua aspek dari peta belajar tentnag mengelola emosi ini sudah aku lakukan. Mencoba menerapkan terapi emosi, mengelola tugas/waktu agar lebih stabil secara emosi, bahkan di tahap kepompong kemarin mencoba mengendapkan pengelolaan emosi ini ke salah satu petunjuk yang paling utama, yaitu Al-Qur’an. Belum lagi mencoba menjalani program puasa bersikap emosional dengan berkata baik atau diam saja. Aku merasa sudah semua aku jalani, tinggal bagaimana caranya melakukan semua itu secara konsisten di perjalanan kehidupan berikutnya.

Setelah ditengok-tengok lagi, ternyata yang belum lengkap adalah pembelajaran tentang mengelola diri, khususnya tentang tidur, makan, dan olahraga. Akhirnya, aku memutuskan mencari mentor yang bisa memberikan bantuan untuk melakukan ketiga hal ini.

Namun, setelah mengulik-ulik dari album mentor memasak, ternyata yang diincar semua sudah taken. Hehe, sempat panik, dong. Yah, wajar saja karena memang baru mencari secara serius setelah pertempuran perebutan mentor di waktu pembukaan formulir pengisian mentee. Semua mentor yang terlihat cetar sudah terambil orang teman-teman yang gerak cepat.

Kemudian, aku beralih ke album mentor “lain-lain,” maksudnya adalah para mentor yang isi ilmunya berada di luar kategori album mentor lainnya. Kemarin saat melirik sebentar album ini aku menemukan hidden gem yang tidak disangka-sangka. Keahlian para mentor yang tidak tertangkap oleh album lainnya. Ternyata di album ini aku menemukan beberapa yang sesuai kebutuhan. Utamanya tentang memasak, gizi, dan dapur. Selain itu, ada juga tentang terapi fisik yang memang dirasa aku butuhkan selain pembelajaran tentang olahraga.

Sampai aku menemukan satu CV yang dari pencarian sebelumnya juga sempat menarik perhatianku. Seorang dokter, general practicioner, yang sekarang berdomisili di Australia. Mba Maya Divina. Salah satu poin yang menarik dari CV yang dibagikannya adalah tentang pendalamannya mengenai ilmu geriatri.

Well, aku sendiri merasa sedang butuh ilmu ini. Walaupun dulu juga belajar tentang ilmu geriatri di psikologi perkembangan, tetapi ingin tahu dari ahlinya juga. Apalagi Mba Maya adalah seorang dokter umum yang memang berpraktik di sana. Artinya ia tidak hanya sekadar tahu, tetapi juga menghadapi secara langsung pasien-pasien ini.

Sebagai seorang psikolog, aku meyakini bahwa perubahan diri menyangkut aspek bio-psiko-sosio-spiritual. Aspek biologis menyangkut kondisi tubuh kita, mulai dari tidur, asupan makanan yang masuk, pergerakan, dan sebagainya. Aspek psikologi berkaitan dengan segala sesuatu yang berujung pada kestabilan emosi, pikiran, dan perilaku. Aspek sosial yaitu berkaitan dengan hal-hal sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana lingkungan memberikan dukungan terhadap perubahan diri kita. Terakhir, aspek spiritual, yaitu bagaimana kita memaknai kekuatan di luar diri kita ternyata mengendalikan kehidupan ini.

Dalam perjalanan mengelola emosi, aku banyak fokus dalam aspek psikologi dan spiritual. Tertuang dalam prosesku dari tahap ulat sampai kupu-kupu. Lalu, bagaimana kedua aspek lain?

Aku merasa bisa mendapatkan bantuan dari Mba Maya. Ilmu geriatri bisa mendukungku untuk memahami lebih lanjut kondisi sosial yang aku miliki saat ini terkait orang tua. Karena aku menyadari kondisi orang tua saat ini yang paling menggerus kondisi emosionalku. Kemudian, jika memungkinkan ada ilmu lain yang juga dimiliki Mba Maya, yaitu tentang kesehatan anak dan gizi yang juga menjadi perhatianku saat ini. Salah satu aspek yang juga menentukan kestabilan emosiku.

Dengan demikian, saat meminang aku mencoba menitikberatkan pada dua hal ini. Betapa aku membutuhkan kedua hal ini dalam kehidupanku. Keilmuan langka yang dimiliki oleh Mba Maya aku harapkan mampu memberiku lebih banyak pelajaran terkait masalah yang aku hadapi saat ini. Belum lagi, beliau adalah seorang dokter yang berpraktik di luar negeri, bisa menjadi tambahan ilmu lain yang bisa aku dapatkan ke depannya.

Jadi, aku merasa bersyukur menemukannya. Ini adalah sebuah takdir, sebuah langkah yang Allah buatkan dan aku yakin ada kebaikan ke depannya. Semoga perjalananku di tahap kupu-kupu ini bisa lebih baik dari tahapan sebelumnya.

Terima kasih, Mba Maya sudah menerima diriku sebagai mentee-mu.

Saatnya Menjadi Mentor: Menulis untuk Memaafkan

Sekarang sedikit cerita perjalanan mendapatkan mentee dalam topik yang aku angkat “Memaafkan lewat Tulisan.” Seperti yang aku ceritakan kemarin sebenarnya topik ini cukup berat karena bisa menjadi satu sesi untuk terapi sendiri. Rasa “berat” ini aku baru rasakan setelah mengunggah CV, duh, kebiasaan ya selalu telat menyadari.

Oleh karena itu, aku memang mencari mentee yang memang memiliki keseriusan untuk menjalani proses ini. Sebab, proses memaafkan, mau dengan cara apapun adalah langkah yang berat. Kita akan berhadapan dengan kondisi-kondisi yang mungkin selama ini sudah bikin kacau jiwa dan raga kita. Dengan demikian, aku hanya ingin menerima mentee yang sudah betul-betul siap untuk menjalani proses ini.

Cukup terkaget karena baru saja setengah jam berlalu dari waktu pembukaan sudah dua yang melamar. Walau batas penerimaan mentee memang dua, harapannya, sih gak banyak-banyak yang mendaftar, he-he-he.

Dari kedua mentee ini, portofolionya cukup menarik. Keduanya terlihat sangat tertarik untuk menjalani topik yang aku angkat. Pertanyaannya, seberapa siap mereka?

Mba Agi, yang pertama mendaftar ternyata sudah cukup banyak menuliskan perihal menulis untuk menyembuhkan luka. Ia melampirkan beberapa portofolio tulisannya terkait hal ini. Sebuah tawaran yang menarik karena aku memang butuh mentee yang sudah terbiasa menulis, sehingga bisa mengeksplorasi rasa yang dimiliki. Sebab, tidak banyak orang yang merasa butuh untuk memaafkan, tetapi mampu menulis dengan baik.

Setelah beberapa pertanyaan terkait motivasi dan alasan mendasar untuk menjalani proses memaafkan ini, akhirnya aku menerimaan Mba Agi sebagai mentee. Well, pada dasarnya aku itu sulit menerima orang, jadi memang tinggal merasa cocok gak ya dalam hati.

Kemudian, mentee kedua yang mendaftar adalah Mba Anne. Selama berada di hutan kupu-kupu aku sudah beberapa kali berhubungan dengan Mba Anne. Mulai jadi narasumber untuk kelompok self-care tempat ia berada. Sampai berlanjut hubungan di acara perkenalan teman-teman di kupu cekatan. Dari percakapan itu aku mendapati Mba Anne orang yang cukup gigih untuk berjuang memperbaiki dirinya.

Saat portofolio diserahkan, aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai proses yang sudah dia lakukan. Satu yang menarik untukku adalah dia telah menyelesaikan “jurnal syukur” selama 30 hari di tahap kepompong kemarin. Ini merupakan sebuah kunci lain, yaitu konsistensi. Kemampuannya untuk konsisten membuatku menerimanya menjadi mentee dengan harapan ia mampu menjalankan proses memaafkan ini sebaik jurnal syukur yang sudah ia lakukan.

Sebagai seorang psikolog, aku terkadang ingin membantu lebih banyak orang, tetapi apa daya kemampuan dan waktu yang kurang. Dengan demikian, aku merasa cukup puas saja mendapatkan kedua mentee ini. Semoga ke depannya proses mentoring bisa berjalan dengan lancar dan keduanya bisa mendapatkan sedikit dari apa yang bisa saya bagi ini.

Selanjutnya, tinggal lanjut untuk menyelesaikan tantangan membagikan pengalaman sebagai mentor. Semoga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada para mentee tentang proses yang bisa mereka lakukan selama beberapa pekan ke depan.

Ganbatte ne.

Bismillah.

Jurnal Buncek #16 Tahap Kupu-kupu 1: Menjadi Mentor

Semua guru, semua murid.

Setelah menjalani banyak peristiwa dalam hidup ini, akhirnya memahami bahwa kita bisa belajar dari mana saja. Bahkan dari waktu, kejadian, maupun orang yang tidak pernah dengan sengaja kita berguru kepadanya. Ilmu yang selama ini mungkin menurut kita sederhana, ternyata bisa saja menjadi jalan kebaikan bagi orang lain.

Maka, sebagai tahap pertama di kupu-kupu Bunda Cekatan #6 ini adalah mengajukan diri sebagai mentor. Menjadi seseorang yang berbagi kebaikan kepada orang lain. Karena sebaik apapun ilmu yang kita miliki kalau tidak pernah dibagikan, tidak akan pernah berkembang.

Buat aku, karena selama ini sudah pernah bekerja di posisi sebagai “mentor” baik ketika menjadi dosen, psikolog maupun penulis, sebenarnya tidak masalah untuk menjadi seorang mentor. Malahan semangat berbagi ini begitu menggebu-gebu karena kebutuhan untuk membantu orang lain itu begitu mendarah daging. Namun, pertanyaannya aku mau menjadi mentor dalam bidang apa?

Selama ini selalu berasa menjadi seorang yang “palu gada”, apa yang kamu mau aku ada/bisa. Setiap kali diminta mengisi bahasan psikologi selalu setuju saja. Ketika ada pertanyaan yang terkait psikologi pun selalu berusaha menjawabnya dulu, baru merujuk kepada yang lebih ahli jika ingin jawaban lebih baik. Jarang sekali untuk langsung merujuk, kecuali memang di luar kemampuan.

Jadi, ketika memilih apa yang mau dibagi, agak bingung. Bukan karena tidak ada, tetapi inginnya sesuatu yang unik dan memang bisa membantu. Kalau ikut kata Magika, personal branding-nya apa?

Saking bingungnya lalu menanyakan seputar branding ini di status WA. Beberapa menjawab dengan pekerjaan, ada juga yang menjawab dengan sifat. Hmm, menarik, ya. Ternyata memang profesi sebagai psikolog sudah cukup melekat. Beberapa yang menjawab seputar profesi ini adalah orang-orang yang memang baru berinteraksi setelah aku bekerja sebagai psikolog dan mengisi beberapa seminar.

Sebaliknya, yang menjawab dengan sifat adalah mereka-mereka yang berinteraksi denganku sebelum mengambil profesi psikologi. Baik itu teman kuliah maupun orang yang mengenalku ketika masih dibangku sekolah. Imaji yang mereka dapatkan tentangku itu tak salah juga. Bahkan membangkitkan semangatku lagi karena akhir-akhir ini merasa tangkapan mereka atas gambaran diriku itu tidaklah benar. Well, aku memang sempat di masa krisis kemarin.

Akhirnya, satu jawaban yang cukup melekat adalah jawaban dari salah satu mentor menulis yang dulu adalah mahasiswaku di kampung halaman. Jawaban psikolog yang menulis mungkin memang menggambarkan diri ini sekarang. Dengan demikian, aku menimang-nimang apa yang bisa aku bagikan dengan menggabungkan dua poin ini.

Finally, setelah perenungan cukup lama memilih topik yang memang sudah cukup mendarah daging dalam diri. Memaafkan lewat menulis. Alasannya, topik ini adalah satu dari sekian banyak topik psikologi yang sangat aku sukai. Isu ini pula yang masih aku angkat hingga hari ini. Kemudian, aku ingin sekali lagi memanfaatkan keterampilan menulis menjadi bagian dari proses berbagi ini. Tadinya, mau menjadi mentor menulis saja, tetapi terasa kurang greget karena terlalu umum. Makanya, topik ini terasa pas sekali.

Ini bukan pertama kali menjadi mentor dalam topik pemaafan. Tahun 2019 akhir kemarin aku menerbitkan satu buku kolaborasi bersama teman-teman yang berhasil menulis tentang proses memaafkannya kepada ibu yang tak sempurna. Sebuah buku berjudul Melepas Luka menjadi salah satu buku yang sangat aku sukai. Karena dalam buku ini tidak hanya memuat cerita masing-masing penulis yang ikut serta, tetapi juga teori-teori tentang proses memaafkan pun aku masukkan.

Alhasil, sekarang aku ingin kembali merajut mimpi yang sudah berulang kali aku coba tanamkan dalam diri. Membantu orang lain dalam proses memaafkan dan menerima diri. Semoga dengan menjadi mentor dalam tahap kupu-kupu ini bisa menjadi salah satu langkah menuju jalan itu. Semoga Allah meridai langkah ini.

Oiya, kalau saja ini berhasil dan berjalan lancar, apakah mungkin setelah ini aku lebih percaya diri untuk membantu lebih banyak orang perihal ini, ya?

Semoga Allah yang memampukan dan memudahkan.

Jurnal Buncek #16, Tahap Kepompong 4: Always Be Positive

Hal terberat dalam menjaga hati adalah mengelola pikiran. Jadi, untuk pekan ini, dari perilaku yang tampak, aku bergerak ke ranah yang tak terlihat, yaitu pikiran. Kali ini aku mencoba untuk puasa berpikir negatif pada orang lain. Baik itu atas perilaku, ucapan, maupun keputusan orang lain yang berkaitan dengan kehidupanku.

Mungkin tampaknya sederhana, tetapi, duh, susahnya minta ampun. Apalagi kalau sudah punya skema yang buat kita jadinya berpikir negatif terhadap orang-orang tersebut. Butuh usaha ekstra untuk membentuk skema baru agar kita bisa jadi orang yang selalu berpikir positif.

Jadi, untuk pekan ini puasanya adalah mencoba untuk tidak terpengaruh atas perilaku, ucapan, maupun keputusan orang lain yang dasarnya dari pikiran negatif terhadap orang tersebut. Adapun kriterianya adalah:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 kali tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 kalitersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 kali tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.

Rasanya kriteria ini cocok sekali dengan situasi puasa ini. Mengelola hati dan pikiran agar tetap terjaga emosinya selama bulan puasa. Apalagi setelah perjalanan ke tanah haram kemarin, rasanya masih tidak mau merusak suasana hati dengan sesuatu yang buruk.

Lalu, bagaimana hasilnya?

Well, aku hanya berhasil sampai tahap very good. Jelas, karena susah sekali untuk mencegah pikiran negatif otomatis itu agar tidak muncul. Sesuai namanya, pikiran negatif otomatis, tentu semua itu hadir secara otomatis. Tidak ada hal yang bisa menghalanginya karena skema negatif itu sudah cukup terbentuk. Oleh karena itu, butuh pembentukan skema baru agar yang muncul adalah pikiran yang positif.

Setidaknya setiap hari 1-2 kali pikiran negatif itu hadir. Namun, setelahnya aku berusaha untuk mengganti pikiran negatif itu dengan hal-hal baik yang bisa aku dapatkan. Terutama sebuah mantra they don’t mean it, artinya mereka mungkin tidak bermaksud demikian, menyakiti atau menyinggung perasaanku. Mereka melakukan itu karena memang mereka memiliki cara berpikir dan sudut pandang yang berbeda denganku.

Selain itu, mencoba untuk tidak terpancing emosi secara berkelanjutan dengan mempraktikkan teknik pernapasan mendalam sungguh bisa bermanfaat. Dalam hal ini, tiap kali aku mulai berpikir negatif, aku mencoba menarik napas sedalam-dalamnya, kemudian mengembuskannya sedalam-dalamnya juga. Dalam proses ini entah mengapa semua yang buruk-buruk itu jadi ikut keluar dari dalam hati. He-he-he. Terutama ketika sebuah keputusan orang lain memunculkan setitik rasa sombong dalam hatiku, duh, berusaha langsung dibuang dengan semua napas itu.

Selain itu, aku berusaha mengingat-ingat kembali isi kajian yang sudah pernah aku dengar terkait hal ini. Begitu pula dnegan hasil tadabbur Al-Qur’an yang dilakukan akhir-akhir ini. Semua itu untuk menguatkan hatiku agar terus tetap berpikir positif dalam semua situasi.

Ini juga terdorong ketika suami berkata begini, “Kan sudah banyak ilmunya yang didapetin, jangan lupa di-install dan dipraktekkin.” Lagi-lagi, ya, kata-kata begini saja sudah bisa bikin hati ingin buru-buru diperbaiki biar ga larut terus-terusan.

Yap, yang lebih penting dari sekadar punya ilmu adalah praktik. Tentunya praktik ini akan berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada tahapan kepompong ini saja. Maka, setelah ini aku akan terus mempraktikkan sebisa mungkin semua kebaikan yang sudah didapatkan selama satu bulan terakhir. Baik dari proses puasa selama empat pekan ini, tadabbur Al-Qur’an, maupun perjalanan Ramadan selama satu bulan terakhir.

Tentunya ini bukan akhir, melainkan sebuah awal baru. Ini hanyalah lahan terapi, selanjutnya bagaimana mempraktikkan semua ini di dunia nyata, itulah ujian yang sesungguhnya.

Semoga tetap bisa istiqomah dalam kebaikan ini, selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi esok dan seterusnya hingga akhir hayat.

Psst… ini surat terakhir untuk buddy-ku.

Day 30 Qur’an Journaling: Takdir yang Menenangkan Hati

Pada akhirnya ke mana kehidupan ini akan berakhir? Allah sudah menggariskan setiap detik napas kita ini melalui Qadar-Nya. Sebuah ketentuan yang Ia buat jauh sebelum penciptaan bumi dan manusia. Maka, apalagi yang bisa kita perbuat atas ketentuan takdir ini?

Qur’an Journaling yang aku lakukan ditutup dengan satu surat, yaitu QS At-Taubah ayat 51. Sebuah ayat yang dikaji saat sedang mempelajari tentang Iman Kepada Qada dan Qadar.

“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

QS At Taubah 51

Dari ayat ini tersirat makna bahwa apa yang terjadi pada diri kita sudah menjadi bagian dari ketentuan Allah. Artinya apapun yang terjadi, baik, buruk, sesuatu yang mungkin tidak sama seperti orang lain. Maupun segala sesuatu yang berjalan tanpa pernah bisa kita prediksi, semua ada dalam ketetapan Allah. Keyakinan bahwa setiap yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izin-Nya, itulah yang membuat hati menjadi tenang.

Betul, ketenangan hati, itulah bentuk pengelolaan emosi yang sesungguhnya. Ketika hati tenang, qolbu tidak ada masalah, tidak akan ada lagi emosi yang tidak stabil menghampiri kita. Bukankah selama ini yang membuat kita sibuk berurusan dengan emosi itu karena merasa tidak nyaman dengan kejadian yang di luar perkiraan? Ketidaknyamanan yang hadir karena merasa ada yang kurang tepat saat sebuah peristiwa terjadi.

Saat sudah memiliki keimanan penuh terhadap qada dan qadar, tidak akan ada lagi rasa sedih dan marah terhadap masa lalu. Karena apa yang sudah terjadi, memang qadarullah terjadi atas kehendak Allah. Semua sudah terjadi atas kehendak-Nya, sehingga sebagai manusia apa lagi yang bisa kita lakukan?

Jikalau masih marah, sebenarnya marah untuk apa? Apakah itu akan mengubah masa lalu? Jika mau bersedih, mau sampai kapan, apakah itu pun akan mengubah masa lalu itu?

Seringkali kita fokus pada takdir yang sudah terjadi, tetapi lupa mengambil hikmah dari kejadian itu. Baik maupun buruk, Allah sudah siapkan jawaban kebaikan di baliknya. Hanya saja kita yang seringkali terpaku pada keburukannya saja, tetapi tidak bisa bersabar untuk mencari kebaikan di baliknya.

Begitu pula dengan masa depan, sampai kapan ingin merasa cemas? Mengapa harus khawatir? Bukankah ada takdir Allah swt yang memang menanti. Sesederhana takut esok akan makan apa. Jika demikian, berarti kita tidak memercayai bahwa janji Allah untuk memberi rezeki itu adalah pasti.

Terlalu sibuk khawatir dengan hari esok membuat hati menjadi lemah. Berlebihan dalam memikirkan semua kemungkinan yang belum tentu akan terjadi. Yah, kalaupun terjadi, langsung menyesali karena tidak bisa mengantisipasi. Padahal kita ini siapa? Apakah kita ini Tuhan yang bisa memprediksi setiap jengkal kemungkinan kehidupan kita?

Bahkan dalam perhitungan statistik yang menggunakan prediksi saja ada level of error, artinya ada kemungkinan kesalahan yang terjadi selama perhitungan. Faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan, yang bisa menyebabkan kesalahan itu, tidak akan pernah bisa diprediksi. Dalam ilmu perilaku sendiri dibolehkan kesalahan terjadi setidaknya 5%. Lima dari seratus orang mungkin hasilnya akan berbeda dari kesimpulan perhitungan.

Jadi, sah-sah saja kan kalau kita memang tidak perlu memikirkan hari esok itu dengan berlebihan? Toh, apa yang terjadi esok saja itu hanya hasil dari perkiraan. Bahkan kalaupun yang kita pikirkan itu terjadi, detail dari kejadian itu akan selalu berada di luar perkiraan. Contohnya, kita mungkin sudah menyusun rencana esok akan melakukan kegiatan apa saja. Tetap yang bisa kita tentukan hanyalah garis umum kegiatan kita esok hari, melakukan hal baru atau menjalankan rutinitas saja, tetapi tidak bisa memperkirakan sampai detail kejadiannya seperti apa.

Gambaran lainnya, jika tinggal di Jakarta kita terbiasa dengan kemacetan setiap harinya, tetapi apakah mobil kita akan mengantri dalam urutan yang selalu sama setiap harinya? Tentu tidak. Beberapa kali kita mungkin menemui mobil yang sama karena jam keberangkatan yang selalu tidak jauh berbeda dengan kita. Namun, selebihnya kita tidak pernah bisa memprediksi sedetail itu.

Jadi, dibanding sibuk memikirkan beragam kemungkinan yang belum terjadi itu, mengapa tidak memasrahkan kehidupan itu hanya kepada Allah semata? Bahwa Allah telah menentukan masa depan kita seperti apa. Tinggal kita, maukah menjalankan ibadah sebaik-baiknya agar takdir itu bergulir menghampiri kita.

Ya, bukan cuma ikhtiar yang mampu untuk mendatangkan takdir itu. Ada pula doa yang bisa membuat takdir itu diubah. Hanya dengan kekuatan doa yang sungguh-sungguh bisa mengubah keburukan yang mungkin terjadi. Tinggal kita meyakini, saat memang sesuatu yang kita khawatirkan itu tetap terjadi, meyakini itu adalah kehendak Allah adalah satu-satunya jalan untuk tetap tenang.

Mungkin perjalanan mentadabburi Al-Qur’an ini tidak akan berhenti sampai di sini. Selanjutnya, agar lebih bisa mendalami ayat-ayat Allah aku berencana untuk mengisi hari dengan setidaknya satu kajian sehari. Kemudian, membuat rangkumannya agar bisa lebih dalam mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan lebih komprehensif dalam memahami, petunjuk-petunjuk-Nya.

Jurnal Buncek #15, Kepompong 3: Tidak Mendebat

Pekan ini termasuk pekan yang membuatku bersemangat. Selama 10 hari lamanya aku hanya akan berdua dengan suami pergi keluar kota. Artinya, ini waktu yang tepat untuk menguji puasaku di tingkatan berikutnya. Kalau pekan sebelumnya, masih bercampur praktik berkata baik atau diam kepada suami, anak-anak, maupun orang lain, maka kali ini benar-benar fokus kepada suami. Mau gak mau, karena memang cuma ada suami di sisi. He-he-he.

Indikatornya masih sama, ya. Cuma kali ini difokuskan pada suami saja. Utamanya adalah pada perilaku tidak mendebat atau menggerutu ketika suami bicara. Duh, sebagai istri perilaku satu ini tuh sebenarnya buruk sekali, ya. Namun, sering sekali dilakukan apalagi kalau merasa ucapan suami tidak sejalan dengan yang kita pikirkan atau kenyataan yang dirasakan.

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak mendebat/menggerutu suami sama sekali.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 kali mendebat/menggerutu kepada suami.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 kali mendebat/menggerutu kepada suami.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 kali mendebat/menggerutu kepada suami.

Ujian kali ini benar-benar menantang. Selama ini kami tidak pernah bersama berdua saja lebih dari dua hari setelah anak-anak lahir. Bisa dibilang perjalanan ini adalah perjalanan pertama kami hanya berdua saja. Iya, berdua saja, seperti orang bulan madu. Sebelumnya, kami belum pernah bulan madu yang memang berdua doang, he-he-he.

Maka, ini adalah kesempatan untuk menguji seberapa baik kami saling memahami satu sama lain. Terutama kali ini adalah mengurangi perilaku mendebat ini, he-he-he. Sebagai perempuan yang memang suka bicara, mendebat seperti hal biasa. Namun, aku sendiri sudah sering mendapat sinyal merah ketika suami merasa tidak senang atas perilaku satu ini. Sudah lama juga belajar untuk mengurangi perilaku mendebat ini biar suami merasa nyaman.

Jadi, ini adalah kesempatan baik untuk berusaha lagi menahan diri hanya berkata baik kepada suami. Bukankah bagaimanapun rida suami adalah rida Allah. Jangan sampai karena satu perilaku ini, membuat suami tidak rida kepada diri ini. Lalu, bagaimana hasilnya?

Sebenarnya secara umum perjalanan kami aman-aman saja. Tidak ada perseteruan yang berarti. Kadang-kadang masih ada sedikit usaha untuk mendebat, tetapi akhirnya diurungkan setelah sekali melakukannya. Menyadari lagi, bahwa mendebat bukan perilaku yang penting untuk dilakukan saat itu. Apalagi posisi sedang di tanah haram, duh, rasanya ngeri memikirkan kalau kata-kata buruk malah terjadi saat itu.

Hanya ada satu hari yang tidak cukup sukses. Ada banyak hal yang menyebabkan hari itu membuat puasaku tidaklah sempurna. Namun, semua berusaha distop tidak lebih dari tiga kali mendebat suami. Berusaha kembali mencerna kata-kata suami, sehingga jalan pikiran kembali lurus dan baik-baik saja.

Dari hasil puasa ini, kembali menyadari bahwa jangan-jangan selama ini ada saja hal tidak baik terjadi karena aku masih belum mendapatkan rida sepenuhnya dari suami. Atas perilaku otomatis yang kadang menyakiti hatinya. Jadi, usaha kali ini adalah usaha untuk itu, mendapatkan rida suami.

Terlihat sepele, bahkan kadang kita merasa benar atas perilaku kita. Namun, pernahkah terpikir suami belum tentu suka dengan perilaku kita. Terkadang aku berpikir, iya, sih menurut kita benar, kita memberi penjelasan, kita memberi keterangan, tapi untuk saat itu, bisakah kita cukup hanya berkata “Ya” agar hati suami menjadi tenang. Karena selalu ada alasan atas larangannya, perintahnya, atau sikapnya kepada kita. Semua adalah demi kita tidak terjebak dalam hal-hal buruk yang bisa saja terjadi karena tindakan kita.

Cukup katakan “Ya” dahulu, baru ketika nanti sudah lebih tenang, kita tenang, dia pun tidak khawatir, kita diskusikan bersama jalan keluarnya. Berikan alasan-alasan yang mendasari perilaku, lalu temukan solusinya.

Menciptakan situasi yang baik untuk suami maupun istri juga adalah tugas penting, agar kita bisa berkomunikasi dengan lebih baik lagi, saling memahami dengan lebih baik lagi. Semoga ke depannya semakin bisa istiqomah untuk menjalankan puasa satu ini. Berkata baik saja, tidak mendebat, atau lebih baik diam daripada memancing keributan dan suami tidak rida atas diri kita.

Sedikit surat untuk Buddy-ku pekan ini. Tetap bersemangat sampai pekan terakhir, sampai bertemu di garis finish.

Jurnal Buncek #14: Kepompong 2: Terus Belajar Berkata Baik

Duh, belajar untuk terus menerus berkata baik itu sunggung sulit, ya. Di pekan kedua ini aku masih dengan semangat yang sama, belajar berkata baik atau diam saja. Ingin tahu, seberapa konsisten perilaku ini bisa aku lakukan setelah kemarin menjalaninya selama satu pekan.

Indikator yang digunakan masih sama:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak ada perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.

Nah, kali ini ditambah satu pihak lagi, yaitu orang lain, bisa teman, saudara, orang tua. Alasannya, biar bisa makin luas saja menerapkannya. Walaupun mungkin, dalam praktik sehari-hari tetap saja lebih banyak berurusan dengan anak-anak dan pasangan. Selain itu, hubungan dengan orang lain juga kadang memengaruhi bagaimana interaksiku dengan anak-anak dan pasangan. Jadi, penting kali ini untuk memperhatikan pihak satu ini.

Namun, setelah menjalani sepekan, ternyata, eh ternyata, polanya masih sama. Terjadi kegagalan di hari kedua. Kenapa, ya? Setelah ditelisik-lisik, apakah karena hari itu sedang ada banyak tumpukan pikiran? Atau karena ada beban kesuksesan di hari pertama? Atau karena loss control saja di hari tersebut? Hmm… sepertinya alasannya yang terakhir. Masih belum bisa istiqomah saja untuk bertahan agar bisa terus berkata baik atau diam.

Namun, kalau dihitung tetap masih dalam persentase di atas 80%. He, he, he. Apakah karena memang interaksinya yang juga ga terlalu intens, ya? Karena ada akhir pekan ketika anak-anak banyak di tempat mertua. Selain itu, ada hari saat suami tidak ada di rumah karena sedang WFH? Tetap saja, ada banyak faktor yang mewakili sebenarnya. Namun, satu sebab yang pasti lagi-lagi harus memperhatikan kesejahteraan diri biar tetap bisa menjaga pikiran, perasaan, dan perilaku agar tetap positif.

Gak muluk sebenarnya, cukup dengan mengurangi beban pikiran saja dengan menyelesaikan urusan yang tertunda. Di saat ini aku makin menyadari, jangan-jangan selama ini aku yang kebanyakan punya kerjaan ya. Sibuk sana-sini sehingga menambah beban pikiran yang sebenarnya sudah banyak. Bahkan mungkin mengabaikan kewajiban yang sebenarnya sudah diemban selama ini. Kewajiban utama: sebagai ibu dan istri.

Ya, sebagai ibu dan istri saja tugas kita sudah banyak. Lalu, mengapa kita sebagai perempuan masih memaksakan begitu banyak tugas-tugas lain di luar itu untuk diemban? Walau mungkin ada banyak perempuan di luar sana yang terlihat sukses menjalankannya, apakah benar kita cocok untuk melakukannya?

Mengukur batas untuk memahami sejauh mana kita harus mengemban tugas, menurutku itu adalah insight penting dalam puasa kali ini. Tahu sejauh mana beban yang bisa dipikul, agar tidak memengaruhi tugas utama di dunia ini, tugas yang telah kita pilih dan dipilihkan untuk kita. Karena tidak semua orang harus sama, tidak semua harus kita yang melakukannya.

Bagaimanapun kita hanyalah manusia yang punya keterbatasan. Bukan super woman yang bisa melakukan semuanya. Sebagai ibu saja kita punya banyak tugas, bagaimana mungkin kita menambahnya dengan hal-hal lain di luar kewajiban kita. Sekali lagi, aku teringat pesan suami, “Jangan sampai yang kamu lakukan di luar membuatmu lupa akan kewajibanmu di dalam.” Sebuah pesan yang menyiratkan, ada tanggung jawab lebih besar bagi kita di rumah, dibanding menjadi terkenal di luar sana.

Puasa kali ini menjawab, sudah waktunya untuk kembali menelaah agar semua tugas dalam peran itu tuntas, tanpa banyak menambah beban pikiran dan perasaan.

Oiya, secuplik surat untuk buddy-ku di pekan kedua ini. Semoga menambah booster dalam menjalankan puasa dipekan berikutnya, ya.