Jurnal Bunda Cekatan #10 Tahap Ulat Keenam: Berbagi Kebahagiaan

Berbagi kebahagiaan.

Sebuah prinsip penting dalam hidup berkomunitas. Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan yang dimiliki kepada orang lain. Tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat yang lebih luas. Prinsip budaya kolektif.

Maka, di pekan ini tugasnya adalah berbagi makanan kepada teman-teman baru yang kenalan di pekan lalu, minimal tiga orang. Akhirnya aku memilih tiga orang yang menurutku memang membutuhkan sekali apel-apel tambahan. Kebetulan makanan tambahan itu sendiri ilmunya sudah aku miliki, sehingga merasa lebih mantap saja untuk dibagikan. Jadi, aku memutuskan untuk mengolah sendiri makanan yang akan aku bagi kepada teman-teman baru ini.

Untuk dua teman, aku memilih untuk merekam video yang menjelaskan materi yang sudah aku persiapkan untuk mereka. Masing-masing aku rekam dengan sapaan personal karena ini adalah istimewa untuk mereka masing-masing. Berikut rangkuman dari hadiah yang aku bagikan.

Bisa dibilang aku memang paling suka berbagi, hehehe. Yah, pengennya banyak berbagi aja, tapi kalau dikasih tetap mau. Memang ada perasaan yang berbeda antara ketika memberikan dibanding saat menerima. Keduanya memunculkan perasaan bahagia, meskipun dalam taraf yang berbeda.

Namun, setelah belajar dari kajian “Better than Yesterday” yang menjadi makananku pekan ni, aku jadi ingin mengamalkan tentang prinsip berbagi ayng sebenarnya. Bagaimana ktia menunaikan kewajiban untuk berbagi kepada orang lain, tanpa mengharapkan pamrih. Tanpa mengharapkan terima kasih dari orang lain. Bagaimana menjalankan prinsip berbagi itu sebagai sebuah kewajiban dan biarkan Allah swt yang membalas kebaikan itu.

Terkadang sebagai manusia kita masih suka mengharapkan ucapan terima kasih atau mendapatkan balasan yang setimpal dari pemberian kita kepada orang tua. Maka, tugas pekan ini benar-benar menguji ilmu yang sudah didapat, apakah aku bisa ikhlas, memurnikan tiap perilakuku hanya untuk Allah semata.

Jadi teringat sebuah tulisan yang aku buat di sebuah naskah yang masih teronggok di penerbit. Naskah yang memuat bagaimana kita harus terus-menerus mengisi ulang keikhlasan dalam hati kita, agar mendapatkan rida dari Allah.

Ya, rida. Jangan lupa hidup ini hanya untuk mendapatkan rida dari-Nya. Dengan demikian, saat berbagi pun mengharaplah itu tujuannya untuk mendapatkan rida dari-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana para sahabat dan orang-orang salih dahulu yang kecintaan dan keimanan kepada Allah begitu besar, maka mereka tidak peduli tentang balasan yang diberikan manusia atas kebaikan dirinya. Melainkan memasrahkan balasan itu semata dari Allah saja.

Bisakah kita demikian?

Oiya, ini makananku saat ini. Kajian dari ilmuinaja.id. Buat yang mau ikut kajian bisa langsung daftar saja. Alasanku memilih kajian ini karena dalam peta belajarku tadabbur Al-Qur’an adalah salah satu kunci dalam pengelolaan emosi. Maka, kajian ini adalah salah satunya. Meskipun tidak spesifik tentang pengelolaan emosi, tetapi bukankah ketika kita memahami prinsip-prinsip perilaku yang benar dari Al-Qur’an dan hadis, maka sejatinya kita bisa mengelola emosi itu dengan sendirinya. Ketika semua prinsip itu sudah terinstal dalam diri kita, maka saat masalah hadir, kita tidak akan termakan oleh emosi yang muncul, sebab dengan sendirinya perilaku kita sudah baik sesuai dengan yang petunjuk yang seharusnya.

Selamat menginstal kebaikan. Karena hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.