Leader Terbaik Versi Seorang Introvert

Terkadang bertanya-tanya pada diri, apakah aku sudah cukup baik sebagai seorang leader? Apalagi ketika harus memimpin sekelompok orang yang asing, apakah mereka bisa menerima kepemimpinan diriku dalam kelompok itu?

Itulah pertanyaan yang selalu bernaung di kepala sejak pertama kali memutuskan menjadi leader CH di perkuliahan Bunda Produktif Batch 3. Ada sedikit rasa tidak percaya diri karena kali ini harus berhubungan dengan orang-orang yang belum pernah kukenal. Bahkan tidak pernah beririsan di perkuliahan Ibu Profesional sebelumnya.

Makanya ketika akhirnya menerima umpan balik dari para anggota, rasa khawatirnya begitu memuncak. Sudah cukupkah aku memuaskan mereka sebagai seorang pemimpin? Apakah aku mampu mengakomodir kebutuhan mereka semua?

Untungnya ketika mendapatkan umpan balik, sebagian besar merasa terbantu dengan pelayanan yang aku berikan. Yah, tentu saja seorang leader itu sejatinya pelayan, di mana pun kelompoknya. Mau itu negara, komunitas, keluarga sekali pun. Leader terbaik adalah mereka yang totalitas memberikan pengabdian kepada para anggota kelompoknya.

Meskipun tetap saja ada yang merasa belum dijangkau, itu sebuah catatan untukku sendiri. Bagaimana ke depannya aku tetap bisa menjaga ritme pribadi sambil menyesuaikan dengan kebutuhan semuanya.

Jujur, jadi leader itu berat, loh! Apalagi buat aku yang bukan people oriented. Lebih sukanya kerja di balik layar walau tidak masalah untuk mengungkapkan pendapat di dalam diskusi maupun tampil sebagai narasumber acara. Kalau untuk berhubungan intensif dengan orang lain itu terkadang berat. Inginnya berhenti sejenak dan diam saja dulu biar energi kembali penuh.

Yes, indeed I’m an introvert, tho.

Habis jadi narasumber webinar saja harus leha-leha dulu biar pikiran gak korslet. Kalau habis sesi dengan klien harus banyak makan biar energinya balik lagi, eh. Apalagi kalau seharian penuh dengan aktivitas yang berhubungan dengan orang lain, rasanya ingin tidur saja di sisa hari dan gak peduli yang lainnya.

Akan tetapi, di balik karakter introvert ini punya keinginan kuat untuk mengendalikan orang lain. Selalu tergerak untuk terlibat dengan kelompok untuk menunjukkan kebolehan diri. Bisa dibilang ada motivasi berprestasi yang butuh untuk diasup, tetapi tidak didukung oleh karakter yang inginnya gak banyak berhubungan dengan orang lain ini.

Akhirnya, ketika sudah kepilih jadi leader kadang panik sendiri. Duh, sudah bisa belum ya membimbing atau mengarahkan orang lain secara benar? Lebih tepatnya, aku tetap asyik gak, sih sebagai pemimpin?

Kepemimpinan Berdasarkan Karakter

Pada akhirnya tipe kepemimpinan orang akan tergantung pada karakter yang ia miliki. Pernah kan kamu merasakan ada orang yang sangat dominan, sangat ramah, lebih berorientasi pada tugas, atau tidak mau mencari musuh saat dia memimpin kita.

Dalam teori kepribadian DISC, Dominance-Influence-Steadiness-Compliance, tipe seseorang akan menentukan bentuk kepemimpinannya. Keunikan yang mencolok dari orang tersebut akan memengaruhi caranya memimpin sebuah kelompok.

Pada tipe Dominance (D), biasanya saat memimpin akan menyampaikan pendapatnya secara langsung, tegas, cepat, dan tidak terlalu memperhatikan perasaan orang lain. Baginya hasil adalah segalanya sehingga anggota kelompok atau bawahan biasanya diperintah untuk menyelesaikan serentetan tugas dan dituntut menyelesaikannya tepat waktu. Tipe D yang baik tentu ikut serta dalam mengerjakan, bahkan anak buahnya bisa terbawa terhadap ritmenya. Kalau tidak sesuai otomatis akan keteteran.

Tipe Influence (I) lebih mementingkan hubungan interpersonal dengan orang lain. Ramah, perhatian, optimis, biasanya menjadi ciri kepemimpinannya. Biasanya tipe ini yang menjadi favorit dari bawahan karena jauh dari kesan “neraka”. Ada perasaan nyaman ketika berada di bawah arahannya. Di sisi lain, sangat suka untuk tampil dan mendapatkan perhatian.

Tipe Steadiness (S) biasanya adalah tipe pemimpin yang sabar. Ia menunjukkan ketulusan dalam mendampingi, tetapi kurang suka untuk berbicara di depan umum. Tidak suka dengan pertikaian, maka seringkali menawarkan solusi yang win-win atau diupayakan tidak merugikan orang lain. Ia berupaya untuk mendukung setiap pendapat orang karena tidak mau ada yang tersakiti.

Tipe Compliance (C) adalah tipe yang bekerja sesuai dengan aturan dan jadwal. Maka, ketika memimpin ia amat teliti terhadap hasil kerja bawahannya. Berbeda dengan Dominance yang bisa langsung menyuarakan pendapatnya, tipe ini memilih diam dan memikirkan sendiri jalan keluar permasalahan. Terkadang konflik bisa terjadi karena tuntutannya terhadap hasil kerja yang sangat tinggi.

Sebagai seorang yang memiliki tipe campuran antara C dan S, dengan karakter C yang lebih besar, maka aku terkadang mengharapkan anggota kelompok memiliki kemampuan kerja yang sangat baik. Ketika memiliki anggota kelompok yang level kapasitasnya sama besarnya, seringkali tidak menjadi masalah.

Masalah hadir ketika anggota kelompok ternyata terdiri dari beragam kemampuan. Membuat terkadang merasa “kesal sendiri” karena perintah kerja tidak dilakukan maksimal akibat kemampuan yang tidak persis sama. Di sisi lain, adanya karakter S membuat semua kegelisahan ini tidak bisa disampaikan. Keinginan untuk menjaga stabilitas membuatku sulit untuk komplain terhadap hasil kerja orang lain.

Alhasil, berharap orang lain saja yang bilang tentang kekurangan hasil kerja orang lain. Baru deh setelah itu mendukung pendapat itu. Hahaha.

Well, tentunya tidak ada yang baik dan buruk karena kembali lagi karakter itu tidak bisa disalahkan. Bagaimanapun itu adalah pemberian Allah SWT. kepada kita. Kalaupun ada yang merasa tidak puas, ya wajar saja. Kita kan tidak bisa memuaskan semua pihak, toh.

Tinggal aku belajar untuk menerima “kritik” itu. Terkadang rasa kekhawatiran yang tinggi sebagai tipe C membuat aku sulit menerima masukan maupun kritikan. Jadi, sudah waktunya untuk belajar membesarkan hati atas masukan-masukan orang lain karena kita tak bisa kan jadi yang selalu sempurna.

Buatku pengalaman memimpin kali ini mengajarkan banyak hal. Bukan hanya untuk menunjukkan kapabilitas diri, tetapi kembali mengelola hati dan pikiran agar tetap bisa bersahaja dengan orang lain.

Ada kalanya juga aku berusaha menahan diri untuk tidak terlalu dominan. Tetap saja butuh belajar memberikan kesempatan kepada orang lain untuk terus belajar bersama dan mengembangkan kemampuan.

Lagi-lagi tiap pengalaman itu akan menyisakan kebaikan. Kali ini Allah mungkin memberikan kesempatan agar kembali bersikap diligent, totalitas ketika mengerjakan sesuatu. Walau, yah sekarang lagi banyak sekali yang dikerjakan semoga diri ini bisa menjalani semuanya dengan baik.

Setidaknya ini bisa jadi bukti tak melulu orang ekstrovert yang jadi pemimpin. Seorang introvert bisa memimpin dengan gaya mereka sendiri. Mau terasa enak atau tidak enak, kembali lagi kita butuh menghargai cara setiap orang memimpin. Di balik perilakunya kepada kita, ada usaha keras untuk mengoptimalkan hasil kerja bersama.