Menjadi yang Terlupakan

Pada akhirnya kita akan menjadi sosok yang terlupakan. Apalagi setelah kepergian kita dari dunia ini. Maka, apa yang kamu perjuangkan menjadi bagian dari kehidupan orang lain? Padahal mungkin kamu tak sedikit pun menyisa di hati mereka?

Namun, hidup di dunia ini selalu berkaitan dengan muamalah kita kepada orang lain. Bagaimana kita berbuat baik dan buruk, adil atau tidak. Semua akan menyisakan jejak yang mungkin tidak bisa kita hapuskan dari catatan amal kita. Menjadi penentu akan masuk ke manakah kita nantinya, surga atau neraka?

Namun, sudah cukupkah kebaikan kita kepada orang lain itu yang akan menambah timbangan?

Aku merasa sangat iri kepada para sahabat Rasulullah saw. yang dikenal oleh sedikit manusia di dunia, tetapi begitu dikenal oleh penduduk langit. Ia tidak menampilkan diri kepada khalayak, menyembunyikan amalnya, tetapi keikhlasannya dalam beribadah telah membuatnya memiliki tiket langsung menuju surga.

Sebaliknya, di zaman sekarang orang berlomba-lomba menjadi terkenal. Kalau tidak terkenal sepertinya hidup tidak berarti. Akhirnya, berujung pada banyaknya yang stres karena merasa tidak menjadi siapa-siapa. Tidak dikenal, tidak dipedulikan, tidak diperhatikan.

Yah, begitulah kita sibuk mencari pengakuan manusia. Sehingga ketika tidak mendapatkan hati begitu sedih luar biasa. Sebaliknya, kita mengabaikan Allah karena merasa Ia tidak nyata. Padahal saat kita diabaikan oleh manusia-manusia itu, sesungguhnya saat itu Allah sedang menunggu kita untuk menemuinya. Allah tidak mau kita terlalu memperhatikan manusia lain, sehingga melupakan-Nya.

Namun, lagi-lagi kita tidak menyadarinya. Makin menganggap diri kita tidak berharga, sehingga makin tenggelam dalam ketidakberdayaan. Berenang dalam keputusasaan sampai tidak menemukan lagi arti kehidupan. Terjerat oleh nafsu untuk ditemukan, padahal memang manusia itu bukan tempat bergantungnya kita.

Berat memang untuk melepas jeratan perhatian manusia. bahkan ketika kita mungkin sudah terlupakan oleh manusia lainnya. Masih berharap kalau diri ini menyisa sedikit di hati mereka. Berharap kalau suatu hari mereka akan menghubungi kita dan bisa kembali bercanda seperti saat dulu berteman lama.

Akan tetapi, tetap saja yang menggenggam hati manusia itu Allah saja. Bukan kita yang emmbuat akhirnya mereka akan selalu ingat kita. Melainkan Allah yang membuat mereka akhirnya bisa ingat kita atau tidak. Allah yang memunculkan kita di hati-hati mereka. Termasuk saat kita sedang terpuruk sekalipun. Di saat kita sudah benar-benar merasa tidak ada lagi manusia yang akan menyadari kehadiran kita, Allah utus manusia dengan hati mulia yang akan membantu kita keluar dari jurang keputusasaan itu.

Sayangnya, kita selama ini terlalu fokus pada satu atau dua orang saja. Padahal bisa jadi mereka belum tentu orang yang tepat untuk memenuhi hari-hari kita. Bisa jadi mereka tidak pas untuk kehidupan kita, sehingga Allah menghilangkan mereka dari hidup kita.

Lagi-lagi kita butuh untuk meyakini kalau hilangnya orang-orang yang kita pikir merekalah sumber kasih sayang kita, bukan berarti kita sudah menjadi benar-benar sendiri. Bisa jadi itu cara Allah untuk menyadarkan kita kalau diri ini sudah terlalu bergantung pada manusia untuk menjadi bahagia. Ia mengambil mereka dari kita sebagai cara untuk mengembalikan hati ini agar terisi penuh oleh kehadiran Allah Swt.

Janganlah takut dengan hilangnya manusia-manusia itu. Malah takutlah kalau kita terlupa kepada Allah karena sibuk menduakan-Nya dengan manusia lain. Misalnya, terlalu bergantung kepada orang tua untuk mendapatkan pertolongan semangat, sehingga ketika keduanya tiada kita sedih berlebihan. Artinya, kita sudah memberikan ruang untuk orang tua itu lebih besar daripada Ia. Menjadikan kita terlupa kalau Allah sebagai satu-satunya tempat mengadukan kesedihan.

Maka, biarlah kita terlupa oleh manusia, tetapi jangan sampai kita terlupakan oleh Allah Swt. Ketika itu terjadi kita sudah menjadi manusia paling rugi di atas bumi. Terlupakan dalam arti, Allah membiarkan kita mendapatkan apa saja yang kita inginkan, tetapi sebenarnya tidak Allah ridai. Jika sudah begitu, apalah arti menjadi manusia. Tak ada gunanya menjadi orang terkenal dengan ratusan juta penyuka. Nyatanya Sang Pencipta tidak lagi mencintai kita. KJalau begitu, bagaiman nasib kita di akhirat sana?

5 Resep Agar Kehidupan Lebih Mudah Dijalani

Happy September!

Apa kabarnya semua? Bagaimana kamu memulai hari ini, apakah terasa begitu mudah? Mulai dari bangun pagi sampai menutup mata, tidak ada hal-hal kecil yang mengganggu suasana hatimu. Semua terasa mulus tanpa cela, tanpa beban. Tidak ada friksi kecil yang memutar balik hari. Maupun pikiran-pikiran negatif yang membuat tidur makin sulit.

Well, sayangnya hidup terkadang tidak semudah itu dijalani. Dalam satu hari saja, ada hal-hal yang bisa membuat hati kita menjadi “not in a good mood.” Rasa-rasanya semua kebahagiaan yang dibangun langsung terempaskan hanya karena satu-dua hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Belum lagi hasil pemutakhiran status teman-teman di media sosial yang bikin geram hati, merasa pencapaian sampai hari ini begitu sia-sia. Ada saja kejadian yang bikin kita merasa, “it’s not a perfect day.”

Sebenarnya batu-batu sandungan yang terjadi sepanjang hari, selama kita hidup ini wajar terjadi. Sayangnya, sejak dulu kita mungkin tidak dibiasakan memiliki cara untuk menghadapinya dengan cara yang baik. Dengan demikian, saat harus berhadapan dengan semua situasi yang merusak kebahagiaan sesaat itu, kita mengorbankan sisa hari yang kita miliki. Padahal tidak ada kehidupan yang sangat mulus. Bahkan jalan termulus sekalipun akan ada momen ketika kita harus menghindari kerikil kecil agar tak terjadi kecelakaan.

Jadi, kehidupan yang mudah itu bukanlah sebuah keniscayaan. Asalkan kita tahu cara yang tepat untuk menghadapi hal-hal di luar harapan atau rencana. Cara ini butuh dilatih agar kita bisa selalu siap menghadapi semua masalah, seberat apapun itu kelihatannya. Yuk, sekarang kita coba intip lima resep yang bikin kehidupan menjadi mudah.

  • Banyak Bersyukur

Kelihatannya klise, ya kalau kita bilang banyak-banyak bersyukur. Namun, sudah jelas sekali kalau dengan bersyukur kita berupaya untuk menghargai setiap jengkal pencapaian yang dilakukan. Bahkan untuk hal-hal sederhana atau yang mungkin menurut orang lain lumrah dilakukan sekalipun, kita akan bisa menemukan hikmahnya. Misalnya, seberapa sering kita mengapresiasi ketika bisa bangun pagi, makan pagi, dan berangkat ke kantor ditemani kekasih? Mungkin buat kita bangun dan makan pagi itu adalah rutinitas yang biasa saja. Padahal hanya untuk bangun saja, itu semua adalah berkah dari Tuhan untuk kita. Ia yang telah menghidupkan kita di hari itu, agar bisa kembali beraktivitas. Bertemu orang atau hanya untuk duduk menuangkan ide gila di kepala. Tak perlu membandingkan diri dengan orang-orang yang kurang beruntung untuk dapat bersyukur. Memaknai bahwa sekecil apapun yang kita miliki hari ini adalah berkah dari Tuhan, adalah bentuk bersyukur paling mujarab.

Eits, jangan lupa pula untuk bersyukur seperti apapun kondisi. Jadi, ketika mungkin ada kejadian, situasi, atau hal lain yang menurutmu buruk, itu pun harus disyukuri. Mengapa? Karena itu artinya ada kebaikan lain yang bisa didapatkan setelah situasi itu terlewati. Kebanyakan dari kita seringkali lebih banyak melihat sisi buruknya, sampai terlewat sisi baiknya. Seperti ketika atasan mungkin memberikan banyak revisi, kita lebih suka mengeluh dan membicarakan si bos di belakang. Padahal tujuan revisi itu adalah untuk memperbaiki kerja yang mungkin belum maksimal. Saat mengerjakan perbaikan itu pula kita mungkin bisa menambah pelajaran lain, yang belum dimasukkan pada materi kerja yang sudah dibuat.

So, apa yang bisa membuatmu bersyukur hari ini? Baik dari kejadian yang membahagiakan ataupun kejadian yang bikin sedih sekalipun.

  • Memaafkan yang Sudah Terjadi

Resep kedua adalah dengan memaafkan. Bukan hanya sekadar berkata maaf atau memberikan maaf, tetapi memasukkan makna maaf itu sampai ke hati. Ketika memaafkan berarti kita sudah tidak masalah dengan hal buruk itu, artinya tidak ada lagi sakit hati yang muncul saat nanti diungkit. Memaafkan bukan pula tentang kita melupakan, melainkan cara kita agar merasa tetap baik-baik saja, seburuk apapun orang lain memperlakukan.

Misalnya, ada teman yang dulu pernah menyakiti kita lewat kata-kata dan perilakunya. Tentunya ketika kita tidak sengaja berhubungan dengan teman ini, secara langsung atau tidak langsung, akan membuat memori masa lalu itu hadir kembali. Berakhir pada perubahan suasana hati karena ingatan yang lalu itu telah mengganggu suasana hati kita menjadi buruk. Oleh karena itu, butuh memaafkan perbuatan mereka itu, agar kita tetap merasa nyaman. Bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih mudah karena tidak ada dendam yang nyangkut di hati. Tidak ada keburukan orang yang kita bawa sampai tidur malam.

  • Bikin Daftar Pekerjaan

Seringkali kita disibukkan oleh banyaknya pekerjaan akibat terlalu banyak peran yang diambil dalam satu waktu. Akhirnya, menjadi beban, sampai kita tidak bisa membagi waktu dengan baik. Oleh karena itu, buatlah daftar pekerjaan yang harus diselesaikan tiap harinya. Buat menjadi pekerjaan yang rutin harus dilakukan dan pekerjaan tambahan yang bisa dikerjakan hari itu.

Misalnya, sebagai ibu rumah tangga maka pekerjaan rutinnya adalah menyapu, mengepel, mencuci, menggosok, memasak, dan menemani anak-anak belajar/bermain. Kemudian, secara pribadi yang rutin dilakukan adalah makan, mandi, dan tidur/istirahat siang. Di sisi lain, pekerjaan tambahannya adalah segala sesuatu yang kita lakukan di luar itu. Sebagai contoh, mengurus online shop, kerja freelance, atau peran lain yang diambil selain peran utama ini.

Masing-masing aktivitas diberi waktu untuk mengetahui sebenarnya selama ini semua pekerjaan itu cukup tidak dalam waktu 24 jam sehari yang kita miliki. Jika memang kelebihan, maka harus kembali disesuaikan. Prinsipnya adalah pekerjaan tambahan tidak boleh melebihi pekerjaan rutin. Kita bisa menambahkan 1-2 pekerjaan tambahan dalam sehari, sesuai dengan berat pekerjaan seperti itu.

Contoh menghitung jenis aktivitas dan waktu yang dibutuhkan.

Gambar di atas adalah contoh yang saya buat untuk menghitung selama ini apa saja aktivitas rutin yang harus saya lakukan setiap harinya, lalu berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Tentu tiap orang akan punya daftar aktivitas masing-masing. Sesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing ya.

  • Menyesuaikan Peran

Terkait dengan poin sebelumnya, terkadang kita kesulitan karena terlalu banyak peran yang dijalani. Saya selalu teringat dengan perkataan guru saya dulu, “Ukurlah baju di badan.” Artinya kita yang paling tahu seberapa banyak peran yang bisa dijalani. Jangan sampai karena kita terlalu banyak keinginan, sampai peran utama kita malah jadi terbengkalai. Tentunya ini akan disesuaikan seiring dengan berjalannya waktu. Ada peran-peran yang bisa dilepas di situasi saat ini, tetapi bisa juga kita menambahkan peran lain di situasi lainnya.

Pada akhirnya, kuncinya satu untuk merasa hidup lebih mudah, bekerjalah sesuai dengan kemampuanmu. Tidak perlu membandingkan diri dengan siapapun, tak pula perlu merasa sedih ketika memang kita tak bisa “sehebat” yang lain. Sebab, Tuhan menciptakan dengan kapasitas berbeda, sehingga mudah buat orang lain belum tentu bagi kita. Begitu pula mudah bagi kita, belum tentu untuk orang lain.

  • Minta Pertolongan Tuhan

Resep terakhir yang paling penting adalah mintalah kepada Tuhan untuk memudahkan jalan itu. Bagaimanapun, semua masalah yang hadir berasal dari Ia. Maka, sudah sepantasnyalah kita mengembalikan pertolongan itu kepada Ia. Berdoa agar hari-hari dijalani dengan baik, kalaupun harus berhadapan dengan musibah atau bencana, mintalah kesabaran dan keihklasan hanya kepada-Nya.

Seringkali kita lupa untuk melakukan ini. Hanya menyandarkan segenap usaha itu kepada diri kita sendiri. Akhirnya, beban bertumpuk akhirnya merugikan diri. Padahal ketika akhirnya diserahkan segala sesuatu itu kepada Ia, ada hal-hal di luar bayangan kita akan menjadi jalan keluar tak terduga. Sudah mencobanya?

Yap, itu dia lima resep agar kehidupan menjadi mudah. Sejatinya kemudahan itu hadir ketika kita sudah bisa mengubah mindset terhadap semua kesulitan selama ini. Perubahan mindset ini tidak akan terjadi kalau tidak ada motivasi untuk berubah. Terkadang mindset ini juga menandakan seberapa bertumbuhnya kita sebagai seorang manusia.

Jadi, jangan mudah menyerah. Jadikanlah kehidupanmu sesuatu yang mudah, dengan lebih banyak membuka diri atas pengalaman-pengalaman baru, hidup dengan lebih teratur, bisa memilah mana yang butuh diprioritaskan, tentunya dengan mensyukuri semua pertolongan itu hanya datang dari Tuhan semata.

Semangat memudahkan kehidupan.

Saat Hal Baik Saja Belum Tentu Memasukkanmu ke Surga, Bagaimana dengan yang Aneh?

Anabon. Anak boneka.

Sudahkah mendengar perihal spirit doll atau boneka arwah yang sedang marak sekarang? Fenomena ini sudah merambah para artis, bahkan beberapa orang awam pun sudah mulai mengikuti arus tren ini.

Aku cukup bergidik saat pertama kali membaca perihal ini. Ada orang-orang yang sengaja membeli boneka karena menganggapnya akan memberi kebaikan, keberuntungan. Namun, yang makin bikin geleng kepala adalah ketika tahu kalau boneka itu ada arwahnya, sehingga bisa berinteraksi dengan pemiliknya.

Pertanyaannya, kalau itu bukan benda bernyawa, maka apa yang membuatnya tampak bernyawa? Pastinya bangsa yang tak kasat mata hadir di sana. Jikalau demikian, bukankah mengerikan saat kita dengan sengaja menempatkan bangsa itu di sisi kita?

Mungkin sebagian menganggapnya guyonan saja. Bisa juga ada yang beranggapan itu hanya pekerjaan marketing agar omsetnya naik. Sekadar ikut-ikutan, tetapi tidak meyakini sepenuhnya. Namun, pernahkah disadari setiap jengkal dari apa yang kita lakukan sesungguhnya punya konsekuensinya di sisi Allah swt.

Padahal sesuatu yang kita pikir baik saja, kalau itu tidak sesuai panduan atau sebuah ibadah tambahan yang tidak dicontohkan Rasulullah saw, akan tertolak. Artinya jerih payah kita menjadi sia-sia karena tidak mendapat balasan apapun dari Allah swt. Sedih, bukan?

Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari saja kita harus berhati-hati dalam beraktivitas. Bahkan yang menurut kita tak masalah, bisa menjadi masalah. Kalau sudah begitu, bisa saja kita menjadi orang yang merugi.

Maka, bagaimana mungkin ketika kita melakukan suatu tindakan yang jelas aneh di mata kebanyakan orang, bisa kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja?

Taruh saja kita tidak meyakini seutuhnya tentang kebiasaan yang sekarang banyak terjadi di masyarakat. Menganggap itu hanya perayaan tanpa pengakuan keyakinan. Namun, ketika kita ikut merayakan bukankah artinya kita sudah mengikuti perilaku orang-orang yang memiliki keyakinan itu?

Memang kita tidak bisa membaca isi hati manusia. Tidak pula berhak menghakimi atas perilaku yang ditunjukkan orang lain. Namun, secara sederhana saja kita bisa menelaah, kalau setiap keputusan kita hanya di atas namakan mengikuti tren, sesungguhnya bagaimana letak keimanan itu di dalam hati kita?

Ini memang hanya analisisku sebagai seorang manusia dan aku berserah kepada Allah atas kondisi sesungguhnya dari orang-orang tersebut. Namun, sangat menyayangkan jika memang kita ingin menjadi terkenal, mengapa tidak mulai menjadi contoh yang baik. Tidakkah kita merasa takut atas hal buruk yang menyertai karena orang-orang mengikuti perilaku kita, yang belum tentu benar.

Jikalau kita menjadi perantara kebaikan saja, seperti memberi makan orang-orang berpuasa, nantinya kita akan mendapatkan pahala selayaknya orang berpuasa yang kita beri makan itu. Maka, jika kita menjadi perantara keburukan, bagaimana dosa yang akan kita tanggung karena telah membuat orang lain jatuh ke dalam keburukan?

Yah, aku bukan ahli agama. Hanya seseorang yang masih belajar untuk terus berbuat baik, meskipun terseok-seok. Namun, kemurnian hati untuk terus menjaga keimanan adalah sebuah fitrah yang harus kita jaga. Kalau fitrah keimanan itu terganggu oleh perilaku-perilaku yang kita atas namakan mengikuti tren, toleransi, atau mencari sensasi, bagaimana jadinya kualitas keimanan itu sendiri?

Photo by NEOSiAM 2021 on Pexels.com

Membersihkan Diri dari Perilaku yang Tidak Perlu

Beberapa tahun terakhir aku sendiri berusaha menyelami, apakah benar Islam itu sesulit itu? Mengapa harus ada banyak perayaan dan syukuran, sedangkan belum tentu kita memiliki rezeki yang cukup untuk melakukannya. Walaupun, ketika kita ikhlas berbagi, tentunya ada saja kebaikan yang bisa kita dapatkan. Akan tetapi, jika kita memaksakan diri untuk melakukan perayaan di saat kondisi kita pas-pasan, bukankah itu artinya menzalimi diri sendiri.

Setelah semakin belajar, ternyata Islam itu tidak serumit yang dipikirkan. Semua perayaan, syukuran itu hanyalah budaya yang tertanam di masyarakat kita. Sesungguhnya, Islam itu sungguh sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bagaimana beliau hidup dalam kesederhanaan, meskipun menyandang nama sebagai nabi akhir zaman.

Sesederhana akhirnya aku berpikir begini, “Kalau memang itu baik, mengapa tidak dicontohkan oleh Rasulullah?”

Misalnya, saat menikah kalau memang foto pre-wedding penting, mengapa tidak Rasulullah contohkan. Kalau memang menumpuk dan memamerkan kekayaan adalah hal penting, mengapa para sahabat tidak menunjukkannya? Bahkan banyak yang berlomba-lomba untuk mengurangi harta di rumahnya karena takut pada beratnya hisab.

Kesederhanaan dan kelapangan hati itulah yang harusnya kita tiru. Bukan mengada-adakan sesuatu yang ternyata menyulitkan diri kita sendiri. Tinggal, maukah kita untuk menyalami agama ini secara dalam dan benar. Mempelajari secara baik dengan jalan yang lurus. Karena ilmu yang benar akan membuat keimanan kita bertambah, bukan sebaliknya.

Salah satu yang sempat aku bahas di tulisan beberapa waktu lalu adalah mulai tidak merayakan ulang tahun. Bahkan mencoba melupakan kalau ada hari-hari demikian di dalam keluarga kecil kami. Sulit sebenarnya karena memang tidak semua orang memahami mengapa ulang tahun tidak perlu dirayakan. Terkadang juga masih ada keinginan dalam diri untuk menjaga eksistensi diri dengan memberi tahu orang lain kalau hari ini kita ulang tahun.

Pada akhirnya kembali ke pola pikir ini saja, hidup itu sederhana, mengapa dibikin ribet? Syukuri yang sudah ada sekarang, jangan diburu nafsu untuk memiliki segalanya. Jalani ibadah sesuai dengan ketentuan saja, jangan ditambah atau dikurangi.

Jangan pula mengada-adakan sesuatu walau itu tampak baik atau berbasis pada toleransi. Sesungguhnya, ketika kita membuka celah untuk itu, maka hawa nafsu kita akan kembali terusik. Memberi ruang kepada pemikiran yang melampaui seharusnya, melebihi apa yang sudah diajarkan dalam agama.

Cukup gunakan akal dengan tetap berlandaskan keimanan. Walau semua perilaku itu mendatangkan kebaikan duniawi, untuk apa jika itu mengikis akidah kita yang mudah goyah ini.

Sebab, untuk masuk surga itu semudah mengikuti semua yang diperintahkan saja. Itulah petunjuk terbaik yang bisa kita dapatkan dan perlu kita temukan sepanjang sisa waktu hidup di dunia ini.

NB: ini hanya refleksi penulis melihat fenomena saat ini. Ketika memang merasakan menjadi orang baik, lurus, dan benar itu seperti buih di tengah lautan.

Saat Satu Tahun Terlewati Lagi

Apa yang biasa kamu lakukan untuk merayakan kelahiranmu? Dengan sebuah pesta dan kebersamaan? Atau melakukan sesuatu yang bermakna?

Buatku tak ada lagi pesta untuk merayakan sesuatu, terutama ulang tahun. Mencoba menghilangkan kebiasaan itu dari kehidupan keluarga kecil kami, termasuk untuk anak-anak. Belajar meyakinkan bahwa untuk berbahagia tidak perlu hari-hari khusus. Begitu pula dengan berbagi, kapan pun bisa dilakukan. Memberi perhatian dan mendapatkan perhatian bukanlah sesuatu yang butuh dikhususkan. Serta merayakan kelahiran bukanlah keharusan.

Bertambahnya usia juga membuat makna ulang tahun itu tak lagi sama. Ketika dulu semasa kecil dirayakan ulang tahun dan dinyanyikan lagu Panjang Umur, maka sekarang doa yang dipanjatkan sudah jelas berbeda. Tak bisa lagi meminta panjang umur karena sesungguhnya kehidupan di dunia ini tidaklah lama. Kita tak bisa hidup selamanya.

Makna ini aku ilhami dalam-dalam ketika mendengarkan webinar bersama Ust. Ajo Benri. Walau pembahasannya di sisi lain, yaitu tentang pernikahan, tetapi maknanya tetap sama. Beliau menjelaskan dalam pernikahan sakinah mawaddah warahmah adalah sebuah pernyataan yang berjalan terbalik. Kondisi yang pertama kali dibutuhkan dalam pernikahan bukanlah sakinah, melainkan rahmah.

Mengapa demikian?

Satu tujuan kita dalam pernikahan adalah mendapatkan rahmah. Sebuah rahmat dari Allah akan memberikan ketenangan dalam pernikahan kita karena kita tahu, Allah meridhoi setiap usaha yang dilakukan dalam pernikahan itu. Dengan mendapatkan rahmah, di situlah baru terasa ada ketenangan dan cinta kasih di dalam pernikahan itu, sebagaimana yang diartikan dalam sakinah mawaddah.

Ketenangan dan cinta kasih yang didapatkan dari Allah adalah sebuah kondisi yang lebih hakiki, dibanding kita merasa bahagia atas tujuan yang lain. Namun, bagaimana mendapatkannya? Apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan rahmat dari Allah itu? Bagaimana kaitannya dengan kehidupan pribadi kita sendiri?

Mungkin ini yang seringkali lupa diajarkan kepada kita semenjak kecil. Memahami agar setiap perbuatan kita itu mendapatkan rahmat dari Allah agar merasa bahagia. Sebaliknya, lingkungan lebih banyak menetapkan standar duniawi untuk mendefinisikan sebuah kebahagiaan dan ketenangan.

Contohnya, dari iklan asuransi saja. Asuransi menggembar-gemborkan bahwa demi ketenangan di masa depan, asuransi adalah pilihannya. Saat nanti mungkin kita memiliki dana terbatas untuk biaya sekolah anak, kesehatan, dan sebagainya, asuransi dianggap bisa menyelesaikannya. Demi itu, maka kita harus membayar premi tiap bulan, demi mendapatkan pembayaran di masa mendatang.

Asuransi mencoba meyakinkan kepada kita, hanya dengan usaha kita saja masa depan bisa terwujud. Lewat investasi yang kita tanam pada perusahaan itu, nantinya kita mendapatkan keuntungan yang berlipat saat dibutuhkan. Menjual ketenangan atas kekhawatiran kita di masa mendatang.

Namun, apakah memang ada ketenangan di sana? Mungkin memang kita merasakan manfaat, jika di masa depan kita mendapatkan keuntungan sebagaimana investasi asuransi yang ditanamkan. Lalu, bagaimana dengan yang tidak? Saat kesehatan tetap terus terjaga. Ketika kita bisa memenuhi biaya sekolah anak tanpa perlu mencairkan uang asuransi tersebut?

Ini juga yang membuat kita lebih mengejar duniawi agar merasa masa depan terjamin. Jikalau begitu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak Allah beri rezeki sebanyak yang lain? Apakah mereka merugi di masa depannya? Sungguh terasa tidak adil apabila kita berpikir dengan pola demikian. Masa depan terbaik adalah mereka yang memiliki banyak harta. Jika tidak, maka dianggap sebagai sebuah kesengsaraan.

Padahal ada hal yang lebih penting dari pada mengumpulkan lembar demi lembar uang di dalam tabungan kita. Ada sesuatu yang lebih berharga dibanding memamerkan kepemilikan kita kepada orang lain. Yaitu apakah setiap yang kita peroleh itu dirahmati oleh Allah, apakah setiap yang kita lakukan untuk menghabiskan kehidupan itu mendapatkan keberkahan dari Allah.

Maka, sudah sejak lama juga aku tidak pernah mengharapkan panjang umur, melainkan mengharapkan berkah dari setiap yang terjadi di sisa usia. Setelah pernah berada di posisi tertinggi, terendah, babak-belur, ternyata yang lebih penting dari semua kepemilikan duniawi ini adalah cinta kasih dari Allah swt.

Memahami bahwa setiap jengkal yang terjadi dalam hidup ini adalah cinta kasih dari Allah, membuat hati lebih tenang. Merasa bersyukur atas sedikit yang dimiliki, merasa bahagia karena masih diberi Allah ujian untuk meningkatkan keimanan. Bayangkan saja, kalau cinta Allah hanya kita kaitkan ketika mendapatkan banyak uang, rezeki lahiriah, artinya ketika sudah banyak cinta itu diberikan di dunia ini, apakah mungkin masih ada cinta yang terberi di akhirat kelak?

it’s just another birthday. (Foto pribadi)

Jangan Jadi Orang yang Merugi

Orang-orang yang rugi adalah mereka yang tidak pandai memanfaatkan waktunya. Menghabiskan waktu kehidupan di dunia yang singkat ini untuk sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, sudahkah kita menghabiskan waktu itu untuk sesuatu yang baik, bernilai ibadah, terpenting mendapatkan rahmat dari Allah swt?

Mungkin sudah waktunya sekarang kita menelaah waktu 24 jam satu hari kita itu dihabiskan untuk apa. Lebih banyak yang tersia-sia atau lebih banyak yang bermanfaat untuk kehidupan kita di masa depan. Bukan hanya masa depan sampai kita menutup usia, yang diperhitungan dalam hitungan bulan dan tahun, tetapi kehidupan abadi di akhirat nanti.

Bukan pula sekadar perbuatan baik, tetapi apakah perbuatan baik itu termasuk ke dalam sesuatu yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya. Jangan sampai kita merasa sudah berbuat banyak kebaikan, ternyata saat diperhitungkan itu tak masuk hitungan karena tidak sesuai dengan ketentuan dan syarat. Sungguh itulah kerugian terbesar karena kita telah menyia-nyiakan waktu di dunia ini untuk perbuatan baik yang tak mendatangkan pahala.

Oleh karena itu, salah satu resolusi yang hendak aku jalankan untuk tahun berikutnya dari sisa usiaku adalah menelaah kembali mana kegiatan yang memang mendatangkan manfaat, untukku, keluargaku, dan masyarakat sekitar. Terutama kegiatan yang Allah sukai agar mendapatkan kasih sayang itu secara penuh.

Bisa jadi semuanya tidak mudah karena masih banyak godaan yang menerpa di sela-sela kehidupan. Hawa nafsu yang selama ini sudah mengakar tentunya tidak mudah untuk disingkirkan. Namun, bukankah kita butuh berusaha terus-menerus agar hal baik menjadi sebuah kebiasaan.

Setelah 34 tahun menjalani kehidupan, maka ulang tahun kali ini rasanya penuh dengan makna yang tak biasa. Memberi makna ulang atas ujian yang terjadi selama setahun ke belakang, mengilhami lagi tentang pelajaran yang ingin diberikan Allah kepada diri ini di sisa usia yang ada. Terpenting adalah mencari cara bagaimana Allah merahmati setiap perbuatan yang akan ada ke depannya.

Rahmat Allah sungguh besar untuk manusia yang kecil seperti kita. Memulai dengan mensyukuri kalau hari ini masih bisa bernapas untuk mendapatkan pahala baru, bisa menjadi langkah awal. Lalu, temukan kebaikan yang bisa dilakukan secara konsisten, meskipun kecil. Semoga itu menjadi jalan untuk mendapatkan kebaikan besar di akhirat kelak.

Happy 34, Happy Me, Happy Life!

Kenihilan Hidup

Hidup adalah kosong, kosong adalah hidup.

Secuplik kalimat ini selalu terdengar saat dulu menonton serial “Kera Sakti”. Namun, tak pernah berusaha paham apa maksud dari kata-kata itu karena memang bukan agama yang dianut.

Akan tetapi, sekarang mencoba mengucapkan kalimat ini lamat-lamat. Meskipun bukan ajaran, tetapi pasti kalimat ini berarti banyak hingga menjadi sesuatu yang sering diucapkan Biksu Thong kala murid-muridnya mulai khilaf.

Kali ini saya mencoba memaknainya dengan sudut pandang dari agama saya tentunya, Islam. Bagaimana bahwa kehidupan ini bisa terasa kosong dan fana, serta sebuah kekosongan, ketiadaan malah membuat kita menjadi lebih hidup.

Photo by Pixabay

Hidup Adalah Kosong

Sepanjang kehidupan, kita akan merasa ada banyak yang hal yang dikejar. Lingkungan menuntut kita mengejar sesuatu, sehingga kita didesak untuk terburu-buru.

Harta, kekayaan, kedudukan, pasangan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Namun, pernahkah setelah mendapatkan semua capaian hidup ini, hati tetap merasa kosong?

Saat berusaha menggapainya, motivasi kita pasti sangatlah besar. Misalnya saat dulu masih kuliah, sebagian besar kita ingin cepat lulus, menemukan pekerjaan, mapan, lalu menikah.

Semua seakan sudah seharusnya demikian, diatur demikian. Kalau satu terlewat atau melenceng dari apa yang dikatakan “normal” langsung dianggap aneh.

Jadi, setiap orang berlomba-lomba untuk mengikuti aturan tidak tertulis yang ditetapkan masyarakat itu.

Namun, pernahkah setelah mendapatkan itu semua, hati ini terasa kosong. Seperti berkata pada diri sendiri, “Lalu apa?”

Bahkan menyesatkan kita makin dalam ke arah yang entah ke mana. Mendaki dan terus mendaki seakan tak henti untuk haus mendapatkan kebaikan duniawi tersebut.

Nyatanya rasa haus yang membuat merasa terus kekurangan itu malah menjerumuskan pada hal yang tak pantas.

Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, tahta, wanita. Tidak peduli lagi akan batasan norma dan aturan. Mendobrak dengan beralasan “aku ingin” yang tak bisa dibendung akal sehatnya.

Pada akhirnya hidup yang bersifat duniawi itu tak menyisakan bekas. Ketika pergi dari dunia menuju peristirahatan, yang ada semua ditinggal tanpa sisa.

Menjadi rebutan bagi yang ditinggal. Melupakan tiap jasa kita yang sudah mendapatkannya.

Oleh karena itu, hidup menjadi kosong. Tak ada kebaikan di dalam menimbun hidup duniawi. Tanpa kejelasan sampai mana kita menumpuk harta, mengusung jabatan, mendapatkan wanita. Ternyata semua menjadi sia-sia. Kosong belaka.

Dari sini saya sadar. Dalam Islam pun kita diajarkan untuk menahan hawa nafsu. Mengambil secukupnya dari hak kita. Tidak berlebih-lebihan.

Bahkan ada sebuah kisah dari seorang sahabat nabi yang ketika diberitahu kalau orang kaya adalah orang yang paling akhir masuk surga, ia pun langsung menyedekahkan hartanya dengan berharap hartanya akan segera berkurang.

Sikap ini tentu menunjukkan, apalah artinya banyak harta dan kuasa jika itu hanya membuat kita tertahan masuk ke surga-Nya.

Kekosongan yang terasa ketika kita telah mendapatkan semua impian kita menunjukkan kalau ada yang salah dalam niat kita selama ini untuk menggapainya.

Cobalah mulai meniatkan ulang upaya untuk mengejar kehidupan duniawi itu dengan sesuatu yang lebih abadi. Misalnya, menggapai kekayaan agar bisa bersedekah lebih banyak.

Mencapai kekuasaan agar benar-benar bisa mensenahterakan rakyat, bukan sekedar janji-janji semata.

Sebab semua itu adalah amanat yang tidak sembarang. Bukan sesuatu yang patut dibanggakan, apalagi ketika kita salah langkah memanfaatkannya.

Kosong Adalah Hidup

Kebalikannya, saat kita hidup minim tanpa harta, kadang terasa di situlah hidup yang sebenarnya.

Saat tanpa harta dan kekuasaan, di situlah kita tahu siapa saja yang tulus untuk bersama kita. Bahkan membuat kita paham akan kesia-siaan atas segala sesuatu yang kita selama ini anggap penting.

Sebagai contoh, teladan kita umat Muslim, Rasulullah saw saja hidup dalam kesederhanaan luar biasa. Padahal ia punya akses yang dekat untuk mendapatkan harta pun punya kekuasaan atas umat.

Namun, ia menunjukkan bagaimana seharusnya kita hidup sebagai seorang umat. Sederhana dan mensyukuri tiap kepemilikan kita dengan sebaik-baiknya.

Di tengah ketiadaan harta dan kuasa, kita mungkin menemukan hal lain yang selama ini telah hilang, waktu luang dan kebersamaan.

Berapa banyak anak-anak di tengah keluarga kaya yang bergelimang harta harus kehilangan kehangatan keluarga dan beralih ke jalan yang salah?

Sibuknya orang tua akan kepemilikan duniawi, membuat mereka terabaikan. Padahal pencarian rezeki itu dialasankan untuk kebahagiaan anak. Akan tetapi, pernahkah bertanya kepada anak, “Bahagiakah kamu?”

Waktu dan kebersamaan yang hadir menggantikan kekayaan duniawi, ternyata bisa menghadirkan kehidupan. Hidup yang lebih bermakna dan berharga.

Suatu hari saya pernah membaca sebuah kisah tentang penjual rujak. Di kala waktu senggangnya menunggu pembeli, ternyata ia mengisi dengan bertilawah Al-Qur’an.

Membaca itu aku tersentak. Mengapa kita yang sudah punya banyak malah tak punya waktu berinteraksi dengan kitab kita, barang hanya 10-15 menit saja?

Kita sibuk, mencari kenikmataan dan kebahagiaan duniawi. Padahal setelah merengguh kenikmatannya, semua terasa biasa saja.

Saat orang lain bilang bahagia jalan-jalan. Buat saya sendiri, tak merasa begitu. Bahagianya hanya sesaat, berakhir dengan kekosongan kembali.

Memenuhi kekosongan duniawi dengan hal yang lebih ruhawi, itulah mungkin hidup yang sebenarnya. Ketiadaan membuat kita lebih mendekat kepada Tuhan. Menemukan arti kehidupan.

Ketika tiada apa-apa, kita baru sadar harta paling berharga adalah keluarga yang selama ini kita tinggalkan untuk pekerjaan dan kenikmatan.

Oleh karena itu, jadikanlah hidup ini benar-benar hidup. Meskipun tidak benar-benar “kosong”, tetaplah mengisinya dengan sesuatu yang membuat hidup ini lebih hidup.

Saat kosong, kita tak dipermainkan nafsu untuk mengejar sesuatu. Lebih rasional untuk berpikir “perlu” atau “ingin”. Lebih mengenali, saat ini sudahkah kita memberi lebih untuk jiwa kita?

Paling baik tentunya kita menjadi orang yang “kaya” di dunia sekaligus tidak merasa “nihil.” Menjadi orang yang mampu merengkuh nikmat dunia sekaligus nikmat akhirat.

Namun, seyogyanya memang manusia itu sulit mendapatkan keduanya. Tinggal kita yang memilih, mau yang “hidup adalah kosong” atau “kosong adalah hidup.”

Keduanya jalan yang sudah disiapkan untuk kita, maka pilihlah dengan bijak. Sebab kita tak hanya hidup untuk hari ini semata.

Lima Kunci Menyesuaikan Diri dengan Kehidupan

Tak ada yang bisa membendung dinamika kehidupan. Sayang, kita tak punya kuasa untuk mengubah dunia. Adanya kita yang terus belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan.

Photo by Aziz Acharki on Unsplash

Ada banyak karakter yang manusia miliki. Tiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun, ada beberapa karakter yang terbukti mampu membantu kita untuk berhadapan dengan beragam masalah.

Apa saja karakter itu?

Terbuka Terhadap Perubahan

Diambil dari teori kepribadian Big-Five Personality Traits, ada satu trait atau sifat yang berperan ketika seseorang menghadapi hal baru, yaitu terbuka terhadap perubahan (openness to change).

Keterbukaan ini penting agar kita tidak terlalu kaku terhadap semua kejadian hidup kita. Hidup yang sungguh dinamis, memungkinkan kita berhadapan dengan perubahan-perubahan di luar rencana kita.

Dengan demikian, kita membutuhkan karakter yang mampu membuka pikiran atau sudut pandang kita ketika bertemu beragam situasi. Fleksibel untuk berhadapan dengan semua situasi yang mungkin muncul dalam kehidupan kita.

Keterbukaan ini bukan hanya kita mampu memiliki sudut pandang berbeda, tetapi juga terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru.

Sebagai contoh, seriing bertambah majunya teknologi, selalu ada aplikasi baru yang menuntut untuk kita pejari. Oleh karena itu, kita harus mampu membuka diri demi memperlajarinya.

Bukan hanya untuk mengikuti zaman, tetapi juga menambah daftar keterampilan yang kita miliki untuk menunjang kehidupan.

Terampil Menyelesaikan Masalah

Permasalahan yang tidak akan luput dari kehidupan sehari-hari tentu butuh diselesaikan. Jadi, kita pun butuh terampil menelaah, bagaimana cara menyelesaikan semua permasalahan itu.

Mungkin terlihat sederhana, tetapi untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan kemampuan berpikir tinggi, menganalisis serta menemukan alternatif-alternatif penyelesaian masalah tersebut.

Setiap masalah tentu berbeda jalan keluarnya. Mahir untuk menemukan setidaknya alternatif penyelesaian masalah merupakan salah satu kunci agar kita mampu mengatasi dinamika kehidupan.

Pandai Berkomunikasi

Komunikasi adalah kunci penting lain untuk melancarkan kehidupan kita. Setiap permasalahn yang berhubungan dengan individu lain, pada akhirnya berujung pada permasalahan komunikasi.

Saat ada banyak kesalahpahaman dalam pernikahan, artinya komunikasi kita dengan pasangan ada masalah.

Saat ada masalah dengan saudara atau orang tua, berarti komunikasi kita dengan mereka ada kendala.

Begitu pula di pekerjaan, masalah pun bisa terjadi karena komunikasi yang tidak efektif baik antara atasan-bawahan, sesama rekan kerja, dsb.

Pentingnya komunikasi ini membuat kita haruslah belajar agar pandai berkomunikasi dengan banyak pihak. Kapan waktunya kita menjadi “yes man”, kapan waktunya kita berargumentasi, kapan waktunya kita untuk diam dan mendengarkan.

Kelihaian kita memainkan teknik-teknik berkomunikasi akan membuat kita lebih fleksibel dalam menghadapi beragam permasalahan yang kita hadapi.

Selalu Penuh Harapan

Hope, atau harapan, menjadi karakter dasar yang menunjang kita untuk optimis terhadap masa depan. Tanpa adanya rasa optimis ini, tentunya kita akan mudah menyerah saat berhadapan dengan ujian atau masalah.

Harapan menggiring kita untuk memiliki orientasi pada masa depan. Menyingkirkan masa lalu yang mungkin masih menarik kita untuk berjalan di tempat. Membuat kita ingin berjalan atau bahkan berlari ke arah yang lebih baik.

Saat mengalami musibah, harapan menjadi satu-satunya tempat kita menggantungkan keinginan. Tiadanya harapan membuat kita mudah berputus asa. Melupakan kalau kita sebenarnya masih punya masa depan yang menanti kehidupan ini.

Hidup terus bergerak ke depan dan harapan menjadi bagian dari penggerak itu. Di tengah keterpurukan, harapan membawa cahaya dan angin segar, bahwa semua masalah akan segera berlalu.

Beryukur dan Bersabar

Dua kata ini menjadi satu kunci terakhir dalam menghadapi beragam permasalahan kehidupan. Membuat kita lebih mudah menyesuaikan dengan kehidupan yang mungkin berjalan tidak pada rencana kita.

Bersyukur membuat kita menerima apa yang sudah kita miliki. Tidak menuntut apa yang kita tidak miliki. Serta mengikhlaskan segala sesuatu yang berada di luar perikiraan kita.

Sebaliknya, bersabar dibutuhkan ketika kita harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang kita rasa tidak tahu kapan selesainya. Saat permasalahan yang sama kembali datang bertubi-tubi. Membuat kita terpuruk dan bersedih.

Ketika keduanya dikombinasikan, maka kita dapat menghadapi baik dan buruknya kehidupan yang kita dapatkan. Ketika kebaikan datang kita bersyukur. Saat keburukan, kita bersabar. Jurus yang tidak akan habis untuk dilakukan sampai kapanpun.

Jika orang berkata sabar itu ada batasnya, saya sendiri merasa ini kurang tepat. Adanya kita yang memilih untuk kehilangan kesabaran. Membairkan hati ini sesak dengan hal-hal yang tak seharusnya kita keluhkan.

Syukur dan sabar adalah dua hal yang diajarkan Tuhan untuk kehidupan kita ini. Lewat keduanya, saya yakin kita semua bisa mampu menghadapi beragam perubahan yang terjadi di dunia ini.

Lima kunci ini memang tampaknya sederhana, tetapi sulit untu dilakukan. Apalagi ketika kita lebih mengedepankan keegoan kita. Berharap dunia yang berubah, bukan kita yang menyesuaikan diri.

Padahal apalah yang bisa kita lakukan? Bukankah kita ini hanya makhluk-Nya yang harus bisa ikhlas menerima ketentuan yang sudah ada.

Artinya, kita yang harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan kehidupan. Belajar untuk terus memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik. Bukan meratapi, bahwa dunia tidak seindah yang kita bayangkan.

Kita adalah pemegang kendali kehidupan, yang mengendalikan pikiran dan perasaan kita. Maka, menyesuaikan diri dengan kehidupan adalah tanggungj jawab kita sepenuhnya.

Kelima kunci ini hanyalah panduan. Menunjukkan kitalah yang harusnya memiliki semua kualitas ini. Agar nantinya kita mampu berkata, “Dunia tidak mengalahkanku, sebaliknya aku menguasai dunia.”