Pada akhirnya kita akan menjadi sosok yang terlupakan. Apalagi setelah kepergian kita dari dunia ini. Maka, apa yang kamu perjuangkan menjadi bagian dari kehidupan orang lain? Padahal mungkin kamu tak sedikit pun menyisa di hati mereka?
Namun, hidup di dunia ini selalu berkaitan dengan muamalah kita kepada orang lain. Bagaimana kita berbuat baik dan buruk, adil atau tidak. Semua akan menyisakan jejak yang mungkin tidak bisa kita hapuskan dari catatan amal kita. Menjadi penentu akan masuk ke manakah kita nantinya, surga atau neraka?
Namun, sudah cukupkah kebaikan kita kepada orang lain itu yang akan menambah timbangan?
Aku merasa sangat iri kepada para sahabat Rasulullah saw. yang dikenal oleh sedikit manusia di dunia, tetapi begitu dikenal oleh penduduk langit. Ia tidak menampilkan diri kepada khalayak, menyembunyikan amalnya, tetapi keikhlasannya dalam beribadah telah membuatnya memiliki tiket langsung menuju surga.
Sebaliknya, di zaman sekarang orang berlomba-lomba menjadi terkenal. Kalau tidak terkenal sepertinya hidup tidak berarti. Akhirnya, berujung pada banyaknya yang stres karena merasa tidak menjadi siapa-siapa. Tidak dikenal, tidak dipedulikan, tidak diperhatikan.
Yah, begitulah kita sibuk mencari pengakuan manusia. Sehingga ketika tidak mendapatkan hati begitu sedih luar biasa. Sebaliknya, kita mengabaikan Allah karena merasa Ia tidak nyata. Padahal saat kita diabaikan oleh manusia-manusia itu, sesungguhnya saat itu Allah sedang menunggu kita untuk menemuinya. Allah tidak mau kita terlalu memperhatikan manusia lain, sehingga melupakan-Nya.
Namun, lagi-lagi kita tidak menyadarinya. Makin menganggap diri kita tidak berharga, sehingga makin tenggelam dalam ketidakberdayaan. Berenang dalam keputusasaan sampai tidak menemukan lagi arti kehidupan. Terjerat oleh nafsu untuk ditemukan, padahal memang manusia itu bukan tempat bergantungnya kita.
Berat memang untuk melepas jeratan perhatian manusia. bahkan ketika kita mungkin sudah terlupakan oleh manusia lainnya. Masih berharap kalau diri ini menyisa sedikit di hati mereka. Berharap kalau suatu hari mereka akan menghubungi kita dan bisa kembali bercanda seperti saat dulu berteman lama.
Akan tetapi, tetap saja yang menggenggam hati manusia itu Allah saja. Bukan kita yang emmbuat akhirnya mereka akan selalu ingat kita. Melainkan Allah yang membuat mereka akhirnya bisa ingat kita atau tidak. Allah yang memunculkan kita di hati-hati mereka. Termasuk saat kita sedang terpuruk sekalipun. Di saat kita sudah benar-benar merasa tidak ada lagi manusia yang akan menyadari kehadiran kita, Allah utus manusia dengan hati mulia yang akan membantu kita keluar dari jurang keputusasaan itu.
Sayangnya, kita selama ini terlalu fokus pada satu atau dua orang saja. Padahal bisa jadi mereka belum tentu orang yang tepat untuk memenuhi hari-hari kita. Bisa jadi mereka tidak pas untuk kehidupan kita, sehingga Allah menghilangkan mereka dari hidup kita.
Lagi-lagi kita butuh untuk meyakini kalau hilangnya orang-orang yang kita pikir merekalah sumber kasih sayang kita, bukan berarti kita sudah menjadi benar-benar sendiri. Bisa jadi itu cara Allah untuk menyadarkan kita kalau diri ini sudah terlalu bergantung pada manusia untuk menjadi bahagia. Ia mengambil mereka dari kita sebagai cara untuk mengembalikan hati ini agar terisi penuh oleh kehadiran Allah Swt.
Janganlah takut dengan hilangnya manusia-manusia itu. Malah takutlah kalau kita terlupa kepada Allah karena sibuk menduakan-Nya dengan manusia lain. Misalnya, terlalu bergantung kepada orang tua untuk mendapatkan pertolongan semangat, sehingga ketika keduanya tiada kita sedih berlebihan. Artinya, kita sudah memberikan ruang untuk orang tua itu lebih besar daripada Ia. Menjadikan kita terlupa kalau Allah sebagai satu-satunya tempat mengadukan kesedihan.
Maka, biarlah kita terlupa oleh manusia, tetapi jangan sampai kita terlupakan oleh Allah Swt. Ketika itu terjadi kita sudah menjadi manusia paling rugi di atas bumi. Terlupakan dalam arti, Allah membiarkan kita mendapatkan apa saja yang kita inginkan, tetapi sebenarnya tidak Allah ridai. Jika sudah begitu, apalah arti menjadi manusia. Tak ada gunanya menjadi orang terkenal dengan ratusan juta penyuka. Nyatanya Sang Pencipta tidak lagi mencintai kita. KJalau begitu, bagaiman nasib kita di akhirat sana?