Jurnal Buncek #17 Tahap Kupu-kupu 2: Menemukan Mentor-Mentee

Setelah mengeset diri menjadi mentor, pekan ini waktunya untuk mulai pencarian mentor pribadi maupun mentee. Sampai detik waktunya formulir pendaftaran mentee dibuka aku masih bingung mau memilih ilmu apa yang ingin dipelajari. Maka, ketika menengok kembali peta belajar yang pernah aku buat.

Hampir semua aspek dari peta belajar tentnag mengelola emosi ini sudah aku lakukan. Mencoba menerapkan terapi emosi, mengelola tugas/waktu agar lebih stabil secara emosi, bahkan di tahap kepompong kemarin mencoba mengendapkan pengelolaan emosi ini ke salah satu petunjuk yang paling utama, yaitu Al-Qur’an. Belum lagi mencoba menjalani program puasa bersikap emosional dengan berkata baik atau diam saja. Aku merasa sudah semua aku jalani, tinggal bagaimana caranya melakukan semua itu secara konsisten di perjalanan kehidupan berikutnya.

Setelah ditengok-tengok lagi, ternyata yang belum lengkap adalah pembelajaran tentang mengelola diri, khususnya tentang tidur, makan, dan olahraga. Akhirnya, aku memutuskan mencari mentor yang bisa memberikan bantuan untuk melakukan ketiga hal ini.

Namun, setelah mengulik-ulik dari album mentor memasak, ternyata yang diincar semua sudah taken. Hehe, sempat panik, dong. Yah, wajar saja karena memang baru mencari secara serius setelah pertempuran perebutan mentor di waktu pembukaan formulir pengisian mentee. Semua mentor yang terlihat cetar sudah terambil orang teman-teman yang gerak cepat.

Kemudian, aku beralih ke album mentor “lain-lain,” maksudnya adalah para mentor yang isi ilmunya berada di luar kategori album mentor lainnya. Kemarin saat melirik sebentar album ini aku menemukan hidden gem yang tidak disangka-sangka. Keahlian para mentor yang tidak tertangkap oleh album lainnya. Ternyata di album ini aku menemukan beberapa yang sesuai kebutuhan. Utamanya tentang memasak, gizi, dan dapur. Selain itu, ada juga tentang terapi fisik yang memang dirasa aku butuhkan selain pembelajaran tentang olahraga.

Sampai aku menemukan satu CV yang dari pencarian sebelumnya juga sempat menarik perhatianku. Seorang dokter, general practicioner, yang sekarang berdomisili di Australia. Mba Maya Divina. Salah satu poin yang menarik dari CV yang dibagikannya adalah tentang pendalamannya mengenai ilmu geriatri.

Well, aku sendiri merasa sedang butuh ilmu ini. Walaupun dulu juga belajar tentang ilmu geriatri di psikologi perkembangan, tetapi ingin tahu dari ahlinya juga. Apalagi Mba Maya adalah seorang dokter umum yang memang berpraktik di sana. Artinya ia tidak hanya sekadar tahu, tetapi juga menghadapi secara langsung pasien-pasien ini.

Sebagai seorang psikolog, aku meyakini bahwa perubahan diri menyangkut aspek bio-psiko-sosio-spiritual. Aspek biologis menyangkut kondisi tubuh kita, mulai dari tidur, asupan makanan yang masuk, pergerakan, dan sebagainya. Aspek psikologi berkaitan dengan segala sesuatu yang berujung pada kestabilan emosi, pikiran, dan perilaku. Aspek sosial yaitu berkaitan dengan hal-hal sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana lingkungan memberikan dukungan terhadap perubahan diri kita. Terakhir, aspek spiritual, yaitu bagaimana kita memaknai kekuatan di luar diri kita ternyata mengendalikan kehidupan ini.

Dalam perjalanan mengelola emosi, aku banyak fokus dalam aspek psikologi dan spiritual. Tertuang dalam prosesku dari tahap ulat sampai kupu-kupu. Lalu, bagaimana kedua aspek lain?

Aku merasa bisa mendapatkan bantuan dari Mba Maya. Ilmu geriatri bisa mendukungku untuk memahami lebih lanjut kondisi sosial yang aku miliki saat ini terkait orang tua. Karena aku menyadari kondisi orang tua saat ini yang paling menggerus kondisi emosionalku. Kemudian, jika memungkinkan ada ilmu lain yang juga dimiliki Mba Maya, yaitu tentang kesehatan anak dan gizi yang juga menjadi perhatianku saat ini. Salah satu aspek yang juga menentukan kestabilan emosiku.

Dengan demikian, saat meminang aku mencoba menitikberatkan pada dua hal ini. Betapa aku membutuhkan kedua hal ini dalam kehidupanku. Keilmuan langka yang dimiliki oleh Mba Maya aku harapkan mampu memberiku lebih banyak pelajaran terkait masalah yang aku hadapi saat ini. Belum lagi, beliau adalah seorang dokter yang berpraktik di luar negeri, bisa menjadi tambahan ilmu lain yang bisa aku dapatkan ke depannya.

Jadi, aku merasa bersyukur menemukannya. Ini adalah sebuah takdir, sebuah langkah yang Allah buatkan dan aku yakin ada kebaikan ke depannya. Semoga perjalananku di tahap kupu-kupu ini bisa lebih baik dari tahapan sebelumnya.

Terima kasih, Mba Maya sudah menerima diriku sebagai mentee-mu.

Saatnya Menjadi Mentor: Menulis untuk Memaafkan

Sekarang sedikit cerita perjalanan mendapatkan mentee dalam topik yang aku angkat “Memaafkan lewat Tulisan.” Seperti yang aku ceritakan kemarin sebenarnya topik ini cukup berat karena bisa menjadi satu sesi untuk terapi sendiri. Rasa “berat” ini aku baru rasakan setelah mengunggah CV, duh, kebiasaan ya selalu telat menyadari.

Oleh karena itu, aku memang mencari mentee yang memang memiliki keseriusan untuk menjalani proses ini. Sebab, proses memaafkan, mau dengan cara apapun adalah langkah yang berat. Kita akan berhadapan dengan kondisi-kondisi yang mungkin selama ini sudah bikin kacau jiwa dan raga kita. Dengan demikian, aku hanya ingin menerima mentee yang sudah betul-betul siap untuk menjalani proses ini.

Cukup terkaget karena baru saja setengah jam berlalu dari waktu pembukaan sudah dua yang melamar. Walau batas penerimaan mentee memang dua, harapannya, sih gak banyak-banyak yang mendaftar, he-he-he.

Dari kedua mentee ini, portofolionya cukup menarik. Keduanya terlihat sangat tertarik untuk menjalani topik yang aku angkat. Pertanyaannya, seberapa siap mereka?

Mba Agi, yang pertama mendaftar ternyata sudah cukup banyak menuliskan perihal menulis untuk menyembuhkan luka. Ia melampirkan beberapa portofolio tulisannya terkait hal ini. Sebuah tawaran yang menarik karena aku memang butuh mentee yang sudah terbiasa menulis, sehingga bisa mengeksplorasi rasa yang dimiliki. Sebab, tidak banyak orang yang merasa butuh untuk memaafkan, tetapi mampu menulis dengan baik.

Setelah beberapa pertanyaan terkait motivasi dan alasan mendasar untuk menjalani proses memaafkan ini, akhirnya aku menerimaan Mba Agi sebagai mentee. Well, pada dasarnya aku itu sulit menerima orang, jadi memang tinggal merasa cocok gak ya dalam hati.

Kemudian, mentee kedua yang mendaftar adalah Mba Anne. Selama berada di hutan kupu-kupu aku sudah beberapa kali berhubungan dengan Mba Anne. Mulai jadi narasumber untuk kelompok self-care tempat ia berada. Sampai berlanjut hubungan di acara perkenalan teman-teman di kupu cekatan. Dari percakapan itu aku mendapati Mba Anne orang yang cukup gigih untuk berjuang memperbaiki dirinya.

Saat portofolio diserahkan, aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai proses yang sudah dia lakukan. Satu yang menarik untukku adalah dia telah menyelesaikan “jurnal syukur” selama 30 hari di tahap kepompong kemarin. Ini merupakan sebuah kunci lain, yaitu konsistensi. Kemampuannya untuk konsisten membuatku menerimanya menjadi mentee dengan harapan ia mampu menjalankan proses memaafkan ini sebaik jurnal syukur yang sudah ia lakukan.

Sebagai seorang psikolog, aku terkadang ingin membantu lebih banyak orang, tetapi apa daya kemampuan dan waktu yang kurang. Dengan demikian, aku merasa cukup puas saja mendapatkan kedua mentee ini. Semoga ke depannya proses mentoring bisa berjalan dengan lancar dan keduanya bisa mendapatkan sedikit dari apa yang bisa saya bagi ini.

Selanjutnya, tinggal lanjut untuk menyelesaikan tantangan membagikan pengalaman sebagai mentor. Semoga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada para mentee tentang proses yang bisa mereka lakukan selama beberapa pekan ke depan.

Ganbatte ne.

Bismillah.

Jurnal Buncek #16 Tahap Kupu-kupu 1: Menjadi Mentor

Semua guru, semua murid.

Setelah menjalani banyak peristiwa dalam hidup ini, akhirnya memahami bahwa kita bisa belajar dari mana saja. Bahkan dari waktu, kejadian, maupun orang yang tidak pernah dengan sengaja kita berguru kepadanya. Ilmu yang selama ini mungkin menurut kita sederhana, ternyata bisa saja menjadi jalan kebaikan bagi orang lain.

Maka, sebagai tahap pertama di kupu-kupu Bunda Cekatan #6 ini adalah mengajukan diri sebagai mentor. Menjadi seseorang yang berbagi kebaikan kepada orang lain. Karena sebaik apapun ilmu yang kita miliki kalau tidak pernah dibagikan, tidak akan pernah berkembang.

Buat aku, karena selama ini sudah pernah bekerja di posisi sebagai “mentor” baik ketika menjadi dosen, psikolog maupun penulis, sebenarnya tidak masalah untuk menjadi seorang mentor. Malahan semangat berbagi ini begitu menggebu-gebu karena kebutuhan untuk membantu orang lain itu begitu mendarah daging. Namun, pertanyaannya aku mau menjadi mentor dalam bidang apa?

Selama ini selalu berasa menjadi seorang yang “palu gada”, apa yang kamu mau aku ada/bisa. Setiap kali diminta mengisi bahasan psikologi selalu setuju saja. Ketika ada pertanyaan yang terkait psikologi pun selalu berusaha menjawabnya dulu, baru merujuk kepada yang lebih ahli jika ingin jawaban lebih baik. Jarang sekali untuk langsung merujuk, kecuali memang di luar kemampuan.

Jadi, ketika memilih apa yang mau dibagi, agak bingung. Bukan karena tidak ada, tetapi inginnya sesuatu yang unik dan memang bisa membantu. Kalau ikut kata Magika, personal branding-nya apa?

Saking bingungnya lalu menanyakan seputar branding ini di status WA. Beberapa menjawab dengan pekerjaan, ada juga yang menjawab dengan sifat. Hmm, menarik, ya. Ternyata memang profesi sebagai psikolog sudah cukup melekat. Beberapa yang menjawab seputar profesi ini adalah orang-orang yang memang baru berinteraksi setelah aku bekerja sebagai psikolog dan mengisi beberapa seminar.

Sebaliknya, yang menjawab dengan sifat adalah mereka-mereka yang berinteraksi denganku sebelum mengambil profesi psikologi. Baik itu teman kuliah maupun orang yang mengenalku ketika masih dibangku sekolah. Imaji yang mereka dapatkan tentangku itu tak salah juga. Bahkan membangkitkan semangatku lagi karena akhir-akhir ini merasa tangkapan mereka atas gambaran diriku itu tidaklah benar. Well, aku memang sempat di masa krisis kemarin.

Akhirnya, satu jawaban yang cukup melekat adalah jawaban dari salah satu mentor menulis yang dulu adalah mahasiswaku di kampung halaman. Jawaban psikolog yang menulis mungkin memang menggambarkan diri ini sekarang. Dengan demikian, aku menimang-nimang apa yang bisa aku bagikan dengan menggabungkan dua poin ini.

Finally, setelah perenungan cukup lama memilih topik yang memang sudah cukup mendarah daging dalam diri. Memaafkan lewat menulis. Alasannya, topik ini adalah satu dari sekian banyak topik psikologi yang sangat aku sukai. Isu ini pula yang masih aku angkat hingga hari ini. Kemudian, aku ingin sekali lagi memanfaatkan keterampilan menulis menjadi bagian dari proses berbagi ini. Tadinya, mau menjadi mentor menulis saja, tetapi terasa kurang greget karena terlalu umum. Makanya, topik ini terasa pas sekali.

Ini bukan pertama kali menjadi mentor dalam topik pemaafan. Tahun 2019 akhir kemarin aku menerbitkan satu buku kolaborasi bersama teman-teman yang berhasil menulis tentang proses memaafkannya kepada ibu yang tak sempurna. Sebuah buku berjudul Melepas Luka menjadi salah satu buku yang sangat aku sukai. Karena dalam buku ini tidak hanya memuat cerita masing-masing penulis yang ikut serta, tetapi juga teori-teori tentang proses memaafkan pun aku masukkan.

Alhasil, sekarang aku ingin kembali merajut mimpi yang sudah berulang kali aku coba tanamkan dalam diri. Membantu orang lain dalam proses memaafkan dan menerima diri. Semoga dengan menjadi mentor dalam tahap kupu-kupu ini bisa menjadi salah satu langkah menuju jalan itu. Semoga Allah meridai langkah ini.

Oiya, kalau saja ini berhasil dan berjalan lancar, apakah mungkin setelah ini aku lebih percaya diri untuk membantu lebih banyak orang perihal ini, ya?

Semoga Allah yang memampukan dan memudahkan.

Jurnal Buncek #16, Tahap Kepompong 4: Always Be Positive

Hal terberat dalam menjaga hati adalah mengelola pikiran. Jadi, untuk pekan ini, dari perilaku yang tampak, aku bergerak ke ranah yang tak terlihat, yaitu pikiran. Kali ini aku mencoba untuk puasa berpikir negatif pada orang lain. Baik itu atas perilaku, ucapan, maupun keputusan orang lain yang berkaitan dengan kehidupanku.

Mungkin tampaknya sederhana, tetapi, duh, susahnya minta ampun. Apalagi kalau sudah punya skema yang buat kita jadinya berpikir negatif terhadap orang-orang tersebut. Butuh usaha ekstra untuk membentuk skema baru agar kita bisa jadi orang yang selalu berpikir positif.

Jadi, untuk pekan ini puasanya adalah mencoba untuk tidak terpengaruh atas perilaku, ucapan, maupun keputusan orang lain yang dasarnya dari pikiran negatif terhadap orang tersebut. Adapun kriterianya adalah:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 kali tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 kalitersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 kali tersulut berpikir negatif atas perilaku, ucapan, mapun keputusan orang lain.

Rasanya kriteria ini cocok sekali dengan situasi puasa ini. Mengelola hati dan pikiran agar tetap terjaga emosinya selama bulan puasa. Apalagi setelah perjalanan ke tanah haram kemarin, rasanya masih tidak mau merusak suasana hati dengan sesuatu yang buruk.

Lalu, bagaimana hasilnya?

Well, aku hanya berhasil sampai tahap very good. Jelas, karena susah sekali untuk mencegah pikiran negatif otomatis itu agar tidak muncul. Sesuai namanya, pikiran negatif otomatis, tentu semua itu hadir secara otomatis. Tidak ada hal yang bisa menghalanginya karena skema negatif itu sudah cukup terbentuk. Oleh karena itu, butuh pembentukan skema baru agar yang muncul adalah pikiran yang positif.

Setidaknya setiap hari 1-2 kali pikiran negatif itu hadir. Namun, setelahnya aku berusaha untuk mengganti pikiran negatif itu dengan hal-hal baik yang bisa aku dapatkan. Terutama sebuah mantra they don’t mean it, artinya mereka mungkin tidak bermaksud demikian, menyakiti atau menyinggung perasaanku. Mereka melakukan itu karena memang mereka memiliki cara berpikir dan sudut pandang yang berbeda denganku.

Selain itu, mencoba untuk tidak terpancing emosi secara berkelanjutan dengan mempraktikkan teknik pernapasan mendalam sungguh bisa bermanfaat. Dalam hal ini, tiap kali aku mulai berpikir negatif, aku mencoba menarik napas sedalam-dalamnya, kemudian mengembuskannya sedalam-dalamnya juga. Dalam proses ini entah mengapa semua yang buruk-buruk itu jadi ikut keluar dari dalam hati. He-he-he. Terutama ketika sebuah keputusan orang lain memunculkan setitik rasa sombong dalam hatiku, duh, berusaha langsung dibuang dengan semua napas itu.

Selain itu, aku berusaha mengingat-ingat kembali isi kajian yang sudah pernah aku dengar terkait hal ini. Begitu pula dnegan hasil tadabbur Al-Qur’an yang dilakukan akhir-akhir ini. Semua itu untuk menguatkan hatiku agar terus tetap berpikir positif dalam semua situasi.

Ini juga terdorong ketika suami berkata begini, “Kan sudah banyak ilmunya yang didapetin, jangan lupa di-install dan dipraktekkin.” Lagi-lagi, ya, kata-kata begini saja sudah bisa bikin hati ingin buru-buru diperbaiki biar ga larut terus-terusan.

Yap, yang lebih penting dari sekadar punya ilmu adalah praktik. Tentunya praktik ini akan berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada tahapan kepompong ini saja. Maka, setelah ini aku akan terus mempraktikkan sebisa mungkin semua kebaikan yang sudah didapatkan selama satu bulan terakhir. Baik dari proses puasa selama empat pekan ini, tadabbur Al-Qur’an, maupun perjalanan Ramadan selama satu bulan terakhir.

Tentunya ini bukan akhir, melainkan sebuah awal baru. Ini hanyalah lahan terapi, selanjutnya bagaimana mempraktikkan semua ini di dunia nyata, itulah ujian yang sesungguhnya.

Semoga tetap bisa istiqomah dalam kebaikan ini, selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi esok dan seterusnya hingga akhir hayat.

Psst… ini surat terakhir untuk buddy-ku.

Day 30 Qur’an Journaling: Takdir yang Menenangkan Hati

Pada akhirnya ke mana kehidupan ini akan berakhir? Allah sudah menggariskan setiap detik napas kita ini melalui Qadar-Nya. Sebuah ketentuan yang Ia buat jauh sebelum penciptaan bumi dan manusia. Maka, apalagi yang bisa kita perbuat atas ketentuan takdir ini?

Qur’an Journaling yang aku lakukan ditutup dengan satu surat, yaitu QS At-Taubah ayat 51. Sebuah ayat yang dikaji saat sedang mempelajari tentang Iman Kepada Qada dan Qadar.

“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

QS At Taubah 51

Dari ayat ini tersirat makna bahwa apa yang terjadi pada diri kita sudah menjadi bagian dari ketentuan Allah. Artinya apapun yang terjadi, baik, buruk, sesuatu yang mungkin tidak sama seperti orang lain. Maupun segala sesuatu yang berjalan tanpa pernah bisa kita prediksi, semua ada dalam ketetapan Allah. Keyakinan bahwa setiap yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izin-Nya, itulah yang membuat hati menjadi tenang.

Betul, ketenangan hati, itulah bentuk pengelolaan emosi yang sesungguhnya. Ketika hati tenang, qolbu tidak ada masalah, tidak akan ada lagi emosi yang tidak stabil menghampiri kita. Bukankah selama ini yang membuat kita sibuk berurusan dengan emosi itu karena merasa tidak nyaman dengan kejadian yang di luar perkiraan? Ketidaknyamanan yang hadir karena merasa ada yang kurang tepat saat sebuah peristiwa terjadi.

Saat sudah memiliki keimanan penuh terhadap qada dan qadar, tidak akan ada lagi rasa sedih dan marah terhadap masa lalu. Karena apa yang sudah terjadi, memang qadarullah terjadi atas kehendak Allah. Semua sudah terjadi atas kehendak-Nya, sehingga sebagai manusia apa lagi yang bisa kita lakukan?

Jikalau masih marah, sebenarnya marah untuk apa? Apakah itu akan mengubah masa lalu? Jika mau bersedih, mau sampai kapan, apakah itu pun akan mengubah masa lalu itu?

Seringkali kita fokus pada takdir yang sudah terjadi, tetapi lupa mengambil hikmah dari kejadian itu. Baik maupun buruk, Allah sudah siapkan jawaban kebaikan di baliknya. Hanya saja kita yang seringkali terpaku pada keburukannya saja, tetapi tidak bisa bersabar untuk mencari kebaikan di baliknya.

Begitu pula dengan masa depan, sampai kapan ingin merasa cemas? Mengapa harus khawatir? Bukankah ada takdir Allah swt yang memang menanti. Sesederhana takut esok akan makan apa. Jika demikian, berarti kita tidak memercayai bahwa janji Allah untuk memberi rezeki itu adalah pasti.

Terlalu sibuk khawatir dengan hari esok membuat hati menjadi lemah. Berlebihan dalam memikirkan semua kemungkinan yang belum tentu akan terjadi. Yah, kalaupun terjadi, langsung menyesali karena tidak bisa mengantisipasi. Padahal kita ini siapa? Apakah kita ini Tuhan yang bisa memprediksi setiap jengkal kemungkinan kehidupan kita?

Bahkan dalam perhitungan statistik yang menggunakan prediksi saja ada level of error, artinya ada kemungkinan kesalahan yang terjadi selama perhitungan. Faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan, yang bisa menyebabkan kesalahan itu, tidak akan pernah bisa diprediksi. Dalam ilmu perilaku sendiri dibolehkan kesalahan terjadi setidaknya 5%. Lima dari seratus orang mungkin hasilnya akan berbeda dari kesimpulan perhitungan.

Jadi, sah-sah saja kan kalau kita memang tidak perlu memikirkan hari esok itu dengan berlebihan? Toh, apa yang terjadi esok saja itu hanya hasil dari perkiraan. Bahkan kalaupun yang kita pikirkan itu terjadi, detail dari kejadian itu akan selalu berada di luar perkiraan. Contohnya, kita mungkin sudah menyusun rencana esok akan melakukan kegiatan apa saja. Tetap yang bisa kita tentukan hanyalah garis umum kegiatan kita esok hari, melakukan hal baru atau menjalankan rutinitas saja, tetapi tidak bisa memperkirakan sampai detail kejadiannya seperti apa.

Gambaran lainnya, jika tinggal di Jakarta kita terbiasa dengan kemacetan setiap harinya, tetapi apakah mobil kita akan mengantri dalam urutan yang selalu sama setiap harinya? Tentu tidak. Beberapa kali kita mungkin menemui mobil yang sama karena jam keberangkatan yang selalu tidak jauh berbeda dengan kita. Namun, selebihnya kita tidak pernah bisa memprediksi sedetail itu.

Jadi, dibanding sibuk memikirkan beragam kemungkinan yang belum terjadi itu, mengapa tidak memasrahkan kehidupan itu hanya kepada Allah semata? Bahwa Allah telah menentukan masa depan kita seperti apa. Tinggal kita, maukah menjalankan ibadah sebaik-baiknya agar takdir itu bergulir menghampiri kita.

Ya, bukan cuma ikhtiar yang mampu untuk mendatangkan takdir itu. Ada pula doa yang bisa membuat takdir itu diubah. Hanya dengan kekuatan doa yang sungguh-sungguh bisa mengubah keburukan yang mungkin terjadi. Tinggal kita meyakini, saat memang sesuatu yang kita khawatirkan itu tetap terjadi, meyakini itu adalah kehendak Allah adalah satu-satunya jalan untuk tetap tenang.

Mungkin perjalanan mentadabburi Al-Qur’an ini tidak akan berhenti sampai di sini. Selanjutnya, agar lebih bisa mendalami ayat-ayat Allah aku berencana untuk mengisi hari dengan setidaknya satu kajian sehari. Kemudian, membuat rangkumannya agar bisa lebih dalam mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan lebih komprehensif dalam memahami, petunjuk-petunjuk-Nya.

Jurnal Buncek #15, Kepompong 3: Tidak Mendebat

Pekan ini termasuk pekan yang membuatku bersemangat. Selama 10 hari lamanya aku hanya akan berdua dengan suami pergi keluar kota. Artinya, ini waktu yang tepat untuk menguji puasaku di tingkatan berikutnya. Kalau pekan sebelumnya, masih bercampur praktik berkata baik atau diam kepada suami, anak-anak, maupun orang lain, maka kali ini benar-benar fokus kepada suami. Mau gak mau, karena memang cuma ada suami di sisi. He-he-he.

Indikatornya masih sama, ya. Cuma kali ini difokuskan pada suami saja. Utamanya adalah pada perilaku tidak mendebat atau menggerutu ketika suami bicara. Duh, sebagai istri perilaku satu ini tuh sebenarnya buruk sekali, ya. Namun, sering sekali dilakukan apalagi kalau merasa ucapan suami tidak sejalan dengan yang kita pikirkan atau kenyataan yang dirasakan.

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak mendebat/menggerutu suami sama sekali.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 kali mendebat/menggerutu kepada suami.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 kali mendebat/menggerutu kepada suami.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 kali mendebat/menggerutu kepada suami.

Ujian kali ini benar-benar menantang. Selama ini kami tidak pernah bersama berdua saja lebih dari dua hari setelah anak-anak lahir. Bisa dibilang perjalanan ini adalah perjalanan pertama kami hanya berdua saja. Iya, berdua saja, seperti orang bulan madu. Sebelumnya, kami belum pernah bulan madu yang memang berdua doang, he-he-he.

Maka, ini adalah kesempatan untuk menguji seberapa baik kami saling memahami satu sama lain. Terutama kali ini adalah mengurangi perilaku mendebat ini, he-he-he. Sebagai perempuan yang memang suka bicara, mendebat seperti hal biasa. Namun, aku sendiri sudah sering mendapat sinyal merah ketika suami merasa tidak senang atas perilaku satu ini. Sudah lama juga belajar untuk mengurangi perilaku mendebat ini biar suami merasa nyaman.

Jadi, ini adalah kesempatan baik untuk berusaha lagi menahan diri hanya berkata baik kepada suami. Bukankah bagaimanapun rida suami adalah rida Allah. Jangan sampai karena satu perilaku ini, membuat suami tidak rida kepada diri ini. Lalu, bagaimana hasilnya?

Sebenarnya secara umum perjalanan kami aman-aman saja. Tidak ada perseteruan yang berarti. Kadang-kadang masih ada sedikit usaha untuk mendebat, tetapi akhirnya diurungkan setelah sekali melakukannya. Menyadari lagi, bahwa mendebat bukan perilaku yang penting untuk dilakukan saat itu. Apalagi posisi sedang di tanah haram, duh, rasanya ngeri memikirkan kalau kata-kata buruk malah terjadi saat itu.

Hanya ada satu hari yang tidak cukup sukses. Ada banyak hal yang menyebabkan hari itu membuat puasaku tidaklah sempurna. Namun, semua berusaha distop tidak lebih dari tiga kali mendebat suami. Berusaha kembali mencerna kata-kata suami, sehingga jalan pikiran kembali lurus dan baik-baik saja.

Dari hasil puasa ini, kembali menyadari bahwa jangan-jangan selama ini ada saja hal tidak baik terjadi karena aku masih belum mendapatkan rida sepenuhnya dari suami. Atas perilaku otomatis yang kadang menyakiti hatinya. Jadi, usaha kali ini adalah usaha untuk itu, mendapatkan rida suami.

Terlihat sepele, bahkan kadang kita merasa benar atas perilaku kita. Namun, pernahkah terpikir suami belum tentu suka dengan perilaku kita. Terkadang aku berpikir, iya, sih menurut kita benar, kita memberi penjelasan, kita memberi keterangan, tapi untuk saat itu, bisakah kita cukup hanya berkata “Ya” agar hati suami menjadi tenang. Karena selalu ada alasan atas larangannya, perintahnya, atau sikapnya kepada kita. Semua adalah demi kita tidak terjebak dalam hal-hal buruk yang bisa saja terjadi karena tindakan kita.

Cukup katakan “Ya” dahulu, baru ketika nanti sudah lebih tenang, kita tenang, dia pun tidak khawatir, kita diskusikan bersama jalan keluarnya. Berikan alasan-alasan yang mendasari perilaku, lalu temukan solusinya.

Menciptakan situasi yang baik untuk suami maupun istri juga adalah tugas penting, agar kita bisa berkomunikasi dengan lebih baik lagi, saling memahami dengan lebih baik lagi. Semoga ke depannya semakin bisa istiqomah untuk menjalankan puasa satu ini. Berkata baik saja, tidak mendebat, atau lebih baik diam daripada memancing keributan dan suami tidak rida atas diri kita.

Sedikit surat untuk Buddy-ku pekan ini. Tetap bersemangat sampai pekan terakhir, sampai bertemu di garis finish.

Jurnal Buncek #14: Kepompong 2: Terus Belajar Berkata Baik

Duh, belajar untuk terus menerus berkata baik itu sunggung sulit, ya. Di pekan kedua ini aku masih dengan semangat yang sama, belajar berkata baik atau diam saja. Ingin tahu, seberapa konsisten perilaku ini bisa aku lakukan setelah kemarin menjalaninya selama satu pekan.

Indikator yang digunakan masih sama:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak ada perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak, pasangan, dan orang lain.

Nah, kali ini ditambah satu pihak lagi, yaitu orang lain, bisa teman, saudara, orang tua. Alasannya, biar bisa makin luas saja menerapkannya. Walaupun mungkin, dalam praktik sehari-hari tetap saja lebih banyak berurusan dengan anak-anak dan pasangan. Selain itu, hubungan dengan orang lain juga kadang memengaruhi bagaimana interaksiku dengan anak-anak dan pasangan. Jadi, penting kali ini untuk memperhatikan pihak satu ini.

Namun, setelah menjalani sepekan, ternyata, eh ternyata, polanya masih sama. Terjadi kegagalan di hari kedua. Kenapa, ya? Setelah ditelisik-lisik, apakah karena hari itu sedang ada banyak tumpukan pikiran? Atau karena ada beban kesuksesan di hari pertama? Atau karena loss control saja di hari tersebut? Hmm… sepertinya alasannya yang terakhir. Masih belum bisa istiqomah saja untuk bertahan agar bisa terus berkata baik atau diam.

Namun, kalau dihitung tetap masih dalam persentase di atas 80%. He, he, he. Apakah karena memang interaksinya yang juga ga terlalu intens, ya? Karena ada akhir pekan ketika anak-anak banyak di tempat mertua. Selain itu, ada hari saat suami tidak ada di rumah karena sedang WFH? Tetap saja, ada banyak faktor yang mewakili sebenarnya. Namun, satu sebab yang pasti lagi-lagi harus memperhatikan kesejahteraan diri biar tetap bisa menjaga pikiran, perasaan, dan perilaku agar tetap positif.

Gak muluk sebenarnya, cukup dengan mengurangi beban pikiran saja dengan menyelesaikan urusan yang tertunda. Di saat ini aku makin menyadari, jangan-jangan selama ini aku yang kebanyakan punya kerjaan ya. Sibuk sana-sini sehingga menambah beban pikiran yang sebenarnya sudah banyak. Bahkan mungkin mengabaikan kewajiban yang sebenarnya sudah diemban selama ini. Kewajiban utama: sebagai ibu dan istri.

Ya, sebagai ibu dan istri saja tugas kita sudah banyak. Lalu, mengapa kita sebagai perempuan masih memaksakan begitu banyak tugas-tugas lain di luar itu untuk diemban? Walau mungkin ada banyak perempuan di luar sana yang terlihat sukses menjalankannya, apakah benar kita cocok untuk melakukannya?

Mengukur batas untuk memahami sejauh mana kita harus mengemban tugas, menurutku itu adalah insight penting dalam puasa kali ini. Tahu sejauh mana beban yang bisa dipikul, agar tidak memengaruhi tugas utama di dunia ini, tugas yang telah kita pilih dan dipilihkan untuk kita. Karena tidak semua orang harus sama, tidak semua harus kita yang melakukannya.

Bagaimanapun kita hanyalah manusia yang punya keterbatasan. Bukan super woman yang bisa melakukan semuanya. Sebagai ibu saja kita punya banyak tugas, bagaimana mungkin kita menambahnya dengan hal-hal lain di luar kewajiban kita. Sekali lagi, aku teringat pesan suami, “Jangan sampai yang kamu lakukan di luar membuatmu lupa akan kewajibanmu di dalam.” Sebuah pesan yang menyiratkan, ada tanggung jawab lebih besar bagi kita di rumah, dibanding menjadi terkenal di luar sana.

Puasa kali ini menjawab, sudah waktunya untuk kembali menelaah agar semua tugas dalam peran itu tuntas, tanpa banyak menambah beban pikiran dan perasaan.

Oiya, secuplik surat untuk buddy-ku di pekan kedua ini. Semoga menambah booster dalam menjalankan puasa dipekan berikutnya, ya.

Jurnal Buncek #13 Kepompong 1: Berkata Baik atau Diam

Sekarang kita sampai pada akhir pekan pertama dalam tahap puasa di tahapan kepompong. Puasa adalah sebuah proses yang bisa membantu mengurangi batu sandungan demi mendapatkan tujuan. Karena tujuan belajarku yang utama kali ini adalah mengelola emosi terkait yang diajarkan dalam agama, maka aku memilih satu petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu berkata baik atau diam.

Mungkin kesannya agak jauh dari proses pengelolaan emosi. Namun, aku merasa makna dari berkata baik atau diam ini sungguh luas. Dengan selalu membatasi diri untuk terus berkata baik, kita akan mencoba untuk mengelola gejolak emosi dalam diri kita. Mengelola agar yang keluar dari lisan hanyalah hal-hal baik, setelah semua reaksi emosi itu diproses dengan baik di level kognitif.

Menjaga lisan agar hanya mengeluarkan kata-kata yang baik mengajarkan saya untuk terus mengendalikan diri. Mencoba mengambil sisi positif atas setiap kejadian yang terjadi. Terutama yang berkaitan dengan perilaku anak-anak dan pasangan. Jika memang tidak memungkinkan untuk berkata baik, senjata selanjutnya adalah diam. Berarti dengan melakukan satu kesatuan hadis ini saya punya dua senjata untuk meredam ekspresi emosi yang tidak pantas. Mau itu di saat marah, sedih, atau kondisi lain yang tidak menguntungkan.

Dalam puasa ini, saya tidak hanya mengandalkan diri sendiri untuk menjadi pengendali. Sebagaimana yang biasa dilakukan di industri/organisasi, kita melakukan penilaian 360 agar mendapatkan penilaian yang objektif dan adil. Kali ini aku meminta kepada anak-anak untuk turut serta memberikan penilaian terhadap perilakuku sepanjang hari.

Poin yang aku tekankan adalah marah-marah dan sedih yang berlebihan karena perilaku ini amat erat hubungannya dengan diriku yang berkata buruk kepada orang lain. Bantuan seperti apa yang mereka berikan?

Jadi, aku membuatkan lembar yang bisa diisi oleh anak-anak. Anak-anak diminta untuk menghitung dalam satu hari aku sudah marah-marah atau sedih yang berlebihan berapa kali, lalu menuliskannya di lembar tersebut. Anak-anak sangat bersemangat sekali, mereka merasa ikut andil dalam mengawasi perilaku ibunya.

Oiya harus ada indikatornya, ya biar puasa ini dibilang sukses atau tidak. Ini indikator yang saya gunakan:

  • EXCELLENT (4): ketika selama satu hari tidak ada perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • VERY GOOD (3): ketika selama satu hari ada 1-2 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • SATISFACTORY (2): ketika selama satu hari ada setidaknya 3-5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.
  • NEED IMPROVEMENT (1): ketika selama satu hari ada lebih dari 5 perilaku marah-marah yang ditampilkan kepada anak-anak dan pasangan.

Setelah mencapai kesepakatan dengan mereka, saya merasa lebih tenang untuk menjalani hari. Saat hari pertama saya merasa aman, nyaman, damai. Sampai akhirnya mendadak si sulung membuat saya kaget, sehingga saya meninggikan suara. Kejadian ini menjadi salah satu catatan penting dalam proses pengelolaan emosi saya. Ternyata, satu sumber yang bisa membuat saya meninggikan suara dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik adalah merasa kaget dan panik.

Pada hari-hari berikutnya saya menemukan kembali kejadian yang serupa. Saat itu, benar saja saya kesulitan untuk mengendalikan intonasi suara. Membuat si sulung jadi kaget dan merasa bersalah. Duh, kalau sudah begini tentunya harus banyak-banyak kembali melatih teknik-teknik relaksasi agar refleks yang muncul ketika panik atau khawatir berlebihan adalah tenang.

Maka, setelah tujuh hari menjalani, sebagian besar, setidaknya 80% saya cukup bisa mengendalikan diri untuk tetap berkata baik atau diam saja sepanjang hari. Hanya satu hari ketika saya merasa butuh meningkatkan kembali kesadaran agar mampu memberikan ketenangan dalam diri saat berhadapan dengan situasi tertentu.

Namun, secara garis besar hal-hal yang membuat saya sukses menjalani hari adalah ketika memulai hari dengan perasaan bahagia, menuntaskan pekerjaan (rumah tangga maupun pribadi), dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Oiya, satu lagi yang sempat terlupa dan tidak tertulis di lembar jurnal puasa adalah puasa gawai.

Saya menggunakan pengaturan Digital Wellbeing di ponsel. Mode Fokus membuat saya akhirnya memahami berapa banyak waktu yang dihabiskan bersama gawai selama ini. Hal inilah yang ternyata membuat pekerjaan saya selama ini tidak selesai. Dengan adanya mode fokus ini, saya hanya akan melihat pesan-pesan penting di aplikasi WA, lalu membalasnya. Karena waktu 5 menit yang disediakan amat terbatas jika kita harus memperhatikan tiap pesan yang masuk.

Pengaturan waktu untuk setiap aplikasi juga penting, karena akhirnya saya bisa mengatur, berapa kali saya bisa melihat aplikasi pesan, berapa lama saya bisa melihat aplikasi lainnya. Benar-benar untuk meningkatkan konsentrasi pada tugas-tugas sesungguhnya, yang selama ini terkadang terabaikan karena asyik dengan ponsel.

Yap, lanjut bersemangat untuk puasa yang sama di pekan kedua. Karena menurut saya, puasa ini harus terus dilakukan agar saya bisa terus konsisten menjalani proses pengelolaan emosi ini.

Nah, kali ini saya akan menyemangati buddy saya yang nun jauh di sana. Semoga tetap semangat dan sehat walau habis diterpa musibah. Semoga apa yang dituliskan dalam jurnal ini bisa membuat kita sama-sama saling mengintrospeki diri, lalu mengambil manfaat dari rangkaian prosesnya.

Semoga Allah membantu kita dalam misi kebaikan ini.

Jurnal Buncek #12 Ulat Kedelapan: the Buddy System

Well, tidak berasa sudah sampai di pekan kedelapan tahap ulat di hutan kupu cekatan #3. Ternyata di penghujung tahapan ini ada sebuah kewajiban untuk mencari teman seperjalanan, sebelum masuk ke tahap selanjutnya. Buddy system. Sebuah sistem yang mana kita harus mencari teman untuk saling memotivasi karena di tahap selanjutnya, sepertinya akan lebih intens dalam mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dari kemarin.

uddy, apa itu? Ketika mendengar pertama kali kalau di pekan ini harus punya buddy, pikiran langsung mandeg sesaat. Siapa yang mau jadi Buddy-ku? Itu pikiran yang pertama kali terlintas. Soalnya selama belajar lebih sering jadi single fighter, dibandingkan cari teman. Sejak dulu memang lebih suka belajar sendiri, bahkan ketika sedang ikut pelatihan luring sekalipun.

Pencarian buddy ini memaksaku untuk keluar dari zona nyaman. Selama ini sebagai single fighter aku tidak terlalu suka menyapa orang terlebih dahulu, kecuali memang sudah kenal. Bertemu orang baru dari titik nol, kemudian harus bercerita tentang diri sendiri, sungguh bukan aku. Maksudnya, sudah lama tidak aku lakukan. Selama ini aku berada di lingkungan yang membuatku lebih memilih sendiri, jika memang di luar urusan pekerjaan.

Keluar dari zona nyaman, menyesuaikan dengan tantangan dan beradaptasi dengan cepat, mungkin itu yang aku alami. Diawali dengan memikirkan siapa kira-kira yang bisa diajak untuk bekerja sama.

Pertama memilih seorang teman yang walaupun baru kenal, sepertinya aku bisa nyaman untuk bercerita. Setiap kali buka aplikasi Facebook, postingan dia selalu paling atas, “Wah, jangan-jangan sebuah pertanda,” pikirku. Apalagi aku kagum dengan kemampuannya menggambar, sehingga ingin sekali bisa intens untuk berinteraksi, siapa tahu jadi bisa kecipratan bisa menggambar juga. Eh, ternyata beliau sudah dapat buddy duluan. Jadi, agak minder, hahahaha, karena belum ada orang yang ngajakin jadi buddy. Akhirnya, merasa “Ya, sudahlah, nanti-nanti saja pilihnya.”

Setelah banyak mengobrol di grup regu, akhirnya iseng mengajak karegu untuk jadi buddy. Ternyata beliau juga sudah melamar orang lain. Hihihi, “Duh, nasib!” Lagi-lagi gagal karena lamaran karegu diterima oleh buddy-nya. Lanjut, iseng saja komentar di postingan salah satu teman lagi, eh, ternyata memang, ya kalau jodoh itu datangnya di saat yang tidak terduga. Dari pertanyaan singkat di kolom komentar, malah berlanjut memutuskan untuk menjadi buddy satu sama lain. Namanya Mba Aya.

Mungkin memang begitu, ya. Ada kalanya kita harus melepas ego pribadi, mengeluarkan diri sendiri dari zona nyaman, agar bisa terus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Beradaptasi, sebuah fungsi kehidupan yang seringkali tidak bisa dilakukan ketika sudah di masa dewasa. Sebab, kita terkadang terlalu lelah untuk menjalani hal baru.

Namun, ada sebuah kebaikan yang aku dapatkan dengan menjadikan Mba Aya sebagai pasangan. Aku merasa ada banyak kesamaan yang tidak bisa dijelaskan. Beberapa masalah yang Mba Aya sebutkan bisa aku sandingkan dengan pengalamanku dahulu, yang juga pernah berada di titik yang sama. Mungkin bedanya, aku dikelilingi oleh orang-orang yang bisa membantuku untuk segera mengatasi masalah itu, sedangkan Mba Aya tidak.

Kesamaan-kesamaan yang ada membuatku yakin Allah tidak akan mempertemukan dengan orang yang salah. Bahkan semua kebetulan itu adalah jalan dari Allah yang tidak bisa dipungkiri, hadir karena memang begitulah jalan yang harus ditempuh.

Sebagai hadiah aku memberikan sebuah video yang berisikan kalimat motivasi. Harapannya Mba Aya akan selalu bisa memutarnya ketika sedang merasa lelah selama perjalanan di tahapan berikutnya Bunda Cekatan ini. Videonya berdurasi 2 menit 35 detik, berisikan rekaman suara dan teks motivasi.

Sedari awal mendengarkan cerita dan aliran rasa dari Mba Aya aku memang sudah merencanakan untuk membuat video ini. Sekalian menantang diriku untuk membuat video dengan teks seperti yang diidam-idamkan. Jadilah video ini adalah video pertama yang aku buat dan menjadi kado istimewa karena langsung diberikan kepada yang membutuhkan.

Yah, karena video gak bisa diunggah di sini. Namanya juga hadiah istimewa, untuk Mba Aya saja deh. hehehe..

Semoga dalam perjalanan kita menjadi lebih baik di dunia akan menemukan orang-orang yang pas dalam mendukung upaya kita itu.

Bismillah.

Jurnal Buncek #11 Ulat Ketujuh: Membongkar yang Sudah Didapat

Pekan ketujuh di tahap ulat bunda cekatan ini waktunya untuk mengulas kembali apa yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir. Apakah yang didapatkan sudah sesuai dengan peta belajar yang dimiliki? Hm… sejauh ini merasa sudah, bahkan sudah terpenuhi hampir semua yang dibutuhkan. Walau tidak banyak, tetapi setidaknya bisa memenuhi ruang-ruang ilmu yang memang dibutuhkan.

Bukankah sebaiknya demikian, tidak perlu makan terlalu banyak, tetapi bagaimana eksekusi dari ilmu yang sudah didapat? Mampukah kita melakukan semuanya? Pada akhirnya, ilmu terbaik adalah ilmu yang dipraktikkan, bukan hanya terendap di dalam ingatan atau memori artifisial di ponsel, cloud, atau laptop semata.

Ok, mari mengulas apa saja yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir ini, ya.

Sesuai dengan peta belajar, tema utama yang saya angkat adalah MENGELOLA EMOSI. Akan tetapi, menurut saya agar bisa mengelola emosi saya harus memiliki ilmu tentang manajemen emosi, terapi menulis, manajemen waktu dan tugas, manajemen diri (tidur, makan, dan olahraga), serta tadabbur Al-Qur’an.

Kurang lebih sudah 80 persen materi yang saya butuhkan dalam peta belajar didapatkan dari beragam sumber ilmu yang saya cari. Dua poin yang belum saya sempat dalami, yaitu tentang Terapi Gazalian dan Terapi Menulis. Namun, saya pikir kedua poin ini bisa saya dapatkan sembari perjalanan mengelola emosi ke depannya. Sebab, saya membutuhkan kajian yang lebih dalam mengenai dua sumber ilmu ini, yang tidak bisa saya dapatkan dari hutan pengetahuan.

Setelah membongkar makanan yang sudah didapatkan, ternyata memang saya tidak mengambil terlalu banyak ilmu. Beberapa ilmu dasar saja yang dirasa cukup untuk dipraktikkan saat ini yang memang saya coba kumpulkan. Agar tidak kelebihan ilmu, tetapi juga memiliki dasar untuk praktiknya. Jadi, tidak ada camilan yang berlebihan juga dari semua yang saya dapatkan. Semua sesuai kadarnya, pas.

Ulasan-ulasan yang sudah diberikan teman-teman sepanjang perjalanan mencari pengetahuan bisa menjadi bahan referensi ketika saya memang membutuhkannya dalam proses perjalanan berikutnya. Sekarang, fokusnya adalah bagaimana menerapkan semua ilmu itu. Bagaimana membuat hidup saya lebih nyaman, aman, dan tentunya bahagia.

Beberapa refleksi yang saya dapatkan setelah kembali membongkar ulang makanan selama ini adalah.

Pada dasarnya saya bahagia bisa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang belum saya dapatkan sama sekali. Terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu dan ilmu manajemen emosi berdasarkan Al-Qur’an. Sebab, selama ini saya merasa minim sekali perihal ilmu tersebut. Sejauh ini merasa paling butuh adalah mempraktikkan manajemen waktu agar bisa lebih efektif lagi memanfaatkan waktu sehari-hari.

Selain itu, selama ini saya memang mencari pembahasan emosi berdasarkan Al-Qur’an. Alhamdulillah Allah mudahkan pencarian itu di pekan-pekan terakhir dalam menuntut ilmu di bunda cekatan ini. Semoga dengan makin mentadabburi Al-Qur’an membuat saya makin mampu mengelola hati dan pikiran, agar bisa mencapai tujuan: BAHAGIA untuk semuanya.

Sekarang, waktunya untuk memulai praktik. Semakin rajin untuk mengelola emosi, menginstall semua petunjuk-petunjuk-Nya yang memang sudah tertera jelas di dalam Al-Qur’an agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Jurnal Bunda Cekatan #10 Tahap Ulat Keenam: Berbagi Kebahagiaan

Berbagi kebahagiaan.

Sebuah prinsip penting dalam hidup berkomunitas. Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan yang dimiliki kepada orang lain. Tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat yang lebih luas. Prinsip budaya kolektif.

Maka, di pekan ini tugasnya adalah berbagi makanan kepada teman-teman baru yang kenalan di pekan lalu, minimal tiga orang. Akhirnya aku memilih tiga orang yang menurutku memang membutuhkan sekali apel-apel tambahan. Kebetulan makanan tambahan itu sendiri ilmunya sudah aku miliki, sehingga merasa lebih mantap saja untuk dibagikan. Jadi, aku memutuskan untuk mengolah sendiri makanan yang akan aku bagi kepada teman-teman baru ini.

Untuk dua teman, aku memilih untuk merekam video yang menjelaskan materi yang sudah aku persiapkan untuk mereka. Masing-masing aku rekam dengan sapaan personal karena ini adalah istimewa untuk mereka masing-masing. Berikut rangkuman dari hadiah yang aku bagikan.

Bisa dibilang aku memang paling suka berbagi, hehehe. Yah, pengennya banyak berbagi aja, tapi kalau dikasih tetap mau. Memang ada perasaan yang berbeda antara ketika memberikan dibanding saat menerima. Keduanya memunculkan perasaan bahagia, meskipun dalam taraf yang berbeda.

Namun, setelah belajar dari kajian “Better than Yesterday” yang menjadi makananku pekan ni, aku jadi ingin mengamalkan tentang prinsip berbagi ayng sebenarnya. Bagaimana ktia menunaikan kewajiban untuk berbagi kepada orang lain, tanpa mengharapkan pamrih. Tanpa mengharapkan terima kasih dari orang lain. Bagaimana menjalankan prinsip berbagi itu sebagai sebuah kewajiban dan biarkan Allah swt yang membalas kebaikan itu.

Terkadang sebagai manusia kita masih suka mengharapkan ucapan terima kasih atau mendapatkan balasan yang setimpal dari pemberian kita kepada orang tua. Maka, tugas pekan ini benar-benar menguji ilmu yang sudah didapat, apakah aku bisa ikhlas, memurnikan tiap perilakuku hanya untuk Allah semata.

Jadi teringat sebuah tulisan yang aku buat di sebuah naskah yang masih teronggok di penerbit. Naskah yang memuat bagaimana kita harus terus-menerus mengisi ulang keikhlasan dalam hati kita, agar mendapatkan rida dari Allah.

Ya, rida. Jangan lupa hidup ini hanya untuk mendapatkan rida dari-Nya. Dengan demikian, saat berbagi pun mengharaplah itu tujuannya untuk mendapatkan rida dari-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana para sahabat dan orang-orang salih dahulu yang kecintaan dan keimanan kepada Allah begitu besar, maka mereka tidak peduli tentang balasan yang diberikan manusia atas kebaikan dirinya. Melainkan memasrahkan balasan itu semata dari Allah saja.

Bisakah kita demikian?

Oiya, ini makananku saat ini. Kajian dari ilmuinaja.id. Buat yang mau ikut kajian bisa langsung daftar saja. Alasanku memilih kajian ini karena dalam peta belajarku tadabbur Al-Qur’an adalah salah satu kunci dalam pengelolaan emosi. Maka, kajian ini adalah salah satunya. Meskipun tidak spesifik tentang pengelolaan emosi, tetapi bukankah ketika kita memahami prinsip-prinsip perilaku yang benar dari Al-Qur’an dan hadis, maka sejatinya kita bisa mengelola emosi itu dengan sendirinya. Ketika semua prinsip itu sudah terinstal dalam diri kita, maka saat masalah hadir, kita tidak akan termakan oleh emosi yang muncul, sebab dengan sendirinya perilaku kita sudah baik sesuai dengan yang petunjuk yang seharusnya.

Selamat menginstal kebaikan. Karena hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.