Jurnal Bunda Cekatan #9 Ulat Kelima: Prinsip Berkomunitas

Pekan ini bisa dibilang adalah pekan yang penuh dengan tantangan. Sesuai dengan tema mengelola emosi, aku harus mengatur proses emosi yang terjadi dalam diri agar tidak merasa lelah karena ada banyak kejadian di luar dugaan yang terjadi. Jika sudah seperti ini biasanya aku hanya ingin rehat sejenak, tetapi ternyata tidak bisa karena ada banyak tanggal penting yang harus diselesaikan.

Belum lagi tugas Bunda Cekatan pekanan ini adalah menerapkan prinsip berkomunitas, yaitu saling sapa dengan teman-teman lain di kelas yang berbeda. Buatku ini adalah kondisi yang agak sulit karena membutuhkan waktu untuk mencari nama, bertanya, dan membalas pertanyaan. Tidak mau juga yang hanya menanyakan data saja karena inginnya ada interaksi interpersonal.

Akhirnya, harus menyerah hanya dengan mengandalkan teman-teman yang sudah menyapa duluan di aplikasi pesan Facebook. Cukup terbantu dengan beberapa orang yang sudah menyapa, sehingga masih bisa berbagi pengalamanan selama dua minggu ini mencari ilmu dari penampilan teman-teman yang lain.

Ada enam teman yang saya masukkan dalam jurnal ini. Meskipun ada beberapa teman lain yang juga sudah sempat berkenalan tetapi tidak tuntas sepenuhnya karena keterbatasan waktu tadi.

Saat proses berkenalan dan saling berbagi pengalaman dengan teman-teman di sini aku mendapatkan beberapa pengetahuan tambahan. Terutama penampilan teman-teman lain yang ternyata sesuai dengan peta belajarku, tetapi belum sempat aku tonton. Mungkin setelah ini aku akan menontonnya, selepas beberapa urusan pribadi aku selesaikan terlebih dahulu.

Dari hasil perkenalan juga aku mendapatkan kesimpulan ternyata mereka tertarik berkenalan karena telah menonton diriku saat tampil berbagi di grup sebelumnya. Menjadikan ilmu yang aku bagikan sebagai bahan sajian favorit bagi mereka. Buatku ini sebuah apresiasi yang tidak ada tandingannya. Sebuah bentuk penghargaan yang bisa kembali memicu semangat untuk terus berbagi dan membantu orang lain, sebagaimana cita-citaku selama ini.

Yah, walau hasil dari diagram batangnya jadi agak narsis karena yang dipilih adalah video penampilanku kemarin, tetapi untuk pekan ini hanya ini yang bisa aku lakukan karena ada banyak keterbatasan yang ada. Menambah beberapa kenalan juga menjadi sebuah kebaikan yang bisa aku dapatkan di tengah komunikasi yang memang serba terbatas. Semoga untuk selanjutnya ada lagi kesempatan untuk lebih banyak berinteraksi.

Nah, untuk makanan pekan ini aku mengambil dari sesi berbagi internal yang diadakan melalui media zoom oleh kelompokku, Keluarga Regulasi Emosi 2. Penyajinya adalah teman sendiri, he-he-he, seorang psikolog yang juga ikut serta di Ibu Profesional. Namanya Shinta Rini, M.Psi., Psikolog dari Balikpapan dengan materi tentang Anger Management.

Beberapa materinya sudah pernah aku dapatkan, sehingga aku lebih banyak mengulas kembali saja tentang pengetahuanku seputar pengelolaan marah. Namun, ada satu poin penting yang menarik perhatianku yaitu pembahasan tentang Level Emosi. Menurutku ini materi yang penting sekali agar kita makin mengenali intensitas seperti apa yang boleh kita tunjukkan terkait emosi yang dirasakan.

Ternyata materi ini berasal dari dr. Aisah Dahlan, yang menggabungkan teori Level of Enlightenment dari David Hawkins dan pembahasan tazkiyatun nafs. Materi ini penting bagi seorang muslim karena kita bisa makin memahami ternyata Al-Qur’an memang sudah sangat mengatur bagaiman kita harus berperilaku, termasuk dalam mengekspresikan emosi ini. Rujukan yang dipakai adalah QS Al-Hadid ayat 22-23.

Rasanya senang sekali pekan ini bisa mendapatkan ilmu baru yang bisa bermanfaat bukan hanya untukku, tetapi bisa juga digunakan saat nanti praktik konseling. Buatku yang memang sedang mendalami tentang psikologi Islam, ini semakin mencerahkan, untuk mendapatkan hati yang tenang dan bahagia, kita tidak perlu jauh-jauuh mencari. Cukup dengan Al-Qur’an, cahaya sesungguhnya.

Jurnal Bunda Cekatan #8 Ulat Keempat: Mengumpulkan Ilmu yang Terserak

Di pekan keempat tahap ulat bunda cekatan ini waktunya untuk mengumpulkan ilmu-ilmu yang sudah dibagikan oleh teman-teman lain. Aku sendiri merasa agak kesulitan untuk menemukan ilmu-ilmu yang aku butuhkan sesuai dengan peta belajar karena ada beberapa ilmu yang belum sesuai dengan arah belajar. Akhirnya aku mencoba mencari ilmu yang memang belum aku dapatkan dan terapkan sesuai dengan tema pengelolaan emosi dan pengelolaan diri yang ada di dalam peta belajar.

Berikut adalah empat keranjang ilmu yang saya dapatkan dari sesi berbagi dari teman-teman yang lain.

Keempat keranjang ini adalah ilmu-ilmu yang menurut saya penting untuk mengisi tangki memori saya. Dengan ilmu baru ini setidaknya memperkaya khasanah pengetahuan yang sudah saya miliki terkait pengelolaan emosi dan pengelolaan diri. Ada beberapa poin yang disampaikan oleh teman-teman yang membuat saya diingatkan kembali, disegarkan kembali tentang hal-hal yang selama ini mungkin saya lupakan. Tentunya yang lebih penting di atas mendapatkan semua ilmu ini adalah mempraktikkannya. Karena apalah arti sebuah ilmu kalau tidak dipraktikkan.

Kemudian, untuk makanan di pekan ini aku kembali mengambil ilmu dari materi pelatihan yang sudah aku dapatkan di bulan Januari lalu. Ilmu mengenai coaching emosi bersama pasangan menurut saya penting dalam proses pengelolaan emosi. Sebab, terkadang kita hanya fokus dalam mengelola diri sampai lupa agar cerdas mengelola emosi, kita pun harus mampu mengenali emosi yang dimiliki oleh ornag lain dan berempati.

Coaching emosi bersama pasangan adalah bagian dari kita mengenali emosi yang ia miliki, memahami, dan bersikap empati. Agar kita tidak hanya merasa selalu butuh dipahami, tetapi dengan memahami pasangan pun bisa menjadi jalan memperbaiki hubungan dengannya. Ilmu ini bermanfaat bukan hanya untuk diri saya, tetapi juga bisa menjadi jalan untuk memahami pasangan yang menjalani sesi konseling pernikahan.

Jangan lupa kalau dalam pernikahan, hubungan dengan pasangan adalah poin penting lain agar kita bisa menjadi bahagia. Sesuai dengan peta belajar saya, yang bertujuan agar saya merasa bahagia, pasangan bahagia, keluarga bahagia, maka dengan memahami pasangan pun bisa menjadi jalan kebahagiaan itu.

Saya sadar masih banyak yang harus dibenahi seputar hal ini. Setidaknya, dengan terus belajar dan berupaya menerapkannya, saya bisa memperbaiki diri dengan lebih baik lagi. Setelah proses belajar ini, niatan saya adalah melakukan coaching dengan pasangan seputar kondisi emosional kami. Sempat membahas hal ini tetapi belum didalami. Semoga setelah mendalaminya bersama, bisa lebih memberikan keterbukaan seputar kondisi kami dan bisa diperbaiki untuk ke depannya.

Bismillah.

Jurnal Bunda Cekatan #7 Ulat Ketiga: Berbagi Interaktif

Minggu ini semakin seru petualangan di Bunda Cekatan ini. Kali ini tantangannya adalah bertemu dengan keluarga baru, orang-orang yang punya masalah sama, mengelola emosi. Kali ini aku tergabung dalam kelompok Regulasi Emosi 2. Kelompok ini adalah pecahan dari kelompok manajemen emosi, self-healing, dan self-love. Karena peserta mencapai 100 orang, maka kelompok besar ini pun dibagi kembali menjadi beberapa kelompok berbeda, sesuai dengan minat masing-masing anggota secara spesifik.

Aku sendiri memilih kelompok regulasi emosi karena merasa yang aku butuh pelajari dari topik mengelola emosi adalah mengenai pemahaman pengelolaan emosi itu secara menyeluruh. Bukan tentang self-healing maupun self-love. Menurutku, sebelum masuk ke pembahasan secara spesifik tentang mencintai dan menyembuhkan diri, kita harus paham dahulu emosi itu sesungguhnya apa. Selain itu, materi yang banyak aku bahas dalam peta belajar juga lebih banyak membahas pengelolaan emosi secara umum. Aku tidak pula tertarik pada pembahasan tentang self-healing secara mendalam. Jadilah pilihan kelompok regulasi emosi lebih tepat.

Rasanya senang karena punya banyak kenalan dari para perempuan yang senang berbagi ilmu dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar Indonesia. Ada yang berasal dari barat Indonesia sampai timur, bahkan beberapa di luar negeri. Setelah berbagi peta belajar, makanan pada pekan pertama, dan kedua kemarin pun rasanya mereka adalah bunda-bunda luar biasa yang memang senang belajar dan bertumbuh.

Berikut sebuah catatan hati saat bertemu dengan keluarga baru selama beberapa hari kemarin.

Catatan ini mungkin tidak bisa menggambarkan sepenuhnya. Akan tetapi, semangat untuk terus berkembang adalah yang paling kental. Memicu untuk menjadi individu yang lebih baik lagi, setelah belajar dari pengalaman-pengalaman yang luar biasa.

Buatku pribadi, yang mengena juga adalah tentang “jangan sombong” dengan ilmu yang dimiliki. Meskipun memang ada sedikit rasa ingin “meluruskan” beberapa pemahaman yang menurutku butuh dilengkapi terkait dengan pemahaman emosi ini, tetapi aku tetap belajar banyak dari mereka. Dengan latar belakang keilmuan psikologi yang aku miliki, setidaknya aku berusaha untuk menjabarkan tentang pemahaman yang benar mengenai emosi dan regulasi emosi, agar tidak lagi salah dipahami oleh orang umum.

Maka, ketika diminta untuk membantu kelompok untuk sharing di FBG Go Live sebagai perwakilan kelompok, aku menyepakati. Setidaknya ini bisa menjadi jalan ikhtiar untuk berbagi ilmu psikologi yang telah aku miliki. Menjadi jalan untuk bergandengan tangan bersama agar bisa memahami dan mengelola emosi lewat jalan yang baik dan benar.

Nah, karena aku baru bisa berbagi hari senin pekan besok, jadi kelompok memutuskan untuk sesi berbagi internal saja dulu pekan ini melalui aplikasi zoom, sesuai dengan tema pekan ini: belajar melalui audio visual interaktif. Kali ini sesi berbagi menampilkan Mba G. N. Habibah dari IP Palembang tentang Management Emosi.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan cadangan kalau-kalau di materi yang diberikan Mba Habibah ini belum ada sesuatu yang bisa aku makan di pekan ini. Namun, setelah mengikuti sesi yang berlangsung selama 30 menit ini, dari pukul 14.00 – 14.30 di hari Sabtu, 12 Februari 2022 kemarin, aku menemukan satu poin menarik yang memang sejalan dengan pemahamanku mengenai pengelolaan emosi.

Buatku, daripada mempelajari banyak teknik tanpa tahu tujuannya, sebaiknya paham dulu tentang makna emosi itu terlebih dahulu. Yah, ini sesuai, sih dengan karakterku yang tipenya analitik dan sukanya menggali masalah ke akarnya, selayaknya pekerjaan sebagai psikolog dan peneliti, maka aku lebih suka menemukan jawaban dari akar masalah, bukan langsung lompat ke tips dan teknik.

Sebab, teknik itu akan mengikuti ketika kita tahu dari mana sumber masalah kita yang utama. Tanpa adanya kesadaran akan sumber masalah itu, teknik apapun akan menjadi percuma karena kita tidak tahu sebenarnya teknik itu diperuntukkannya demi apa. Dengan mengetahui akar untuk setiap masalah pribadi, kita bisa menyesuaikan juga teknik yang memang tepat untuk kita.

Kali ini aku mendapatkan ilmu tentang 4A: Aware, Accept, Allow, Away. Sebenarnya teknik ini bukan hanya untuk permasalahan emosi. Ilmu ini aku dapatkan juga ketika belajar tentang “Empowering Your Innerchild” dari Kang Asep Haerul Gani. Sebuah proses yang dilakukan ketika kita berhadapan dengan kesulitan, terkait dengan urusan-urusan psikologis kita.

Semua masalah terkadang hanya butuh untuk dikenali, diterima, diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan diri kita, lalu ia akan pergi dengan sendirinya. Ketika bisa menerapkan prinsip 4A ini, InsyaAllah kita bisa melakukan pengelolaan emosi dengan baik.

Tertarik mencoba? Aku sepertinya akan mulai praktik lagi, kali ini dengan kombinasi praktik lainnya.

Bismillah.

Jurnal Bunda Cekatan #6 Ulat Kedua: Suara-suara Ilmu

Well, kali ini ada banyak tantangan dalam mengerjakan jurnal bunda cekatan ini. Aku sangat senang dengan setiap metode yang diberikan oleh Bunda Cekatan karena menantang diri untuk melakukan hal baru. Kali ini tantangannya adalah membuat podcast.

Yes, podcast! Sebenarnya sudah lama ditawari untuk bikin. Cuma masih maju-mundur karena satu dan lain hal. Terutama perihal edit-mengedit. Wong ngedit gambar buat IG aja rasanya gak ada waktu, apalagi buat ngedit audio. Duh, itu kayaknya butuh usaha yang lebih-lebih.

Cuma, aku senang saja. Baru kali ini mendengarkan dengan seksama suara sendiri. Selama ini kalau sudah direkam atau live, aku gak pernah berani dengerinnya lagi. Apalagi kalau mau lihat rekaman ulang IG live, rasanya malu setengah mati. Nah, karena disuruh bikin podcast, mau gak mau harus dengerin, dong suara sendiri. Untuk tahu, sudah ok atau belum hasil rekamannya. Adakah kata yang belibet, sehingga artikulasinya tidak jelas. Kalau iya, berarti harus take ulang, ya, kan?

Dalam prosesnya sendiri aku merasa bahagia. Bahagia karena utak-atik barang baru: anchor. Sebenarnya dari dulu sudah suka mengedit dengan aplikasi, tapi kerjaan seperti ini tuh selalu butuh waktu. Sekarang, waktu itu ada, tetapi merasa lebih mau dihabiskan untuk hal lain saja. Karena sekali tenggelam sama urusan seperti ini akan lupa waktu, sehingga urusan lain jadi terlewatkan.

Baik, kali ini aku berbagi podcast sebagai bahan potluck-ku tentang komunikasi, tepatnya topik mendengarkan aktif. Judul yang aku pilih adalah How to be A Good Listener! Diambil dari pengalaman sendiri selama kurang lebih 10 tahun menjadi psikolog. Terkadang keterampilan ini dilupakan padahal penting dalam komunikasi interpersonal. Saat kita menjadi tempat curhat, teknik mendengarkan aktif dibutuhkan agar orang merasa nyaman untuk curhat kepada kita. Bagi yang mau dengar bisa diklik di sini.

Ok, lanjut.

Sesuai dengan judul jurnal ini, Suara-suara Ilmu, maka pekan ini kami harus melahap ilmu dari pesan-pesan suara yang sudah diberikan oleh teman-teman lain di Bunda Cekatan. Beberapa tema sangat menarik, tetapi masih belum sesuai dengan peta belajarku. Seperti yang sudah aku tuliskan di peta belajar, maka fokusnya adalah mengelola emosi dengan beberapa turunannya.

Maka, potluck yang aku dapatkan kali ini masih berfokus pada makanan sampingan yang menurutku tetap penting dalam proses mengelola emosi itu. Ada tiga potluck yang aku jadikan makanan, yaitu tentang hidup minimalis, tazkiyatun nafs, dan cara membuat green smoothies. Ketiga ilmu ini murni baru dan memang masih coba aku dalami. Dengan demikian, aku merasa sangat cocok untuk menjadikannya sumber baru untuk langsung dipraktikkan.

Nah, tentunya di antara semua makanan sampingan ini, aku butuh mencari makanan utama dalam keterampilan mengelola emosi. Awalnya mau mencari dari bahan di luar podcast yang disajikan teman-teman. Namun, seperti yang disampaikan oleh Magika, mentor di Bunda Cekatan ini, maka aku mencoba mencari dari audio yang sudah disajikan oleh teman-teman.

Agak susah mencari yang memang terasa pas dan aku butuhkan sesuai dengan peta belajar. Sampai aku menemukan satu podcast dari Mba Aviaddina Ramadhani ini. Aku merasa pas sekali untuk diriku yang memang merasa energinya naik-turun. Selain penting dalam mengelola waktu, memahami level energi bisa menjadi petunjukku juga untuk mengelola kadar emosi.

Terasa sekali ketika energiku penuh, bersemangat, aku tidak akan mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian buruk. Dengan mudahnya mengerjakan semua tuntutan tanpa ada banyak drama. Namun, ketika energi sudah sangat menipis, akan mudah sekali meledak-ledak.

Jadi, menurutku menggunakan metode Heat Map bukan hanya untuk mengelola waktu, tetapi juga mengelola emosi. Ketika tahu aku sudah masuk di jam rawan minim energi, maka dengan cepat aku akan berpindah pada tugas-tugas yang tidak menuntut atau istirahat sepenuhnya. Dengan demikian, bisa menghindari percekcokan yang terjadi karena tidak mampu mengelola emosi.

Bagaimanapun kita hendaknya paham. Mengelola emosi tidak bisa berdiri sendiri. Kita harus mengenali dahulu sebab-sebab ketidakmampuan kita mengelola emosi ini. Aku sendiri menyadari kalau emosiku mudah tidak terkendali ketika lelah atau banyak tugas rutin yang belum selesai. Jadi, mengelola waktu disertai penempatan energi yang sesuai untuk jenis tugas tertentu bisa menjadi jalan untuk mengelola emosi juga.

Pekan ini, aku merasa benar-benar tertantang. Bersemangat atas hal yang baru aku dapatkan sampai rasanya ingin segera mempraktikkan. Bahkan ingin sekali bikin episode lanjutan dari podcast yang sudah aku kerjakan. Semoga Allah mudahkan semua, ya.

Jurnal Bunda Cekatan 5# Ulat Pertama: Berbagi dan Mencari Ilmu

Masuk ke pekan pertama di tahap ulat Bunda Cekatan. Tanpa terasa ada lagi tantangan baru, berbagi dan mencari ilmu. Sebagai bagian awal memperdalam keterampilan mengelola emosi, maka aku memilih ilmu yang aku dapatkan dari Terapi Fokus Emosi yang baru dijalani tanggal 14-15 Januari 2022 kemarin.

Bersyukur sekali ketemu dengan pelatihan ini. Awalnya, sempat tidak mau ikut karena memang bulan Desember kemarin sedang banyak yang dikerjakan. Namun, qadarullah pelatihan yang mau ikuti tidak bisa diikuti, sehingga investasinya aku pindahkan ke pelatihan satu ini. Itu pun setelah dipindah ke bulan Januari karena narasumbernya berhalangan di bulan Desember.

Ini kali kedua ikut serta dalam pelatihan yang diadakan oleh Kang Asep Haerul Gani. Alhamdulillah selalu ada insight yang didapat ketika ikut pelatihan beliau. Ada beberapa hal yang diingatkan kembali, sehingga seperti mengisi daya kembali di tengah kepenatan selama ini. Kali ini, beberapa hal yang akan aku bagikan terkait dengan insight ini.

Untuk pekan pertama ini, aku memilih berbagi satu poin penting yang harus disadari sebelum lanjut mengelola emosi, yaitu menyadari tentang emosi adaptif dan maladaptif. Pada dasarnya, emosi merupakan cara kita menyesuaikan diri dengan situasi di sekitar. Bersifat spontan, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Sayangnya, ada saja kondisi “tidak ideal” yang membuat ekspresi emosi kita menjadi salah. Yap, bukan emosinya yang salah sebenarnya, melainkan ekspresi emosi yang menjadi tidak tepat. Berakhir pada kondisi yang maladaptif, tidak sesuai dengan kondisi, sehingga cenderung memicu masalah kesehatan mental lainnya.

Makananku Pekan Ini.

Ada banyak ilmu yang didapat sepanjang pelatihan ini. Selain bekal ini, mindset lain juga ditanamkan. Kalau selama ini memahami emosi dengan menggunakan teori kognitif-perilaku, artinya emosi adalah buah dari pemikiran kita yang buruk mengenai suatu situasi, atau hasil dari proses pengolahan informasi dari situasi yang kita hadapi, maka pelatihan ini memberi sudut pandang berbeda.

Emosi muncul karena memang demikian adanya. Sebagai reaksi yang harusnya spontan dan tepat sesuai dengan kejadian. Sayang, ada skema yang membuat kita cenderung membuatnya menjadi tidak tepat. Menurut yang saya pelajari di pelatihan ini ada empat ekspresi emosi yang terjadi pada diri kita.

  • Emosi Primer Adaptif
  • Emosi Primer Maladaptif
  • Emosi Sekunder
  • Emosi Instrumental

Tiga emosi terakhir adalah ekspresi emosi yang sifatnya maladaptif. Maka, ketiga ekspresi inilah yang butuh kita kenali, kemudian diperbaiki. Jika tidak dan kita lakukan hampir di seluruh kondisi, kira-kira apa yang akan terjadi?

Menemukan yang maladaptif, kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang bersifat adaptif, itulah tugas kita dalam terapi fokus emosi. Tentunya tidak mudah karena emosi maladaptif ini adalah hasil dari skema yang telah kita dapatkan sepanjang hidup. Ada yang disebabkan oleh trauma masa lalu, reaksi sekunder atas emosi primer karena lingkungan atau kondisi lain tidak membolehkan kita menunjukkan ekspresi emosi primer, serta memperlihatkan emosi sebagai senjata untuk mengendalikan/menguasai orang lain.

Tentunya ini tidak mudah, tetapi setidaknya menjadi langkah awal untuk menjadi seorang yang terampil mengelola emosi. Mencatat dan mengenali masing-masing adalah langkah terkini yang harus dilakukan. Agar kita bisa mengenali situasi penyebab, mengelola emosi yang menyertainya, sehingga menunjukkan perilaku yang memang tepat sasaran.

Ini Potluckku, Mana Potluckmu

Pada pekan ini poin penting lain adalah tentang berbagi dan mengambil ilmu. Mencari dan melahap ilmu yang memang diharapkan mampu mendukung proses belajarku untuk terampil mengelola emosi. Sesuai dengan peta belajar yang sudah dibuat di pekan sebelumnya, maka aku mencoba mengambil beberapa ilmu dari orang lain yang sesuai dengan kebutuhan.

Potluck yang Aku Dapatkan.

Sejauh ini, ilmu mengelola emosi sudah aku dapatkan dari terapi fokus emosi. Dengan demikian, aku memang mencari ilmu-ilmu yang belum aku miliki. Maka, ada lima ilmu yang aku rasa penting untuk menunjang keterampilan mengelola emosiku, yaitu:

  • Fokus mengelola waktu,
  • Memahami tentang habit (kebiasaan),
  • Memahami kekuatan otot,
  • Menghitung jumlah kalori makanan, dan
  • Menyetrika ala laundry.

Kelima ilmu ini terpilih karena aku merasa perlu untuk mengendalikan situasi yang selama ini memicu emosi marahku. Dengan demikian, mengelola waktu, tugas, dan diri, kemudian menjadikannya sebagai sebuah habit baik adalah langkah penting untuk menunjang proses pengenalan dan pengekspresian emosi yang tepat.

Ilmu-ilmu ini juga merupakan ilmu yang benar-benar baru aku miliki, sehingga menambah khasanah pengetahuan yang kupunya. Semoga bisa tekun memahami kelima sumber ilmu ini, agar aku bisa praktikkan selama enam bulan ke depan.

Nah, tentu tidak adil, dong kalau aku sendiri tidak berbagi. Maka, beberapa ilmu yang sudah aku praktikkan dan bisa dilakukan sebagai potluck untuk orang lain adalah berikut.

Potluck-ku.

Sebenarnya, saat menentukan potluck pribadi ini agak bingung juga. Sekiranya ilmu apa yang sudah dimiliki dan dipraktikkan secara konsisten, sehingga layak dibagi kepada orang lain. Akhirnya, aku memutuskan empat hal ini yang bisa aku bagi kepada orang lain. Tentunya, keempat hal ini sudah aku coba lakukan secara terus-menerus, dan it works!

Jadi, silahkan bagi yang mau serap ilmunya, menerapkannya di rumah. Keempat keterampilan ini tentu bukan barang baru. Namun, semoga bisa menjadi bagian dari inspirasi untuk terus menjadi individu yang lebih baik.

Oh iya, tentunya aku juga harus mencatat, hal apa lagi yang aku butuhkan untuk ke depannya. Agar aku bisa fokus mencari dan menemukan ilmu-ilmu yang sesuai dengan peta belajarku.

Makanan yang Aku Perlukan

Semoga di pekan berikutnya aku menemukan lebih banyak sumber ilmu yang terkait hal-hal berikut. InsyaAllah menjadi ikhtiar agar menjadi individu yang lebih baik lagi dalam mengelola emosi untuk enam bulan ke depan.

Soalnya sekarang saja sudah mulai berasa, nih, ujian-ujian terkait hal ini. Beberapa kali merasa off limit dan melewati batas. Mungkin sudah saatnya untuk duduk, tenang, hening, sendiri, merenungi apa-apa yang butuh diperbaiki lagi selama enam bulan ke depan, atau mungkin sepanjang hayat.

Bismillah.

Aliran Rasa Bunda Cekatan 1#: Tahapan Telur-Telur

Tidak terasa sudah empat minggu menjalani perkuliahan di Bunda Cekatan 3. Alhamdulillah sejauh ini prosesnya cukup lancar. Mungkin memang karena aku sendiri sedang butuh untuk menata ulang aktivitas-aktivitas yang aku lakukan. Menemukan mana yang memang harus terlebih dahulu dikerjakan dibanding semua aktivitas lainnya.

Secara umum, menarik memang cara para mentor untuk membimbing peserta perkuliahan menemukan sesuatu yang menjadi minat dan potensi diri. Sesuai dengan nama perkuliahannya, yaitu cekatan, maka arah dari perkuliahan ini adalah menemukan satu atau dua keahlian yang sekiranya perlu didalami agar menjadi seorang bunda yang cekatan.

Cekatan berarti ahli. Jika berkaitan dengan pengembangan diri, artinya kita mengembangkan potensi-potensi dalam diri agar bisa mencapai level kompetensi tertentu. Sebagai ibu, sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan. Sesuai dengan tuntutan peran yang banyak, akhirnya kita sering merasa banyak sekali yang butuh dilakukan dalam waktu yang singkat. Agar semua tugas dalam peran itu selesai.

Sayangnya, terkadang sebagai pemadam kebakaran, kita tidak menjalaninya dengan mendalam. Bisa melakukan banyak hal, tetapi hanya kulit luarnya saja. Sebisa mungkin bisa setidaknya untuk memenuhi tugas sehari-hari dulu, tetapi tidak untuk jangka panjang. Maka, aku melihat upaya Ibu Profesional untuk menaikkan kemampuan para membernya lewat program Bunda Cekatan ini bisa diacungi jempol.

Di tahap Telur ini ada banyak hal yang aku renungi. Betapa selama ini mungkin ilmu yang aku cari itu sudah kelewat banyak untuk mendukung peran-peranku sebagai seorang perempuan. Baik sebagai istri, ibu, maupun pribadi. Namun, satu hal yang aku sadari belum terlaksana dari semua itu: PRAKTIK.

Aku menyadari memang suka mencari ilmu. Hanya saja kurang untuk mempraktikkannya. Sama seperti yang aku tuliskan di atas, jadi seperti pemadam kebakaran saja. Sesaat, tetapi tidak mendalam. Nah, di tahapan ini aku baru merasa butuh untuk mendalami satu per satu apa yang sudah aku pelajari.

Pada dasarnya, mempraktikkan ilmu ini adalah yang tersulit dibanding yang lain. Karena butuh energi untuk menjalaninya, mengarungi lika-likunya. Maka, ketika sekarang aku berada di titik punya dukungan dari sekitar untuk terus berjalan, mungkin memang sudah waktunya untuk mendobrak keengganan itu semua.

Mungkin, lagi-lagi Allah selalu kasih waktu yang tepat untuk belajar sesuatu. Kalau dulu, terlalu sibuk mencari ilmu sampai merasa bingung sendiri, maunya apa sih. Jadi, ketika sekarang mulai diarahkan untuk mencari jalan yang memang ingin ditekuni secara dalam, setidaknya ini jadi cara yang baik untuk merasa lebih baik lagi.

Terutama ketika pilih keterampilan mengelola emosi sebagai keterampilan utama yang mau diasah, aku menyadari ada banyak pergumulan yang terjadi pada diriku bertahun-tahun ini. Semua berkaitan dengan kondisi emosional, yang memang sejak dulu dirasa tidak stabil. Mudah marah, mudah bosan. Mudah menangis, mudah tertawa. Bahkan dulu teman-teman kuliah menduga aku bipolar karena sering naik-turunnya kondisi emosinal.

Well, tidak pernah tegak diagnosis seputar itu. Namun, sebelum menikah, memang seperti itu. Bisa di beberapa hari aku bahagia, sisa harinya sedih berlebihan, bahkan kehabisan energi. Setelah bekerja dan menikah, rasanya lebih parah lagi. Terkadang i feel numb. Yeah, seperti ga bisa merasakan apapun.

Mungkin berkaitan juga beberapa kondisi yang aku hadapi beberapa tahun belakangan. Membuat aku mencoba menekan perasaan, sehingga terkadang meledak tidak karuan. Dengan demikian, bisa jadi sudah waktunya aku kembali mengelola emosi ini. Kembali duduk di bangku pembelajar untuk emahami kembali isi hatiku sesungguhnya.

Mengelola emosi untuk kembali bersinar, berdamai dengan diri, ikhlas dengan pemberian Allah atas diri yang tak sempurna ini.

Sebagai sebuah keterampilan yang memang penting dan mendesak untuk aku lakukan, mari bertualang mempraktikkannya.

Jurnal Bunda Cekatan #4 Peta Belajar: What Will You Do?

Perjalanan di tahap pertama Bunda Cekatan ini akan berakhir. Langkah terakhir untuk menuntaskan Tahapan Telur ini adalah dengan membuat Peta Belajar. Peta Belajar ini ditulis berdasarkan ilmu-ilmu yang telah dipilih saat menuliskan Telur Jingga kemarin untuk mendukung keterampilan yang akan diasah selama tujuh bulan ke depan.

Menuliskan Peta Belajar ini gampang-gampang susah. Gampangnya karena menuliskan peta belajar mirip-mirip dengan saat membuat mind map. Benar, sih. Peta belajar itu ibarat peta pikiran kita, mau belajar apa, kapan, di mana, kepada siapa, mengapa butuh belajar itu, dan bagaimana cara belajarnya. Beberapa sudah diulas di jurnalku sebelumnya, tentang mengapa aku memilih ilmu-ilmu tersebut untuk membantuku mengelola emosi.

Nah, susahnya terletak pada kita harus tahu secara pasti dari siapa, di mana, dan kapan ilmu itu akan didapatkan. Beberapa aku masih ngeblank, cuma sudah tahu mau ambil sumbernya dari mana. Beberapa juga karena sudah pernah diikuti, tetapi belum mendalami, maka kali ini waktunya aku untuk mendalaminya.

Sebenarnya makin terperinci, akan semakin mudah untuk mengasah keterampilan yang kita ingin latih. Pasalnya, memudahkan kita untuk mencari arah dan tinggal mempraktikkannya saja. Selain itu, membuat kita tidak kalap mata sepanjang perjalanan mengasah keterampilan ini karena banyak kesempatan terkait hal tersebut. He-he-he, sebenarnya itu yang terjadi pada diriku selama ini. Karena tidak punya peta belajar, akhirnya belajarnya jadi scatter, tidak fokus. Mana kesempatan yang ada diambil Akhirnya, merasa overwhelmed sendiri.

Ok, lanjut saat bikin peta belajar ini aku senang. Sebagai seorang yang punya karakter sekuensial-abstrak (Yes, aku baru ingat-ingat lagi kalau aku adalah tipe ini), maka aku memang butuh membuat konkrit semua runtutan belajar yang ada di kepalaku biar tidak keberatan beban. Selama ini, aku selalu kebanyakan mikir, hasilnya gampang capek, lelah, dan berujung pada tidak efektifnya aktivitas sehari-hari karena semua hanya dipikirkan saja, ha-ha-ha.

Seperti yang sebelumnya pernah aku singgung, bahkan hasil tes kepribadian aja nunjukin aku itu orang yang kebanyakan mikir, tapi no action. Ada, sih tindakannya, tetapi berujung pada kemalasan dan membuat hasilnya jadi tidak efektif.

Padahal dengan menjabarkannya dalam bentuk tulisan, aku bisa lebih bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua kegiatan yang aku miliki ini. Huft, semoga tahun ini bisa terwujud.

Nah, bagaimana peta belajarku?

Peta Belajar Keterampilan Mengelola Emosi (Dokumentasi Pribadi)

Ilmu Terapi Pengelolaan Emosi

Bagian pertama ilmu penting yang aku ingin dapatkan adalah tentang terapi pengelolaan emosi. Sesuai dengan peta belajar, maka aku akan fokus pada dua terapi, yaitu Terapi Fokus Emosi dan Ghazalian Psychotherapy.

Alasan mengambil terapi yang pertama adalah memang karena terapi ini berbeda dengan terapi yang selama ini aku banyak gunakan dalam memahami terapi, yaitu terapi kognitif-perilaku. Kali ini aku akan fokus pada terapi yang hanya membahas tentang emosi saja, bukan sebagai hasil dari pengolahan kognitif. Nah, untuk mendapatkan ilmunya, aku ikut dalam workshop yang dibawakan oleh Kang Asep Khairul Gani. Seorang psikolog senior yang mumpuni di bidangnya.

Selain mengikuti workshop, aku akan membaca buku perihal terapi emosi ini yang ditulis oleh Gottman. Aku cukup tertarik karena buku ini yang digunakan oleh Kang Asep dalam workshopnya. Selain itu, kebetulan kemarin aku menemukan emotion wheel yang ditulis oleh Gottman juga. Menarik, karena dari lingkaran emosi yang aku temukan ini, aku menemukan banyak sekali ragam emosi. Untuk memahaminya, aku harus membaca buku ini.

Selain itu, sebagai tambahan yang tidak muat tertulis di dalam peta belajar itu adalah membaca artikel-artikel dari Gottman Institute. Menarik karena kajian yang mereka lakukan sepertinya cukup dalam terkait isu kesehatan mental satu ini. Kemudian, tentunya yang tak kalah penting adalah mempraktikkan terapi yang sudah aku dapatkan di workshop Kang Asep ini kepada suami dan anak-anak terlebih dahulu.

Sebagai user pertama aku, memperaktikan pada suami dan anak-anak menjadi bagian dari tujuan aku mengelola emosi: KELUARGA BAHAGIA.

Selanjutnya, terapi kedua adalah Ghazalian Psychotherapy dari Ricky Firmansyah, salah satu yang menekuni tentang Ilmu Ghazali dalam praktik psikologi di Indonesia. Dia juga pendiri Ghazalian Institute yang ada di Jakarta. Sebenarnya sudah pernah ikut workshop daringnya via Telegram, cuma belum punya waktu untuk menekuni lebih dalam. Maka, aku merasa ini saatnya untuk semakin mendalami.

Apalagi setelah mulai memahami kalau Ghazalian ini memfokuskan pada kebahagiaan. Tentu ini sejalan degan tujuan utama aku mengelola emosi, yaitu BAHAGIA. Nah, praktiknya nanti juga sambil baca buku Psikologi Ghazalian yang sudah ditulis oleh orang yang sama. Bukunya sudah ada, tetapi masih teronggok di lemari sekian lama ini. Ha-ha-ha.

Ilmu Narrative/Writing Therapy

Selama ini aku belum mendalami secara mendalam tentang kedua jenis terapi ini. Namun, kebutuhan untuk lebih memahami tentang teknik terapi ini, membuatku tergerak untuk mendalaminya. Selanjutnya, aku akan mencari ilmunya dari workshop daring, mencari artikel melalui situs yang terpercaya. Detailnya, akan dilalui sambil jalan karena butuh riset dan ketetapan hati. Merasa masih butuh mendalami siapa saja tokohnya jadi belum bisa memutuskan.

Kemudian, paling penting adalah memasukkan journaling sebagai ilmu yang harus aku dalami. Setelah bergabung dengan Temani Indonesia dan bertemu dengan founder @naminaunainstitute sepertinya menarik untuk belajar secara lebih dalam. Kemudian, melanjutkan juga ilmu journaling yang sudah aku dapatkan saat workshop Empowering Innerchild dua tahun lalu, juga bisa menjadi jalan.

Ilmu Manajemen Tugas dan Manajemen Diri

Ini adalah dua ilmu sederhana lain yang sebenarnya sudah aku pelajari bertahun-tahun silam. Dilalah, biasa, ya, praktiknya melenceng. Sudah tahu kalau manajemen tugas itu bagaimana, tapi tidak dipraktikkan itu sama saja nol besar. Keterampilannya jadi nol.

Begitu pula ilmu manajemen diri, seperti ilmu tidur, ilmu diet bernutrisi, dan ilmu olahraga sehat. Semua sudah dicicil dari kemarin, tetapi belum pernah dilakukan secara rutin. Maka, tantangannya adalah bagaimana melakukannya agar bisa rutin.

Tentunya harus baca-baca lagi, maka waktunya buka artikel dan buku lagi yang bahas tentang deep sleep. Sempat punya bukunya tapi ada di Palembang, karena dikasih ke orang tua. Mungkin kalau sempat pulang atau kalau bisa dicarikan deh sama orang rumah biar bisa dikirim ke sini. Kemudian, seputar diet, kembali melakukan rutinitas seperti yang dipelajari. Baca lagi buku tentang nutrisi dan raw food. Sepertinya menarik, ya.

Terakhir, untuk olah raga mau mulai menggerakkan badan dulu selama 100 hari. Mulai dengan apa yang dianjurkan oleh dokter jantung, setidaknya jalan pagi/jogging/sepeda statis dulu selama tiga bulan, baru lanjut ke olahraga kardio dan otot.

Ilmu Tadabbur Ayat dan Qur’an Journaling

Duh, tahun lalu padahal sudah berencana buat bikin journaling Qur’an secara rutin. Akan tetapi, yah, kebanyakan kegiatan jadinya madol. Nah, untuk ilmu satu ini, aku akan rutin ikut kajian ummahat di sekolah Si Sulung, kemudian praktik Qur’an Journaling dari @thequranjournal.id. Bukunya sudah ada, tinggal menuliskan.

Terakhir, lebih banyak lagi baca buku terkait Tazkiyatun Nafs. Yap, belajar ikhlas, mengelola hati, mengelola keimanan. Bukankah itu yang seharusnya bikin kita bahagia?

Intinya, tuh, ya, selama beberapa tahun terakhir aku sudah ikut macam-macam cuma superficial saja. Tidak dijalankan secara rutin, bahkan melewatkan apa yang sudah direncanakan. Hasilnya, aku merasa tidak sehat, makin gak waras. Jadi, mungkin memang sudah waktunya untuk mempraktikkan semuanya agar aku menjadi bunda yang cekatan dalam mengelola emosi.

Semua demi AKU BAHAGIA, KELUARGA BAHAGIA, ORANG LAIN BAHAGIA, DAN SEMUA BAHAGIA.

Satu poin terakhir adalah menulis buku terkait dengan semua proses ini. Semoga menjadi sebuah rencana yang bisa dieksekusi. Sebab, dalam proses menulis buku, aku harus belajar terlebih dahulu. InsyaAllah lewat semua yang sudah dituliskan dalam peta belajar ini, aku bisa menuliskannya dan berbagi kepada lebih banyak orang.

Jurnal Bunda Cekatan #3 Telur Jingga: Apa yang Butuh Dilatih?

Ok, kita lanjut, ya untuk mulai mengembangkan diri menjadi seorang bunda cekatan. Sesuai namanya, cekatan berarti kita menjadi ahli pada satu keilmuan atau bidang tertentu. Itulah tujuan mengapa dari kemarin yang disasar adalah bagaimana cara kita menemukan potensi di dalam diri, mulai dari sesuatu yang suka, bisa, dan penting untuk dilakukan.

Selain itu, perlu ditambah juga dalam mendapatkan keterampilan yang penting, kita harus juga menilai apakah keterampilan itu mendesak untuk dilakukan. Mendesak artinya kalau tidak dikuasai segera akan memengaruhi aktivitas kita sehari-hari. Jadi, lima keterampilan yang sudah disajikan dalam pembahasan telur merah kemarin benar-benar adalah keterampilan yang menurutku butuh sekali ditunaikan segera.

Apa alasannya? Maka, sebagai awalan aku akan menelaah apa strong why dari setiap keterampilan tersebut. Tentunya strong why ini aku rasa masih berhubungan dengan strong why yang sudah aku tuliskan dalam perjalanan telur hijau kemarin, yaitu bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.

Dari semua strong why ini, sebenarnya semua memiliki arah yang sama, yaitu bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Di antara semua itu, keterampilan yang memang bisa mencakup semuanya adalah keterampilan mengelola emosi.

Strong why ini menjelaskan bahwa ada banyak kebaikan yang bisa aku dapatkan ketika berhasil mengelola emosi. Selain itu, setelah dikembangkan lagi, ternyata dengan satu jurus mengelola emosi, aku tidak hanya menguasai keterampilan tersebut. Keterampilan-keterampilan lain yang aku sebutkan di telur merah, misalnya keterampilan menulis dan keterampilan komunikasi bisa juga masuk ke dalam proses ini.

Bismillah, selama tujuh bulan ke depan aku akan memfokuskan diri dalam proses pengelolaan emosi. Bukan hanya menjadi seseorang yang tahu, tetapi cekatan dalam mengelola emosi. Kalau jargonnya Temani Indonesia adalah cerdas mengelola emosi. Bukan, bukan karena aku memang sekarang sedang tergabung dalam tim yang membahas tentang pengelolaan emosi. Mungkin itu hanya salah satu alasan saja, tetapi yang terpenting adalah aku mulai menyadari masalah utamaku sesungguhnya selama beberapa bulan terakhir.

Well, kembali setelah pergulatan sepanjang 2021 yang mana aku merasa penuh dengan gejolak emosional yang tak menentu, mungkin sudah waktunya aku mulai menata kembali aspek psikologis yang satu ini. Dengan demikian, memutuskan untuk memilih keterampilan mengelola emosi sebagai sesuatu yang diseriusi selama beberapa bulan ke depan bisa menjadi senjata untuk pengembangan diriku di masa mendatang.

Jadi, dalam strong why ini aku membaginya dalam semua peran yang aku miliki. Peran sebagai pribadi, istri, ibu, psikolog, penulis, dan sosok individu yang berhubungan dengan orang lain. Semoga dengan mampu mengelola emosi ini, akan mengurangi semua friksi yang terjadi selama ini. Mengurangi konflik-konflik kecil yang menghabiskan energi. Pastinya, menjadi individu yang lebih beriman kepada Allah swt karena telah berikhtiar untuk menaklukkan ujian dari-Nya.

Bukan Sekadar Berilmu

Dari semua itu, yang paling penting aku memahami ilmu apa saja yang perlu aku cari. Jika dijabarkan dari tiap keterampilan yang aku tuliskan di Telur Merah, maka ada beberapa ilmu yang hendak aku cari:

  • Ilmu mengenali emosi diri.
  • Ilmu mengelola emosi diri.
  • Ilmu terapi psikologi.
  • Ilmu konseling.
  • Ilmu coaching.
  • Ilmu manajemen waktu.
  • Ilmu manajemen tugas.
  • Ilmu manajemen diri.
  • Ilmu komunikasi interpersonal.
  • Ilmu komunikasi massa.
  • Ilmu komunikasi tertulis.
  • Ilmu menulis.
  • Ilmu mengedit tulisan.

Maka, aku memilih ilmu-ilmu yang berkaitan dengan strong why itu secara khusus. Dengan demikian, aku memilih empat ilmu berikut untuk aku pelajari lebih dalam selama tujuh bulan ke depan. Bukan hanya sekadar berilmu, tetapi menjadi cekatan dalam menerapkannya.

  • Ilmu emotion focused therapy dan ghazalian therapy. Aku yakin kedua ilmu ini tidak kaleng-kaleng sebagai sumber utama dalam memahami proses pengelolaan emosi. Keduanya bukanlah ilmu yang asing untukku, tetapi dengan mendalaminya bisa menjadi jalan untuk lanjut bermanfaat dan membuat bahagia.
  • Ilmu writing dan narrative therapy. Kalau dua ilmu sebelumnya sebagai bekal kognitif, pengetahuan yang cukup sebelum mulai praktik, maka ilmu ini adalah caraku untuk mematangkan praktik yang aku jalani. Aku merasa teknik terapi ini cocok dengan diriku yang memang lebih suka mengeksplorasi diri melalui tulisan.
  • Ilmu manajemen tugas dan manajemen diri. Manajemen tugas berfungsi untuk mengatur kegiatanku agar memang mengerjakan yang penting dan mendesak. Sebab, selama ini aku merasa tugas yang tidak teratur membuat kondisi emosionalku juga ikut terpengaruh. Jadi, selain menggunakan teknik terapi, melakukan manajemen tugas sehari-hari bisa membantu dalam proses mengelola emosi. Kemudian, manajemen diri berguna agar aku tidak malas, menunda-nunda, dan tidak konsisten dalam melaksanakan praktik pengelolaan emosi. Aku sungguh sadar kalau selama ini aku masih suka menjadi seorang prokrastinator, sampai membuat aku stres sendiri dan berpengaruh terhadap kondisi emosionalku. Dengan mendalami ilmu ini, setidaknya aku menjadi tahu kunci-kunci yang bisa digunakan untuk terus memacu diri agar menyelesaikan semua yang sudah aku mulai.
  • Ilmu tadabbur ayat dan Qur’an Journaling. Tentunya proses perubahan diri terbaik adalah dengan melibatkan Allah di dalamnya. Aku sendiri merasa ketika semakin sering melakukan tadabbur ayat selama setahun terakhir, itu memberikan efek lebih baik pada ketenangan jiwaku. Maka, aku berencana semakin mendalami ini agar kembali menguatkan proses diri, menjadi bahagia dengan kebahagiaan sejati, yaitu makin mengenal Al-Qur’an dan mencintai Allah dengan kesungguhan hati.

Menemukan Sumber Ilmu dan Cara Belajar

Selanjutnya, setelah tahu ilmu apa saja yang mau aku dapatkan, maka waktunya untuk mencari sumber ilmu. Sebagai seseorang yang memang terbiasa untuk menggali sumber ilmu dari yang sahih, seperti yang diajarkan semasa kuliah dulu, memang aku tidak keluar dari jalur keilmiahan. Maka, pilihan utama tentu menjadi para pakar yang sudah mumpuni di bidang ini (tentunya yang aku yakini kredibilitasnya) dan sumber-sumber literatur yang sahih pula, seperti buku dan artikel jurnal.

Sumber-sumber Ilmu yang Hendak Dicari.

Dalam pakar keilmuan aku mengkhususkan pada emotion focused therapy dan ghazalian therapy. Kebetulan untuk terapi yang pertama memang akan aku ikuti di akhir pekan ini, sedangkan terapi yang kedua sudah pernah aku dapatkan. Namun, aku merasa pada saat dulu belajar terapi kedua aku belum terlalu serius dan menganggapnya angin lalu.

Dilalahnya, setelah kemarin ikut kajian orang tua santri di sekolah Si Sulung, aku mendapati Imam Ghazali ini menjadi salah satu contoh tentang prinsip menjalani hidup yang bahagia. Akhirnya, setelah membaca lagi sedikit risalah terkait terapi yang kedua ini, aku merasa inilah yang aku cari: resep menuju kebahagiaan. Apa kaitannya dengan mengelola emosi?

Seseorang yang mengalami masalah emosional identik dengan ketidakbahagiaan karena dirinya sering dilingkupi oleh pikiran dan emosi yang cenderung negatif. Maka, menjadi bahagia adalah tujuan selanjutnya setelah berhasil mengelola emosi. Oleh karena itu, mengapa tidak mencoba untuk mendalaminya? Siapa tahu bisa menjadi alternatif jalan demi menemukan kestabilan emosi, benar?

Kemudian, tentunya ilmu-ilmu lain yang erat berhubungan dengan pengelolaan emosi, misalnya terapi menulis, terapi naratif, dan mindfulness. Sependek yang aku pahami, ilmu-ilmu psikologi ini erat hubungannya dengan kemampuan kita melatih diri untuk berada di kondisi here and now serta mencari tahu sebab-sebab masalah kita, terutama yang berkaitan dengan kondisi emosional.

Lanjut tentunya pengalaman-pengalaman yang aku miliki sepanjang berhubungan dengan klien di sesi konseling. To be honest, kadang psikolog juga mendapatkan insight saat sedang melakukan konseling kepada kliennya. Sebab, seringkali ada saja hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dari tulisan di buku literatur. Praktik langsung di lapangan akan memberikan banyak pengalaman berharga karena kita bisa melihat wujud nyata masalah yang sekiranya kita pikir hanya ada di dalam tulisan.

Terakhir, tentunya butuh disyukuri karena dikelilingi oleh lingkungan yang penuh ahli psikologi. Adanya diskusi-diskusi dan seminar berkaitan dengan masalah ini bisa menjadi sumber referensi lain dalam proses belajar mengelola emosi.

Cara Saya Belajar.

Seiring bertambahnya usia, aku menyadari cara-cara belajar yang cocok untuk diri ini. Utamanya adalah membaca. Alhamdulillah Allah kasih kelebihan mudahnya memahami dan mencerna tulisan. Dengan demikian, senjata utamaku kalau belajar adalah dengan membaca. Allah beri kemudahan untuk mengingat dan memaknai setiap tulisan yang telah aku baca, kemudian mengaitkannya dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan.

Selanjutnya, tentu berguru langsung dengan ahlinya lewat pelatihan. Seperti yang aku sampaikan, qadarullah ada kesempatan untuk belajar terapi yang berfokus pada emosi akhir pekan ini. Kemudian, ada akses untuk mengikuti terapi-terapi lainnya. Intinya, dengan ikut pelatihan aku merasa akan lebih tercerahkan karena bisa praktik langsung. Pelatihannya pun biasanya lebih pilih yang training for trainer, sekalian untuk kepentingan di sesi konseling. He-he-he.

Lanjut, yang paling penting dari semua itu adalah praktik. Selama ini, aku merasa belum maksimal karena praktik yang belum serius. Tidak konsisten. Oleh karena itu, satu poin penting yang aku tekankan selama tujuh bulan ke depan adalah bagaimana aku bisa mempraktikkan semua keilmuan yang aku dapatkan itu dengan mempraktikkannya. Doakan, ya.

Terakhir, tentunya setelah semua selesai, aku berencana menulis buku terkait proses ini. Semoga menjadi dorongan untuk mengerjakan semuanya secara tuntas.

Sejatinya, perubahan itu adalah tentang bersedia dan bersiap dengan semua proses perubahan itu. Seperti yang aku unggah dalam tulisan sebelum ini, bahwa sebuah niatan untuk berubah akan menjadi sia-sia jika kita tidak bersedia untuk menerima perubahan itu, menerima rasa tidak menyenangkan yang menyertai dalam perubahan itu, serta bersiap menerima bahwa kita akan segera keluar dari zona nyaman selama ini.

Maka, sudahkah kita menyediakan diri, menyediakan hati, menyediakan waktu untuk melatih diri dengan ilmu yang baru. Semoga kita menjadi individu yang terus berupaya memperbaiki diri sampai Allah menjemput kita kembali.

Jurnal Bunda Cekatan #2 Telur Merah: Menilik Keterampilan

Baik, setelah kemarin berkutat dengan mencatat semua aktivitas yang selama ini menjadi rutinitas sehari-hari, saatnya mulai mengulik dari semua aktivitas itu sebenarnya keterampilan apa yang dibutuhkan.. Menilik keterampilan dibutuhkan agar kita memahami bahwa untuk mempermudah melakukan suatu aktivitas, artinya kita harus mengembangkan keterampilan yang terkait dengan aktivitas itu.

Contohnya, saat suka menulis, tentunya kita ingin suatu saat kemampuan menulis itu meningkat. Bukan hanya dalam tahapan menulis sebagai ajang curhat, tetapi bagaimana agar tulisan kita lebih mudah untuk dibaca dan dipahami pembaca.

Nah, di tahapan bunda cekatan kali ini, telur merah, tugasnya adalah membuat daftar keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk menyokong aktivitas terpilih yang sudah ditulis di telur hijau. Dalam proses pembuatan daftar keterampilan ini terasa agak sulit karena harus mengingat-ingat cara membuat daftar keterampilan/kompetensi yang dulu dipelajari saat masih kuliah psikologi.

Apalagi dari serangkaian aktivitas yang aku pilih kemarin, sebenarnya aktivitas itu sudah aku kerucutkan ke dalam aktivitas-aktivitas yang merangkum semua kegiatanku. Jadi, sebenarnya keterampilan yang dibutuhkan tidaklah banyak dan cukup sederhana. Dengan demikian, semua keterampilan yang aku buat sesungguhnya memang sudah mengerucut juga pada keterampilan yang memang sedang ingin aku kembangkan.

Namun, sebagai bahan pembelajaran, tidak salah juga untuk mulai menjabarkan lagi agar aku semakin paham dengan diriku sendiri. Sebenarnya, dari semua aktivitas ini keterampilan apa yang sudah ada, masih butuh dikembangkan, dan sudah berkembang.

Dari semua daftar itu sebenarnya tidak ada keterampilan menonjol yang harus kejar. Sebab, beberapa keterampilan memang sudah aku dapatkan semenjak belajar di bangku kuliah, kemudian diasah seiring dengan praktik yang aku lakukan di lapangan. Sejumlah keterampilan juga bersifat umum, sehingga bisa dikembangkan lagi sesuai dengan kebutuhan situasi.

Misalnya, keterampilan berkomunikasi. Aku masih merasa keterampilan ini butuh makin dikembangkan karena ada beberapa situasi yang membuat aku merasa sangat kurang. Misalnya, saat berbicara kepada anak, bagaimana sebenarnya cara berkomunikasi yang tepat?

Maka, untuk tahu di antara semua keterampilan itu mana yang harus segera aku kembangkan, aku mencoba memasukkannya ke dalam diagram penting-mendesak. Dengan menelaah di antara keterampilan itu mana yang penting untuk aku kembangkan agar menunjang aktivitas yang rutin dilakukan, serta mana yang butuh ditunaikan segera, akan memudahkan langkah untuk mengambil langkah selanjutnya dalam mengembangkan diri.

DIagram penting-mendesak.

Ok, dari diagram ini sebenarnya terlihat hampir semua keterampilan yang sudah dijabarkan sebenarnya sudah masuk kategori penting. Namun, ada yang butuh segera ditunaikan, ada juga yang masih bisa ditunda. Sebenarnya, keterampilan-keterampilan yang ada di kolom tidak penting itu bukan berarti memang keterampilan tersebut tidaklah penting. Melainkan, keterampilan itu masih bisa dilakukan orang lain untuk mendukung aktivitasku. Selain itu, keterampilan itu aku rasa sudah tuntas aku miliki, sehingga belum menjadi prioritas lagi dalam daftar pengembangan diri.

Karena ketika kita sudah memilih aktivitas yang sesungguhnya kita sukai dan bisa dilakukan, keterampilan-keterampilan yang disajikan pun harusnya sudah mencakup itu. Oleh karena itu, aku merasa sayang kalau harus dibuang dan tidak diprioritaskan.

Meskipun demikian, sebagai seorang manusia kita memiliki keterbatasan waktu. Demi mengembangkan diri, berarti kita membutuhkan waktu lebih agar bisa mengasah keterampilan-keterampilan itu. Di sela-sela peran utama sebagai istri dan ibu, maka harus pandai memilah mana sesungguhnya keterampilan yang memang ingin dikembangkan.

Jadi, aku mencoba memilih lima keterampilan yang hendak aku terus kembangkan ke depannya. Sebagian sebenarnya sudah aku kembangkan sebelum mulai menulis jurnal ini. Namun, demi meningkatkan keterampilan itu agar terus ajeg, maka aku akan tetap menuliskannya sebagai bagian dari daftar keterampilan yang aku butuhkan untuk menunjang aktivitasku di berbagai peran yang ada.

Daftar Keterampilan yang Ingin Dikembangkan.

Dua hal paling utama yang menurutku masih butuh dikembangkan adalah keterampilan manajemen waktu dan keterampilan mengelola emosi. Sebab, dua keterampilan ini menjadi kunci utama dalam menjalankan aktivitas sebagai istri, ibu, maupun perempuan. Selain itu, aku merasa kedua keterampilan ini yang masih harus ditingkatkan karena masih suka kewalahan dalam mengatur waktu, menyusun tugas, maupun mengelola emosi saat berhadapan dengan anak-anak.

Semoga dengan membuat daftar ini aku makin bisa mereduksi banyaknya jalan bercabang di depan mata. Memilih memang keterampilan yang dibutuhkan agar sejalan dengan tujuan hidup ini.

Nah, bagi kamu yang mau mulai mencari potensi untuk dikembangkan, boleh mulai memulai langkah-langkah ini juga, ya.

Jurnal Bunda Cekatan 1# Telur Hijau: Antara Suka dan Bisa

Alhamdulillah mulai bulan Desember 2021 ini aku memulai perjalanan baru lagi di Institut Ibu Profesional. Sebuah kelas yang merupakan lanjutan dari tahapan Bunda Sayang yang aku jalani selama kurang lebih sembilan bulan di tahun 2020-2021 kemarin. Tahapan kali ini diberi nama Bunda Cekatan.

Sesuai dengan tahapan menjadi seorang ibu, setelah tuntas menjalankan peran sebagai ibu bagi anak-anak, maka selanjutnya seorang ibu bisa mulai mengenali potensi yang ada di dalam diri, agar bisa mengepakkan sayap menjadi kupu-kupu cantik.

Demi menjadi kupu-kupu, seorang ibu harus mampu bermetamorfosis, melewati tiap tahapan dengan baik. Pada tahapan pertama ini, ibarat telur, maka para ibu hendaknya mencari bekal agar mampu berkembang menjadi kupu-kupu yang cantik dengan mengenali diri sendiri.

Tahap #1 Telur Hijau

Sebagai pembukaan, pada tahap pertama telur hijau ini, kami diminta untuk memahami tentang diri sendiri, seputar apa yang bisa dan suka dilakukan. Ini dibutuhkan karena sebagai ibu terkadang kita menjalani aktivitas sebagai suatu rutinitas, sehingga mengenyampingkan apakah benar aktivitas itu memang bisa dilakukan dan suka untuk dijalani. Seringkali akhirnya antara bisa dan suka ini tertukar atau tidak disadari.

Maka, harus mulai dari mana?

Mulailah dengan mencatat semua aktivitas yang selama ini dilakukan sebagai ibu, melalui semua peran yang diambil. Baik itu sebagai istri, ibu, pribadi. Nah, kali ini aku sendiri akan mendata aktivitas itu melalui peranku sebagai ibu rumah tangga, psikolog, penulis, maupun pribadi.

Dari keempat peran ini aku menyadari kalau selama ini aku lebih banyak menjalani aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan pribadiku. Peran sebagai psikolog dan penulis adalah dua peran yang aku ambil untuk kepentingan pribadi. Memenuhi peranku agar menjadi seseorang bermanfaat bagi orang banyak.

Sebaliknya, sebagai ibu rumah tangga, aktivitas yang dikerjakan tidaklah banyak. Namun, kalau dipikirkan lebih lanjut, aktivitas itulah yang memakan lebih banyak waktuku dalam 24 jam. Jika ditambah dengan aktivitas dari peran lain, maka bukankah sudah sewajarnya kalau aku merasa terkadang overwhelmed dengan semua rutinitas?

Karena tak ada ruang untuk menyelesaikan semua aktivitas itu, bahkan terkadang antar aktivitas terjadi tumpang-tindih, sehingga prioritas pun terganti. Dengan membuat daftar ini aku menyadari ada yang harus diperbaiki dalam memahami tiap aktivitas ini, kemudian menyusun mana yang harus menjadi prioritas untuk dikerjakan. Dengan demikian, aku tidak merasa terbebani oleh semua aktivitas ini.

Selanjutnya, adalah mengelompokkan aktivitas-aktivitas itu ke dalam kuadran bisa-suka. Mengapa ini penting? Sekali lagi untuk mengenali, dari semua rutinitas yang dijalani, apakah kita menjalankan itu karena sebuah kebutuhan, keinginan, atau kewajiban. Ini penting karena berkaitan dengan kondisi kesehatan mental kita.

Coba bayangkan, ketika kita mengerjakan aktivitas hanya berdasarkan rasa wajib atau keharusan tugas itu harus selesai, beban mengerjakan tugas itu menjadi dua kali lipat. Beban kerjanya sendiri ditambah beban psikologis yang dimunculkan karena tidak dengan 100 persen sepenuhnya mengikhlaskan diri mengerjakan tugas itu.

Nah, sekarang aku mencoba untuk membuka aktivitas-aktivitas itu menjadi kuadran suka-bisa.

Ternyata, setelah dibagi-bagi, sebenarnya ingin sekali memasukkan semua aktivitas itu ke dalam kuadran bisa-suka. Karena setelah menjalani semua aktivitas itu hingga hari ini, aku sudah mulai mencoba berdamai dengan semuanya. Tidak lagi menggerutu setiap kali harus menyetrika dan melakukan aktivitas lain yang selama ini tidak terlalu aku sukai.

Bahkan ketika menuliskan aktivitas untuk tidak bisa-tidak suka awalnya aku agak bingung. Karena dari semua daftar aktivitas itu, tidak ada daftar aktivitas yang tidak bisa aku sukai atau tidak bisa dilakukan. Mungkin karena sebenarnya selama ini aku sudah menjalani aktivitas yang memang bisa dan aku suka lakukan. Jadi, bukankah itu berarti selama ini aku sudah tidak mengerjakan aktivitas yang membuatku nyaman?

Berarti, selama ini apa yang bikin emosiku kadang tidak stabil, ya? He-he-he. Sepertinya bukan karena aku tidak suka atau tidak bisa melakukan hal itu. Melainkan, karena ada hal lain yang membuat aku tidak bisa memaksimalkan aktivitas yang sudah selama ini menjadi rutinitas. Sebab lain mungkin karena terlalu banyak aktivitas yang harus dilakukan, sehingga aku merasa lelah berlebihan, yang mudah membuat emosi meletup-letup.

Hmmm, berarti tahap selanjutnya selain mengenali aktivitas yang disukai dan bisa dilakukan ini adalah mulai menakar, mana saja aktivitas yang harus dikurangi agar kesehatan mentalku tetap terjaga.

Ok, selanjutnya adalah mencari dari kuadran bisa-suka lima aktivitas yang ingin aku kembangkan ke depannya. Sebenarnya, setelah dibaca-baca lagi dari empat peran itu ada beberapa aktivitas yang sebenarnya mirip, tetapi berada dalam situasi yang berbeda. Misalnya, aktivitas konseling, mentoring kepenulisan, dan coaching, baik kepada anak-anak maupun orang lain, itu adalah aktivitas yang serupa, yaitu memberikan arahan dan nasehat kepada orang lain.

Dengan demikian, aku menyimpulkan lima aktivitas yang akan aku kembangkan dalam beberapa bulan ke depan dengan menarik kesimpulan dari aktivitas-aktivitas yang mirip dari semua peran yang aku jalani.

Ternyata, aku sangat suka dengan aktivitas berbagi, baik dengan memberikan arahan dan nasehat kepada orang lain; berbagi dan berdiskusi dengan orang lain; dan menulis. Semua adalah aktivitas yang mana diriku merasa berharga karena merasa mampu membantu orang lain. Maka, untuk mencapai itu semua didukung oleh aktivitas belajar hal-hal baru untuk mengembangkan diri karena tanpa belajar ilmu baru, aku tidak bisa berbagi kepada orang lain.

Di sisi lain, ada satu aktivitas yang baru aku sadari, yaitu mengatur dan mengedit. Itu merupakan aktivitas yang sifatnya administratif. Menuntut perencanaan dan ketelitian. Kalau dipikir-pikir aku memang merasa demikian. Sangat suka dengan memunculkan ide, membuat perencanaan, dan teliti dalam memperhatikan hal detail. Sayangnya, ini kurang diikuti oleh pelaksanaan atau praktik yang baik, sehingga kadang semua ide itu bertumpuk di dalam pikiran dan jarang dieksekusi.

Semua aktivitas itu menggambarkan memang kalau aku lebih kuat dalam memanfaatkan intelektualitasku untuk merencanakan, mengembangkan, dan membagikan sebuah ide kepada orang lain. Mungkin ini sebabnya ada pekerjaan rumah tangga yang kadang hanya jadi wacana dan lambat dieksekusi, he-he-he.

Mencari Strong Why untuk Menguatkan Diri

Satu hal penting untuk menjaga aktivitas itu menjadi sesuatu yang bersifat rutinitas bahkan mengakar pada diri, tentunya harus ada strong why, yang menjaga motivasi dan semangat untuk berbenah. Maka, dari semua aktivitas yang sudah aku pilih untuk dikembangkan ke depannya, aku merasa kembali pada alasan kuat ingin bermanfaat bagi banyak orang.

Berbagi, memberikan ilmu, dan peduli dengan masalah orang lain adalah alasan kuat mengapa aku menjalani aktivitas yang sudah aku pilih di atas. Sesuai dengan hadis berikut:

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

Maka, itu yang menjadi batu pijakan bagiku untuk mengembangkan diri sebagai kupu-kupu yang cantik. Tentunya demi menjadi seseorang yang bermanfaat haruslah pandai mengisi ilmu dan terus belajar. Karena orang yang berbagi tanpa ilmu hanyalah orang yang kosong. Bukannya bermanfaat malah menjadi mudarat.

Sebagai individu, demi mencapai manfaat itu juga aku harus memiliki perencanaan, untuk memahami langkah-langkah yang tepat dalam menggapai semuanya. Satu hal yang harus aku koreksi, sepertinya manfaat itu harus dibalik, bukan untuk manfaat kepada masyarakat terlebih dahulu, tetapi manfaatuntuk keluarga kecilku.

Maka, ke depannya mungkin aku akan lebih banyak menghabiskan waktu dalam diskusi, menimba ilmu, dan berbagi ilmu kepada anak-anak. Memperbaiki praktik-praktik kebermanfaatan itu agar benar-benar terasa oleh anak-anak. Selain itu, mulai bergerak agar semua ide yang muncul tidak hanya bermain di kepala, tetapi juga menjadi sebuah wujud nyata.

Maka, setelah mulai membuka diri untuk mengenal lebih baik mengenai aktivitas yang disukai dan bisa dilakukan, itu menjadi langkah awal yang baik untuk perbaikan dan pengembangan diri ke depannya. Bisa jadi ini awalan yang sulit karena ada banyak catatan dari semua rutinitas yang dilakukan.

Bismillah, semoga Allah berikan banyak kebaikan untuk memulai semua langkah yang diharapkan baik ini.