Kurikulum Merdeka, Betulkah Kurikulum yang Tepat untuk Anak Indonesia?

Saat ini dunia pendidikan sedang dihadapkan pada sebuah perubahan besar: kurikulum merdeka. Sebuah kurikulum yang dicanangkan oleh menteri pendidikan terkini, Nadiem Karim. Sebuah gebrakan besar, pasalnya kurikulum ini seolah membongkar kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun belakangan. Bahkan lebih jauh lagi, benar-benar membongkar habis sistem pendidikan Indonesia selama ini.

Sebenarnya pembahasan tentang pendidikan Indonesia ini selalu menarik untuk dikaji. Sebagai penduduk yang sudah merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia ini semenjak kecil, bahkan pernah duduk memandangnya dengan peran yang lain selain sebagai siswa, ada banyak kritik terhadap arah perkembangan pendidikan kita ini.

Rasanya pendidikan ini makin lama makin kehilangan arah. Seiring banyaknya perubahan kurikulum setidaknya selama dua puluh tahun terakhir. Seolah tak ada pendidikan yang ajeg karena selalu berganti kurikulum. Ganti menteri, ganti kurikulum.

Mengapa aku bisa bilang kehilangan arah?

Sebagai mantan pendidik di perguruan tinggi, aku benar-benar merasakan efek tidak menyenangkan dari hasil sistem yang ada selama ini. Betapa rasanya pendidikan kita begitu gagal karena tak bisa mencetak individu yang memiliki keterampilan yang cukup sebagai seorang manusia dewasa.

Kok bisa? Bukankah itu sebuah penilaian yang dianggap subjektif semata? Belum ada penilaian terukur untuk membuktikan semua itu. Hanya ada opini-opini serupa yang hadir, tetapi tanpa data terpercaya. Yah, mau bagaimana juga, kita tak hanya bisa berbicara tentang opini tanpa data faktual. Toh, kita tak sebanding dengan orang-orang yang merancang maupun melaksanakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, ada sebuah kesimpulan menarik ketika beberapa hari yang lalu aku dan saudaraku mendiskusikan tentang kurikulum merdeka ini. Ada cukup banyak perubahan yang sangat signifikan terkait tenaga pengajar, hasil lulusan, dan makna “kemerdekaan” yang diusung kurikulum ini. Detailnya coba dicari sendiri, ya karena tulisan ini tak akan membahas detail seperti itu. Melainkan sebuah opini untuk melihat, sebenarnya apa arti pendidikan yang sesungguhnya.

Ya, sebenarnya pendidikan itu maknanya apa?

Kalau berkaca pada apa yang sudah dijalani sejak kecil, meskipun sekarang kurikulumnya sudah berubah, sepertinya konsepnya masih sama saja. Mengejar kompetensi, persaingan antar individu, siapa yang pintar dia yang menang. Kesimpulan paling tepat dari sistem pendidikan kita adalah pendidikan yang jauh dari pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang menjauhkan dari konsep belajar yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan itu.

Jika mengambil dari definisi belajar, “Menambah repertoir memori manusia,” maka rasanya pendidikan itu sudah gagal total. Buktinya, seberapa banyak perubahan yang terjadi, seberapa banyak materi yang dipelajari masih melekat dalam ingatan kita setelah beranjak dewasa. Semua itu disebabkan oleh selesainya “belajar” yang dimaksud setelah ujian berakhir. Pendidikan hanya sekadar mendapatkan nilai tertinggi agar mendapatkan status yang dibutuhkan di masyarakat. Jadi, ketika gagal, maka dianggap sebagai kegagalan total.

Dalam diskusi pekan lalu itu akhirnya ada sebuah kesimpulan yang menurutku benar-benar mencerminkan arti pendidikan itu. Pendidikan itu seharusnya tentang membandingkan kemampuan anak hari ini dengan kemampuannya kemarin. Begitu pula tentang merancang apa yang dibutuhkan oleh seseorang ke depannya. Artinya, pendidikan itu bukan tempat ajang persaingan. Melainkan bagian dari bagaimana mengembangkan individu agar mencapai manfaat semaksimal mungkin. Sesuai dengan konsep belajar, ketika pendidikan diberikan secara khusus, spesial untuk setiap orang, maka proses belajarnya akan menjadi lebih maksimal. Repertoirnya akan terus bertambah karena pendidikan itu disetting khusus sesuai kemajuan individu.

Yap, bukan tentang persaingan, siapa yang paling pintar, melainkan apakah saya sudah lebih pintar dibandingkan diri saya kemarin. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk menentukan jalan belajarnya sendiri. Sebuah konsep yang harusnya dilatihkan kepada anak-anak semenjak kecil agar ketika dewasa ia bisa menerapkan konsep belajar seumur hidup. Ketika dewasa, tak akan ada kebingungan, “Saya itu potensinya apa?” atau “Apa pekerjaan yang saya pilih?” karena sudah memiliki peta yang jelas tentang pencapaian pribadinya.

Akhirnya, pendidikan yang demikian akan mengajarkan dorongan dari dalam, belajar karena kebutuhan, menjadi terdidik karena memang membutuhkan. Bukan karena paksaan dari luar, tuntutan lingkungan yang kalau gak sekolah dinilai buruk. Sebab, ketika sekolah, menjalani pendidikan, atau belajar itu hanya karena tuntutan lingkungan, maka motivasi internalnya tidak ada. Jika demikian, ketika pendidikan tidak memberikan kenyamanan yang dibutuhkan, tidak memberikan kebutuhan, atau lebih buruknya lagi menjadi tempat bertemunya banyak keburukan, bukankah menjadi wajar akhirnya merasa sekolah itu tak butuh. Berhenti, kalaupun masih sekolah, tidak menemukan makna belajar yang sesungguhnya. Hanya demi memenuhi nilai, dengan menghalalkan semua cara.

Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang mendapatkan keterampilan untuk berpikir, bersikap analitis, mampu memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, berkomunikasi dengan baik, dan sebagainya. Keterampilan-keterampilan yang didapat setelah anak terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian, ia memiliki bekal yang cukup untuk kehidupan masa depan.

Visi Pendidikan Keluarga dan Kurikulum Pendidikan

Okelah sekarang mau tidak mau kita harus hidup di kondisi yang tidak ideal. Pendidikan formal yang diberikan pemerintah masih mencari warna yang pas untuk memberikan pendidikan terbaik bagi warganya. Perubahan kurikulum itu mungkin masih akan menjalani perjalanan panjang, hingga bisa mengimplementasikan kemerdekaan sesungguhnya kepada calon penerus bangsa.

Kebingungan dalam kurikulum ini pula membuat semakin banyaknya orang tua yang memilihkan anak-anak mereka untuk homeschooling, bersekolah di rumah. Bukan berarti memindahkan sekolah dengan semua kurikulumnya ke rumah, homeschooling mengusung visi pendidikan keluarga sebagai basisnya. Termasuk melihat kebutuhan masing-masing anak, sehingga setiap anak dalam sebuah keluarga bisa jadi mendapatkan pendidikan berbeda. Ritme masing-masing pun berbeda, jika memang bisa cepat, silahkan, jika tidak silahkan. Bahkan ada beberapa teman yang praktisi homeschooling yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya memilih keterampilan/pengetahuan apa yang mau mereka kembangkan pada satu semester.

Tentunya kemampuan untuk menentukan pilihan itu tidak lahir instan. Diawali dengan orang tua yang harus berjibaku terlebih dahulu menanamkan visi keluarga, memberikan kesempatan untuk mencobakan semua materi kepada anak-anak, termasuk jeli melihat potensi anak agar bisa terarah kebutuhannya. Hasilnya, tampak sekali itulah makna pendidikan sesungguhnya, mereka menemukan jalan yang dibutuhkan.

Namun, tidak melulu kita akhirnya harus beralih kepada homeschooling. Semua sebenarnya kembali pada visi pendidikan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki bayangan ke depan anak kita akan seperti apa. Menjadi anak baik? Baik yang seperti apa? Menjadi pintar? Pintar seperti apa? Visi ini harus jelas, kembalikan lagi pada keyakinan yang dimiliki masing-masing.

Menyekolahkan anak tanpa visi pendidikan sama saja seperti membiarkan mereka menyelam dalam lautan yang dalam tanpa punya tujuan. Berbeda ketika punya visi, misalnya mereka ingin menjadi orang pertama yang masuk ke dalam palung terdalam, maka mereka akan mencari beragam cara untuk mewujudkan itu. Bisa jadi dengan belajar mana saja palung yang ada di bumi ini. Lalu, belajar bagaimana caranya menciptakan alat yang bisa membantu manusia menyusuri palung terdalam. Ketika bervisi, anak menjadi jelas, apa yang harus ia capai dari semua pendidikan ini. Dengan demikian, ketika lelah melanda, mereka akan kembali bersemangat karena memiliki visi tersebut.

Sebagai seorang muslim, apa visi pendidikan kita?

Kajian terakhir untuk orang tua santri saat Si Sulung kelas satu kemarin benar-benar kembali mengisi ulang semangat untuk kembali pada visi pendidikan ini. Visi pendidikan tidak hanya mengarahkan anak-anak, tetapi juga menjadi petunjuk bagi orang tua, bekal apa yang mereka butuhkan untuk mendidik anak-anak. Termasuk memilihkan pendidikan untuk anak-anak.

Jika memang masih membayangkan anak kita menjadi “robot” serba bisa, maka silahkan saja menyekolahkan ke tempat yang menyediakan semua itu. Jika memang ingin me-launching anak-anak menjadi anak bertaraf internasional, silahkan saja untuk menyekolahkan ke sekolah dengan tujuan tersebut. Namun, coba renungi kembali, setelah semua mimpi duniawi yang tercapai itu: anak yang pintar, lulus perguruan tinggi bergengsi, dapat pekerjaan di perusahaan multinasional, punya mobil, rumah, dan sebagainya, sebenarnya apa yang dibutuhkan dari mereka selanjutnya?

Kami sebagai orang tua masih percaya, agama harus didahulukan dibanding hal lainnya. Di atas semua pelajaran duniawi yang diberikan di bangku sekolah. Matematika, Bahasa, IPA, IPS, beserta turunannya, sebenarnya apa yang membuat semua ilmu itu lebih baik dibandingkan ilmu agama. Jika memang takut nantinya anak tidak bisa survive karena tidak bisa memiliki ilmu duniawi, tidak pandai, tidak juara, tidak ikut kompitisi, coba renungi kembali sebenarnya apa yang ditakutkan?

Namun, bisa jadi memang kita semua berada di jalur yang berbeda-beda. Kita memiliki dunia yang berbeda dalam memandang visi pendidikan . Jadi, kita pun tidak bisa saling mendebatkan mana yang terbaik. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan seberapa banyak anak kita mampu belajar di saat bersamaan? Mampukah ia menguasai semuanya? Mana sebenarnya ilmu yang harusnya ia kuasai terlebih dahulu, dibanding ilmu lainnya?

Semua jawaban itu akan didapat ketika kita mencari ilmunya. Mencari tahu, sesungguhnya pendidikan terbaik sebagai muslim itu yang seperti apa? Menyusuri riwayat pendidikan itu dalam sejarah Rasulullah saw, sang pengajar terbaik sepanjang zaman. Menghasilkan orang-orang terbaik, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Jika menemukan, sudahkah visi pendidikan maupun pilihan kurikulum kita sudah sejalan dengan itu semua?