Perjalan Si Tengah Mulai Sekolah

Tak berasa Si Tengah sudah memasuki usia lima tahun. Tepatnya lima tahun empat bulan saat ini. Perasaan baru kemarin membahas tentang alasan memilih sekolah untuk Si Sulung. Ternyata waktu begitu cepat berlalu dan sampailah Si Tengah pada masa pendidikan pertamanya.

Sejak pandemi dinilai berakhir di tahun 2022 kemarin, sekolah mulai beroperasi seperti sedia kala. Tetap dengan menjalankan protokol kesehatan, berupaya menjaga agar kesehatan semua sivitas akademika tetap sehat. Maka, kami pun memutuskan agar Si Tengah mulai sekolah.

Kali ini pilihan masih sama, TK dulu untuk membiasakan Si Tengah dengan situasi sosial, guru, teman sebaya, maupun lingkungan sekolah. Tak ayal pandemi tetap membuat anak-anak terbatas pergaulannya. Apalagi Si Tengah termasuk yang tak pernah lepas sisiku. Harapannya, dengan sekolah dulu ia sudah cukup siap untuk masuk ke sekolah Si Sulung yang memang menuntut kemandirian para santrinya.

Kami pun memilih TK yang berbeda dengan Si Sulung setelah beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah kesesuaian pengajaran dengan tempat Si Sulung sekolah. Sebenarnya TK ini juga sempat menjadi incaran ketika mau menyekolahkan Si Sulung, Qodarullah saat itu tidak ada tempat kosong, sehingga ia urung bersekolah di sana.

Mungkin karena baru selesai pandemi, tidak banyak anak yang bersekolah di tingkatan KB, sehingga Si Tengah masih bisa diterima di TK A-nya. Meskipun tidak memiliki fasilitas seperti sekolah Si Sulung, ada rasa yakin saja untuk memasukkan Si Tengah ke sana karena kurikulum yang dipegang oleh sekolah itu. Sebuah landasan yang paling penting ketika memilih sekolah.

Ada banyak rasa takjub yang menghampiri hati dari sekolah itu. Sederhana, tetapi ternyata apa yang didapat sepertinya melebihi yang dibayangkan. Bersyukur bisa memasukkan ananda ke TK ini.

Namun, ternyata kekhawatiran yang diperkirakan terjadi. Saat hari pertama masa orientasi sekolah Si Tengah kesulitan mengendalikan dirinya ketika diantar masuk ke sekolah. Tampak sekali ada rasa cemas, khawatir, dan sedikit ketakutan di matanya. Pesan emosi itu sampai ke diriku. Tadinya sudah berniat meninggalkan ia, akhirnya saya memilih untuk menunggui sampai selesai orientasi.

Benar saja ketika anak-anak mulai berbaris keluar menuju lapangan, tak nampak Si Tengah. Ia keluar belakangan bersama seorang guru dalam kondisi habis menangis. Melihat itu aku terenyuh lalu memanggilnya. Tentu saja ia kembali menangis karena merasa takut saya tinggalkan. Akhirnya, dengan sedikit pembicaraan saya memberitahu bahwa saya ada di sana, walau tidak berada di sebelahnya. Benar saja, sepanjang kegiatan di lapangan, matanya tak lepas, terus mencari saya.

Rasanya berbeda sekali dengan Si Sulung yang ketika tes masuk sekolahnya sekarang berani melangkah maju, walau ada rasa takut yang tampak. Ia tak menangis ketika ditinggalkan bahkan merasa senang sudah menjalani tes kala itu. Benar, ya tiap anak akan punya pengalaman berbeda pula.

Alhamdulillah, Si Tengah bisa segera kembali baik. Setelah melalui proses briefing yang panjang dan usaha dari para guru untuk membuatnya nyaman, Si Tengah betah bersekolah di sana.

Ada banyak petikan hikmah yang kami sebagai orang tua dapatkan setelah ananda bersekolah. Ada banyak potensinya yang mulai terlihat. Di balik emosinya yang mudah sekali terpicu dan memengaruhi perilakunya, ada banyak kelebihan lain yang tak juga kalah.

Salah satu yang mampu menjaga kestabilan emosinya adalah kegiatan mewarnai dan menggambar. Dibanding Si Abang yang lebih senang menghapal dan berimajinasi, ternyata Si Tengah bisa dengan tekun mewarnai dan menggambar.

Sebenarnya bakat ini mulai terlihat saat masih belajar bersama saya di rumah. Namun, belum benar-benar terasah karena aktivitasnya kurang konsisten. Dengan demikian, ada rasa senang ketika akhirnya Si Tengah menemukan kegiatan yang ia sukai dan minati. Bahkan perkembangan gambarnya pun terbilang cepat.

Saat baru masuk, gambarnya masih cukup abstrak. Namun setelah sekitar sembilan bersekolah sekarang dia sudah bisa menggambar sosok orang yang lengkap, bukan lagi stick figure, Alhamdulillah.

Secara kognitif pun ternyata dia penghapal yang baik. Masalahnya lebih pada pelafalan huruf dan kata. Bahkan di kelas ia termasuk salah satu anak yang fokus memperhatikan guru dan aktif menjawab. MasyaAllah, nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan melihat perkembangan ananda. Sudah cukup perkembangan itu melebihi apa yang kami harapkan karena ia mendapatkan stimulasi yang cukup di sekolah.

Maka, ketika usianya lima tahun kami mantap untuk mencobakan tes masuk Kuttab Al Fatih, tempat Si Abang berada. Tetap ada rasa khawatir, mampukah ia menjadi salah satu santri terpilih di anatara calon santri lainnya. Apalagi saingannya adalah anak dari para orang tua santri lama yang lebih senior daripada kami.

Akan tetapi, di atas itu semua ada satu hal yang akhirnya kami yakini, keikutsertaan kami dalam proses seleksi Si Tengah ini adalah cara untuk mengembalikan kami pada jalur yang benar. Menyadarkan lagi tentang kelalaian yang telah dilakukan sebagai orang tua. Mengukuhkan kembali visi pendidikan yang telah kami pilih untuk keluarga ini.

Oleh karena itu, ketika 23 Maret 2023, hari pertama puasa di bulan Ramadhan 1444 H ini kami mendapati nama Si Tengah ada di antara puluhan nama santri yang diterima, betapa bersyukurnya hati kami. Mulai sekarang etape baru akan kami jalani. Memiliki dua anak yang sudah memasuki jenjang pendidikan yang lebih serius artinya sebagai orang tua kami harus lebih serius lagi.

Bismillah, langkah baru bagi Si Tengah dimulai bulan Juli 2023 ini. Semoga Allah meridai langkahnya. Menerangi jalannya dan menjaga hatinya agar selalu dipenuhi cahaya keimanan dan dekat dengan Al-Qur’an.

Menemukan Sekolah dengan Fasilitas Terbaik

Adakah yang pernah berpikir sama seperti ini?

“Aku pilih sekolah itu saja, dari biayanya sudah masuk semua fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler, jadi gak butuh tambahan les lagi, dibanding sekolah lain.”

Salah satu yang saat ini menjadi agenda para orang tua yang memiliki anak usia enam atau tujuh tahun adalah menemukan sekolah pertamanya. Apalagi setelah masa taman kanak-kanak, maka memilih sekolah dasar yang tepat menjadi pertimbangan penting bagi para orang tua ini. Pasalnya, sekolah dasar ini penting untuk perkembangan anak menuju tahap berikutnya. Oleh karena itu, mungkin sudah mulai menjadi tren terkini, bagi mereka yang memiliki kecukupan finansial, memilih memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang diharapkan sesuai dengan visi pendidikan keluarga.

Salah satu yang menjadi pertimbangan orang tua yang memilih menyekolahkan anak-anak ke sekolah swasta adalah pemenuhan fasilitas yang menunjang pendidikan. Fasilitas fisik kerap menjadi sorotan. Bagaimana gedung sekolah? Kelengkapan fasilitas penunjang pendidikan? Bagaimana kondisi ruang kelas? Beserta fasilitas untuk kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.

Oleh sebab itu, saat ini begitu banyak sekolah swasta yang berlomba dari segi fasilitas fisik. Mencoba memperlihatkan kenyamanan dalam belajar sebagai jaminan bagi anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik. Ditambah kurikulum yang begitu ragam, baik itu nasional maupun internasional, yang menjadi nilai jual lainnya. Semua berlomba memberikan fasilitas yang membuat mata orang tua berdecak kagum, sehingga memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sana, meskipun harus merogoh kocek sedemikian dalamnya. Demi satu hal, “Anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik.”

Namun, satu hal yang seringkali aku renungi, apakah cukup fasilitas fisik ini yang membuat anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik? Lalu, bagaimana dengan mereka yang ternyata tidak dianugerahi Allah Swt. kemampuan finansial yang cukup. Apakah itu berarti mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan terbaik?

Itu berarti sama saja kita menyetujui kalau orang miskin dilarang sekolah. Orang miskin tidak layak mendapatkan pendidikan yang layak. Padahal pendidikan adalah hak semua anak. Setiap anak, apa pun latar belakang mereka berhak untuk belajar. Akhirnya, semua orang berlomba-lomba menjadi “kaya” hanya untuk memberikan pendidikan terbaik. Mereka yang tetap Allah Swt. beri rezeki yang cukup saja, tidak diperkenankan untuk menyicip pendidikan dengan fasilitas terbaik itu.

Jadi, sebenarnya apakah pendidikan terbaik identik dengan fasilitas yang lengkap?

Fasilitas Terbaik Itu Adalah Guru

Jika berkaca pada zaman Rasulullah saw. maka kita hendaknya menelaah kembali tentang makna pendidikan dengan fasilitas yang lengkap. Pada saat itu, kita tahu fasilitas yang ada serba terbatas, tidak seperti saat ini. Namun, Allah Swt. menunjukkan mereka yang berada di era Rasulullah saw. beserta dua generasi sesudahnya adalah generasi terbaik umat muslim. Mereka yang hidup dalam keterbatasan, malah menjadi orang-orang mulia. Maka, apakah memang fasilitas fisik adalah satu kunci yang membuat seseorang menjadi hebat?

Ternyata tidak!

Bukan fasilitas fisik yang menjamin sahabat-sahabat di zaman itu menjadi manusia teladan. Melainkan, bagaimana mereka belajar pada guru hebat, itulah yang membuat mereka menjadi manusia yang luar biasa. Para sahabat yang belajar langsung dari Rasulullah saw. Begitu pula para tabi’in dan generasi selanjutnya yang belajar dari para ulama dengan keilmuan luar biasa. Artinya, fasilitas terbaik yang bisa membuat seseorang mampu mendapatkan ilmu yang baik adalah seorang GURU.

Ya, guru. Pernahkah terpikirkan?

Karena ilmu itu diturunkan bukan lewat fasilitas fisik. Bukan pula lewat kurikulum buatan manusia. Melainkan lewat guru yang memiliki keilmuan yang luar biasa. Membawa ilmu lurus yang disampaikan secara benar sejak zaman Rasulullah saw. Sudahkah kita menjadikan ini sebagai satu kriteria ketika memilih sekolah untuk anak-anak kita?

Bisa jadi memang benar. Sekarang ini kita banyak tertipu daya oleh tampilan visual, sehingga kehilangan esensi mengenai pendidikan itu sendiri. Fasilitas fisik hanyalah alat bantu, bukan sebuah keutamaan untuk mendapatkan ilmu. Guru adalah fasilitas utama untuk menghantarkan ilmu itu kepada anak-anak kita. Jadi, sudahkah guru di sekolah anak kita memang memiliki keilmuan yang cukup untuk berbagi dengan anak-anak kita?

Coba sekarang kita telaah bersama. Apakah guru di sekolah anak-anak kita saat ini:

  • Mendapatkan perhatian yang pantas untuk kesejahteraannya, sehingga ia tidak butuh memusingkan kebutuhan keluarganya dan fokus terhadap pembelajaran anak-anak kita.
  • Memiliki pemahaman yang merata untuk dasar-dasar nilai yang mau diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Mendapatkan pembekalan ilmu yang berkelanjutan, sehingga mereka terus bisa menambah pengetahuan terkait ilmu yang diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Dijaga izzahnya, terjaga kehormatannya, sehingga mereka bisa terus menjaga niat dalam mengajarkan ilmu kepada anak-anak kita.

Mengapa semua ini butuh untuk diperhatikan?

Karena sebuah ilmu yang didapatkan anak-anak kita itu butuh keberkahan. Berkah itu didapat dari guru yang mengajarkan mereka ilmu tersebut. Jika kita tidak mampu untuk menjaga kehormatan, menjaga perasaan, menjaga kesejahteraannya, sehingga mereka banyak mengeluh dan menyimpangkan sedikit saja niat mereka dalam mengajar anak-anak kita, apa yang mungkin terjadi?

Seringkali hal ini tidak mendapatkan perhatian yang baik. Padahal bisa jadi ilmu-ilmu yang didapatkan oleh anak-anak kita itu tak kekal karena keberkahan itu hilang seiring dengan hilangnya ketulusan guru dalam mengajari anak-anak kita. Bahkan mungkin kitalah orang tua yang telah membuat berkah itu hilang karena terlalu banyak mengkritik guru dan sekolah.

Ketika memilih sebuah sekolah, artinya mau tidak mau kita menyepakati apapun yang sekolah lakukan untuk anak-anak kita. Karena secara sadar kita memasukkan mereka ke sekolah itu, berarti kita menyetujui setiap jengkal kurikulum yang diterapkan oleh para guru. Termasuk semua itikad baik yang diupayakan sekolah untuk membentuk mental anak-anak kita. Jika memang kita banyak mengeluh, merasa tidak cocok, bisa jadi memang sistem sekolah tersebut tidaklah cocok dengan kita. Berarti sudah waktunya menelaah kembali bagamaina visi pendidikan kita sesungguhnya? Benarkah sudah tepat semua yang kita pilihkan ini?

Kemudian, perihal memiliki nilai yang sejalan dengan sekolah adalah kunci penting lainnya. Minimal sekali harus punya pemahaman yang merata di antara semua guru. Dengan demikian, sistem yang dibawa oleh sekolah akan bisa diterapkan dengan baik pada praktiknya. Setiap guru memiliki jiwa dan semangat yang sama untuk menularkan ilmu-ilmu tersebut kepada anak-anak. Tidak ada perbedaan, termasuk disonansi yang dapat mengganggu pemahaman anak-anak. Oleh karena itu, setidaknya sekolah harus punya sistem matrikulasi atau pendidikan khusus yang harus dimiliki setiap guru, sebelum mereka terjun mengajar.

Selanjutnya, pendidikan yang berkelanjutan, mengapa ini menjadi penting?

Kita bisa berkaca pada diri sendiri saja. Seberapa banyak kita harus mengulang sebuah ilmu agar ilmu itu terus melekat dalam diri. Bahkan sebagai orang tua kita harus terus belajar agar mampu memberikan contoh bagi anak-anak. Oleh karena itu, guru pun demikian. Mereka harus terus belajar menambah ilmu, agar keilmuan yang disampaikan kepada anak-anak menjadi lengkap dan mendalam.

Pertanyaan selanjutnya, adakah sekolah demikian?

Alhamdulillah, kami dipertemukan dengan sekolah yang menyajikan semua itu. Hadirnya guru yang terus dijaga niat, nilai, pengetahuan, dan motivasinya dalam membersamai anak-anak kami. Jika bicara fasilitas fisik, tentu jauh sekali sekolah ini dari harapan. Namun, semangat untuk mengembalikan fasilitas ini kepada tempat seharusnya, itulah yang membuat kami memilih sekolah ini.

Jika ada yang mendatangi tempat ini, tentu akan berpikir, benarkah ini sebuah sekolah?

Akan tetapi, kami yakin bukan fasilitas fisik yang membuat anak-anak menjadi gemilang. Melainkan sistemnya, guru-gurunya, ruh yang terus ditiupkan berbarengan dengan semangat untuk menerapkan adab dan iman dengan sebaik-baiknya. Dari situ kita bisa paham, sekolah bukan dimulai dari sesuatu yang fisik, melainkan kesungguhan hati. Keinginan kita menyajikan pendidikan terbaik dimulai dari guru-guru yang mumpuni.

Jadi, mari berkaca kembali, sudahkah kita memilihkan sekolah anak-anak berdasarkan guru yang memberikan mereka ilmu? Bukan semata fasilitas fisik semata.

Kurikulum Merdeka, Betulkah Kurikulum yang Tepat untuk Anak Indonesia?

Saat ini dunia pendidikan sedang dihadapkan pada sebuah perubahan besar: kurikulum merdeka. Sebuah kurikulum yang dicanangkan oleh menteri pendidikan terkini, Nadiem Karim. Sebuah gebrakan besar, pasalnya kurikulum ini seolah membongkar kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun belakangan. Bahkan lebih jauh lagi, benar-benar membongkar habis sistem pendidikan Indonesia selama ini.

Sebenarnya pembahasan tentang pendidikan Indonesia ini selalu menarik untuk dikaji. Sebagai penduduk yang sudah merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia ini semenjak kecil, bahkan pernah duduk memandangnya dengan peran yang lain selain sebagai siswa, ada banyak kritik terhadap arah perkembangan pendidikan kita ini.

Rasanya pendidikan ini makin lama makin kehilangan arah. Seiring banyaknya perubahan kurikulum setidaknya selama dua puluh tahun terakhir. Seolah tak ada pendidikan yang ajeg karena selalu berganti kurikulum. Ganti menteri, ganti kurikulum.

Mengapa aku bisa bilang kehilangan arah?

Sebagai mantan pendidik di perguruan tinggi, aku benar-benar merasakan efek tidak menyenangkan dari hasil sistem yang ada selama ini. Betapa rasanya pendidikan kita begitu gagal karena tak bisa mencetak individu yang memiliki keterampilan yang cukup sebagai seorang manusia dewasa.

Kok bisa? Bukankah itu sebuah penilaian yang dianggap subjektif semata? Belum ada penilaian terukur untuk membuktikan semua itu. Hanya ada opini-opini serupa yang hadir, tetapi tanpa data terpercaya. Yah, mau bagaimana juga, kita tak hanya bisa berbicara tentang opini tanpa data faktual. Toh, kita tak sebanding dengan orang-orang yang merancang maupun melaksanakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, ada sebuah kesimpulan menarik ketika beberapa hari yang lalu aku dan saudaraku mendiskusikan tentang kurikulum merdeka ini. Ada cukup banyak perubahan yang sangat signifikan terkait tenaga pengajar, hasil lulusan, dan makna “kemerdekaan” yang diusung kurikulum ini. Detailnya coba dicari sendiri, ya karena tulisan ini tak akan membahas detail seperti itu. Melainkan sebuah opini untuk melihat, sebenarnya apa arti pendidikan yang sesungguhnya.

Ya, sebenarnya pendidikan itu maknanya apa?

Kalau berkaca pada apa yang sudah dijalani sejak kecil, meskipun sekarang kurikulumnya sudah berubah, sepertinya konsepnya masih sama saja. Mengejar kompetensi, persaingan antar individu, siapa yang pintar dia yang menang. Kesimpulan paling tepat dari sistem pendidikan kita adalah pendidikan yang jauh dari pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang menjauhkan dari konsep belajar yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan itu.

Jika mengambil dari definisi belajar, “Menambah repertoir memori manusia,” maka rasanya pendidikan itu sudah gagal total. Buktinya, seberapa banyak perubahan yang terjadi, seberapa banyak materi yang dipelajari masih melekat dalam ingatan kita setelah beranjak dewasa. Semua itu disebabkan oleh selesainya “belajar” yang dimaksud setelah ujian berakhir. Pendidikan hanya sekadar mendapatkan nilai tertinggi agar mendapatkan status yang dibutuhkan di masyarakat. Jadi, ketika gagal, maka dianggap sebagai kegagalan total.

Dalam diskusi pekan lalu itu akhirnya ada sebuah kesimpulan yang menurutku benar-benar mencerminkan arti pendidikan itu. Pendidikan itu seharusnya tentang membandingkan kemampuan anak hari ini dengan kemampuannya kemarin. Begitu pula tentang merancang apa yang dibutuhkan oleh seseorang ke depannya. Artinya, pendidikan itu bukan tempat ajang persaingan. Melainkan bagian dari bagaimana mengembangkan individu agar mencapai manfaat semaksimal mungkin. Sesuai dengan konsep belajar, ketika pendidikan diberikan secara khusus, spesial untuk setiap orang, maka proses belajarnya akan menjadi lebih maksimal. Repertoirnya akan terus bertambah karena pendidikan itu disetting khusus sesuai kemajuan individu.

Yap, bukan tentang persaingan, siapa yang paling pintar, melainkan apakah saya sudah lebih pintar dibandingkan diri saya kemarin. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk menentukan jalan belajarnya sendiri. Sebuah konsep yang harusnya dilatihkan kepada anak-anak semenjak kecil agar ketika dewasa ia bisa menerapkan konsep belajar seumur hidup. Ketika dewasa, tak akan ada kebingungan, “Saya itu potensinya apa?” atau “Apa pekerjaan yang saya pilih?” karena sudah memiliki peta yang jelas tentang pencapaian pribadinya.

Akhirnya, pendidikan yang demikian akan mengajarkan dorongan dari dalam, belajar karena kebutuhan, menjadi terdidik karena memang membutuhkan. Bukan karena paksaan dari luar, tuntutan lingkungan yang kalau gak sekolah dinilai buruk. Sebab, ketika sekolah, menjalani pendidikan, atau belajar itu hanya karena tuntutan lingkungan, maka motivasi internalnya tidak ada. Jika demikian, ketika pendidikan tidak memberikan kenyamanan yang dibutuhkan, tidak memberikan kebutuhan, atau lebih buruknya lagi menjadi tempat bertemunya banyak keburukan, bukankah menjadi wajar akhirnya merasa sekolah itu tak butuh. Berhenti, kalaupun masih sekolah, tidak menemukan makna belajar yang sesungguhnya. Hanya demi memenuhi nilai, dengan menghalalkan semua cara.

Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang mendapatkan keterampilan untuk berpikir, bersikap analitis, mampu memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, berkomunikasi dengan baik, dan sebagainya. Keterampilan-keterampilan yang didapat setelah anak terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian, ia memiliki bekal yang cukup untuk kehidupan masa depan.

Visi Pendidikan Keluarga dan Kurikulum Pendidikan

Okelah sekarang mau tidak mau kita harus hidup di kondisi yang tidak ideal. Pendidikan formal yang diberikan pemerintah masih mencari warna yang pas untuk memberikan pendidikan terbaik bagi warganya. Perubahan kurikulum itu mungkin masih akan menjalani perjalanan panjang, hingga bisa mengimplementasikan kemerdekaan sesungguhnya kepada calon penerus bangsa.

Kebingungan dalam kurikulum ini pula membuat semakin banyaknya orang tua yang memilihkan anak-anak mereka untuk homeschooling, bersekolah di rumah. Bukan berarti memindahkan sekolah dengan semua kurikulumnya ke rumah, homeschooling mengusung visi pendidikan keluarga sebagai basisnya. Termasuk melihat kebutuhan masing-masing anak, sehingga setiap anak dalam sebuah keluarga bisa jadi mendapatkan pendidikan berbeda. Ritme masing-masing pun berbeda, jika memang bisa cepat, silahkan, jika tidak silahkan. Bahkan ada beberapa teman yang praktisi homeschooling yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya memilih keterampilan/pengetahuan apa yang mau mereka kembangkan pada satu semester.

Tentunya kemampuan untuk menentukan pilihan itu tidak lahir instan. Diawali dengan orang tua yang harus berjibaku terlebih dahulu menanamkan visi keluarga, memberikan kesempatan untuk mencobakan semua materi kepada anak-anak, termasuk jeli melihat potensi anak agar bisa terarah kebutuhannya. Hasilnya, tampak sekali itulah makna pendidikan sesungguhnya, mereka menemukan jalan yang dibutuhkan.

Namun, tidak melulu kita akhirnya harus beralih kepada homeschooling. Semua sebenarnya kembali pada visi pendidikan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki bayangan ke depan anak kita akan seperti apa. Menjadi anak baik? Baik yang seperti apa? Menjadi pintar? Pintar seperti apa? Visi ini harus jelas, kembalikan lagi pada keyakinan yang dimiliki masing-masing.

Menyekolahkan anak tanpa visi pendidikan sama saja seperti membiarkan mereka menyelam dalam lautan yang dalam tanpa punya tujuan. Berbeda ketika punya visi, misalnya mereka ingin menjadi orang pertama yang masuk ke dalam palung terdalam, maka mereka akan mencari beragam cara untuk mewujudkan itu. Bisa jadi dengan belajar mana saja palung yang ada di bumi ini. Lalu, belajar bagaimana caranya menciptakan alat yang bisa membantu manusia menyusuri palung terdalam. Ketika bervisi, anak menjadi jelas, apa yang harus ia capai dari semua pendidikan ini. Dengan demikian, ketika lelah melanda, mereka akan kembali bersemangat karena memiliki visi tersebut.

Sebagai seorang muslim, apa visi pendidikan kita?

Kajian terakhir untuk orang tua santri saat Si Sulung kelas satu kemarin benar-benar kembali mengisi ulang semangat untuk kembali pada visi pendidikan ini. Visi pendidikan tidak hanya mengarahkan anak-anak, tetapi juga menjadi petunjuk bagi orang tua, bekal apa yang mereka butuhkan untuk mendidik anak-anak. Termasuk memilihkan pendidikan untuk anak-anak.

Jika memang masih membayangkan anak kita menjadi “robot” serba bisa, maka silahkan saja menyekolahkan ke tempat yang menyediakan semua itu. Jika memang ingin me-launching anak-anak menjadi anak bertaraf internasional, silahkan saja untuk menyekolahkan ke sekolah dengan tujuan tersebut. Namun, coba renungi kembali, setelah semua mimpi duniawi yang tercapai itu: anak yang pintar, lulus perguruan tinggi bergengsi, dapat pekerjaan di perusahaan multinasional, punya mobil, rumah, dan sebagainya, sebenarnya apa yang dibutuhkan dari mereka selanjutnya?

Kami sebagai orang tua masih percaya, agama harus didahulukan dibanding hal lainnya. Di atas semua pelajaran duniawi yang diberikan di bangku sekolah. Matematika, Bahasa, IPA, IPS, beserta turunannya, sebenarnya apa yang membuat semua ilmu itu lebih baik dibandingkan ilmu agama. Jika memang takut nantinya anak tidak bisa survive karena tidak bisa memiliki ilmu duniawi, tidak pandai, tidak juara, tidak ikut kompitisi, coba renungi kembali sebenarnya apa yang ditakutkan?

Namun, bisa jadi memang kita semua berada di jalur yang berbeda-beda. Kita memiliki dunia yang berbeda dalam memandang visi pendidikan . Jadi, kita pun tidak bisa saling mendebatkan mana yang terbaik. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan seberapa banyak anak kita mampu belajar di saat bersamaan? Mampukah ia menguasai semuanya? Mana sebenarnya ilmu yang harusnya ia kuasai terlebih dahulu, dibanding ilmu lainnya?

Semua jawaban itu akan didapat ketika kita mencari ilmunya. Mencari tahu, sesungguhnya pendidikan terbaik sebagai muslim itu yang seperti apa? Menyusuri riwayat pendidikan itu dalam sejarah Rasulullah saw, sang pengajar terbaik sepanjang zaman. Menghasilkan orang-orang terbaik, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Jika menemukan, sudahkah visi pendidikan maupun pilihan kurikulum kita sudah sejalan dengan itu semua?

Qumi 2022: Memaknai Ulang Arti Ukhuwah

Rechargeable!

Cukup satu kata itu setelah hari Selasa, 1 Februari 2022, kemarin ikut kegiatan Qumpul Ummahat Fillah (Qumi) 2022 yang diadakan oleh sekolah Si Sulung. Pulang dari sana benar-benar membawa semangat baru, semangat untuk terus mengisi hati dengan kebaikan, semangat agar bisa terus istiqomah dalam ukhuwah. Mengapa?

Ada banyak rasa di dalam hati sebelum memutuskan ikut Qumi 2022 ini. Sebagai orang tua santri baru di sekolah Si Sulung, aku belum punya banyak teman. Merasa sendiri dalam ikhtiar menyekolahkan anak di Kuttab Al Fatih. Ada juga rasa minder karena melihat para bunda di sana yang sungguh punya semangat keislaman yang terasa lebih tinggi dibanding diri ini.

Ada sedikit rasa cemas, bisakah aku mendampingi Si Sulung beserta adik-adiknya nanti dalam menjalani pendidikan di sana. Sebuah sekolah yang kami pilihkan atas dasar keyakinan bahwa itulah sekolah impian.

Namun, perlahan rasa khawatir itu berkurang perlahan. Ketika bertemu pertama kali dengan para bunda yang menjadi teman satu kelompok. Sangat kaget melihat mereka menyambutku dengan tangan yang sangat terbuka. Ya, tangan yang dengan sigap menyambut di tengah keraguan, apakah aku pantas berada di tengah mereka?

Tak ada nada penolakan. Semua dengan sukarela berbagi pengetahuan dan alasan mereka memilih sekolah ini sebagai pilihan bagi sang anak. Membuatku merasakan angin segar, ternyata aku tidak sendiri merasa demikian. Semakin meyakinkan kalau aku tidak salah jalan.

Saat hari H, ada kembali pertanyaan, apa yang akan aku dapatkan di acara hari ini. Apakah sekadar kumpul bersama saja, menikmati momen berkumpul setelah lama tak berdua. Namun, ternyata aku salah besar. Ada banyak kebaikan yang aku dapatkan.

Menjawab Kekhawatiran yang Sama

Acara Qumi 2022 ini memang bertujuan untuk mengumpulkan para bunda angkatan lama dan angkatan baru. Apalagi setelah pandemi, ada dua angkatan yang jarang bertemu dengan bunda lain. Maka, acara ini menjadi momen yang ditunggu.

Alhamdulillah, satu bagian acara yang tak bisa dilupakan adalah kehadiran istri Ust. Budi Ashari, selaku pendiri Kuttab Al Fatih. Dalam sesi bincang-bincang ini diungkapkan alasan berdirinya Kuttab Al Fatih.

Semua bermula pada kekhawatiran atas kondisi pendidikan yang dijalani oleh anak-anaknya. Ada perasaan yang sedih melihat beberapa pelajaran yang rasanya tak harus dipelajari di bangku sekolah. Berlanjut dengan situasi hubungan di dalam sekolah dari para guru yang tidak mencerminkan teladan Islam yang baik, maka kegundahan ini berujung pada inisiatif membuat sekolah yang memang berlandaskan Islam sepenuhnya.

Kuttab sendiri sebenarnya sudah ada di tanah negeri ini bertahun-tahun silam. Namun, keberadaannya menghilang karena tak dilanjutkan. Padahal di negara-negara Islam, Kuttab menjadi tempat belajar yang benar-benar mendidik akidah.

Sebenarnya, apa yang dirasakan oleh Ust. Budi Ashari kala itu juga yang kami rasakan ketika melihat sekolah-sekolah yang ada. Merasa kalau pendidikan di sekolah saat ini terasa kehilangan esensinya. Misalnya, mata pelajaran yang banyak, apa urgensinya untuk kehidupan?

Pada akhirnya, sekolah hanya memberikan pengetahuan, mengejar akademis, prestasi. Lalu, untuk kehidupan masa depan mereka bagaimana? Adakah fungsinya belajar main engklek kalau di keseharian pun mereka tak mempraktikkannya. Adakah fungsinya belajar ilmu pengetahuan sosial tanpa praktik sesungguhnya tentang cara berhubungan sosial di tengah masyarakat.

Namun, tetap saja ini hanya pemikiran kami. Tiap keluarga memiliki cara pandang berbeda mengenai pendidikan itu sendiri. Keputusan pendidikan kembali kepada keluarga masing-masing. Akan tetapi, jikalau bisa mengajak untuk berpikir ulang tentang makna pendidikan itu, apa yang sebenarnya kita harapkan ketika anak kita sekolah? Menjadi pintar, berprestasi, atau beradab? Apakah tujuan itu murni untuk anak atau untuk kebanggan kita sebagai orang tua? Kalaupun bangga, bangganya buat siapa, manusia atau Allah swt?

Selain rasa khawatir itu, memilih sekolah ini juga tergerak karena laparnya diri kami atas sentuhan agama sebagai orang tua. Merasa lebih dari 12 tahun sekolah, tetapi pendidikan agama serasa masih anak SD saja. Banyak hal yang harus dicari sendiri dan itu terasa telat karena baru tahunya setelah sekarang bersekolah bersama anak.

Alhamdulillah, kebutuhan-kebutuhan sebagai orang tua pun terjawab di sini. Kami bukan orang tua sempurna karena memasukkan anak ke sekolah ini. Maka, sekolah menjawab kebutuhan kami sebagai orang tua agar bisa mendampingi anak-anak. Belajar Al-Qur’an, belajar bahasa arab, bahkan belajar mengaji pun diberikan kelasnya. Tinggal masing-masing memilih ilmu apa yang dibutuhkan untuk menambahkan keilmuan yang telah dimiliki. Jadi, bukan hanya anak yang sekolah, orang tua ikut sekolah. Agar tak hanya dibilang, anaknya dipaksa belajar, tetapi orang tua ilmunya segitu-segitu saja.

Dengan demikian, mendengarkan alasan-alasan yang disajikan oleh istri Ust. Budi Ashari itu makin memantapkan niat. Semoga Allah memberikan pilihan jalan ini untuk mendapatkan keberkahan yang banyak, memperbaiki hubungan dengan-Nya, agar mampu menjadi keluarga yang penuh keberkahan di mata Allah swt. Aamiin.

Memaknai Arti Ukhuwah

Kupikir bintang tamunya hanya istri Ust. Budi Ashari. Sungguh aku terkaget-kaget ternyata ada Ustadzah Poppy yang diberikan tempat juga di acara ini. Ustadzah yang aku kenal dari kajian AKU, yang tiap kali ia membawakan sebuah topik pembahasan perihal perempuan dan keluarga, membuat mataku terbuka lebar-lebar. Membuatku makin mengerti apa yang sesungguhnya harus dimiliki sebagai perempuan dengan peran istri, ibu, maupun pribadi.

Ketika kali ini ia membawakan tema tentang Ukhuwah, sesuai dengan acara ini, aku sungguh menanti, ibroh apa yang bisa aku dapatkan. Selama ini aku memahami ukhuwah hanya sebatas persaudaraan saja. Saya mengenal kamu, kamu mengenal saya, kita berjalan beriringan, dan semoga bisa sesurga bersama.

Kalimat yang mungkin terdengar sungguh sederhana. Menjalin hubungan menuju surga. Namun, pada praktiknya amat sulit untuk menemukannya. Ini juga yang menjadi gulanaku beberapa pekan terakhir. Adakah orang yang akan menarikku ke surga bersamanya, jika aku terjatuh ke dalam neraka nantinya?

Makna ukhuwah pertama yang disampaikan oleh Ustadzah Poppy langsung membuat diriku terhujam. Tentang bagaimana kita membuat orang lain memiliki satu pemikiran tentang diri kita. Kita ingin dikenal sebagai apa oleh semua orang? Kalau bahasa sekarangnya mungkin adalah personal branding. Jadi mikir, selama ini jejak apa yang sudah aku tinggalkan kepada orang-orang. Apakah semua orang memiliki julukan yang sama untuk diriku ini?

Ustadzah Poppy mencontohkan tentang Zaynab binti Huzaymah, istri Rasulullah saw yang mendapatkan gelar Ummu Masakin. Bagaimana beliau mendapatkan gelar tersebut jauh sebelum masuk Islam maupun dipersunting Rasulullah saw. Bahkan banyak riwayat yang menyebutkan berapa lama beliau menikah dengan Rasulullah saw, tetapi waktu tersebut tidak mengalahkan bagaiman konsistensi yang ia lakukan dalam bersedekah kepada fakir miskin hingga dijuluki sebagai Ummu Masakin (Ibu orang miskin).

Ini menjadi makna kedua tentang ukhuwah. Bagaimana sikap istiqomah yang kita lakukan, mampu membuahkan sebuah branding, sehingga orang-orang yang membutuhkan akan mencari kita sesuai dengan branding tersebut. Pada diri Ummu Masakin, orang-orang miskin sampai mendatanginya karena tahu beliau akan langsung membantu mereka. Semua orang tahu, Ummu Masakin menghabiskan semua hartanya sampai tidak memiliki simpanan hanya untuk bersedekah kepada kaum miskin. Dengan demikian, sudahkah kita menjadi tempat bersandar bagi orang-orang di sekitar kita terkait dengan kebutuhan mereka?

Rasanya hati ini sudah tertohok dalam-dalam. Memikirkan, apa yang selama ini sudah dibagi. Apakah orang-orang sudah mencariku berdasarkan jejak yang sudah aku tinggalkan kepada diri mereka? Sungguh, PR besar buat diriku.

Nah, lanjut, makna ketiga yang diberikan oleh Ustadzah Poppy makin membuat koreksi diri ini begitu besar. Ia menceritakan kisah tentang istri-istri Rasulullah saw yang terus bersaing, yaitu Aisyah dan Zainab. Di balik persaingan dan rasa cemburu mereka, ternyata ada makna ukhuwah sesungguhnya di situ.

Ketika suatu hari Aisyah mendapatkan fitnah, maka Rasulullah saw bertanya kepada Zainab pendapatnya tentang Aisyah.

‘Wahai Zainab, apa yang kau ketahui tentang Aisyah atau bagaimana pandanganmu terhadapnya?’ Ia menjawab, ‘Aku jaga pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak mengenalnya melainkan sebagai sosok pribadi yang baik, Rasulullah’.” (diambil dari https://kisahmuslim.com/6183-ummul-mukminin-zainab-binti-jahsy.html)

Ternyata jawaban beliau sungguh mencengangkan. Bayangkan saja ketika kita sedang cemburu kepada orang dan diberi kesempatan untuk menjelek-jelekkannya, maka kita biasanya tidak akan menghilangkan kesempatan tersebut. Bukan tidak mungkin kita menumpahkan kekesalan tentang orang tersebut dan turut memprovokasi orang lain agar juga memandang buruk kepada orang tersebut.

Nyatanya tidak demikian. Betapa besar hatinya untuk memandang masalah tetap secara objektif dan menilai dengan baik orang lain, walaupun ada kejadian-kejadian yang tidak berkenan di hatinya.

Maka, makna ketiga yang ditekankan oleh Ustadzah Poppy adalah berbuat adillah kepada orang lain. Maksudnya di sini, nilailah orang lain dengan objektif. Meskipun ada hal-hal yang tidak kita sukai terkait sikap dan perilaku mereka, baik kepada kita maupun secara umum, kita harus mampu menemukan kebaikan di diri mereka. Tetap menjadikan kebaikan mereka sebagai hal baik yang butuh kita apresiasi. Itulah arti ukhuwah yang sesungguhnya.

Sebab, tidak mungkin semua orang berperilaku sesuai keinginan kita. Perbedaan karakter, pengalaman, akan membuat kita merasa tidak nyaman dengan orang tersebut. Di balik itu semua, kita harus mampu menyingkirkan ego pribadi, kemudian menemukan kebaikan tersembunyi pada diri mereka. Kebaikan yang mungkin suatu hari memang kita butuhkan dan bisa jadi nantinya kita pun bergantung kepada mereka perihal urusan tersebut.

Di momen ini aku kembali merenungi, seberapa adil diri ini selama ini? Jangan-jangan banyak kezaliman yang telah aku lakukan kepada orang lain terkait hal ini. Kalau kamu, bagaimana?

Ikut serta dalam acara Qumi 2022 ini adalah salah satu yang sangat aku syukuri di awal bulan Februari ini. Mendapatkan banyak oleh-oleh yang tak semudah itu didapatkan di kehidupan biasa. Setelah berkumpul dengan para ummahat yang memiliki satu visi, aku merasa memang inilah yang aku cari selama ini, sebuah ukhuwah, persaudaraan yang membuat kita diterima dan mau belajar bersama. Sebuah persaudaraan positif tempat menimba ilmu bersama.

Selain itu, acara Qumi 2022 benar-benar menjadi sebuah acara kumpul yang sesuai harapan. Memiliki banyak kebaikan setelah mengikutinya, bahkan me-recharge sisi spiritual yang mungkin selama ini sudah terasa gersang. Semoga ini menjadi bekal yang besar untuk memulai bulan Rajab yang penuh berkah, hingga nanti tiba bulan Ramadhan yang tak sampai 60 hari lagi.

Semoga Allah merahmati tiap detik yang aku habiskan di sana.

Semoga Allah merahmati tiap langkah perbaikan yang aku lakukan ke depan.

Semoga Allah merahmati tiap hati yang mendamba ukhuwah dengan arti sesungguhnya.

Surat Cinta dari Guru

Sepanjang sekolah, pernahkah dirimu mendapatkan surat cinta dari guru? Saat ini aku sendiri sedang mencoba mengingat, adakah di antara semua guru yang aku temui, secarik surat cinta aku temui?

Hanya satu rasanya, sebuah pembatas buku yang dibuat personal oleh pembimbing skripsi semasa S1. Sebuah surat cinta yang membuatku merasa bangga sebagai muridnya. Kalau yang lain?

Aku hanya ingat puisi perpisahan dari guru yang dibacakan ketika acara perpisahan SMA. Namun, tak ada yang spesial karena memang dibacakan di depan kami semua. Lalu, bagaimana dengan masa sekolah yang lebih kecil?

Aku mencoba menggali dan tidak ada. Malah sebaliknya, ada rasa tak nyaman tersisa dari guru-guru di tingkat SMP. Membuatku benar-benar tak pernah merasa akrab dengan mereka. Bahkan ada sejumput ingatan traumatis yang tersisa hingga dewasa. Jika dipikirkan lagi, apakah memang seorang guru harus berjarak dengan para muridnya?

Maka, ketika mendapati di hari pertama sekolah ini Si Sulung mendapatkan surat cinta dari ustazah dan ustaznya, aku dan suami sungguh terharu. Tak pernah ada penyambutan yang sungguh luar biasa seperti ini. Sebuah surat cinta yang sengaja dikirimkan ke rumah karena situasi penuh pandemi. Bisa dibacakan atau disimak sambil mendengarkan rekaman audio dari masing-masing ustazah dan ustaz yang menuliskan surat itu.

Zain sedang membuka amplop surat dari gurunya.

Walau isinya belum secara personal untuk masing-masing anak, tetapi sebuah ide yang luar biasa mengawali tahun ajaran. Sebuah surat yang dikirimkan secara personal seakan mengikat sisi emosional anak dengan guru maupun sekolahnya. Belum lagi ada sebuah pesan yang sengaja direkamkna oleh kepala sekolah untuk didengarkan oleh setiap anak, itu menjadi pertanda betapa anak-anak diterima dengan tangan terbuka oleh para pendidiknya. Harapannya tentu satu, ingin sang anak pun membuka diri kepada para guru agar tercipta suasana kelas yang akrab.

Si sulung pun begitu bersemangat untuk mendengarkan rekaman surat dari gurunya. Ia memintaku untuk menunjukkan kata per kata yang sedang diucapkan sangat guru karena memang Zain belum bisa membaca dengan lancar. Baru satu dua kata yang bisa ia baca. Tentunya dengan mendengarkan audio langsung dari ustaz dan ustazah membuat ia bisa memahami isi aurat dengan baik.

Membuka tahun akademik dengan cara yang tidak biasa ini membuat suami dan aku menjadi yakin, pilihan sekolah ini tidaklah salah. Bahkan kami berdua merasa terharu ketika anak kami disambut sedemikian rupa oleh para gurunya. Sungguh, sebuah pengalaman baru yang membekas untuk kami sebagai orang tua.

Guru Teladan Siswa

Tentunya bukan tanpa alasan para guru di sekolah ini melakukan demikian. Ketika kita menginginkan anak yang beradab baik, maka guru harus mencontobkan terlebih dahulu. Sebuah surat yang dikirimkan mengindikasikan ada rasa sayang di balik itu. Dari sini anak bisa belajar, rasa kasih bisa disampaikan melalui tulisan yang sifatnya personal.

Memulai hubungan dengan siswa dengan cara yang baik, tentunya juga bisa makin mengukuhkan hubungan anatara guru-siswa. Dengan demikian, ke depannya siswa akan merasa nyaman dan tidak ragu untuk dekat dengan gurunya.

Pembukaan masa orientasi sekolah yang luar biasa ini membuatku penasaran dengan kegiatan-kegiatan selanjutnya. Apalagi yang bisa didapatkan oleh Si Sulung dari sekolah ini. Semoga makin bisa membuat ia menjadi anak beradab baik, sebelum mulai mendalami ilmunya.

Semoga ia bisa makin meneladani gurunya dalam bersikap demi menjadi anak yang gemilang di masa depan.

Pertimbangan Memilih Sekolah Anak – Bagian Akhir

Wes, tak terasa pekan besok tahun ajaran baru 2021-2022 dimulai. Anak-anak akan mulai memasuki kehidupan sekolah lagi, menempuh pendidikan sebagai bekal dunia maupun akhirat.

Kali ini ingin melengkapi tentang cerita memilih sekolah Si Sulung yang sudah diceritakan di dua tulisan sebelumnya. Tentang sekolahnya pertimbangan memilih sekolah tahun lalu dan sedikit cerita saat ia masih TK A.

Nah, tahun ini Si Abang akan masuk ke sekolah baru. Sebuah sekolah yang sebenarnya sudah menjadi incaran kami semenjak awal kelahirannya. Weits, sudah lama, ya. Hehehehe… Iya sudah lama sekali kenal sekolah ini, sampai menjadi azzam untuk kami dapat menyekolahkan anak-anak di sana.

Well, seberapa istimewanya sekolah ini sampai sedemikian inginnya kami memasukkan anak ke sana? Apa yang menjadikannya berbeda dari sekolah lainnya?

Mengajarkan Adab Sebelum Ilmu

Pertama kali aku mendengar nama Kuttab Al-Fatih (KAF) adalah dari teman sekantorku. Saat itu tahun 2016 dan ia baru saja memasukkan anak sulungnya ke sekolah ini. Aku sungguh penasaran karena setiap kali ia bercerita tentang sekolah ini amat berbeda dengan sekolah kebanyakan. Apalagi sebagai penggemar Ust. Budi Azhari, ia menceritakan sekolah ini layaknya seorang marketing, yang membuat aku menjadi makin ingin tertarik untuk kenal dengan sekolah ini lebih dekat.

Darinya aku tahu KAF, begitu sebutannya, merupakan sekolah yang menjadikan orang tua sebagai fokus utama pendidikan. Loh, kok orang tua, bukannya ini sekolah untuk anak? Ini yang membuatnya berbeda di mataku. Sebuah sekolah yang sangat mengajak orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak, bukan hanya sekadar menitipkan anak di sekolah atau sekolah hanya menginformasikan keadaan anak lewat pertemuan rutin orang tua. Mereka benar-benar menjadikan orang tua sebagai panutan yang bisa mengajarkan anak tentang arti adab sesungguhnya.

Ini poin pertama yang membuat aku langsung tergerak untuk memasukkan anak ke sana. Padahal waktu itu Si Sulung juga belum genap setahun. Buatku poin orang tua sebagai pendidik utama anak adalah hal penting. Tak bisa orang tua berlepas tangan dengan hanya menitipkan anak. Pada akhirnya, kita sebagai orang tualah yang bertanggung jawab atas perilaku dan pendidikan anak.

Sebagai seorang pendidik di perguruan tinggi kala itu, sudah cukup sering melihat orang tua yang berlepas atas perilaku anaknya yang kurang bertanggung jawab. Memperlihatkan kalau orang tua seolah tak mau direpotkan oleh urusan anak ini dan menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Tentunya, sikap ini tak semata muncul. Sebuah perjalanan pendidikan yang tak banyak melibatkan orang tua telah membuahkan hasil yang cukup mengecewakan ketika mereka sudah duduk di perguruan tinggi.

Di KAF, komitmen orang tua untuk turut serta dalam pendidikan adab anak ini diikat dengan kuat. Ada kelas orang tua yang diadakan setiap bulan. Lalu, ada semacam daftar yang harus dipenuhi orang tua agar adab yang telah diajarkan oleh guru di sekolah, ikut dibawa ke rumah. Apabila sang anak melakukan kesalahan, bukan anak yang ditegur, melainkan orang tua. Lagi-lagi menunjukkan prinsip dan keyakinan bahwa orang tua yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak.

Jadi, pada poin pertama ini, orang tua sebagai pusat pendidikan membuat aku langsung jatuh hati dengan sekolah ini. Sebagai seorang perantau yang memang tidak tahu urusan sekolah, mendapati informasi tentang sekolah ini seolah menjadi angin segar.

Memang pilihan lainnya adalah memasukkan anak ke SIT (Sekolah Islam Terpadu), tetapi aku merasa ada yang kurang pas dengan sekolah jenis ini. Ada saja hal yang kurang di hati saat mengetahui beberapa jenis SIT yang ada. Kembali lagi, urusan sekolah memang adalah urusan selera orang tua. Orang tua yang tahu visi pendidikan keluarganya. Namun, SIT belum menjadi pilihan saat itu. Terbukanya jalan tentang KAF ini seakan telah menjadi takdir yang ditetapkan Allah untuk keluarga kami.

Sejalan dengan Visi Keluarga

Ketika aku membawa cerita ini kepada suami di rumah, qadarullah suami pun mendapatkan cerita serupa dari seorang teman dekatnya. Sebuah sekolah yang unik dan lebih mengajarkan tentang tauhid dibanding pelajaran di sekolah pada umumnya.

Ya, KAF tidak mengajarkan apa yang biasa diberikan sekolah formal yang berada di bawah Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama. Titik beratnya adalah tentang mengajarkan tauhid dan Al-Qur’an, sedangkan pendidikan layaknya sekolah formal hanya mengikuti sesuai pembahasan pada tiap materi di kelas. Ini membuta KAF termasuk sekolah dengan jenis PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).

Lalu, bagaimana lulusannya? Jika orang tua ingin ijazah, maka bisa mengikuti ujian paket A. Namun, jika tidak mau pun tak mengapa. Buat aku dan suami, opsi ini tidaklah masalah karena buat kami pendidikan terpenting bagi anak adalah tentang tauhid dan Al-Qur’an, sedangkan pendidikan layaknya sekolah formal adalah bonus yang bisa dipelajari kapan saja, selagi anak sudah matang ilmu agamanya.

Ini beranjak dari kegelisahan kami berdua yang memang merasa haus ilmu agama di usia yang sudah makin menua. Betapa kecewanya terhadap pendidikan formal yang kami jalani hingga detik ini karena tak memuat banyak konten agama. Kami harus mencari sendiri, hingga saat ini tentang praktik agama yang benar dan tepat. Sesuatu yang tak banyak didapatkan di bangku sekolah. Membuat kami merasa, selama ini sekolah buat apa?

Tadinya aku sendiri sampai ingin melakukan homeschooling buat anak-anak karena merasa tak nyaman dengan kurikulum pendidikan formal yang ada saat ini. Namun, dengan hadirnya KAF ini, seolah kami ditunjukkan oleh Allah tentang alternatif lain pendidikan sesuai visi keluarga.

Jalan Panjang Persiapan

Sebenarnya kalau ditanya ada persiapan khususkah untuk masuk ke sana? Tidak juga. Namun, suami benar-benar menanamkan dalam niatnya bahwa anak-anak harus masuk ke sekolah ini. Membuat kami mencari berbagai informasi agar anak bisa diterima di sana. Tingginya peminat, menuntut sekolah mengadakan seleksi untuk para santrinya.

Salah satu syaratnya adalah anak yang masuk berusia lima tahun. Pas sekali di awal tahun 2021 Si Sulung berusia 5 tahun, sehingga kami mendaftarkan untuk ikut ujian masuknya. Pas sekali kami mendaftar beberapa hari sebelum pendaftaran ditutup.

Lalu, setelah pendaftaran ada beberapa rangkaian seleksi yang harus diikuti oleh orang tua dan anak. Mulai dari studium generale yang harus diikuti oleh semua orang tua calon santri. Bahkan ini pun menjadi salah satu penilaian untuk orang tua.

Lanjut dengan wawancara orang tua, tertulis dan lisan, serta ujian melihat kemampuan anak. Setiap tahap memiliki penilaian sendiri, yang kami lara orang tua sebenarnya tak terlalu tahu kriteria apa yang ditetapkan. Namun, terlihat sekali rangkaian proses ini digunakan untuk melihat seberapa serius orang tua melibatkan diri dalam pendidikan anaknya. Fokus dalam ujian masuk ini sepertinya bukan pada anak, melainkan kami, orang tuanya.

Lagi-lagi ini sesuai dengan prinsip yang dipegang teguh, bahwa orang tua harus terlibat dalam pendidikan anak. Karena memang rasanya sia-sia mendidik kalau orang tua tidak ikut serta dalam pendidikan itu.

Ketika menanti pengumuman, aku dan suami rasanya mulas sekali. Buatku sendiri lebih mendebarkan dibanding ketika menanti pengumuman ujian masuk S2 dulu. Berulang kali kami mengintip web-nya untuk tahu apakah pengumuman sudah ada. Hingga tengah malam pengumuman belum kunjung ada, membuat kami sulit tidur. Akhirnya hanya bisa mengikhlaskan dalam hati, apapun hasil yang akan dicapai.

Setelah salat subuh hari berikutnya, tanpa tendensi apapun aku membuka web sekolah sekali lagi. Ternyata sudah ada artikel terkait pengumuman untuk KAF pusat, tempat kami mendaftarkan Si Sulung. Dengan tangan gemetar aku menyusurk satu per satu nama anak yang ada di pengumuman tersebut. Sampai akhirnya mendapati nama Si Sulung, aku pun meloncat kegirangan. Ada rasa hari yang membuatku menitikkan air mata, begitu pula suami. Ternyata Allah mengabulkan azzam kami.

Dan di sinilah kami sekarang. Menanti hari pertama sekolah Si Sulung di sekolah yang kami harapkan bisa membantu kami mendidik anak-anak menjadi generasi unggul berbasis agama. Tanggal 13 Juli 2021 akan menjadi hari pertama Si Sulung meniti jalur pendidikannya di dunia, demi bekal di akhirat.

Rasanya masih tak percaya kalau mulai minggu ini kami akan menjalani sebuah kehidupan yang berbeda. Sesuatu yang kami impikan semenjak beberapa tahun lalu, Allah wujudkan. Meskipun masih di tengah suasana pandemi, sehingga pembelajaran pun masih kembali dilakukan secara daring, setidaknya ini adalah awal bagi kami memberikan pendidikan kepada anak.

Rasa senang dan gembira ini bukan hanya untuk anak, tetapi juga buat kami sebagai orang tua. Karena ini juga menjadi babak baru bagi kami untuk kembali bersekolah. Bukan sebagai anak, tetapi sebagai orang tua.

Semoga Allah meridai langkah kami dalam mendampingi, mendidik, dan menjadi teladan bagi anak-anak. Memampukan kami untuk terus memperbaiki diri agar menjadi orang tua yang melapangkan jalan ananda menjadi generasi luar biasa di masa mendatang.