Tak berasa Si Tengah sudah memasuki usia lima tahun. Tepatnya lima tahun empat bulan saat ini. Perasaan baru kemarin membahas tentang alasan memilih sekolah untuk Si Sulung. Ternyata waktu begitu cepat berlalu dan sampailah Si Tengah pada masa pendidikan pertamanya.
Sejak pandemi dinilai berakhir di tahun 2022 kemarin, sekolah mulai beroperasi seperti sedia kala. Tetap dengan menjalankan protokol kesehatan, berupaya menjaga agar kesehatan semua sivitas akademika tetap sehat. Maka, kami pun memutuskan agar Si Tengah mulai sekolah.
Kali ini pilihan masih sama, TK dulu untuk membiasakan Si Tengah dengan situasi sosial, guru, teman sebaya, maupun lingkungan sekolah. Tak ayal pandemi tetap membuat anak-anak terbatas pergaulannya. Apalagi Si Tengah termasuk yang tak pernah lepas sisiku. Harapannya, dengan sekolah dulu ia sudah cukup siap untuk masuk ke sekolah Si Sulung yang memang menuntut kemandirian para santrinya.
Kami pun memilih TK yang berbeda dengan Si Sulung setelah beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah kesesuaian pengajaran dengan tempat Si Sulung sekolah. Sebenarnya TK ini juga sempat menjadi incaran ketika mau menyekolahkan Si Sulung, Qodarullah saat itu tidak ada tempat kosong, sehingga ia urung bersekolah di sana.
Mungkin karena baru selesai pandemi, tidak banyak anak yang bersekolah di tingkatan KB, sehingga Si Tengah masih bisa diterima di TK A-nya. Meskipun tidak memiliki fasilitas seperti sekolah Si Sulung, ada rasa yakin saja untuk memasukkan Si Tengah ke sana karena kurikulum yang dipegang oleh sekolah itu. Sebuah landasan yang paling penting ketika memilih sekolah.
Ada banyak rasa takjub yang menghampiri hati dari sekolah itu. Sederhana, tetapi ternyata apa yang didapat sepertinya melebihi yang dibayangkan. Bersyukur bisa memasukkan ananda ke TK ini.
Namun, ternyata kekhawatiran yang diperkirakan terjadi. Saat hari pertama masa orientasi sekolah Si Tengah kesulitan mengendalikan dirinya ketika diantar masuk ke sekolah. Tampak sekali ada rasa cemas, khawatir, dan sedikit ketakutan di matanya. Pesan emosi itu sampai ke diriku. Tadinya sudah berniat meninggalkan ia, akhirnya saya memilih untuk menunggui sampai selesai orientasi.
Benar saja ketika anak-anak mulai berbaris keluar menuju lapangan, tak nampak Si Tengah. Ia keluar belakangan bersama seorang guru dalam kondisi habis menangis. Melihat itu aku terenyuh lalu memanggilnya. Tentu saja ia kembali menangis karena merasa takut saya tinggalkan. Akhirnya, dengan sedikit pembicaraan saya memberitahu bahwa saya ada di sana, walau tidak berada di sebelahnya. Benar saja, sepanjang kegiatan di lapangan, matanya tak lepas, terus mencari saya.
Rasanya berbeda sekali dengan Si Sulung yang ketika tes masuk sekolahnya sekarang berani melangkah maju, walau ada rasa takut yang tampak. Ia tak menangis ketika ditinggalkan bahkan merasa senang sudah menjalani tes kala itu. Benar, ya tiap anak akan punya pengalaman berbeda pula.
Alhamdulillah, Si Tengah bisa segera kembali baik. Setelah melalui proses briefing yang panjang dan usaha dari para guru untuk membuatnya nyaman, Si Tengah betah bersekolah di sana.
Ada banyak petikan hikmah yang kami sebagai orang tua dapatkan setelah ananda bersekolah. Ada banyak potensinya yang mulai terlihat. Di balik emosinya yang mudah sekali terpicu dan memengaruhi perilakunya, ada banyak kelebihan lain yang tak juga kalah.
Salah satu yang mampu menjaga kestabilan emosinya adalah kegiatan mewarnai dan menggambar. Dibanding Si Abang yang lebih senang menghapal dan berimajinasi, ternyata Si Tengah bisa dengan tekun mewarnai dan menggambar.
Sebenarnya bakat ini mulai terlihat saat masih belajar bersama saya di rumah. Namun, belum benar-benar terasah karena aktivitasnya kurang konsisten. Dengan demikian, ada rasa senang ketika akhirnya Si Tengah menemukan kegiatan yang ia sukai dan minati. Bahkan perkembangan gambarnya pun terbilang cepat.
Saat baru masuk, gambarnya masih cukup abstrak. Namun setelah sekitar sembilan bersekolah sekarang dia sudah bisa menggambar sosok orang yang lengkap, bukan lagi stick figure, Alhamdulillah.
Secara kognitif pun ternyata dia penghapal yang baik. Masalahnya lebih pada pelafalan huruf dan kata. Bahkan di kelas ia termasuk salah satu anak yang fokus memperhatikan guru dan aktif menjawab. MasyaAllah, nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan melihat perkembangan ananda. Sudah cukup perkembangan itu melebihi apa yang kami harapkan karena ia mendapatkan stimulasi yang cukup di sekolah.
Maka, ketika usianya lima tahun kami mantap untuk mencobakan tes masuk Kuttab Al Fatih, tempat Si Abang berada. Tetap ada rasa khawatir, mampukah ia menjadi salah satu santri terpilih di anatara calon santri lainnya. Apalagi saingannya adalah anak dari para orang tua santri lama yang lebih senior daripada kami.
Akan tetapi, di atas itu semua ada satu hal yang akhirnya kami yakini, keikutsertaan kami dalam proses seleksi Si Tengah ini adalah cara untuk mengembalikan kami pada jalur yang benar. Menyadarkan lagi tentang kelalaian yang telah dilakukan sebagai orang tua. Mengukuhkan kembali visi pendidikan yang telah kami pilih untuk keluarga ini.
Oleh karena itu, ketika 23 Maret 2023, hari pertama puasa di bulan Ramadhan 1444 H ini kami mendapati nama Si Tengah ada di antara puluhan nama santri yang diterima, betapa bersyukurnya hati kami. Mulai sekarang etape baru akan kami jalani. Memiliki dua anak yang sudah memasuki jenjang pendidikan yang lebih serius artinya sebagai orang tua kami harus lebih serius lagi.
Bismillah, langkah baru bagi Si Tengah dimulai bulan Juli 2023 ini. Semoga Allah meridai langkahnya. Menerangi jalannya dan menjaga hatinya agar selalu dipenuhi cahaya keimanan dan dekat dengan Al-Qur’an.