Jurnal Buncek #17 Tahap Kupu-kupu 2: Menemukan Mentor-Mentee

Setelah mengeset diri menjadi mentor, pekan ini waktunya untuk mulai pencarian mentor pribadi maupun mentee. Sampai detik waktunya formulir pendaftaran mentee dibuka aku masih bingung mau memilih ilmu apa yang ingin dipelajari. Maka, ketika menengok kembali peta belajar yang pernah aku buat.

Hampir semua aspek dari peta belajar tentnag mengelola emosi ini sudah aku lakukan. Mencoba menerapkan terapi emosi, mengelola tugas/waktu agar lebih stabil secara emosi, bahkan di tahap kepompong kemarin mencoba mengendapkan pengelolaan emosi ini ke salah satu petunjuk yang paling utama, yaitu Al-Qur’an. Belum lagi mencoba menjalani program puasa bersikap emosional dengan berkata baik atau diam saja. Aku merasa sudah semua aku jalani, tinggal bagaimana caranya melakukan semua itu secara konsisten di perjalanan kehidupan berikutnya.

Setelah ditengok-tengok lagi, ternyata yang belum lengkap adalah pembelajaran tentang mengelola diri, khususnya tentang tidur, makan, dan olahraga. Akhirnya, aku memutuskan mencari mentor yang bisa memberikan bantuan untuk melakukan ketiga hal ini.

Namun, setelah mengulik-ulik dari album mentor memasak, ternyata yang diincar semua sudah taken. Hehe, sempat panik, dong. Yah, wajar saja karena memang baru mencari secara serius setelah pertempuran perebutan mentor di waktu pembukaan formulir pengisian mentee. Semua mentor yang terlihat cetar sudah terambil orang teman-teman yang gerak cepat.

Kemudian, aku beralih ke album mentor “lain-lain,” maksudnya adalah para mentor yang isi ilmunya berada di luar kategori album mentor lainnya. Kemarin saat melirik sebentar album ini aku menemukan hidden gem yang tidak disangka-sangka. Keahlian para mentor yang tidak tertangkap oleh album lainnya. Ternyata di album ini aku menemukan beberapa yang sesuai kebutuhan. Utamanya tentang memasak, gizi, dan dapur. Selain itu, ada juga tentang terapi fisik yang memang dirasa aku butuhkan selain pembelajaran tentang olahraga.

Sampai aku menemukan satu CV yang dari pencarian sebelumnya juga sempat menarik perhatianku. Seorang dokter, general practicioner, yang sekarang berdomisili di Australia. Mba Maya Divina. Salah satu poin yang menarik dari CV yang dibagikannya adalah tentang pendalamannya mengenai ilmu geriatri.

Well, aku sendiri merasa sedang butuh ilmu ini. Walaupun dulu juga belajar tentang ilmu geriatri di psikologi perkembangan, tetapi ingin tahu dari ahlinya juga. Apalagi Mba Maya adalah seorang dokter umum yang memang berpraktik di sana. Artinya ia tidak hanya sekadar tahu, tetapi juga menghadapi secara langsung pasien-pasien ini.

Sebagai seorang psikolog, aku meyakini bahwa perubahan diri menyangkut aspek bio-psiko-sosio-spiritual. Aspek biologis menyangkut kondisi tubuh kita, mulai dari tidur, asupan makanan yang masuk, pergerakan, dan sebagainya. Aspek psikologi berkaitan dengan segala sesuatu yang berujung pada kestabilan emosi, pikiran, dan perilaku. Aspek sosial yaitu berkaitan dengan hal-hal sosial yang terjadi di sekitar kita. Bagaimana lingkungan memberikan dukungan terhadap perubahan diri kita. Terakhir, aspek spiritual, yaitu bagaimana kita memaknai kekuatan di luar diri kita ternyata mengendalikan kehidupan ini.

Dalam perjalanan mengelola emosi, aku banyak fokus dalam aspek psikologi dan spiritual. Tertuang dalam prosesku dari tahap ulat sampai kupu-kupu. Lalu, bagaimana kedua aspek lain?

Aku merasa bisa mendapatkan bantuan dari Mba Maya. Ilmu geriatri bisa mendukungku untuk memahami lebih lanjut kondisi sosial yang aku miliki saat ini terkait orang tua. Karena aku menyadari kondisi orang tua saat ini yang paling menggerus kondisi emosionalku. Kemudian, jika memungkinkan ada ilmu lain yang juga dimiliki Mba Maya, yaitu tentang kesehatan anak dan gizi yang juga menjadi perhatianku saat ini. Salah satu aspek yang juga menentukan kestabilan emosiku.

Dengan demikian, saat meminang aku mencoba menitikberatkan pada dua hal ini. Betapa aku membutuhkan kedua hal ini dalam kehidupanku. Keilmuan langka yang dimiliki oleh Mba Maya aku harapkan mampu memberiku lebih banyak pelajaran terkait masalah yang aku hadapi saat ini. Belum lagi, beliau adalah seorang dokter yang berpraktik di luar negeri, bisa menjadi tambahan ilmu lain yang bisa aku dapatkan ke depannya.

Jadi, aku merasa bersyukur menemukannya. Ini adalah sebuah takdir, sebuah langkah yang Allah buatkan dan aku yakin ada kebaikan ke depannya. Semoga perjalananku di tahap kupu-kupu ini bisa lebih baik dari tahapan sebelumnya.

Terima kasih, Mba Maya sudah menerima diriku sebagai mentee-mu.

Saatnya Menjadi Mentor: Menulis untuk Memaafkan

Sekarang sedikit cerita perjalanan mendapatkan mentee dalam topik yang aku angkat “Memaafkan lewat Tulisan.” Seperti yang aku ceritakan kemarin sebenarnya topik ini cukup berat karena bisa menjadi satu sesi untuk terapi sendiri. Rasa “berat” ini aku baru rasakan setelah mengunggah CV, duh, kebiasaan ya selalu telat menyadari.

Oleh karena itu, aku memang mencari mentee yang memang memiliki keseriusan untuk menjalani proses ini. Sebab, proses memaafkan, mau dengan cara apapun adalah langkah yang berat. Kita akan berhadapan dengan kondisi-kondisi yang mungkin selama ini sudah bikin kacau jiwa dan raga kita. Dengan demikian, aku hanya ingin menerima mentee yang sudah betul-betul siap untuk menjalani proses ini.

Cukup terkaget karena baru saja setengah jam berlalu dari waktu pembukaan sudah dua yang melamar. Walau batas penerimaan mentee memang dua, harapannya, sih gak banyak-banyak yang mendaftar, he-he-he.

Dari kedua mentee ini, portofolionya cukup menarik. Keduanya terlihat sangat tertarik untuk menjalani topik yang aku angkat. Pertanyaannya, seberapa siap mereka?

Mba Agi, yang pertama mendaftar ternyata sudah cukup banyak menuliskan perihal menulis untuk menyembuhkan luka. Ia melampirkan beberapa portofolio tulisannya terkait hal ini. Sebuah tawaran yang menarik karena aku memang butuh mentee yang sudah terbiasa menulis, sehingga bisa mengeksplorasi rasa yang dimiliki. Sebab, tidak banyak orang yang merasa butuh untuk memaafkan, tetapi mampu menulis dengan baik.

Setelah beberapa pertanyaan terkait motivasi dan alasan mendasar untuk menjalani proses memaafkan ini, akhirnya aku menerimaan Mba Agi sebagai mentee. Well, pada dasarnya aku itu sulit menerima orang, jadi memang tinggal merasa cocok gak ya dalam hati.

Kemudian, mentee kedua yang mendaftar adalah Mba Anne. Selama berada di hutan kupu-kupu aku sudah beberapa kali berhubungan dengan Mba Anne. Mulai jadi narasumber untuk kelompok self-care tempat ia berada. Sampai berlanjut hubungan di acara perkenalan teman-teman di kupu cekatan. Dari percakapan itu aku mendapati Mba Anne orang yang cukup gigih untuk berjuang memperbaiki dirinya.

Saat portofolio diserahkan, aku mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai proses yang sudah dia lakukan. Satu yang menarik untukku adalah dia telah menyelesaikan “jurnal syukur” selama 30 hari di tahap kepompong kemarin. Ini merupakan sebuah kunci lain, yaitu konsistensi. Kemampuannya untuk konsisten membuatku menerimanya menjadi mentee dengan harapan ia mampu menjalankan proses memaafkan ini sebaik jurnal syukur yang sudah ia lakukan.

Sebagai seorang psikolog, aku terkadang ingin membantu lebih banyak orang, tetapi apa daya kemampuan dan waktu yang kurang. Dengan demikian, aku merasa cukup puas saja mendapatkan kedua mentee ini. Semoga ke depannya proses mentoring bisa berjalan dengan lancar dan keduanya bisa mendapatkan sedikit dari apa yang bisa saya bagi ini.

Selanjutnya, tinggal lanjut untuk menyelesaikan tantangan membagikan pengalaman sebagai mentor. Semoga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada para mentee tentang proses yang bisa mereka lakukan selama beberapa pekan ke depan.

Ganbatte ne.

Bismillah.