Menemukan Sekolah dengan Fasilitas Terbaik

Adakah yang pernah berpikir sama seperti ini?

“Aku pilih sekolah itu saja, dari biayanya sudah masuk semua fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler, jadi gak butuh tambahan les lagi, dibanding sekolah lain.”

Salah satu yang saat ini menjadi agenda para orang tua yang memiliki anak usia enam atau tujuh tahun adalah menemukan sekolah pertamanya. Apalagi setelah masa taman kanak-kanak, maka memilih sekolah dasar yang tepat menjadi pertimbangan penting bagi para orang tua ini. Pasalnya, sekolah dasar ini penting untuk perkembangan anak menuju tahap berikutnya. Oleh karena itu, mungkin sudah mulai menjadi tren terkini, bagi mereka yang memiliki kecukupan finansial, memilih memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang diharapkan sesuai dengan visi pendidikan keluarga.

Salah satu yang menjadi pertimbangan orang tua yang memilih menyekolahkan anak-anak ke sekolah swasta adalah pemenuhan fasilitas yang menunjang pendidikan. Fasilitas fisik kerap menjadi sorotan. Bagaimana gedung sekolah? Kelengkapan fasilitas penunjang pendidikan? Bagaimana kondisi ruang kelas? Beserta fasilitas untuk kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.

Oleh sebab itu, saat ini begitu banyak sekolah swasta yang berlomba dari segi fasilitas fisik. Mencoba memperlihatkan kenyamanan dalam belajar sebagai jaminan bagi anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik. Ditambah kurikulum yang begitu ragam, baik itu nasional maupun internasional, yang menjadi nilai jual lainnya. Semua berlomba memberikan fasilitas yang membuat mata orang tua berdecak kagum, sehingga memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sana, meskipun harus merogoh kocek sedemikian dalamnya. Demi satu hal, “Anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik.”

Namun, satu hal yang seringkali aku renungi, apakah cukup fasilitas fisik ini yang membuat anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik? Lalu, bagaimana dengan mereka yang ternyata tidak dianugerahi Allah Swt. kemampuan finansial yang cukup. Apakah itu berarti mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan terbaik?

Itu berarti sama saja kita menyetujui kalau orang miskin dilarang sekolah. Orang miskin tidak layak mendapatkan pendidikan yang layak. Padahal pendidikan adalah hak semua anak. Setiap anak, apa pun latar belakang mereka berhak untuk belajar. Akhirnya, semua orang berlomba-lomba menjadi “kaya” hanya untuk memberikan pendidikan terbaik. Mereka yang tetap Allah Swt. beri rezeki yang cukup saja, tidak diperkenankan untuk menyicip pendidikan dengan fasilitas terbaik itu.

Jadi, sebenarnya apakah pendidikan terbaik identik dengan fasilitas yang lengkap?

Fasilitas Terbaik Itu Adalah Guru

Jika berkaca pada zaman Rasulullah saw. maka kita hendaknya menelaah kembali tentang makna pendidikan dengan fasilitas yang lengkap. Pada saat itu, kita tahu fasilitas yang ada serba terbatas, tidak seperti saat ini. Namun, Allah Swt. menunjukkan mereka yang berada di era Rasulullah saw. beserta dua generasi sesudahnya adalah generasi terbaik umat muslim. Mereka yang hidup dalam keterbatasan, malah menjadi orang-orang mulia. Maka, apakah memang fasilitas fisik adalah satu kunci yang membuat seseorang menjadi hebat?

Ternyata tidak!

Bukan fasilitas fisik yang menjamin sahabat-sahabat di zaman itu menjadi manusia teladan. Melainkan, bagaimana mereka belajar pada guru hebat, itulah yang membuat mereka menjadi manusia yang luar biasa. Para sahabat yang belajar langsung dari Rasulullah saw. Begitu pula para tabi’in dan generasi selanjutnya yang belajar dari para ulama dengan keilmuan luar biasa. Artinya, fasilitas terbaik yang bisa membuat seseorang mampu mendapatkan ilmu yang baik adalah seorang GURU.

Ya, guru. Pernahkah terpikirkan?

Karena ilmu itu diturunkan bukan lewat fasilitas fisik. Bukan pula lewat kurikulum buatan manusia. Melainkan lewat guru yang memiliki keilmuan yang luar biasa. Membawa ilmu lurus yang disampaikan secara benar sejak zaman Rasulullah saw. Sudahkah kita menjadikan ini sebagai satu kriteria ketika memilih sekolah untuk anak-anak kita?

Bisa jadi memang benar. Sekarang ini kita banyak tertipu daya oleh tampilan visual, sehingga kehilangan esensi mengenai pendidikan itu sendiri. Fasilitas fisik hanyalah alat bantu, bukan sebuah keutamaan untuk mendapatkan ilmu. Guru adalah fasilitas utama untuk menghantarkan ilmu itu kepada anak-anak kita. Jadi, sudahkah guru di sekolah anak kita memang memiliki keilmuan yang cukup untuk berbagi dengan anak-anak kita?

Coba sekarang kita telaah bersama. Apakah guru di sekolah anak-anak kita saat ini:

  • Mendapatkan perhatian yang pantas untuk kesejahteraannya, sehingga ia tidak butuh memusingkan kebutuhan keluarganya dan fokus terhadap pembelajaran anak-anak kita.
  • Memiliki pemahaman yang merata untuk dasar-dasar nilai yang mau diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Mendapatkan pembekalan ilmu yang berkelanjutan, sehingga mereka terus bisa menambah pengetahuan terkait ilmu yang diajarkan kepada anak-anak kita.
  • Dijaga izzahnya, terjaga kehormatannya, sehingga mereka bisa terus menjaga niat dalam mengajarkan ilmu kepada anak-anak kita.

Mengapa semua ini butuh untuk diperhatikan?

Karena sebuah ilmu yang didapatkan anak-anak kita itu butuh keberkahan. Berkah itu didapat dari guru yang mengajarkan mereka ilmu tersebut. Jika kita tidak mampu untuk menjaga kehormatan, menjaga perasaan, menjaga kesejahteraannya, sehingga mereka banyak mengeluh dan menyimpangkan sedikit saja niat mereka dalam mengajar anak-anak kita, apa yang mungkin terjadi?

Seringkali hal ini tidak mendapatkan perhatian yang baik. Padahal bisa jadi ilmu-ilmu yang didapatkan oleh anak-anak kita itu tak kekal karena keberkahan itu hilang seiring dengan hilangnya ketulusan guru dalam mengajari anak-anak kita. Bahkan mungkin kitalah orang tua yang telah membuat berkah itu hilang karena terlalu banyak mengkritik guru dan sekolah.

Ketika memilih sebuah sekolah, artinya mau tidak mau kita menyepakati apapun yang sekolah lakukan untuk anak-anak kita. Karena secara sadar kita memasukkan mereka ke sekolah itu, berarti kita menyetujui setiap jengkal kurikulum yang diterapkan oleh para guru. Termasuk semua itikad baik yang diupayakan sekolah untuk membentuk mental anak-anak kita. Jika memang kita banyak mengeluh, merasa tidak cocok, bisa jadi memang sistem sekolah tersebut tidaklah cocok dengan kita. Berarti sudah waktunya menelaah kembali bagamaina visi pendidikan kita sesungguhnya? Benarkah sudah tepat semua yang kita pilihkan ini?

Kemudian, perihal memiliki nilai yang sejalan dengan sekolah adalah kunci penting lainnya. Minimal sekali harus punya pemahaman yang merata di antara semua guru. Dengan demikian, sistem yang dibawa oleh sekolah akan bisa diterapkan dengan baik pada praktiknya. Setiap guru memiliki jiwa dan semangat yang sama untuk menularkan ilmu-ilmu tersebut kepada anak-anak. Tidak ada perbedaan, termasuk disonansi yang dapat mengganggu pemahaman anak-anak. Oleh karena itu, setidaknya sekolah harus punya sistem matrikulasi atau pendidikan khusus yang harus dimiliki setiap guru, sebelum mereka terjun mengajar.

Selanjutnya, pendidikan yang berkelanjutan, mengapa ini menjadi penting?

Kita bisa berkaca pada diri sendiri saja. Seberapa banyak kita harus mengulang sebuah ilmu agar ilmu itu terus melekat dalam diri. Bahkan sebagai orang tua kita harus terus belajar agar mampu memberikan contoh bagi anak-anak. Oleh karena itu, guru pun demikian. Mereka harus terus belajar menambah ilmu, agar keilmuan yang disampaikan kepada anak-anak menjadi lengkap dan mendalam.

Pertanyaan selanjutnya, adakah sekolah demikian?

Alhamdulillah, kami dipertemukan dengan sekolah yang menyajikan semua itu. Hadirnya guru yang terus dijaga niat, nilai, pengetahuan, dan motivasinya dalam membersamai anak-anak kami. Jika bicara fasilitas fisik, tentu jauh sekali sekolah ini dari harapan. Namun, semangat untuk mengembalikan fasilitas ini kepada tempat seharusnya, itulah yang membuat kami memilih sekolah ini.

Jika ada yang mendatangi tempat ini, tentu akan berpikir, benarkah ini sebuah sekolah?

Akan tetapi, kami yakin bukan fasilitas fisik yang membuat anak-anak menjadi gemilang. Melainkan sistemnya, guru-gurunya, ruh yang terus ditiupkan berbarengan dengan semangat untuk menerapkan adab dan iman dengan sebaik-baiknya. Dari situ kita bisa paham, sekolah bukan dimulai dari sesuatu yang fisik, melainkan kesungguhan hati. Keinginan kita menyajikan pendidikan terbaik dimulai dari guru-guru yang mumpuni.

Jadi, mari berkaca kembali, sudahkah kita memilihkan sekolah anak-anak berdasarkan guru yang memberikan mereka ilmu? Bukan semata fasilitas fisik semata.

Kurikulum Merdeka, Betulkah Kurikulum yang Tepat untuk Anak Indonesia?

Saat ini dunia pendidikan sedang dihadapkan pada sebuah perubahan besar: kurikulum merdeka. Sebuah kurikulum yang dicanangkan oleh menteri pendidikan terkini, Nadiem Karim. Sebuah gebrakan besar, pasalnya kurikulum ini seolah membongkar kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun belakangan. Bahkan lebih jauh lagi, benar-benar membongkar habis sistem pendidikan Indonesia selama ini.

Sebenarnya pembahasan tentang pendidikan Indonesia ini selalu menarik untuk dikaji. Sebagai penduduk yang sudah merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia ini semenjak kecil, bahkan pernah duduk memandangnya dengan peran yang lain selain sebagai siswa, ada banyak kritik terhadap arah perkembangan pendidikan kita ini.

Rasanya pendidikan ini makin lama makin kehilangan arah. Seiring banyaknya perubahan kurikulum setidaknya selama dua puluh tahun terakhir. Seolah tak ada pendidikan yang ajeg karena selalu berganti kurikulum. Ganti menteri, ganti kurikulum.

Mengapa aku bisa bilang kehilangan arah?

Sebagai mantan pendidik di perguruan tinggi, aku benar-benar merasakan efek tidak menyenangkan dari hasil sistem yang ada selama ini. Betapa rasanya pendidikan kita begitu gagal karena tak bisa mencetak individu yang memiliki keterampilan yang cukup sebagai seorang manusia dewasa.

Kok bisa? Bukankah itu sebuah penilaian yang dianggap subjektif semata? Belum ada penilaian terukur untuk membuktikan semua itu. Hanya ada opini-opini serupa yang hadir, tetapi tanpa data terpercaya. Yah, mau bagaimana juga, kita tak hanya bisa berbicara tentang opini tanpa data faktual. Toh, kita tak sebanding dengan orang-orang yang merancang maupun melaksanakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, ada sebuah kesimpulan menarik ketika beberapa hari yang lalu aku dan saudaraku mendiskusikan tentang kurikulum merdeka ini. Ada cukup banyak perubahan yang sangat signifikan terkait tenaga pengajar, hasil lulusan, dan makna “kemerdekaan” yang diusung kurikulum ini. Detailnya coba dicari sendiri, ya karena tulisan ini tak akan membahas detail seperti itu. Melainkan sebuah opini untuk melihat, sebenarnya apa arti pendidikan yang sesungguhnya.

Ya, sebenarnya pendidikan itu maknanya apa?

Kalau berkaca pada apa yang sudah dijalani sejak kecil, meskipun sekarang kurikulumnya sudah berubah, sepertinya konsepnya masih sama saja. Mengejar kompetensi, persaingan antar individu, siapa yang pintar dia yang menang. Kesimpulan paling tepat dari sistem pendidikan kita adalah pendidikan yang jauh dari pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang menjauhkan dari konsep belajar yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan itu.

Jika mengambil dari definisi belajar, “Menambah repertoir memori manusia,” maka rasanya pendidikan itu sudah gagal total. Buktinya, seberapa banyak perubahan yang terjadi, seberapa banyak materi yang dipelajari masih melekat dalam ingatan kita setelah beranjak dewasa. Semua itu disebabkan oleh selesainya “belajar” yang dimaksud setelah ujian berakhir. Pendidikan hanya sekadar mendapatkan nilai tertinggi agar mendapatkan status yang dibutuhkan di masyarakat. Jadi, ketika gagal, maka dianggap sebagai kegagalan total.

Dalam diskusi pekan lalu itu akhirnya ada sebuah kesimpulan yang menurutku benar-benar mencerminkan arti pendidikan itu. Pendidikan itu seharusnya tentang membandingkan kemampuan anak hari ini dengan kemampuannya kemarin. Begitu pula tentang merancang apa yang dibutuhkan oleh seseorang ke depannya. Artinya, pendidikan itu bukan tempat ajang persaingan. Melainkan bagian dari bagaimana mengembangkan individu agar mencapai manfaat semaksimal mungkin. Sesuai dengan konsep belajar, ketika pendidikan diberikan secara khusus, spesial untuk setiap orang, maka proses belajarnya akan menjadi lebih maksimal. Repertoirnya akan terus bertambah karena pendidikan itu disetting khusus sesuai kemajuan individu.

Yap, bukan tentang persaingan, siapa yang paling pintar, melainkan apakah saya sudah lebih pintar dibandingkan diri saya kemarin. Oleh karena itu, setiap orang berhak untuk menentukan jalan belajarnya sendiri. Sebuah konsep yang harusnya dilatihkan kepada anak-anak semenjak kecil agar ketika dewasa ia bisa menerapkan konsep belajar seumur hidup. Ketika dewasa, tak akan ada kebingungan, “Saya itu potensinya apa?” atau “Apa pekerjaan yang saya pilih?” karena sudah memiliki peta yang jelas tentang pencapaian pribadinya.

Akhirnya, pendidikan yang demikian akan mengajarkan dorongan dari dalam, belajar karena kebutuhan, menjadi terdidik karena memang membutuhkan. Bukan karena paksaan dari luar, tuntutan lingkungan yang kalau gak sekolah dinilai buruk. Sebab, ketika sekolah, menjalani pendidikan, atau belajar itu hanya karena tuntutan lingkungan, maka motivasi internalnya tidak ada. Jika demikian, ketika pendidikan tidak memberikan kenyamanan yang dibutuhkan, tidak memberikan kebutuhan, atau lebih buruknya lagi menjadi tempat bertemunya banyak keburukan, bukankah menjadi wajar akhirnya merasa sekolah itu tak butuh. Berhenti, kalaupun masih sekolah, tidak menemukan makna belajar yang sesungguhnya. Hanya demi memenuhi nilai, dengan menghalalkan semua cara.

Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang mendapatkan keterampilan untuk berpikir, bersikap analitis, mampu memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, berkomunikasi dengan baik, dan sebagainya. Keterampilan-keterampilan yang didapat setelah anak terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian, ia memiliki bekal yang cukup untuk kehidupan masa depan.

Visi Pendidikan Keluarga dan Kurikulum Pendidikan

Okelah sekarang mau tidak mau kita harus hidup di kondisi yang tidak ideal. Pendidikan formal yang diberikan pemerintah masih mencari warna yang pas untuk memberikan pendidikan terbaik bagi warganya. Perubahan kurikulum itu mungkin masih akan menjalani perjalanan panjang, hingga bisa mengimplementasikan kemerdekaan sesungguhnya kepada calon penerus bangsa.

Kebingungan dalam kurikulum ini pula membuat semakin banyaknya orang tua yang memilihkan anak-anak mereka untuk homeschooling, bersekolah di rumah. Bukan berarti memindahkan sekolah dengan semua kurikulumnya ke rumah, homeschooling mengusung visi pendidikan keluarga sebagai basisnya. Termasuk melihat kebutuhan masing-masing anak, sehingga setiap anak dalam sebuah keluarga bisa jadi mendapatkan pendidikan berbeda. Ritme masing-masing pun berbeda, jika memang bisa cepat, silahkan, jika tidak silahkan. Bahkan ada beberapa teman yang praktisi homeschooling yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya memilih keterampilan/pengetahuan apa yang mau mereka kembangkan pada satu semester.

Tentunya kemampuan untuk menentukan pilihan itu tidak lahir instan. Diawali dengan orang tua yang harus berjibaku terlebih dahulu menanamkan visi keluarga, memberikan kesempatan untuk mencobakan semua materi kepada anak-anak, termasuk jeli melihat potensi anak agar bisa terarah kebutuhannya. Hasilnya, tampak sekali itulah makna pendidikan sesungguhnya, mereka menemukan jalan yang dibutuhkan.

Namun, tidak melulu kita akhirnya harus beralih kepada homeschooling. Semua sebenarnya kembali pada visi pendidikan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki bayangan ke depan anak kita akan seperti apa. Menjadi anak baik? Baik yang seperti apa? Menjadi pintar? Pintar seperti apa? Visi ini harus jelas, kembalikan lagi pada keyakinan yang dimiliki masing-masing.

Menyekolahkan anak tanpa visi pendidikan sama saja seperti membiarkan mereka menyelam dalam lautan yang dalam tanpa punya tujuan. Berbeda ketika punya visi, misalnya mereka ingin menjadi orang pertama yang masuk ke dalam palung terdalam, maka mereka akan mencari beragam cara untuk mewujudkan itu. Bisa jadi dengan belajar mana saja palung yang ada di bumi ini. Lalu, belajar bagaimana caranya menciptakan alat yang bisa membantu manusia menyusuri palung terdalam. Ketika bervisi, anak menjadi jelas, apa yang harus ia capai dari semua pendidikan ini. Dengan demikian, ketika lelah melanda, mereka akan kembali bersemangat karena memiliki visi tersebut.

Sebagai seorang muslim, apa visi pendidikan kita?

Kajian terakhir untuk orang tua santri saat Si Sulung kelas satu kemarin benar-benar kembali mengisi ulang semangat untuk kembali pada visi pendidikan ini. Visi pendidikan tidak hanya mengarahkan anak-anak, tetapi juga menjadi petunjuk bagi orang tua, bekal apa yang mereka butuhkan untuk mendidik anak-anak. Termasuk memilihkan pendidikan untuk anak-anak.

Jika memang masih membayangkan anak kita menjadi “robot” serba bisa, maka silahkan saja menyekolahkan ke tempat yang menyediakan semua itu. Jika memang ingin me-launching anak-anak menjadi anak bertaraf internasional, silahkan saja untuk menyekolahkan ke sekolah dengan tujuan tersebut. Namun, coba renungi kembali, setelah semua mimpi duniawi yang tercapai itu: anak yang pintar, lulus perguruan tinggi bergengsi, dapat pekerjaan di perusahaan multinasional, punya mobil, rumah, dan sebagainya, sebenarnya apa yang dibutuhkan dari mereka selanjutnya?

Kami sebagai orang tua masih percaya, agama harus didahulukan dibanding hal lainnya. Di atas semua pelajaran duniawi yang diberikan di bangku sekolah. Matematika, Bahasa, IPA, IPS, beserta turunannya, sebenarnya apa yang membuat semua ilmu itu lebih baik dibandingkan ilmu agama. Jika memang takut nantinya anak tidak bisa survive karena tidak bisa memiliki ilmu duniawi, tidak pandai, tidak juara, tidak ikut kompitisi, coba renungi kembali sebenarnya apa yang ditakutkan?

Namun, bisa jadi memang kita semua berada di jalur yang berbeda-beda. Kita memiliki dunia yang berbeda dalam memandang visi pendidikan . Jadi, kita pun tidak bisa saling mendebatkan mana yang terbaik. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan seberapa banyak anak kita mampu belajar di saat bersamaan? Mampukah ia menguasai semuanya? Mana sebenarnya ilmu yang harusnya ia kuasai terlebih dahulu, dibanding ilmu lainnya?

Semua jawaban itu akan didapat ketika kita mencari ilmunya. Mencari tahu, sesungguhnya pendidikan terbaik sebagai muslim itu yang seperti apa? Menyusuri riwayat pendidikan itu dalam sejarah Rasulullah saw, sang pengajar terbaik sepanjang zaman. Menghasilkan orang-orang terbaik, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Jika menemukan, sudahkah visi pendidikan maupun pilihan kurikulum kita sudah sejalan dengan itu semua?

Menumbuhkan Pesona Al-Qur’an Kepada Anak

Kapan waktu yang paling tepat mengajarkan Al-Qur’an kepada anak? Mulai dari mana?

Mungkin itu dua pertanyaan yang butuh diperhatikan saat kita ingin mengajak anak dekat dengan agamanya. Kapan kita bisa mulai untuk mengajarkan Al-Qur’an, sumber utama yang digunakan untuk mengenal agama ini. Jangan sampai tertinggal atau terlewat masanya.

Ada banyak hal yang saya pelajari semenjak ikut kelas parenting nabawiyah. Salah satunya adalah menjadikan Al-Qur’an itu sebagai dasar dari segala keputusan yang diambil dalam keluarga. Tentu ini adalah kebiasaan baru. Jika selama ini bisa jadi aku masih merasa cukup jauh dari Al-Qur’an, menjadikan rutinitas tilawah hanya sebagai pengisi waktu sehari-hari. Namun, kali ini ketika mulai diajak untuk merujuk setiap tindakan di dalam keluarga, termasuk dalam mengasuh anak, kepada Al-Qur’an dan hadis, berasa sekali semua menjadi lebih terarah.

Ya, mungkin itu yang selama ini terlewat dalam kehidupan ini. Banyak belajar teori yang diungkapkan manusia, tetapi lupa pada teori yang diberikan langsung oleh Allah swt. Sibuk dengan mengkaji keilmuan yang sifatnya empiris, sampai lupa untuk mengaji ayat-ayat dari Ia yang memberikan akal ini. Rasanya beruntung sekali orang-orang yang semenjak mereka kecil sudah dekat dengan Al-Qur’an. Bahkan menjadikan jalan dakwah sebagai jalan kehidupannya sekarang. Kadang-kadang merasa malu, hidup sudah hampir 34 tahun, tetapi pengetahuan agamanya masih sangat cetek.

Nah, sebagai sumber utama dalam kehidupan, maka sudah sepantasnya kita memperkenalkan Al-Qur’an kepada anak-anak sejak dini. Bahkan semenjak mereka masih di dalam kandungan. Memperdengarkan lantunan kalam Ilahi, alih-alih memberikan suara yang lainnya. Ini adalah langkah pertama sekali agar anak-anak menjadi dekat dengan Al-Qur’an.

Langkah selanjutnya setelah mereka lahir tentunya terus membiasakan Al-Qur’an ini terlantun di telinga mereka. Terus, hingga mereka sudah mulai bisa berbicara, mengajak merapal dan menghapa ayat-ayat Al-Qur’an menjadi langkah awal sebelum mereka mengenal bahasa lainnya, selain bahasa ibu. Dalam kajian parenting nabawiyah ditekankan berkali-kali, para generasi terdahulu yang gemilang di masanya memulai pendidikan mereka dari Al-Qur’an terlebih dahulu. Dengan cara, menghapal Al-Qur’an semenjak dini, bukan yang lain.

Sebagai pendengar yang baik, peniru yang ulung, bukan sebuah kesulitan bagi anak-anak untuk melafazkan ayat demi ayat yang mereka dengar. Bahkan saat belum sempurna bicaranya, mereka dengan sukarela akan menyebutkan ayat-ayat yang sudah mereka dengarkan.

Photo by Utsman Media on Unsplash

Berperilaku Sesuai dengan Al-Qur’an

Demi menumbuhkan pesona Al-Qur’an itu sendiri, maka sebagai orang tua kita harus mulai memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an mengatur perilaku, baik cara berbicara, bersikap, mengambil keputusan, dan sebagainya. Memperkenalkan Al-Qur’an lewat keseharian, sehingga memunculkan rasa kagum pada diri anak-anak mengenai bagaimana Al-Qur’an mengatur semua tindak-tanduk kita sebagai manusia. Bagaimana Al-Qur’an menjadi pedoman paling lengkap daripada pedoman lainnya. Sebab, inilah petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Lalu, bagaimana kita sebagai orang tua memupuk perilaku kita agar sesuai dengan Al-Qur’an?

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua, antara lain:

  1. Menambah ilmu Al-Qur’an dengan mengikuti berbagai kajian. Buatku ini berasa sekali. Bagaimana mungkin mau mengajarkan anak tentang Al-Qur’an, sedangkan kita sendiri tidak memiliki ilmunya. Tentu saja kita harus memilih kajian yang tepat. Kajian yang memang mengajarkan Al-Qur’an secara benar, sesuai dengan apa yang Rasulullah saw. ajarkan. Dalam hal ini kita pun harus berhati-hati, jangan sampai salah memilih “guru” agar anak-anak pun tidak salah dalam berperilaku.
  2. Menerapkan ilmu Al-Qur’an dalam perilaku sehari-hari. Tentunya setelah mendapatkan ilmu, kita harus mempraktikkan. Sebuah ilmu tanpa praktik hanyalah sebuah kesia-siaan. Oleh karena itu, mulai belajar menunjukkan perilaku yang sesuai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, bisa menjadi contoh bagi anak-anak. Misalnya, dari hal sederhana saja, seperti makan, kita menerapkan adab yang telah diajarkan Rasulullah saw.
  3. Membangun kebiasaan mengaji Al-Qur’an. Agar anak dekat dengan Al-Qur’an, orang tua pun harus demikian. Siapkanlah sebuah forum harian yang isinya untuk mengaji Al-Qur’an. Bisa dengan tilawah bersama, murojaah hapalan, atau mendiskusikan ayat-ayat tertentu yang bisa dikaitkan dengan keseharian. Dengan demikian, anak-anak terbiasa untuk menerapkan ilmu Al-Qur’an itu dalam kehidupannya.
  4. Meminta pertolongan Allah untuk memudahkan ikhtiar. Pada akhirnya, dari semua usaha yang kita lakukan, tetap saja kita meminta pertolongan Allah untuk memudahkan ikhtiar ini. Bagaimanapun, hanya rahmat-Nya yang mampu menumbuhkan anak-anak yang dekat dengan Al-Qur’an. Sekali lagi, mudahnya anak-anak menyerap, menghapal, dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an, semua itu tidak lepas dari keberkahan yang diberikan oleh-Nya. Oleh karena itu, di akhir semua usaha kita, selalu sandarkan kepada Allah swt. hasil akhirnya.

Tentunya di atas semua usaha ini ada niat yang harus ditanamkan sungguh-sungguh. Sebuah niat bahwa pengasuhan berbasis Al-Qur’an yang kita lakukan merupakan ibadah kita kepada Allah swt. Agar tiap usaha dan tindakan kita dinilai sebagai sebuah kebaikan, bukan hanya kewajiban semata. Selain itu, niat yang tulus atas dasar ibadah inilah yang akan memudahkan turunnya rahmat dari Allah swt. dalam keluarga kita.

Jadi, sudah siapkah untuk mulai menunjukkan pesona Al-Qur’an itu kepada anak-anak kita?