Tidak terasa sudah hampir dua puluh tahun berlalu semenjak basa-basi keinginan menjadi psikolog itu aku lontarkan saat berjalan di tengah lapangan sekolah. Sebuah kalimat canda yang hadir karena sedang membicarakan jurusan pilihan bagi kami yang saat itu sedang berdebar menentukan masa depan sebagai siswa kelas 3 SMA. Bukan sebuah kebetulan akhirnya ucapan singkat di tengah teriknya matahari itu ternyata diaminkan oleh para malaikat, sehingga berujung pada nasib yang membawaku ke jalan ini. Hm, apa mungkin malah itu adalah petunjuk dari Allah Swt. kalau aku akan menjalani kehidupan di luar cita-citaku sebagai dokter? Wallahu’alam.
Yah, dari sebuah obrolan ringan, santai, dan tanpa beban itu malah menjadi sebuah jalan panjang yang aku jalani hingga hari ini. Selama hampir dua puluh tahun setelah melangkahkan kaki ke fakultas biru muda di Depok, rasanya masih tidak percaya inilah yang Allah takdirkan untukku. Menjadi orang yang peduli pada kesehatan mental orang lain.
Padahal dalam praktiknya, menjalani kehidupan sebagai psikolog itu tidak semudah yang dibayangkan orang lain. Tidak pula seperti cita-cita mulia yang dilontarkan anak berusia 17 tahun yang kala itu sedang berjalan bersama teman-teman di depan Pusgiwa sambil bercerita ingin menjadi lulusan seperti apa empat tahun mendatang. Saat itu belum terpikir akan beban yang akan dijalani. Hanya menjadi sosok anak muda yang masih mempunyai cita-cita besar pengganti gagalnya meraih cita-cita semenjak kecil.
Sempat ada kebimbangan sesaat ketika kelulusan dari jenjang S1 menanti. Apa langkah selanjutnya? Aku inginnya ambil jurusan apa? Kalau saja aku lebih berani untuk mengambil sikap, tentu profesi psikolog tidak akan tersemat di belakang namaku. Namun, mungkin itu yang dinamakan takdir. Ketika hati kita condong dan siap untuk mengambil satu keputusan tertentu, maka itulah jalan kehidupan.
Jika ditanya apakah menjadi psikolog adalah sebuah impian? I don’t think so. Meskipun dulu punya mimpi jadi dokter, bukan berarti aku ingin hidup berkutat dengan orang lain. Menyelamatkan mereka, memperbaiki mereka. Bagiku keren jika saat itu bisa mengikuti jejak orang tua. Apalagi aku memang suka pelajaran biologi dan suka belajar sesuatu secara komprehensif. Maka, ketika Allah menjalankan ke jalan ini, sempat meragu, mampukah aku menjadi seorang psikolog yang baik?
Setelah hampir dua puluh tahun menjalani semua ini, aku sendiri sadar tidak ada momen yang membuat kita bisa yakin 100 persen terhadap keputusan hidup. Bahkan setelah kita memutuskan memilih satu tujuan, bukan berarti itu adalah sebuah akhir. Di sisi lain, itu merupakan sebuah awal dari kehidupan baru yang lebih menantang. Bisa jadi titik yang kita pikir akhir itu adalah titik awal untuk membuka tabir-tabir rahasia takdir lainnya.
Seusai menjadi psikolog pun harus terus belajar dan belajar untuk menemukan versi terbaik dari diri sendiri. Tidak mudah tentu karena lagi-lagi ada sejuta tantangan yang tidak akan bisa kita selesaikan dalam satu kerdipan mata. Adanya hanya butuh berusaha sampai tak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan usaha itu.
So, what’s is crap thing about being psychologist?
Pertama-tama tentu menjadi psikolog bukan berarti sudah sempurna memahami ilmu kejiwaan. Sudah menjadi sosok yang ahli mempraktikkan teknik-teknik terapi yang dipelajari selama ini. Bukan pula menjadi orang yang sudah kenal dengan baik diri sendiri. Malahan setelah hampir dua puluh tahun belajar psikologi sampai di satu titik yang mempertanyakan, sebenarnya saya itu siapa?
Akhirnya aku sendiri mencoba untuk memperluas keilmuan. Bukan lagi tak mempercayai keilmuan psikologi yang ditemukan oleh para ahli yang sama-sama juga manusia. Namun, jika beranjak dari keyakinan bahwa hasil-hasil penelitian itu hanyalah hipotesis yang diuji berdasarkan statistika peluang, apakah bisa dipercayai lagi kebenarannya?
Well, mungkin tampaknya lucu. Di satu sisi psikologi itu amat mempercayai data. Mereka termasuk ilmuwan, meskipun ilmuwan bidang eksak sendiri tidak mengakui sisi keilmuan psikologi sebagai sesuatu yang empiris. Karena perilaku itu letaknya absurd, tak terlihat, tak tersentuh. Faktor yang memengaruhinya pun banyak sekali, sehingga tingkat kesalahan dalam pengambilan kesimpulannya pun cenderung tinggi. Ujung-ujungnya bergantung pada analisis dinamika manusia yang memang unik milik masing-masing. Hanya bisa menyimpulkan “rata-rata” orang demikian dengan tetap memperhatikan keunikan setiap orang.
Oiya, satu lagi yang harus dipahami adalah psikolog gak bisa membaca pikiran. Bekerja berdasarkan fakta, data, bukan hanya tebak-tebakan. Jika ada yang tidak percaya, silahkan saja, kami tidak memaksa. Satu anehnya, semakin merasa bisa memahami orang lain, terkadang malah makin tidak paham diri sendiri. Ha-ha-ha. Apa karena kebanyakan memasukkan “unsur” manusia lain ke dalam diri sendiri, sehingga terkadang kehilangan wujud diri.
Semakin tahu orang secara dalam malah semakin bingung harus bagaimana. Baru sadar kalau Allah ternyata menciptakan manusia sedemikian kompleksnya. Dinamikanya tak bisa dijabarkan hanya melalui satu-dua tes tertentu buatan manusia. Kompleksitas yang membuat kita tak bisa memprediksi setiap manusia itu akan berakhir seperti apa di penghujung hidupnya. Sekali lagi, itu hanya perkiraan, data statistik berdasarkan ilmu peluang.
Another crap thing we have adalah gak bisa ngobatin keluarga sendiri. Eh, sebelum ngobatin keluarga bahkan menyembuhkan diri sendiri saja butuh bantuan dari psikolog lain. Sama saja, ya seperti dokter yang tetap butuh dokter lain biar bisa sembuh. Psikolog di tingkatan tertentu tetap butuh bantuan. Tentu saja, mereka tetap manusia yang bisa terpengaruh oleh masalah manusia lain. Psikolog bukan super people yang bisa kebal terhadap efek permasalahan orang lain.
Apalagi kalau keluarga sendiri punya resistensi, semakin sulitlah itu untuk membuat mereka “sembuh” dengan kekuatan pribadi. Tentunya ini tidak lepas dari hati yang terlalu empati. Tidak mudah tega terhadap kondisi orang lain. Tidak pula mampu untuk memaksa mereka untuk berubah. Terutama ketika anggota keluarganya sendiri tidak sadar tentang masalahnya. Namun, yang lebih bikin sakit hati adalah ketika anggota keluarganya malah mencari bantuan ke orang lain, padahal di sampingnya ada kita yang juga punya kompetensi sama. Ha-ha-ha.
Sudah benar, sih kalau dibilang masuk psikologi itu adalah waktunya berobat jalan. Kita semakin mencoba memperbaiki diri karena tahu banyak yang tidak beres sama kehidupan sendiri setelah membandingkannya dengan teori-teori yang ada. Sehabis jadi psikolog kebiasaan ini semakin menjadi-jadi karena sebelum mempraktikkan teknik psikoterapi ke pasien, sudah dulu mencobakan teknik itu ke diri sendiri.
Intinya jadi psikolog itu sebenarnya gak enak. Banyak hal yang jadi bikin kita gak tenang dan nyaman. Di sisi lain, senangnya jadi psikolog itu adalah bisa belajar tentang manusia lebih dalam dibanding orang lain, punya mindset yang sangat luas, dan paling penting kerjanya santai tergantung kesanggupan.
Apalagi the crap things about being psychologist menurut kamu?