What a Crap Things of Being Psychologist – Part 1

Tidak terasa sudah hampir dua puluh tahun berlalu semenjak basa-basi keinginan menjadi psikolog itu aku lontarkan saat berjalan di tengah lapangan sekolah. Sebuah kalimat canda yang hadir karena sedang membicarakan jurusan pilihan bagi kami yang saat itu sedang berdebar menentukan masa depan sebagai siswa kelas 3 SMA. Bukan sebuah kebetulan akhirnya ucapan singkat di tengah teriknya matahari itu ternyata diaminkan oleh para malaikat, sehingga berujung pada nasib yang membawaku ke jalan ini. Hm, apa mungkin malah itu adalah petunjuk dari Allah Swt. kalau aku akan menjalani kehidupan di luar cita-citaku sebagai dokter? Wallahu’alam.

Yah, dari sebuah obrolan ringan, santai, dan tanpa beban itu malah menjadi sebuah jalan panjang yang aku jalani hingga hari ini. Selama hampir dua puluh tahun setelah melangkahkan kaki ke fakultas biru muda di Depok, rasanya masih tidak percaya inilah yang Allah takdirkan untukku. Menjadi orang yang peduli pada kesehatan mental orang lain.

Padahal dalam praktiknya, menjalani kehidupan sebagai psikolog itu tidak semudah yang dibayangkan orang lain. Tidak pula seperti cita-cita mulia yang dilontarkan anak berusia 17 tahun yang kala itu sedang berjalan bersama teman-teman di depan Pusgiwa sambil bercerita ingin menjadi lulusan seperti apa empat tahun mendatang. Saat itu belum terpikir akan beban yang akan dijalani. Hanya menjadi sosok anak muda yang masih mempunyai cita-cita besar pengganti gagalnya meraih cita-cita semenjak kecil.

Sempat ada kebimbangan sesaat ketika kelulusan dari jenjang S1 menanti. Apa langkah selanjutnya? Aku inginnya ambil jurusan apa? Kalau saja aku lebih berani untuk mengambil sikap, tentu profesi psikolog tidak akan tersemat di belakang namaku. Namun, mungkin itu yang dinamakan takdir. Ketika hati kita condong dan siap untuk mengambil satu keputusan tertentu, maka itulah jalan kehidupan.

Jika ditanya apakah menjadi psikolog adalah sebuah impian? I don’t think so. Meskipun dulu punya mimpi jadi dokter, bukan berarti aku ingin hidup berkutat dengan orang lain. Menyelamatkan mereka, memperbaiki mereka. Bagiku keren jika saat itu bisa mengikuti jejak orang tua. Apalagi aku memang suka pelajaran biologi dan suka belajar sesuatu secara komprehensif. Maka, ketika Allah menjalankan ke jalan ini, sempat meragu, mampukah aku menjadi seorang psikolog yang baik?

Setelah hampir dua puluh tahun menjalani semua ini, aku sendiri sadar tidak ada momen yang membuat kita bisa yakin 100 persen terhadap keputusan hidup. Bahkan setelah kita memutuskan memilih satu tujuan, bukan berarti itu adalah sebuah akhir. Di sisi lain, itu merupakan sebuah awal dari kehidupan baru yang lebih menantang. Bisa jadi titik yang kita pikir akhir itu adalah titik awal untuk membuka tabir-tabir rahasia takdir lainnya.

Seusai menjadi psikolog pun harus terus belajar dan belajar untuk menemukan versi terbaik dari diri sendiri. Tidak mudah tentu karena lagi-lagi ada sejuta tantangan yang tidak akan bisa kita selesaikan dalam satu kerdipan mata. Adanya hanya butuh berusaha sampai tak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan usaha itu.

So, what’s is crap thing about being psychologist?

Pertama-tama tentu menjadi psikolog bukan berarti sudah sempurna memahami ilmu kejiwaan. Sudah menjadi sosok yang ahli mempraktikkan teknik-teknik terapi yang dipelajari selama ini. Bukan pula menjadi orang yang sudah kenal dengan baik diri sendiri. Malahan setelah hampir dua puluh tahun belajar psikologi sampai di satu titik yang mempertanyakan, sebenarnya saya itu siapa?

Akhirnya aku sendiri mencoba untuk memperluas keilmuan. Bukan lagi tak mempercayai keilmuan psikologi yang ditemukan oleh para ahli yang sama-sama juga manusia. Namun, jika beranjak dari keyakinan bahwa hasil-hasil penelitian itu hanyalah hipotesis yang diuji berdasarkan statistika peluang, apakah bisa dipercayai lagi kebenarannya?

Well, mungkin tampaknya lucu. Di satu sisi psikologi itu amat mempercayai data. Mereka termasuk ilmuwan, meskipun ilmuwan bidang eksak sendiri tidak mengakui sisi keilmuan psikologi sebagai sesuatu yang empiris. Karena perilaku itu letaknya absurd, tak terlihat, tak tersentuh. Faktor yang memengaruhinya pun banyak sekali, sehingga tingkat kesalahan dalam pengambilan kesimpulannya pun cenderung tinggi. Ujung-ujungnya bergantung pada analisis dinamika manusia yang memang unik milik masing-masing. Hanya bisa menyimpulkan “rata-rata” orang demikian dengan tetap memperhatikan keunikan setiap orang.

Oiya, satu lagi yang harus dipahami adalah psikolog gak bisa membaca pikiran. Bekerja berdasarkan fakta, data, bukan hanya tebak-tebakan. Jika ada yang tidak percaya, silahkan saja, kami tidak memaksa. Satu anehnya, semakin merasa bisa memahami orang lain, terkadang malah makin tidak paham diri sendiri. Ha-ha-ha. Apa karena kebanyakan memasukkan “unsur” manusia lain ke dalam diri sendiri, sehingga terkadang kehilangan wujud diri.

Semakin tahu orang secara dalam malah semakin bingung harus bagaimana. Baru sadar kalau Allah ternyata menciptakan manusia sedemikian kompleksnya. Dinamikanya tak bisa dijabarkan hanya melalui satu-dua tes tertentu buatan manusia. Kompleksitas yang membuat kita tak bisa memprediksi setiap manusia itu akan berakhir seperti apa di penghujung hidupnya. Sekali lagi, itu hanya perkiraan, data statistik berdasarkan ilmu peluang.

Another crap thing we have adalah gak bisa ngobatin keluarga sendiri. Eh, sebelum ngobatin keluarga bahkan menyembuhkan diri sendiri saja butuh bantuan dari psikolog lain. Sama saja, ya seperti dokter yang tetap butuh dokter lain biar bisa sembuh. Psikolog di tingkatan tertentu tetap butuh bantuan. Tentu saja, mereka tetap manusia yang bisa terpengaruh oleh masalah manusia lain. Psikolog bukan super people yang bisa kebal terhadap efek permasalahan orang lain.

Apalagi kalau keluarga sendiri punya resistensi, semakin sulitlah itu untuk membuat mereka “sembuh” dengan kekuatan pribadi. Tentunya ini tidak lepas dari hati yang terlalu empati. Tidak mudah tega terhadap kondisi orang lain. Tidak pula mampu untuk memaksa mereka untuk berubah. Terutama ketika anggota keluarganya sendiri tidak sadar tentang masalahnya. Namun, yang lebih bikin sakit hati adalah ketika anggota keluarganya malah mencari bantuan ke orang lain, padahal di sampingnya ada kita yang juga punya kompetensi sama. Ha-ha-ha.

Sudah benar, sih kalau dibilang masuk psikologi itu adalah waktunya berobat jalan. Kita semakin mencoba memperbaiki diri karena tahu banyak yang tidak beres sama kehidupan sendiri setelah membandingkannya dengan teori-teori yang ada. Sehabis jadi psikolog kebiasaan ini semakin menjadi-jadi karena sebelum mempraktikkan teknik psikoterapi ke pasien, sudah dulu mencobakan teknik itu ke diri sendiri.

Intinya jadi psikolog itu sebenarnya gak enak. Banyak hal yang jadi bikin kita gak tenang dan nyaman. Di sisi lain, senangnya jadi psikolog itu adalah bisa belajar tentang manusia lebih dalam dibanding orang lain, punya mindset yang sangat luas, dan paling penting kerjanya santai tergantung kesanggupan.

Apalagi the crap things about being psychologist menurut kamu?

Belajar Lagi, Berlatih Lagi, Upgrade Skill Dirimu

Belajar memang harus sepanjang hayat. Tidak ubahnya kita yang lahir dalam keadaan tidak bisa apa-apa, selagi masih ada usia di dunia ini, belajar adalah sebuah kewajiban. Sebab, kita tak pernah bisa menyatakan diri kita sudah sempurna. Akan selalu ada kompetensi demi kompetensi yang kita dapatkan lewat proses belajar. Tentu saja, pembelajaran itu tidak begitu saja bisa kita dapatkan. Selalu ada rencana indah Allah di balik semua pelajaran yang kita dapatkan. Mengapa bisa begitu?

Hari ini dan untuk dua hari ke depan, aku belajar tentang Brainspotting Therapy. Sebuah terapi yang menitikberatkan mengenai aktivasi otak yang berhubungan dengan mata. Dasarnya, terapi ini menjelaskan tentang hubungan antara titik tertentu yang kita lihat lewat mata akan terhubung pada bilyunan syaraf yang ada di otak. Ketika semua itu terhubung, kita bisa mengakses hal-hal yang selama ini menjadi masalah, tetapi tidak pernah kita sadari. Masalah-masalah yang selama ini mungkin berusaha kita abaikan, lupakan, atau kita tahan agar tak muncul ke permukaan, demi mendapatkan kondisi diri yang stabil.

Sayangnya, masalah-masalah terabaikan itu seringkali menjadi masalah di kemudian hari karena tak pernah kita proses, tak pernah disadari. Masalah ini yang nantinya berpengaruh pada performa kita di masa depan. Entah itu memang muncul dalam bentuk gangguan psikologis maupun gangguan performa atau perilaku yang tampaknya biasa saja.

Penemunya, David Grand pertama kali mendapatkan ide saat sedang menangani seorang klien. Padahal saat itu hal yang ingin ditangani adalah performa sang klien yang tampaknya biasa saja. Namun, ternyata ketika diproses untuk disembuhkan, masalah ini berkaitan dengan banyak masalah lain di masa lalu. Ajaibnya, setelah semua masalah tidak selesai di masa lalu ini diselesaikan, performa sang klien menjadi lebih cemerlang.

Setelah kasus pertama ini, ia mengembangkan Brainspotting, yang ternyata sangat efektif membantu klien di lapangan. Demikian banyak praktisi yang sudah membuktikan dan beberapa penelitian yang turut menjadikan teknik terapi ini memiliki bukti medisnya. Bisa dicek lebih lengkap di situs resminya, ya.

Bisa dibilang, teknik terapi ini terbilang baru. Pertama kali ditemukan di tahun 2003, tetapi menjadi salah satu terapi yang patut dipertimbangkan sebagai tools untuk membantu mereka yang mengalami masalah psikologis, sadar atau tidak. Di Indonesia sendiri Brainspotting baru masuk sekitar tahun 2014. Selama delapan tahun perkembangannya di Indonesia, cukup banyak teman-teman yang sudah mengambil pelatihannya memberikan testimonasi yang memuaskan.

Aku sendiri pertama kali tahu di tahun 2017, saat seorang brainspotter mempresentasikan teknik ini di konferensi yang diselenggarakan oleh tempatku bekerja dulu. Di tahun itu, walau belum menjadi seorang praktisi murni, aku merasa terpukau dengan efektivitas terapi ini yang disampaikan oleh psikolog itu. Salah satu yang membuat aku tertarik adalah tentang koneksivitas yang terjadi saat terapis menemukan titik-titik yang ditangkap mata dengan aktivasi yang terjadi di otak.

Sebagai seorang yang menyukai bidang neuropsikologi, aku merasa itu bisa membuktikan sekali bahwa ada keterhubungan antara perilaku dan kerja otak kita. Menerapkan sekali integritas dari biopsikososiospiritual yang saat ini diusung dalam kesehatan individu secara holistik. Artinya, kita bisa menjelaskan perilaku seseorang bukan hanya berdasarkan asumsi semata. Melainkan ada bukti medis yang berkaitan dengan kinerja otak, yang menjadi sebab kita menunjukkan perilaku tertentu.

Secara biologis, kita tahu otaklah yang menjadi pusat atas apa yang terjadi pada diri kita. Artinya sebenarnya otak yang paling tahu, apa yang kita lihat, rekam, lalu meninggalkan jejak pada diri kita. Ketika kita bisa mengeksplorasi otak, maka kita sebenarnya bisa menyelesaikan banyak hal. Namun, otak jualah misteri terbesar yang amat sulit kita pecahkan. Begitu banyaknya koneksi yang terjadi di syaraf-syaraf otak membuat kita sulit menentukan, bagian syaraf mana yang menentukan ingatan atau perilaku tertentu. Karena pada dasarnya, kita tidak pernah tahu pasti bagian syaraf mana yang sedang memproses suatu kejadian yang kita alami, sehingga kita pun tak tahu bagian syaraf mana yang akan memiliki rekam jejak suatu ingatan tertentu.

Tampak belibet, ya. Sederhananya begini. Kita secara alamiah menyimpan barang pada tempat-tempat tertentu agar lebih mudah mengaksesnya ketika kita membutuhkan. Kita yang menentukan tempat penyimpanannya, sehingga saat membutuhkan, kita bisa mengambil kapan saja. Sayangnya, itu tidak berlaku pada otak. Ketika sebuah peristiwa terjadi, kita tak bisa memerintahkan kepada otak, harus menyimpan di mana. Syaraf mana yang harus dihubungkan dan sebagainya. Semua terjadi alamiah karena memang otak bekerja demikian.

Jikalau ada penelitian tentang otak sampai saat ini, semua sebenarnya hanya berdasarkan hipotesa. Apalagi dengan semakin canggihnya alat bantu pemindaian otak, semua mungkin bisa diperiksa secara real time, tetapi tetap tidak bisa melepas kenyataan, we never can exactly spot for every single behavior we made.

MasyaAllah, kalau dibayangkan betapa luar biasanya, ya ciptaan Allah satu ini, sampai-sampai kita, manusia itu sendiri hanya bisa berhipotesa saja untuk membahas ini. Maka, bukankah untuk membuat otak menjadi demikian, hanya Ia Yang Mahakuasa yang mampu menciptakannya?

Well, kembali lagi. Ketika mulai belajar tentang ini aku merasa sangat bersemangat. Karena setelah lima tahun, akhirnya kesampaian juga untuk belajar Brainspotting Therapy. Setelah melewati dua tahun pandemi, kali ini bisa mengikutinya secara luring sungguh menyenangkan. Karena belajar sesuatu itu memang lebih baik ada interaksi langsung dengan narasumber. Apalagi bisa praktik langsung tanpa adanya penghalang gawai dan kamera, itu sungguh nikmat yang luar biasa.

Setelah belajar hari pertama, aku merasa cocok dengan terapi ini. Sebagai seorang introvert yang kadangkala merasa kehabisan kata-kata untuk membantu klien menangani masalahnya, terapi yang memberikan sedikit intervensi verbal ini terasa membahagiakan. Tinggal, bagaimana bisa mempraktikkannya dengan baik, sehingga bisa membantu klien dengan baik juga.

Aku merasa memang baru belajar di tahun ini adalah sebuah keberkahan juga. Benar saja, Allah tak pernah salah memberikan waktu bagi kita untuk belajar sesuatu di waktu tertentu. Karena yang memampukan kita untuk belajar, yang melancarkan proses kita untuk belajar semua adalah Allah swt. Ia juga yang telah menentukan takdir ini untuk bertemu dengan orang-orang hebat di dalam pelatihan, dipertemukan dengan kesempatan langka, yang mungkin tak pernah terbayang beberapa tahun lalu.

Namun, sekali lagi, belajar itu bukan hanya tentang kita yang mau berubah dari tidak bisa menjadi bisa. Akan tetapi, berasal dari niatan kita untuk selalu meningkatkan kemampuan karena sebenarnya tak ada batasan dalam tubuh ciptaan Allah ini, selain kita yang membatasinya. Selagi kita bisa terus mengeksplorasi diri, mencari cara untuk terus meningkatkan kualitas diri, selalu Allah mudahkan langkah itu dengan cara yang tidak disangka.

Tinggal setelah ini kita mau memanfaatkan ilmu yang Allah izinkan untuk kita pelajari ini dipergunakan untuk apa. Hanya sesuatu yang sia-sia saja, atau bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Jadi, sudahkah kamu belajar hal baru hari ini?

September 2022: Belajar Kembali Membangun Kebiasaan Baik

Bagaimana bulan September mu tahun ini? Adakah hal baik yang sudah dilakukan?

Aku agak bingung mau mendefinisikan bulan ini sebagai apa. Apakah baik atau buruk? Hmm.. mungkin sama seperti bulan-bulan lainnya, selalu ada kebaikan, begitu pula hal buruknya. Namun, secara umum suasana hati yang dibangun selama satu bulan ini, berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Jelasnya, tidak lagi diselimuti oleh persaan gloomy dan keinginan untuk banyak bermalas-malasan (walaupun masih), tetapi juga tidak yang 100 persen luar biasa. Setidaknya, satu kalimat, “Aku mulai baik-baik saja.”

Lalu apa saja yang sudah aku lakukan selama bulan September 2022 ini?

Aku pikir cukup banyak kebiasaan baik yang mulai dibuat. Walau ada hari-hari saat keinginan untuk kembali dalam cangkang dan hanya diam di dalamnya itu begitu kuat. Namun, ada satu kegiatan yang menurutku berpengaruh signifikan dalam membangun beberapa kebiasaan baik selama satu bulan ini.

Dalam urusan rumah tangga, aku mulai menemukan kenyamanan mengerjakan semua tugas-tugas. Mulai bisa tahu seberapa banyak waktu yang harus aku habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu. Mungkin ini juga yang membuat aku berani untuk kembali mulai melakukan satu hal baik itu, yaitu menulis.

Kali ini aku menantang diri untuk kembali pada kemauan menulis yang kuat dengan ikut kelas editor dari salah satu penerbit buku anak. Awalnya, tidak menyangka akan mendapatkan kelas ini. Diawali dengan coba-coba saja untuk nge-bit agar bisa masuk, ternyata takdir membawa aku masuk ke kelas ini. Sempat meragu, mampukah untuk mengkuti ritmenya. Apalagi kelas ini langsung disponsori oleh sebuah penerbit dan kita memang seperti sedang bekerja, menulis untuk penerbit tersebut. Bedanya, kita bayar saja, sih. He-he-he.

Jadi, aku dan 26 penulis buku lain masuk ke kelas ini tanpa tahu seperti apa kelasnya. Kupikir akan seperti kelas-kelas lainnya, yang materi, kebutuhan, cari ide, dan langsung nulis. Ternyata tidak! Pada masa pelatihan pra-penulisan, ada kebutuhan untuk melakukan riset pasar terlebih dahulu. Untuk itu, kami peserta harus membaca dari setidaknya 17 penerbit. Setiap penerbit harus menemukan 40 judul buku anak terbitan mereka. Belum lagi riset judul dari empat situs yang menyediakan buku anak gratis, laman membaca cerita anak, dan penyedia buku berbayar luar negeri. Wow, rasanya seperti digempur habis-habisan untuk selesai membaca semua itu.

Aku sendiri rasanya hampir menyerah untuk melakukannya. Apalagi saat ini masih ada hutang setidaknya 2 penerbit lagi dan sekitar 300 lebih judul yang harus dibaca. Gleg! kalau dihitung ternyata banyak juga. Namun, saat mengerjakannya, kok terasa happy saja. Apalagi sudah lama sepertinya aku tidak menyentuh buku-buku anak baru. Sudah setahun lamanya aku tidak menjambangi toko buku maupun tahu perkembangan buku yang baru terbit di agen-agen perbukuan. Artinya, ini seperti kesempatan langka untuk mendapatkan banyak melihat beragam buku yang sudah beredar di masyarakat maupun di dunia.

Sepanjang melakukan riset ini, ada banyak pemikiran yang membuat aku paham alasan riset dibutuhkan sebelum menulis. Pertama, tentunya membuka wawasan. Ketika selama ini kita pikir ide yang telah dimiliki adalah segalanya, ternyata tidak benar, Ferguso! Ada banyak orang dengan jutaan ide berhasil mengeksekusi ide itu dengan baik. Ada yang luar biasa membuat tercengang sampai tak habis pikir, dari mana ide itu berasal. Membuat ide yang sudah dipunya terkesan kecil sekali, tak ada apa-apanya.

Kedua, tentunya bisa melihat tipe-tipe buku yang telah dimiliki tiap penerbit. Bagaimanapun, setiap penerbit memiliki ciri khas, seperti apa buku yang rutin mereka terbitkan. Ini sebenarnya memudahkan kita untuk mencoba mengirimkan naskah ke penerbitan itu. Namun, hal ini tidak didapat hanya dengan membaca satu-dua judul saja. Butuh pengalaman menembus lebih dari 100 judul untuk paham karakteristik setiap penerbit serta perbedaannya dengan penerbit lain. Lagi-lagi, bikin melek mata buatku yang jarang meriset selama ini. Tahunya nulis aja.

Ketiga, ada dorongan untuk mendobrak habit buruk yang mulai terbentuk ketika aku memutuskan untuk resign. Tiba-tiba ada semangat yang memotivasi untuk kembali bangkit, aktif, dan melawan kemalasan itu. Sesuatu yang sebenarnya memang sudah sangat menggangguku, sampai-sampai membuat suasana hatiku terus kembali ke kondisi depresif. Setidaknya, berada dalam kondisi yang penuh tenggat waktu, banyak tuntutan ini, seolah mengembalikan energi dan motivasiku yang selama ini sudah tenggelam bersama kehidupan yang terasa begitu santai.

Meskipun demikian, aku berusaha tidak ngoyo atau memaksakan diri. Mengerjakan sebisa mungkin, sesuai waktu yang ditentukan. Walau sampai sekarang masih ada hutang, beberapa tugas lainnya bisa aku selesaikan tepat waktu. Aku mencoba kembali menata waktu dengan energi baru yang datang ini. Sambil menemukan kembali juga tujuan hidup yang sempat mengendur selama enam bulan terakhir. Mungkin memang, ini waktunya aku kembali memanjat setelah kembali dalam jurang yang kelam kemarin itu. Mengurai benang kusut kehidupan yang ada di kepala, dengan perlahan-lahan menata hati dan kehidupan.

Merancang Kegiatan Masa Depan

Satu yang mulai terbiasa aku lakukan adalah merancang kegiatan, menilai mana yang bisa dilakukan, mana yang tidak. Karena sudah mulai ajeg dengan urusan rumah tangga, aku mulai mencari lagi mana yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan diri. Agar waktu tak sia-sia habis dengan perilaku yang tak bermanfaat. Bukankah waktuku terlalu berharga untuk dihabiskan dengan cara yang biasa-biasa saja.

Selain itu, ada beberapa tawaran yang membuat aku mulai merasa bersemangat lagi. Baik itu untuk menulis ataupun memiliki peran secara keilmuan. Sekarang masih mencoba menentukan, kegiatan apa yang akan difokuskan selama tiga bulan ke depan. Setidaknya, untuk bulan Oktober sudah ada aktivitas yang terjadwal, semoga bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Belajar sekali lagi untuk melatih diri berhadapan dengan orang banyak. Melatih lagi untuk mengelola pikiran dan emosi agar bisa kembali maksimal.

Setidaknya apa yang dilakukan satu bulan mendatang menjadi bekal untuk bulan-bulan selanjutnya. Kembali membuat daftar mana yang boleh dan tidak boleh. Memilah mana yang prioritas dan tidak. Karena tetap saja tujuan hidup tak boleh keluar dari peran utama yang sudah dipilih, ibu rumah tangga. Jikalau ingin sibuk, maka menyibukkan diri untuk sesuatu yang manfaat bagi anak-anak. Memperbaiki diri agar terus bisa manfaat bagi keluarga. Naik level agar bisa kembali ke surga bersama mereka, mengapa tidak?

Sekali lagi, waktu itu semakin sempit. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi, bahkan untuk beberapa detik ke depan. Terpenting kita menjalankan setiap detik hidup ini dengan sesuatu yang bermanfaat. Bagi kita, tentu yang manfaat itu bernilai ibadah kepada Allah swt semata.

Kalau kamu, apa yang sudah kamu lakukan? September belum benar-benar berakhir, maka temukan apa yang belum kamu lakukan. Belum terlambat untuk merancangnya dan melakukannya untuk tiga bulan mendatang. Setidaknya, sebelum tahun berganti ke 2023.

Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 1)

Sudah cukup sering aku mendengar ada yang menanyakan hal ini, “Aku sudah coba lakuin semua, kenapa masih belum ada perubahan apa-apa?” atau juga ada kalimat seperti ini, “Kok gak ada efeknya padahal aku sudah coba teknik ini dan teknik itu?”

Well, jika kita bahas tentang terapi tentunya setiap orang akan memiliki kecocokan yang berbeda, ya. Sama seperti kita yang punya perbedaan makanan kesukaan dengan orang lain, maka terapi pun demikian. Apa yang cocok di orang itu, belum tentu cocok di diri saya. Apa yang cocok di saya, belum tentu bisa diterapkan 100 persen di orang itu. Bagaimanapun terapi adalah sebuah seni dan tugas seorang psikolog atau konselor adalah menemukan terapi yang pas untuk setiap orang sesuai dengan karakteristik kepribadian, permasalahan, dan latar belakang masa lalunya.

Terkadang kesuksesan terapi itu juga ditentukan oleh seberapa kita gigih untuk melakukannya. Seringkali efeknya tidak seinstan yang kita kira. Tidak seperti minum obat sakit kepala, yang sekali minum bisa langsung ces-pleng. Bukankah ada kalanya juga obat yang biasa kita minum ternyata tidak mempan karena sakit fisik yang kita derita memiliki sebab yang berbeda. Apalagi jika penyakit itu sudah kronis, bisa jadi malah obat yang banyak ditemui di pasaran tidak akan mempan.

Oleh karena itu, bersabarlah terlebih dahulu ketika memang merasa tak ada satu pun teknik yang dicontohkan orang-orang bisa berhasil mengatasi masalah mental kita. Bisa jadi ada yang kurang tepat di sana. Misalnya, seorang yang selama ini logis dan memecahkan masalah lewat kognitifnya, seorang yang pintar atau memiliki inteligensi tinggi, terkadang tidak akan mempan dengan teknik-teknik yang menggunakan pendekatan psikoanalisis, seperti hipnoterapi. Ada pula yang merasa sudah menerapkan semua teknik mindfulness, tetapi tetap saja tidak bisa mengurasi kecemasan yang ada.

Sebagaimana mashab psikologi yang ada banyak, maka kita harus kenali juga selama ini diri ini lebih banyak menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan apa. Apakah cukup dengan banyak-banyak menenangkan diri, berpikir positif, sehingga masalah dengan lebih mudah dihadapi. Jangan-jangan selama ini memang lebih sukanya straight to the point untuk memecahkan masalah dengan beragam alternatif jawaban. Bahkan ada pula yang ternyata cara penyelesaiannya semudah memiliki petunjuk perilaku apa saja yang harus diperbaiki dengan jelas.

Mungkin itu alasan saat dulu belajar profesi psikologi kita harus memahami banyak pendekatan. Karena bagi tiap pendekatan, sebab masalah pun berbeda-beda. Bagi penganut psikoanalisis, sangat percaya unsur-unsur alam bawah sadar berpengaruh besar bagi perilaku seseorang. Untuk aliran behavioris, mempercayai masalah muncul karena proses belajar yang kurang tepat. Pendekatan psikologi kognitif akan bicara kalau perilaku kita ditentukan oleh proses yang ada di dalam otak. Dengan demikian, menemukan penyelesaiannya pun harus sesuai dengan pemahaman dari mana masalah itu muncul.

Seringkali akhirnya kita memang mencoba semua pendekatan itu, sampai berada di titik tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tidak ada perubahan signifikan dari klien karena mungkin ada bagian yang tidak tersentuh sama sekali. Mungkin juga memang klien itu sulit saja, sehingga butuh pendekatan yang berbeda.

Menjawab permasalahan ini, Alhamdulillah dipertemukan dengan teknik terapi yang sudah pernah aku dengar beberapa tahun lalu, tetapi belum sempat aku cari tahu secara lebih mendalam. Dialectical Behavior Therapy (DBT). Ada kesempatan untuk kembali belajar kemarin hari Minggu, 18 September 2022 melalui aplikasi zoom meeting yang diadakan oleh IPK Sumatera Barat.

Awalnya, tertarik karena rasa penasaran semata. Apalagi baru selesai memperpanjang STR psikolog klinis, jadinya butuh mengisi kembali pundi-pundi SKP yang sudah kembali ke angka nol. Akhirnya, berakhirlah pilihan pada teknik terapi ini karena memang sudah waktunya untuk memutakhirkan keterampilan terapi.

Jeng, jeng.

Ternyata setelah selama tiga jam mengikuti seminarnya, aku merasa inilah teknik terapi yang selama ini dicari-cari. Yang dibutuhkan bukan hanya untuk klien, tetapi juga untuk diriku sendiri. Hehehe. Yah, seperti biasa, sebelum dicobakan kepada klien, biasanya sebuah teknik terapi akan dicobakan ke diri psikolognya dulu. Tentu saja agar kita bisa merasakan peran sebagai seorang klien. Jadi, kita bisa tahu bagaimana sudut pandang seorang klien saat diterapi, sekalian membereskan masalah-masalah dalam diri yang masih belum selesai, hehehe.

Ok, lanjut, mengapa terapi ini aku bilang sedang tepat saat ini?

Jadi, ada klaim dari si pembuat terapi beserta para praktisinya bahwa terapi ini bisa menangani klien-klien sulit. Maksudnya bagaimana? Klien-klien yang selama ini sudah mencoba banyak hal tetapi tidak berhasil juga. Termasuk klien yang penuh penolakan terhadap masalah-masalahnya yang sesungguhnya.

Pada prinsipnya terapi ini menekankan pada dua hal acceptance and change. Artinya kita tidak cukup hanya menerima, melainkan harus ada perubahan dalam diri kita dalam proses penerimaan itu. Mau itu perubahan pikiran atau pola pikir maupun perasaan kita terhadap masalah yang hadir. Biasanya teknik ini berhasil pada klien yang mengalami dualisme pemikiran di saat bersamaan.

Misalnya, seseorang yang merasa marah kepada suami yang sering berselingkuh, tetapi tidak mampu keluar dari pernikahan itu karena masih mencintai suaminya. Dalam kasus seperti ini, biasanya kita akan memberi pilihan tentang “stay” atau “move” dari hubungan. Beserta konsekuensi-konsekuensi untuk tiap keputusan yang harus dipahami sebelum keputusan diambil. Nyatanya, walau kita memberikan pilihan ini, terkadang masih saja ada klien yang susah untuk move tetapi merasa berat untuk stay.

Maka, solusi dari teknik terapi ini adalah kita “stay” tetapi harus bisa mengubah pola pikir kita agar bisa tetap bertahan saat “stay” di hubungan tersebut. Kita harus mampu bertahan atas rasa sakit yang hadir karena seringnya diselingkuhi. Kita harus berupaya mencari kenyamanan dari ketidaknyamanan yang hadir dalam kehidupan kita.

Kedengarannya berat? Yoa. Tapi begitulah realitanya. Jika memang kita susah pergi dari masalah itu, bagaimana caranya mengubah diri agar bisa menerima dan tetap bertahan meskipun masalah itu kembali hadir. Sama halnya ketika sekarang isu tentang toxic parent sedang merebak. Kita merasa tidak nyaman dengan sikap orang tua yang mungkin tak sesuai harapan, tetapi di saat bersamaan masih ada rasa sedikit rasa sayang yang terselip untuk mereka.

Lalu, apa yang harus dilakukan dengan pendekatan terapi ini?

Kita lanjut di artikel berikutnya ya.

5 Resep Agar Kehidupan Lebih Mudah Dijalani

Happy September!

Apa kabarnya semua? Bagaimana kamu memulai hari ini, apakah terasa begitu mudah? Mulai dari bangun pagi sampai menutup mata, tidak ada hal-hal kecil yang mengganggu suasana hatimu. Semua terasa mulus tanpa cela, tanpa beban. Tidak ada friksi kecil yang memutar balik hari. Maupun pikiran-pikiran negatif yang membuat tidur makin sulit.

Well, sayangnya hidup terkadang tidak semudah itu dijalani. Dalam satu hari saja, ada hal-hal yang bisa membuat hati kita menjadi “not in a good mood.” Rasa-rasanya semua kebahagiaan yang dibangun langsung terempaskan hanya karena satu-dua hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Belum lagi hasil pemutakhiran status teman-teman di media sosial yang bikin geram hati, merasa pencapaian sampai hari ini begitu sia-sia. Ada saja kejadian yang bikin kita merasa, “it’s not a perfect day.”

Sebenarnya batu-batu sandungan yang terjadi sepanjang hari, selama kita hidup ini wajar terjadi. Sayangnya, sejak dulu kita mungkin tidak dibiasakan memiliki cara untuk menghadapinya dengan cara yang baik. Dengan demikian, saat harus berhadapan dengan semua situasi yang merusak kebahagiaan sesaat itu, kita mengorbankan sisa hari yang kita miliki. Padahal tidak ada kehidupan yang sangat mulus. Bahkan jalan termulus sekalipun akan ada momen ketika kita harus menghindari kerikil kecil agar tak terjadi kecelakaan.

Jadi, kehidupan yang mudah itu bukanlah sebuah keniscayaan. Asalkan kita tahu cara yang tepat untuk menghadapi hal-hal di luar harapan atau rencana. Cara ini butuh dilatih agar kita bisa selalu siap menghadapi semua masalah, seberat apapun itu kelihatannya. Yuk, sekarang kita coba intip lima resep yang bikin kehidupan menjadi mudah.

  • Banyak Bersyukur

Kelihatannya klise, ya kalau kita bilang banyak-banyak bersyukur. Namun, sudah jelas sekali kalau dengan bersyukur kita berupaya untuk menghargai setiap jengkal pencapaian yang dilakukan. Bahkan untuk hal-hal sederhana atau yang mungkin menurut orang lain lumrah dilakukan sekalipun, kita akan bisa menemukan hikmahnya. Misalnya, seberapa sering kita mengapresiasi ketika bisa bangun pagi, makan pagi, dan berangkat ke kantor ditemani kekasih? Mungkin buat kita bangun dan makan pagi itu adalah rutinitas yang biasa saja. Padahal hanya untuk bangun saja, itu semua adalah berkah dari Tuhan untuk kita. Ia yang telah menghidupkan kita di hari itu, agar bisa kembali beraktivitas. Bertemu orang atau hanya untuk duduk menuangkan ide gila di kepala. Tak perlu membandingkan diri dengan orang-orang yang kurang beruntung untuk dapat bersyukur. Memaknai bahwa sekecil apapun yang kita miliki hari ini adalah berkah dari Tuhan, adalah bentuk bersyukur paling mujarab.

Eits, jangan lupa pula untuk bersyukur seperti apapun kondisi. Jadi, ketika mungkin ada kejadian, situasi, atau hal lain yang menurutmu buruk, itu pun harus disyukuri. Mengapa? Karena itu artinya ada kebaikan lain yang bisa didapatkan setelah situasi itu terlewati. Kebanyakan dari kita seringkali lebih banyak melihat sisi buruknya, sampai terlewat sisi baiknya. Seperti ketika atasan mungkin memberikan banyak revisi, kita lebih suka mengeluh dan membicarakan si bos di belakang. Padahal tujuan revisi itu adalah untuk memperbaiki kerja yang mungkin belum maksimal. Saat mengerjakan perbaikan itu pula kita mungkin bisa menambah pelajaran lain, yang belum dimasukkan pada materi kerja yang sudah dibuat.

So, apa yang bisa membuatmu bersyukur hari ini? Baik dari kejadian yang membahagiakan ataupun kejadian yang bikin sedih sekalipun.

  • Memaafkan yang Sudah Terjadi

Resep kedua adalah dengan memaafkan. Bukan hanya sekadar berkata maaf atau memberikan maaf, tetapi memasukkan makna maaf itu sampai ke hati. Ketika memaafkan berarti kita sudah tidak masalah dengan hal buruk itu, artinya tidak ada lagi sakit hati yang muncul saat nanti diungkit. Memaafkan bukan pula tentang kita melupakan, melainkan cara kita agar merasa tetap baik-baik saja, seburuk apapun orang lain memperlakukan.

Misalnya, ada teman yang dulu pernah menyakiti kita lewat kata-kata dan perilakunya. Tentunya ketika kita tidak sengaja berhubungan dengan teman ini, secara langsung atau tidak langsung, akan membuat memori masa lalu itu hadir kembali. Berakhir pada perubahan suasana hati karena ingatan yang lalu itu telah mengganggu suasana hati kita menjadi buruk. Oleh karena itu, butuh memaafkan perbuatan mereka itu, agar kita tetap merasa nyaman. Bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih mudah karena tidak ada dendam yang nyangkut di hati. Tidak ada keburukan orang yang kita bawa sampai tidur malam.

  • Bikin Daftar Pekerjaan

Seringkali kita disibukkan oleh banyaknya pekerjaan akibat terlalu banyak peran yang diambil dalam satu waktu. Akhirnya, menjadi beban, sampai kita tidak bisa membagi waktu dengan baik. Oleh karena itu, buatlah daftar pekerjaan yang harus diselesaikan tiap harinya. Buat menjadi pekerjaan yang rutin harus dilakukan dan pekerjaan tambahan yang bisa dikerjakan hari itu.

Misalnya, sebagai ibu rumah tangga maka pekerjaan rutinnya adalah menyapu, mengepel, mencuci, menggosok, memasak, dan menemani anak-anak belajar/bermain. Kemudian, secara pribadi yang rutin dilakukan adalah makan, mandi, dan tidur/istirahat siang. Di sisi lain, pekerjaan tambahannya adalah segala sesuatu yang kita lakukan di luar itu. Sebagai contoh, mengurus online shop, kerja freelance, atau peran lain yang diambil selain peran utama ini.

Masing-masing aktivitas diberi waktu untuk mengetahui sebenarnya selama ini semua pekerjaan itu cukup tidak dalam waktu 24 jam sehari yang kita miliki. Jika memang kelebihan, maka harus kembali disesuaikan. Prinsipnya adalah pekerjaan tambahan tidak boleh melebihi pekerjaan rutin. Kita bisa menambahkan 1-2 pekerjaan tambahan dalam sehari, sesuai dengan berat pekerjaan seperti itu.

Contoh menghitung jenis aktivitas dan waktu yang dibutuhkan.

Gambar di atas adalah contoh yang saya buat untuk menghitung selama ini apa saja aktivitas rutin yang harus saya lakukan setiap harinya, lalu berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Tentu tiap orang akan punya daftar aktivitas masing-masing. Sesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing ya.

  • Menyesuaikan Peran

Terkait dengan poin sebelumnya, terkadang kita kesulitan karena terlalu banyak peran yang dijalani. Saya selalu teringat dengan perkataan guru saya dulu, “Ukurlah baju di badan.” Artinya kita yang paling tahu seberapa banyak peran yang bisa dijalani. Jangan sampai karena kita terlalu banyak keinginan, sampai peran utama kita malah jadi terbengkalai. Tentunya ini akan disesuaikan seiring dengan berjalannya waktu. Ada peran-peran yang bisa dilepas di situasi saat ini, tetapi bisa juga kita menambahkan peran lain di situasi lainnya.

Pada akhirnya, kuncinya satu untuk merasa hidup lebih mudah, bekerjalah sesuai dengan kemampuanmu. Tidak perlu membandingkan diri dengan siapapun, tak pula perlu merasa sedih ketika memang kita tak bisa “sehebat” yang lain. Sebab, Tuhan menciptakan dengan kapasitas berbeda, sehingga mudah buat orang lain belum tentu bagi kita. Begitu pula mudah bagi kita, belum tentu untuk orang lain.

  • Minta Pertolongan Tuhan

Resep terakhir yang paling penting adalah mintalah kepada Tuhan untuk memudahkan jalan itu. Bagaimanapun, semua masalah yang hadir berasal dari Ia. Maka, sudah sepantasnyalah kita mengembalikan pertolongan itu kepada Ia. Berdoa agar hari-hari dijalani dengan baik, kalaupun harus berhadapan dengan musibah atau bencana, mintalah kesabaran dan keihklasan hanya kepada-Nya.

Seringkali kita lupa untuk melakukan ini. Hanya menyandarkan segenap usaha itu kepada diri kita sendiri. Akhirnya, beban bertumpuk akhirnya merugikan diri. Padahal ketika akhirnya diserahkan segala sesuatu itu kepada Ia, ada hal-hal di luar bayangan kita akan menjadi jalan keluar tak terduga. Sudah mencobanya?

Yap, itu dia lima resep agar kehidupan menjadi mudah. Sejatinya kemudahan itu hadir ketika kita sudah bisa mengubah mindset terhadap semua kesulitan selama ini. Perubahan mindset ini tidak akan terjadi kalau tidak ada motivasi untuk berubah. Terkadang mindset ini juga menandakan seberapa bertumbuhnya kita sebagai seorang manusia.

Jadi, jangan mudah menyerah. Jadikanlah kehidupanmu sesuatu yang mudah, dengan lebih banyak membuka diri atas pengalaman-pengalaman baru, hidup dengan lebih teratur, bisa memilah mana yang butuh diprioritaskan, tentunya dengan mensyukuri semua pertolongan itu hanya datang dari Tuhan semata.

Semangat memudahkan kehidupan.