Jurnal Buncek #12 Ulat Kedelapan: the Buddy System

Well, tidak berasa sudah sampai di pekan kedelapan tahap ulat di hutan kupu cekatan #3. Ternyata di penghujung tahapan ini ada sebuah kewajiban untuk mencari teman seperjalanan, sebelum masuk ke tahap selanjutnya. Buddy system. Sebuah sistem yang mana kita harus mencari teman untuk saling memotivasi karena di tahap selanjutnya, sepertinya akan lebih intens dalam mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dari kemarin.

uddy, apa itu? Ketika mendengar pertama kali kalau di pekan ini harus punya buddy, pikiran langsung mandeg sesaat. Siapa yang mau jadi Buddy-ku? Itu pikiran yang pertama kali terlintas. Soalnya selama belajar lebih sering jadi single fighter, dibandingkan cari teman. Sejak dulu memang lebih suka belajar sendiri, bahkan ketika sedang ikut pelatihan luring sekalipun.

Pencarian buddy ini memaksaku untuk keluar dari zona nyaman. Selama ini sebagai single fighter aku tidak terlalu suka menyapa orang terlebih dahulu, kecuali memang sudah kenal. Bertemu orang baru dari titik nol, kemudian harus bercerita tentang diri sendiri, sungguh bukan aku. Maksudnya, sudah lama tidak aku lakukan. Selama ini aku berada di lingkungan yang membuatku lebih memilih sendiri, jika memang di luar urusan pekerjaan.

Keluar dari zona nyaman, menyesuaikan dengan tantangan dan beradaptasi dengan cepat, mungkin itu yang aku alami. Diawali dengan memikirkan siapa kira-kira yang bisa diajak untuk bekerja sama.

Pertama memilih seorang teman yang walaupun baru kenal, sepertinya aku bisa nyaman untuk bercerita. Setiap kali buka aplikasi Facebook, postingan dia selalu paling atas, “Wah, jangan-jangan sebuah pertanda,” pikirku. Apalagi aku kagum dengan kemampuannya menggambar, sehingga ingin sekali bisa intens untuk berinteraksi, siapa tahu jadi bisa kecipratan bisa menggambar juga. Eh, ternyata beliau sudah dapat buddy duluan. Jadi, agak minder, hahahaha, karena belum ada orang yang ngajakin jadi buddy. Akhirnya, merasa “Ya, sudahlah, nanti-nanti saja pilihnya.”

Setelah banyak mengobrol di grup regu, akhirnya iseng mengajak karegu untuk jadi buddy. Ternyata beliau juga sudah melamar orang lain. Hihihi, “Duh, nasib!” Lagi-lagi gagal karena lamaran karegu diterima oleh buddy-nya. Lanjut, iseng saja komentar di postingan salah satu teman lagi, eh, ternyata memang, ya kalau jodoh itu datangnya di saat yang tidak terduga. Dari pertanyaan singkat di kolom komentar, malah berlanjut memutuskan untuk menjadi buddy satu sama lain. Namanya Mba Aya.

Mungkin memang begitu, ya. Ada kalanya kita harus melepas ego pribadi, mengeluarkan diri sendiri dari zona nyaman, agar bisa terus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Beradaptasi, sebuah fungsi kehidupan yang seringkali tidak bisa dilakukan ketika sudah di masa dewasa. Sebab, kita terkadang terlalu lelah untuk menjalani hal baru.

Namun, ada sebuah kebaikan yang aku dapatkan dengan menjadikan Mba Aya sebagai pasangan. Aku merasa ada banyak kesamaan yang tidak bisa dijelaskan. Beberapa masalah yang Mba Aya sebutkan bisa aku sandingkan dengan pengalamanku dahulu, yang juga pernah berada di titik yang sama. Mungkin bedanya, aku dikelilingi oleh orang-orang yang bisa membantuku untuk segera mengatasi masalah itu, sedangkan Mba Aya tidak.

Kesamaan-kesamaan yang ada membuatku yakin Allah tidak akan mempertemukan dengan orang yang salah. Bahkan semua kebetulan itu adalah jalan dari Allah yang tidak bisa dipungkiri, hadir karena memang begitulah jalan yang harus ditempuh.

Sebagai hadiah aku memberikan sebuah video yang berisikan kalimat motivasi. Harapannya Mba Aya akan selalu bisa memutarnya ketika sedang merasa lelah selama perjalanan di tahapan berikutnya Bunda Cekatan ini. Videonya berdurasi 2 menit 35 detik, berisikan rekaman suara dan teks motivasi.

Sedari awal mendengarkan cerita dan aliran rasa dari Mba Aya aku memang sudah merencanakan untuk membuat video ini. Sekalian menantang diriku untuk membuat video dengan teks seperti yang diidam-idamkan. Jadilah video ini adalah video pertama yang aku buat dan menjadi kado istimewa karena langsung diberikan kepada yang membutuhkan.

Yah, karena video gak bisa diunggah di sini. Namanya juga hadiah istimewa, untuk Mba Aya saja deh. hehehe..

Semoga dalam perjalanan kita menjadi lebih baik di dunia akan menemukan orang-orang yang pas dalam mendukung upaya kita itu.

Bismillah.

Jurnal Buncek #11 Ulat Ketujuh: Membongkar yang Sudah Didapat

Pekan ketujuh di tahap ulat bunda cekatan ini waktunya untuk mengulas kembali apa yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir. Apakah yang didapatkan sudah sesuai dengan peta belajar yang dimiliki? Hm… sejauh ini merasa sudah, bahkan sudah terpenuhi hampir semua yang dibutuhkan. Walau tidak banyak, tetapi setidaknya bisa memenuhi ruang-ruang ilmu yang memang dibutuhkan.

Bukankah sebaiknya demikian, tidak perlu makan terlalu banyak, tetapi bagaimana eksekusi dari ilmu yang sudah didapat? Mampukah kita melakukan semuanya? Pada akhirnya, ilmu terbaik adalah ilmu yang dipraktikkan, bukan hanya terendap di dalam ingatan atau memori artifisial di ponsel, cloud, atau laptop semata.

Ok, mari mengulas apa saja yang sudah didapatkan selama enam pekan terakhir ini, ya.

Sesuai dengan peta belajar, tema utama yang saya angkat adalah MENGELOLA EMOSI. Akan tetapi, menurut saya agar bisa mengelola emosi saya harus memiliki ilmu tentang manajemen emosi, terapi menulis, manajemen waktu dan tugas, manajemen diri (tidur, makan, dan olahraga), serta tadabbur Al-Qur’an.

Kurang lebih sudah 80 persen materi yang saya butuhkan dalam peta belajar didapatkan dari beragam sumber ilmu yang saya cari. Dua poin yang belum saya sempat dalami, yaitu tentang Terapi Gazalian dan Terapi Menulis. Namun, saya pikir kedua poin ini bisa saya dapatkan sembari perjalanan mengelola emosi ke depannya. Sebab, saya membutuhkan kajian yang lebih dalam mengenai dua sumber ilmu ini, yang tidak bisa saya dapatkan dari hutan pengetahuan.

Setelah membongkar makanan yang sudah didapatkan, ternyata memang saya tidak mengambil terlalu banyak ilmu. Beberapa ilmu dasar saja yang dirasa cukup untuk dipraktikkan saat ini yang memang saya coba kumpulkan. Agar tidak kelebihan ilmu, tetapi juga memiliki dasar untuk praktiknya. Jadi, tidak ada camilan yang berlebihan juga dari semua yang saya dapatkan. Semua sesuai kadarnya, pas.

Ulasan-ulasan yang sudah diberikan teman-teman sepanjang perjalanan mencari pengetahuan bisa menjadi bahan referensi ketika saya memang membutuhkannya dalam proses perjalanan berikutnya. Sekarang, fokusnya adalah bagaimana menerapkan semua ilmu itu. Bagaimana membuat hidup saya lebih nyaman, aman, dan tentunya bahagia.

Beberapa refleksi yang saya dapatkan setelah kembali membongkar ulang makanan selama ini adalah.

Pada dasarnya saya bahagia bisa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang belum saya dapatkan sama sekali. Terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu dan ilmu manajemen emosi berdasarkan Al-Qur’an. Sebab, selama ini saya merasa minim sekali perihal ilmu tersebut. Sejauh ini merasa paling butuh adalah mempraktikkan manajemen waktu agar bisa lebih efektif lagi memanfaatkan waktu sehari-hari.

Selain itu, selama ini saya memang mencari pembahasan emosi berdasarkan Al-Qur’an. Alhamdulillah Allah mudahkan pencarian itu di pekan-pekan terakhir dalam menuntut ilmu di bunda cekatan ini. Semoga dengan makin mentadabburi Al-Qur’an membuat saya makin mampu mengelola hati dan pikiran, agar bisa mencapai tujuan: BAHAGIA untuk semuanya.

Sekarang, waktunya untuk memulai praktik. Semakin rajin untuk mengelola emosi, menginstall semua petunjuk-petunjuk-Nya yang memang sudah tertera jelas di dalam Al-Qur’an agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Jurnal Bunda Cekatan #10 Tahap Ulat Keenam: Berbagi Kebahagiaan

Berbagi kebahagiaan.

Sebuah prinsip penting dalam hidup berkomunitas. Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan yang dimiliki kepada orang lain. Tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat yang lebih luas. Prinsip budaya kolektif.

Maka, di pekan ini tugasnya adalah berbagi makanan kepada teman-teman baru yang kenalan di pekan lalu, minimal tiga orang. Akhirnya aku memilih tiga orang yang menurutku memang membutuhkan sekali apel-apel tambahan. Kebetulan makanan tambahan itu sendiri ilmunya sudah aku miliki, sehingga merasa lebih mantap saja untuk dibagikan. Jadi, aku memutuskan untuk mengolah sendiri makanan yang akan aku bagi kepada teman-teman baru ini.

Untuk dua teman, aku memilih untuk merekam video yang menjelaskan materi yang sudah aku persiapkan untuk mereka. Masing-masing aku rekam dengan sapaan personal karena ini adalah istimewa untuk mereka masing-masing. Berikut rangkuman dari hadiah yang aku bagikan.

Bisa dibilang aku memang paling suka berbagi, hehehe. Yah, pengennya banyak berbagi aja, tapi kalau dikasih tetap mau. Memang ada perasaan yang berbeda antara ketika memberikan dibanding saat menerima. Keduanya memunculkan perasaan bahagia, meskipun dalam taraf yang berbeda.

Namun, setelah belajar dari kajian “Better than Yesterday” yang menjadi makananku pekan ni, aku jadi ingin mengamalkan tentang prinsip berbagi ayng sebenarnya. Bagaimana ktia menunaikan kewajiban untuk berbagi kepada orang lain, tanpa mengharapkan pamrih. Tanpa mengharapkan terima kasih dari orang lain. Bagaimana menjalankan prinsip berbagi itu sebagai sebuah kewajiban dan biarkan Allah swt yang membalas kebaikan itu.

Terkadang sebagai manusia kita masih suka mengharapkan ucapan terima kasih atau mendapatkan balasan yang setimpal dari pemberian kita kepada orang tua. Maka, tugas pekan ini benar-benar menguji ilmu yang sudah didapat, apakah aku bisa ikhlas, memurnikan tiap perilakuku hanya untuk Allah semata.

Jadi teringat sebuah tulisan yang aku buat di sebuah naskah yang masih teronggok di penerbit. Naskah yang memuat bagaimana kita harus terus-menerus mengisi ulang keikhlasan dalam hati kita, agar mendapatkan rida dari Allah.

Ya, rida. Jangan lupa hidup ini hanya untuk mendapatkan rida dari-Nya. Dengan demikian, saat berbagi pun mengharaplah itu tujuannya untuk mendapatkan rida dari-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana para sahabat dan orang-orang salih dahulu yang kecintaan dan keimanan kepada Allah begitu besar, maka mereka tidak peduli tentang balasan yang diberikan manusia atas kebaikan dirinya. Melainkan memasrahkan balasan itu semata dari Allah saja.

Bisakah kita demikian?

Oiya, ini makananku saat ini. Kajian dari ilmuinaja.id. Buat yang mau ikut kajian bisa langsung daftar saja. Alasanku memilih kajian ini karena dalam peta belajarku tadabbur Al-Qur’an adalah salah satu kunci dalam pengelolaan emosi. Maka, kajian ini adalah salah satunya. Meskipun tidak spesifik tentang pengelolaan emosi, tetapi bukankah ketika kita memahami prinsip-prinsip perilaku yang benar dari Al-Qur’an dan hadis, maka sejatinya kita bisa mengelola emosi itu dengan sendirinya. Ketika semua prinsip itu sudah terinstal dalam diri kita, maka saat masalah hadir, kita tidak akan termakan oleh emosi yang muncul, sebab dengan sendirinya perilaku kita sudah baik sesuai dengan yang petunjuk yang seharusnya.

Selamat menginstal kebaikan. Karena hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.

Jurnal Bunda Cekatan #8 Ulat Keempat: Mengumpulkan Ilmu yang Terserak

Di pekan keempat tahap ulat bunda cekatan ini waktunya untuk mengumpulkan ilmu-ilmu yang sudah dibagikan oleh teman-teman lain. Aku sendiri merasa agak kesulitan untuk menemukan ilmu-ilmu yang aku butuhkan sesuai dengan peta belajar karena ada beberapa ilmu yang belum sesuai dengan arah belajar. Akhirnya aku mencoba mencari ilmu yang memang belum aku dapatkan dan terapkan sesuai dengan tema pengelolaan emosi dan pengelolaan diri yang ada di dalam peta belajar.

Berikut adalah empat keranjang ilmu yang saya dapatkan dari sesi berbagi dari teman-teman yang lain.

Keempat keranjang ini adalah ilmu-ilmu yang menurut saya penting untuk mengisi tangki memori saya. Dengan ilmu baru ini setidaknya memperkaya khasanah pengetahuan yang sudah saya miliki terkait pengelolaan emosi dan pengelolaan diri. Ada beberapa poin yang disampaikan oleh teman-teman yang membuat saya diingatkan kembali, disegarkan kembali tentang hal-hal yang selama ini mungkin saya lupakan. Tentunya yang lebih penting di atas mendapatkan semua ilmu ini adalah mempraktikkannya. Karena apalah arti sebuah ilmu kalau tidak dipraktikkan.

Kemudian, untuk makanan di pekan ini aku kembali mengambil ilmu dari materi pelatihan yang sudah aku dapatkan di bulan Januari lalu. Ilmu mengenai coaching emosi bersama pasangan menurut saya penting dalam proses pengelolaan emosi. Sebab, terkadang kita hanya fokus dalam mengelola diri sampai lupa agar cerdas mengelola emosi, kita pun harus mampu mengenali emosi yang dimiliki oleh ornag lain dan berempati.

Coaching emosi bersama pasangan adalah bagian dari kita mengenali emosi yang ia miliki, memahami, dan bersikap empati. Agar kita tidak hanya merasa selalu butuh dipahami, tetapi dengan memahami pasangan pun bisa menjadi jalan memperbaiki hubungan dengannya. Ilmu ini bermanfaat bukan hanya untuk diri saya, tetapi juga bisa menjadi jalan untuk memahami pasangan yang menjalani sesi konseling pernikahan.

Jangan lupa kalau dalam pernikahan, hubungan dengan pasangan adalah poin penting lain agar kita bisa menjadi bahagia. Sesuai dengan peta belajar saya, yang bertujuan agar saya merasa bahagia, pasangan bahagia, keluarga bahagia, maka dengan memahami pasangan pun bisa menjadi jalan kebahagiaan itu.

Saya sadar masih banyak yang harus dibenahi seputar hal ini. Setidaknya, dengan terus belajar dan berupaya menerapkannya, saya bisa memperbaiki diri dengan lebih baik lagi. Setelah proses belajar ini, niatan saya adalah melakukan coaching dengan pasangan seputar kondisi emosional kami. Sempat membahas hal ini tetapi belum didalami. Semoga setelah mendalaminya bersama, bisa lebih memberikan keterbukaan seputar kondisi kami dan bisa diperbaiki untuk ke depannya.

Bismillah.

Jurnal Bunda Cekatan #6 Ulat Kedua: Suara-suara Ilmu

Well, kali ini ada banyak tantangan dalam mengerjakan jurnal bunda cekatan ini. Aku sangat senang dengan setiap metode yang diberikan oleh Bunda Cekatan karena menantang diri untuk melakukan hal baru. Kali ini tantangannya adalah membuat podcast.

Yes, podcast! Sebenarnya sudah lama ditawari untuk bikin. Cuma masih maju-mundur karena satu dan lain hal. Terutama perihal edit-mengedit. Wong ngedit gambar buat IG aja rasanya gak ada waktu, apalagi buat ngedit audio. Duh, itu kayaknya butuh usaha yang lebih-lebih.

Cuma, aku senang saja. Baru kali ini mendengarkan dengan seksama suara sendiri. Selama ini kalau sudah direkam atau live, aku gak pernah berani dengerinnya lagi. Apalagi kalau mau lihat rekaman ulang IG live, rasanya malu setengah mati. Nah, karena disuruh bikin podcast, mau gak mau harus dengerin, dong suara sendiri. Untuk tahu, sudah ok atau belum hasil rekamannya. Adakah kata yang belibet, sehingga artikulasinya tidak jelas. Kalau iya, berarti harus take ulang, ya, kan?

Dalam prosesnya sendiri aku merasa bahagia. Bahagia karena utak-atik barang baru: anchor. Sebenarnya dari dulu sudah suka mengedit dengan aplikasi, tapi kerjaan seperti ini tuh selalu butuh waktu. Sekarang, waktu itu ada, tetapi merasa lebih mau dihabiskan untuk hal lain saja. Karena sekali tenggelam sama urusan seperti ini akan lupa waktu, sehingga urusan lain jadi terlewatkan.

Baik, kali ini aku berbagi podcast sebagai bahan potluck-ku tentang komunikasi, tepatnya topik mendengarkan aktif. Judul yang aku pilih adalah How to be A Good Listener! Diambil dari pengalaman sendiri selama kurang lebih 10 tahun menjadi psikolog. Terkadang keterampilan ini dilupakan padahal penting dalam komunikasi interpersonal. Saat kita menjadi tempat curhat, teknik mendengarkan aktif dibutuhkan agar orang merasa nyaman untuk curhat kepada kita. Bagi yang mau dengar bisa diklik di sini.

Ok, lanjut.

Sesuai dengan judul jurnal ini, Suara-suara Ilmu, maka pekan ini kami harus melahap ilmu dari pesan-pesan suara yang sudah diberikan oleh teman-teman lain di Bunda Cekatan. Beberapa tema sangat menarik, tetapi masih belum sesuai dengan peta belajarku. Seperti yang sudah aku tuliskan di peta belajar, maka fokusnya adalah mengelola emosi dengan beberapa turunannya.

Maka, potluck yang aku dapatkan kali ini masih berfokus pada makanan sampingan yang menurutku tetap penting dalam proses mengelola emosi itu. Ada tiga potluck yang aku jadikan makanan, yaitu tentang hidup minimalis, tazkiyatun nafs, dan cara membuat green smoothies. Ketiga ilmu ini murni baru dan memang masih coba aku dalami. Dengan demikian, aku merasa sangat cocok untuk menjadikannya sumber baru untuk langsung dipraktikkan.

Nah, tentunya di antara semua makanan sampingan ini, aku butuh mencari makanan utama dalam keterampilan mengelola emosi. Awalnya mau mencari dari bahan di luar podcast yang disajikan teman-teman. Namun, seperti yang disampaikan oleh Magika, mentor di Bunda Cekatan ini, maka aku mencoba mencari dari audio yang sudah disajikan oleh teman-teman.

Agak susah mencari yang memang terasa pas dan aku butuhkan sesuai dengan peta belajar. Sampai aku menemukan satu podcast dari Mba Aviaddina Ramadhani ini. Aku merasa pas sekali untuk diriku yang memang merasa energinya naik-turun. Selain penting dalam mengelola waktu, memahami level energi bisa menjadi petunjukku juga untuk mengelola kadar emosi.

Terasa sekali ketika energiku penuh, bersemangat, aku tidak akan mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian buruk. Dengan mudahnya mengerjakan semua tuntutan tanpa ada banyak drama. Namun, ketika energi sudah sangat menipis, akan mudah sekali meledak-ledak.

Jadi, menurutku menggunakan metode Heat Map bukan hanya untuk mengelola waktu, tetapi juga mengelola emosi. Ketika tahu aku sudah masuk di jam rawan minim energi, maka dengan cepat aku akan berpindah pada tugas-tugas yang tidak menuntut atau istirahat sepenuhnya. Dengan demikian, bisa menghindari percekcokan yang terjadi karena tidak mampu mengelola emosi.

Bagaimanapun kita hendaknya paham. Mengelola emosi tidak bisa berdiri sendiri. Kita harus mengenali dahulu sebab-sebab ketidakmampuan kita mengelola emosi ini. Aku sendiri menyadari kalau emosiku mudah tidak terkendali ketika lelah atau banyak tugas rutin yang belum selesai. Jadi, mengelola waktu disertai penempatan energi yang sesuai untuk jenis tugas tertentu bisa menjadi jalan untuk mengelola emosi juga.

Pekan ini, aku merasa benar-benar tertantang. Bersemangat atas hal yang baru aku dapatkan sampai rasanya ingin segera mempraktikkan. Bahkan ingin sekali bikin episode lanjutan dari podcast yang sudah aku kerjakan. Semoga Allah mudahkan semua, ya.