Belajar Lagi, Berlatih Lagi, Upgrade Skill Dirimu

Belajar memang harus sepanjang hayat. Tidak ubahnya kita yang lahir dalam keadaan tidak bisa apa-apa, selagi masih ada usia di dunia ini, belajar adalah sebuah kewajiban. Sebab, kita tak pernah bisa menyatakan diri kita sudah sempurna. Akan selalu ada kompetensi demi kompetensi yang kita dapatkan lewat proses belajar. Tentu saja, pembelajaran itu tidak begitu saja bisa kita dapatkan. Selalu ada rencana indah Allah di balik semua pelajaran yang kita dapatkan. Mengapa bisa begitu?

Hari ini dan untuk dua hari ke depan, aku belajar tentang Brainspotting Therapy. Sebuah terapi yang menitikberatkan mengenai aktivasi otak yang berhubungan dengan mata. Dasarnya, terapi ini menjelaskan tentang hubungan antara titik tertentu yang kita lihat lewat mata akan terhubung pada bilyunan syaraf yang ada di otak. Ketika semua itu terhubung, kita bisa mengakses hal-hal yang selama ini menjadi masalah, tetapi tidak pernah kita sadari. Masalah-masalah yang selama ini mungkin berusaha kita abaikan, lupakan, atau kita tahan agar tak muncul ke permukaan, demi mendapatkan kondisi diri yang stabil.

Sayangnya, masalah-masalah terabaikan itu seringkali menjadi masalah di kemudian hari karena tak pernah kita proses, tak pernah disadari. Masalah ini yang nantinya berpengaruh pada performa kita di masa depan. Entah itu memang muncul dalam bentuk gangguan psikologis maupun gangguan performa atau perilaku yang tampaknya biasa saja.

Penemunya, David Grand pertama kali mendapatkan ide saat sedang menangani seorang klien. Padahal saat itu hal yang ingin ditangani adalah performa sang klien yang tampaknya biasa saja. Namun, ternyata ketika diproses untuk disembuhkan, masalah ini berkaitan dengan banyak masalah lain di masa lalu. Ajaibnya, setelah semua masalah tidak selesai di masa lalu ini diselesaikan, performa sang klien menjadi lebih cemerlang.

Setelah kasus pertama ini, ia mengembangkan Brainspotting, yang ternyata sangat efektif membantu klien di lapangan. Demikian banyak praktisi yang sudah membuktikan dan beberapa penelitian yang turut menjadikan teknik terapi ini memiliki bukti medisnya. Bisa dicek lebih lengkap di situs resminya, ya.

Bisa dibilang, teknik terapi ini terbilang baru. Pertama kali ditemukan di tahun 2003, tetapi menjadi salah satu terapi yang patut dipertimbangkan sebagai tools untuk membantu mereka yang mengalami masalah psikologis, sadar atau tidak. Di Indonesia sendiri Brainspotting baru masuk sekitar tahun 2014. Selama delapan tahun perkembangannya di Indonesia, cukup banyak teman-teman yang sudah mengambil pelatihannya memberikan testimonasi yang memuaskan.

Aku sendiri pertama kali tahu di tahun 2017, saat seorang brainspotter mempresentasikan teknik ini di konferensi yang diselenggarakan oleh tempatku bekerja dulu. Di tahun itu, walau belum menjadi seorang praktisi murni, aku merasa terpukau dengan efektivitas terapi ini yang disampaikan oleh psikolog itu. Salah satu yang membuat aku tertarik adalah tentang koneksivitas yang terjadi saat terapis menemukan titik-titik yang ditangkap mata dengan aktivasi yang terjadi di otak.

Sebagai seorang yang menyukai bidang neuropsikologi, aku merasa itu bisa membuktikan sekali bahwa ada keterhubungan antara perilaku dan kerja otak kita. Menerapkan sekali integritas dari biopsikososiospiritual yang saat ini diusung dalam kesehatan individu secara holistik. Artinya, kita bisa menjelaskan perilaku seseorang bukan hanya berdasarkan asumsi semata. Melainkan ada bukti medis yang berkaitan dengan kinerja otak, yang menjadi sebab kita menunjukkan perilaku tertentu.

Secara biologis, kita tahu otaklah yang menjadi pusat atas apa yang terjadi pada diri kita. Artinya sebenarnya otak yang paling tahu, apa yang kita lihat, rekam, lalu meninggalkan jejak pada diri kita. Ketika kita bisa mengeksplorasi otak, maka kita sebenarnya bisa menyelesaikan banyak hal. Namun, otak jualah misteri terbesar yang amat sulit kita pecahkan. Begitu banyaknya koneksi yang terjadi di syaraf-syaraf otak membuat kita sulit menentukan, bagian syaraf mana yang menentukan ingatan atau perilaku tertentu. Karena pada dasarnya, kita tidak pernah tahu pasti bagian syaraf mana yang sedang memproses suatu kejadian yang kita alami, sehingga kita pun tak tahu bagian syaraf mana yang akan memiliki rekam jejak suatu ingatan tertentu.

Tampak belibet, ya. Sederhananya begini. Kita secara alamiah menyimpan barang pada tempat-tempat tertentu agar lebih mudah mengaksesnya ketika kita membutuhkan. Kita yang menentukan tempat penyimpanannya, sehingga saat membutuhkan, kita bisa mengambil kapan saja. Sayangnya, itu tidak berlaku pada otak. Ketika sebuah peristiwa terjadi, kita tak bisa memerintahkan kepada otak, harus menyimpan di mana. Syaraf mana yang harus dihubungkan dan sebagainya. Semua terjadi alamiah karena memang otak bekerja demikian.

Jikalau ada penelitian tentang otak sampai saat ini, semua sebenarnya hanya berdasarkan hipotesa. Apalagi dengan semakin canggihnya alat bantu pemindaian otak, semua mungkin bisa diperiksa secara real time, tetapi tetap tidak bisa melepas kenyataan, we never can exactly spot for every single behavior we made.

MasyaAllah, kalau dibayangkan betapa luar biasanya, ya ciptaan Allah satu ini, sampai-sampai kita, manusia itu sendiri hanya bisa berhipotesa saja untuk membahas ini. Maka, bukankah untuk membuat otak menjadi demikian, hanya Ia Yang Mahakuasa yang mampu menciptakannya?

Well, kembali lagi. Ketika mulai belajar tentang ini aku merasa sangat bersemangat. Karena setelah lima tahun, akhirnya kesampaian juga untuk belajar Brainspotting Therapy. Setelah melewati dua tahun pandemi, kali ini bisa mengikutinya secara luring sungguh menyenangkan. Karena belajar sesuatu itu memang lebih baik ada interaksi langsung dengan narasumber. Apalagi bisa praktik langsung tanpa adanya penghalang gawai dan kamera, itu sungguh nikmat yang luar biasa.

Setelah belajar hari pertama, aku merasa cocok dengan terapi ini. Sebagai seorang introvert yang kadangkala merasa kehabisan kata-kata untuk membantu klien menangani masalahnya, terapi yang memberikan sedikit intervensi verbal ini terasa membahagiakan. Tinggal, bagaimana bisa mempraktikkannya dengan baik, sehingga bisa membantu klien dengan baik juga.

Aku merasa memang baru belajar di tahun ini adalah sebuah keberkahan juga. Benar saja, Allah tak pernah salah memberikan waktu bagi kita untuk belajar sesuatu di waktu tertentu. Karena yang memampukan kita untuk belajar, yang melancarkan proses kita untuk belajar semua adalah Allah swt. Ia juga yang telah menentukan takdir ini untuk bertemu dengan orang-orang hebat di dalam pelatihan, dipertemukan dengan kesempatan langka, yang mungkin tak pernah terbayang beberapa tahun lalu.

Namun, sekali lagi, belajar itu bukan hanya tentang kita yang mau berubah dari tidak bisa menjadi bisa. Akan tetapi, berasal dari niatan kita untuk selalu meningkatkan kemampuan karena sebenarnya tak ada batasan dalam tubuh ciptaan Allah ini, selain kita yang membatasinya. Selagi kita bisa terus mengeksplorasi diri, mencari cara untuk terus meningkatkan kualitas diri, selalu Allah mudahkan langkah itu dengan cara yang tidak disangka.

Tinggal setelah ini kita mau memanfaatkan ilmu yang Allah izinkan untuk kita pelajari ini dipergunakan untuk apa. Hanya sesuatu yang sia-sia saja, atau bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Jadi, sudahkah kamu belajar hal baru hari ini?

Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 2)

Kita lanjut ya pembahasan tentang terapi apa yang cocok untuk diri kita?

Di artikel sebelumnya, kita sudah bahas ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan sebuah teknik terapi untuk mengatasi permasalahan psikologis kita. Mulai dari kondisi pribadi, misal kepribadian, motivasi, kehidupan masa kecil, dan sebagainya. Sampai sesuatu yang mungkin lebih dalam dari itu, yaitu seberapa besar masalah itu sudah masuk ke dalam diri, sehingga sulit sekali buat kita untuk “sembuh” dari semua luka masa lalu itu.

Di bagian akhir dari artikel pertama kemarin saya juga menyinggung tentang sebuah terapi yang baru dipelajari. Sebuah terapi yang menurut saya teramat cocok untuk kita yang sulit sekali menerapkan berbagai teknik yang ada. Bahkan mungkin kita merasa masih penuh dengan penolakan untuk melakukan perubahan, meskipun tahu ada masalah yang terjadi atau bahkan sudah tahu sumber masalah utamanya apa.

Dialectical Behavior Therapy (DBT) adalah sebuah solusi menarik yang bisa kita coba ketika berhadapan dengan dualisme kondisi yang saling bertentangan, tetapi membutuhkan kompromi besar untuk menerima kedua kondisi itu.

Kita ambil sebuah contoh masalah yang sekarang sedang sering diangkat oleh banyak orang. Bagaimana menghadapi orang tua toxic? Di satu sisi kita sangat tidak nyaman ketika diperlakukan secara tidak baik oleh orang tua. Merasa bahwa ada banyak kemarahan terpendam akibat perilaku orang tua yang tidak sesuai keinginan maupun kebutuhan kita. Di sisi lain, masih ada keinginan untuk mencintainya, bahkan mungkin kita sungguh berharap mereka menjadi sosok baik yang bisa dicintai.

Kita tidak bisa melepas mereka sepenuhnya sebagai orang tua karena kita tahu sebagai seorang makhluk masih menjadikan mereka sosok yang patut dihormati. Kita juga masih mengharap cinta mereka dengan memperlakukannya sebagaimana anak harus memperlakukan. Namun, di dalam hati ada banyak kemarahan yang menuntut untuk dipenuhi.

DBT memainkan perannya ketika di satu sisi kita harus menerima dan di saat bersamaan harus mengubah pola pikir atau perasaan kita agar bisa berkompromi dengan situasi tersebut. Yap, kita terkadang kita tidak bisa hanya cukup menerima saja sebuah kondisi yang tidak ideal, tetapi butuh perubahan sikap, cara pandang, maupun kondisi emosional kita agar ketika berhadapan dengan situasi yang sama kita bisa memandang masalah itu secara berbeda. Alhasil, saat masalah itu datang lagi kita tahu bahwa ini masalah sudah bisa saya terima dan tak lagi membuat saya terpengaruh karena cara saya memandangnya sudah berbeda.

Setidaknya ada empat hal yang butuh dilatihkan dalam DBT:

  • Mindfulness
  • Distress Tolerance
  • Emotion Regulation
  • Interpersonal Effectiveness

Sangat kompleks dan memang keempat hal ini adalah empat keterampilan dasar yang memang paling kita butuhkan untuk mengatasi masalah. Well bukan cuma masalah, memang itulah yang kita butuhkan agar hidup bisa lebih lancar.

Sayangnya, untuk menguasai semua keterampilan ini, butuh banyak pertemuan dengan konselor. Sesi pun tidak cukup secara individual. Oleh karena itu, penggunaan DBT di sini pun masih jarang dilakukan. Sebab, dibutuhkan tim untuk bisa melakukan semua perbaikan secara utuh. Yap, kita tidak bisa bergantung pada satu konselor saja.

Menerima Takdir dan Mengubah Makna

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir konsep yang dibawa DBT ini sudah ada di dalam ajaran Islam. Hal ini juga sempat disinggung oleh narasumber ketika aku ikut seminarnya kemarin. Konsep menerima apapun yang terjadi, baik atau buruk serta beradaptasi dengan situasi tersebut sebenarnya akan lebih mudah bagi masyarakat Indonesia. Karena sebagai penduduk dengan dasar agama yang kuat, konsep “nrimo” takdir dan tak memaksakan orang lain berubah, melainkan perubahan diri itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

Buktinya dari mana?

Ada cukup banyak yang bertahan dalam pernikahan yang kalau dinilai secara objektif oleh orang lain sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Walau awalnya mungkin terdengar klise, yaitu untuk menghindari stigma sebagai seorang janda, ternyata dengan tetap bertahan dalam pernikahan itu ada perubahan yang terjadi pada dirinya selama proses menerima ketidakidealan pernikahan itu.

Misalnya, menjadi lebih rajin beribadah, mendekat kepada Allah, sampai meminta petunjuk, adakah makna lain selain yang kita pahami yang bisa kita petik pelajarannya dari sebuah pernikahan penuh masalah. Kemampuan untuk tetap bertahan di situasi yang terberat sekalipun sambil mengubah jalan pikiran untuk menerima keputusan takdir yang ada sebagai sebuah kebaikan, bukankah itu konsep yang dibawa oleh DBT.

Bagaimanapun dalam kehidupan akan selalu terjadi dualisme yang muncul ketika kita menghadapi situasi tidak ideal menurut kita. Di satu sisi kita ingin mendekat, tapi di sisi lain hendak menjauh. Sebuah konsep love-hate ini tergambar jelas ketika kita dituntut ikhlas menerima takdir dari Allah.

Sebagai contoh, kematian orang tercinta adalah sesuatu yang pasti tidak kita sukai. Mendatangkan sebuah kesedihan yang kadang merenggut akal sehat kita. Sayangnya, sebagai makhluk-Nya kita dipaksa untuk menerima ketentuan itu dengan sebuah keyakinan, ada kebaikan lain yang Allah telah siapkan atas nikmat bahagia yang sudah dicabut itu.

Maka, ketika kita bisa menerima rasa kehilangan itu sebagai sebuah takdir yang tak bisa diubah, lalu mencoba mencari maknanya lewat tanda-tanda kebesaran-Nya yang lain, rasa ikhlas itu akan dengan mudahnya kembali hadir. Karena kita tak menghakimi diri, berprasangka buruk kepada Allah, berusaha sekuat tenaga mencari jalan agar tekanan yang kita rasakan itu berkurang.

Lalu, dengan sendirinya kita berlatih mengelola emosi agar emosi-emosi negatif yang muncul terkait permasalahan itu bisa segera tertangani. Terakhir, tentunya apa lagi yang paling penting selain menjaga muamalah, hubungan kita dengan orang lain? Yaitu kita bisa memaafkan, lalu kembali menjalin hubungan baik kepada mereka yang telah menyakkti kita.

Tentunya tidak sebentar waktu yang kita butuhkan untuk sampai pada titik ikhlas ini. Butuh perjuangan seumur hidup karena ada kalanya konsistensi kita diuji dengan beragam ujian yang hadir silih berganti. Selama ini kita mungkin memaksakan diri agar bisa langsung berubah begitu mencoba satu-dua teknik atau berpuluh teknik. Dengan demikian, hati menjadi kecil ketika tak ada satu pun di antara teknik itu berhasil mengobati.

Bagaimanapun, sebuah perubahan adalah ujian yang harus kita jalani sepanjang hidup. Maka, ketika disarankan untuk menjalani teknik terapi tertentu, bersabarlah menekuninya. Bersabarlah pula ketika harus semakin banyak menata diri, bukan orang lain. Karena fokus terapi itu bukan pada orang lain, melainkan diri kita sendiri.

Jadi, apa terapi yang paling cocok?

Jawabannya kembali pada diri sendiri. Seberapa jauh niat untuk berubah, seberapa siap untuk berubah. Seberapa kita ingin naik level ke tingkatan yang lebih tinggi lagi.

Karena perubahan itu berlangsung seumur hidup. Jika tak ada lagi yang harus diubah, artinya memang kita tak perlu lagi hidup di dunia. Namun, siapa yang menentukannya?

Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 1)

Sudah cukup sering aku mendengar ada yang menanyakan hal ini, “Aku sudah coba lakuin semua, kenapa masih belum ada perubahan apa-apa?” atau juga ada kalimat seperti ini, “Kok gak ada efeknya padahal aku sudah coba teknik ini dan teknik itu?”

Well, jika kita bahas tentang terapi tentunya setiap orang akan memiliki kecocokan yang berbeda, ya. Sama seperti kita yang punya perbedaan makanan kesukaan dengan orang lain, maka terapi pun demikian. Apa yang cocok di orang itu, belum tentu cocok di diri saya. Apa yang cocok di saya, belum tentu bisa diterapkan 100 persen di orang itu. Bagaimanapun terapi adalah sebuah seni dan tugas seorang psikolog atau konselor adalah menemukan terapi yang pas untuk setiap orang sesuai dengan karakteristik kepribadian, permasalahan, dan latar belakang masa lalunya.

Terkadang kesuksesan terapi itu juga ditentukan oleh seberapa kita gigih untuk melakukannya. Seringkali efeknya tidak seinstan yang kita kira. Tidak seperti minum obat sakit kepala, yang sekali minum bisa langsung ces-pleng. Bukankah ada kalanya juga obat yang biasa kita minum ternyata tidak mempan karena sakit fisik yang kita derita memiliki sebab yang berbeda. Apalagi jika penyakit itu sudah kronis, bisa jadi malah obat yang banyak ditemui di pasaran tidak akan mempan.

Oleh karena itu, bersabarlah terlebih dahulu ketika memang merasa tak ada satu pun teknik yang dicontohkan orang-orang bisa berhasil mengatasi masalah mental kita. Bisa jadi ada yang kurang tepat di sana. Misalnya, seorang yang selama ini logis dan memecahkan masalah lewat kognitifnya, seorang yang pintar atau memiliki inteligensi tinggi, terkadang tidak akan mempan dengan teknik-teknik yang menggunakan pendekatan psikoanalisis, seperti hipnoterapi. Ada pula yang merasa sudah menerapkan semua teknik mindfulness, tetapi tetap saja tidak bisa mengurasi kecemasan yang ada.

Sebagaimana mashab psikologi yang ada banyak, maka kita harus kenali juga selama ini diri ini lebih banyak menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan apa. Apakah cukup dengan banyak-banyak menenangkan diri, berpikir positif, sehingga masalah dengan lebih mudah dihadapi. Jangan-jangan selama ini memang lebih sukanya straight to the point untuk memecahkan masalah dengan beragam alternatif jawaban. Bahkan ada pula yang ternyata cara penyelesaiannya semudah memiliki petunjuk perilaku apa saja yang harus diperbaiki dengan jelas.

Mungkin itu alasan saat dulu belajar profesi psikologi kita harus memahami banyak pendekatan. Karena bagi tiap pendekatan, sebab masalah pun berbeda-beda. Bagi penganut psikoanalisis, sangat percaya unsur-unsur alam bawah sadar berpengaruh besar bagi perilaku seseorang. Untuk aliran behavioris, mempercayai masalah muncul karena proses belajar yang kurang tepat. Pendekatan psikologi kognitif akan bicara kalau perilaku kita ditentukan oleh proses yang ada di dalam otak. Dengan demikian, menemukan penyelesaiannya pun harus sesuai dengan pemahaman dari mana masalah itu muncul.

Seringkali akhirnya kita memang mencoba semua pendekatan itu, sampai berada di titik tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tidak ada perubahan signifikan dari klien karena mungkin ada bagian yang tidak tersentuh sama sekali. Mungkin juga memang klien itu sulit saja, sehingga butuh pendekatan yang berbeda.

Menjawab permasalahan ini, Alhamdulillah dipertemukan dengan teknik terapi yang sudah pernah aku dengar beberapa tahun lalu, tetapi belum sempat aku cari tahu secara lebih mendalam. Dialectical Behavior Therapy (DBT). Ada kesempatan untuk kembali belajar kemarin hari Minggu, 18 September 2022 melalui aplikasi zoom meeting yang diadakan oleh IPK Sumatera Barat.

Awalnya, tertarik karena rasa penasaran semata. Apalagi baru selesai memperpanjang STR psikolog klinis, jadinya butuh mengisi kembali pundi-pundi SKP yang sudah kembali ke angka nol. Akhirnya, berakhirlah pilihan pada teknik terapi ini karena memang sudah waktunya untuk memutakhirkan keterampilan terapi.

Jeng, jeng.

Ternyata setelah selama tiga jam mengikuti seminarnya, aku merasa inilah teknik terapi yang selama ini dicari-cari. Yang dibutuhkan bukan hanya untuk klien, tetapi juga untuk diriku sendiri. Hehehe. Yah, seperti biasa, sebelum dicobakan kepada klien, biasanya sebuah teknik terapi akan dicobakan ke diri psikolognya dulu. Tentu saja agar kita bisa merasakan peran sebagai seorang klien. Jadi, kita bisa tahu bagaimana sudut pandang seorang klien saat diterapi, sekalian membereskan masalah-masalah dalam diri yang masih belum selesai, hehehe.

Ok, lanjut, mengapa terapi ini aku bilang sedang tepat saat ini?

Jadi, ada klaim dari si pembuat terapi beserta para praktisinya bahwa terapi ini bisa menangani klien-klien sulit. Maksudnya bagaimana? Klien-klien yang selama ini sudah mencoba banyak hal tetapi tidak berhasil juga. Termasuk klien yang penuh penolakan terhadap masalah-masalahnya yang sesungguhnya.

Pada prinsipnya terapi ini menekankan pada dua hal acceptance and change. Artinya kita tidak cukup hanya menerima, melainkan harus ada perubahan dalam diri kita dalam proses penerimaan itu. Mau itu perubahan pikiran atau pola pikir maupun perasaan kita terhadap masalah yang hadir. Biasanya teknik ini berhasil pada klien yang mengalami dualisme pemikiran di saat bersamaan.

Misalnya, seseorang yang merasa marah kepada suami yang sering berselingkuh, tetapi tidak mampu keluar dari pernikahan itu karena masih mencintai suaminya. Dalam kasus seperti ini, biasanya kita akan memberi pilihan tentang “stay” atau “move” dari hubungan. Beserta konsekuensi-konsekuensi untuk tiap keputusan yang harus dipahami sebelum keputusan diambil. Nyatanya, walau kita memberikan pilihan ini, terkadang masih saja ada klien yang susah untuk move tetapi merasa berat untuk stay.

Maka, solusi dari teknik terapi ini adalah kita “stay” tetapi harus bisa mengubah pola pikir kita agar bisa tetap bertahan saat “stay” di hubungan tersebut. Kita harus mampu bertahan atas rasa sakit yang hadir karena seringnya diselingkuhi. Kita harus berupaya mencari kenyamanan dari ketidaknyamanan yang hadir dalam kehidupan kita.

Kedengarannya berat? Yoa. Tapi begitulah realitanya. Jika memang kita susah pergi dari masalah itu, bagaimana caranya mengubah diri agar bisa menerima dan tetap bertahan meskipun masalah itu kembali hadir. Sama halnya ketika sekarang isu tentang toxic parent sedang merebak. Kita merasa tidak nyaman dengan sikap orang tua yang mungkin tak sesuai harapan, tetapi di saat bersamaan masih ada rasa sedikit rasa sayang yang terselip untuk mereka.

Lalu, apa yang harus dilakukan dengan pendekatan terapi ini?

Kita lanjut di artikel berikutnya ya.