Terapi Apa yang Paling Cocok untuk Diriku? (Bagian 2)

Kita lanjut ya pembahasan tentang terapi apa yang cocok untuk diri kita?

Di artikel sebelumnya, kita sudah bahas ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan sebuah teknik terapi untuk mengatasi permasalahan psikologis kita. Mulai dari kondisi pribadi, misal kepribadian, motivasi, kehidupan masa kecil, dan sebagainya. Sampai sesuatu yang mungkin lebih dalam dari itu, yaitu seberapa besar masalah itu sudah masuk ke dalam diri, sehingga sulit sekali buat kita untuk “sembuh” dari semua luka masa lalu itu.

Di bagian akhir dari artikel pertama kemarin saya juga menyinggung tentang sebuah terapi yang baru dipelajari. Sebuah terapi yang menurut saya teramat cocok untuk kita yang sulit sekali menerapkan berbagai teknik yang ada. Bahkan mungkin kita merasa masih penuh dengan penolakan untuk melakukan perubahan, meskipun tahu ada masalah yang terjadi atau bahkan sudah tahu sumber masalah utamanya apa.

Dialectical Behavior Therapy (DBT) adalah sebuah solusi menarik yang bisa kita coba ketika berhadapan dengan dualisme kondisi yang saling bertentangan, tetapi membutuhkan kompromi besar untuk menerima kedua kondisi itu.

Kita ambil sebuah contoh masalah yang sekarang sedang sering diangkat oleh banyak orang. Bagaimana menghadapi orang tua toxic? Di satu sisi kita sangat tidak nyaman ketika diperlakukan secara tidak baik oleh orang tua. Merasa bahwa ada banyak kemarahan terpendam akibat perilaku orang tua yang tidak sesuai keinginan maupun kebutuhan kita. Di sisi lain, masih ada keinginan untuk mencintainya, bahkan mungkin kita sungguh berharap mereka menjadi sosok baik yang bisa dicintai.

Kita tidak bisa melepas mereka sepenuhnya sebagai orang tua karena kita tahu sebagai seorang makhluk masih menjadikan mereka sosok yang patut dihormati. Kita juga masih mengharap cinta mereka dengan memperlakukannya sebagaimana anak harus memperlakukan. Namun, di dalam hati ada banyak kemarahan yang menuntut untuk dipenuhi.

DBT memainkan perannya ketika di satu sisi kita harus menerima dan di saat bersamaan harus mengubah pola pikir atau perasaan kita agar bisa berkompromi dengan situasi tersebut. Yap, kita terkadang kita tidak bisa hanya cukup menerima saja sebuah kondisi yang tidak ideal, tetapi butuh perubahan sikap, cara pandang, maupun kondisi emosional kita agar ketika berhadapan dengan situasi yang sama kita bisa memandang masalah itu secara berbeda. Alhasil, saat masalah itu datang lagi kita tahu bahwa ini masalah sudah bisa saya terima dan tak lagi membuat saya terpengaruh karena cara saya memandangnya sudah berbeda.

Setidaknya ada empat hal yang butuh dilatihkan dalam DBT:

  • Mindfulness
  • Distress Tolerance
  • Emotion Regulation
  • Interpersonal Effectiveness

Sangat kompleks dan memang keempat hal ini adalah empat keterampilan dasar yang memang paling kita butuhkan untuk mengatasi masalah. Well bukan cuma masalah, memang itulah yang kita butuhkan agar hidup bisa lebih lancar.

Sayangnya, untuk menguasai semua keterampilan ini, butuh banyak pertemuan dengan konselor. Sesi pun tidak cukup secara individual. Oleh karena itu, penggunaan DBT di sini pun masih jarang dilakukan. Sebab, dibutuhkan tim untuk bisa melakukan semua perbaikan secara utuh. Yap, kita tidak bisa bergantung pada satu konselor saja.

Menerima Takdir dan Mengubah Makna

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir konsep yang dibawa DBT ini sudah ada di dalam ajaran Islam. Hal ini juga sempat disinggung oleh narasumber ketika aku ikut seminarnya kemarin. Konsep menerima apapun yang terjadi, baik atau buruk serta beradaptasi dengan situasi tersebut sebenarnya akan lebih mudah bagi masyarakat Indonesia. Karena sebagai penduduk dengan dasar agama yang kuat, konsep “nrimo” takdir dan tak memaksakan orang lain berubah, melainkan perubahan diri itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

Buktinya dari mana?

Ada cukup banyak yang bertahan dalam pernikahan yang kalau dinilai secara objektif oleh orang lain sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Walau awalnya mungkin terdengar klise, yaitu untuk menghindari stigma sebagai seorang janda, ternyata dengan tetap bertahan dalam pernikahan itu ada perubahan yang terjadi pada dirinya selama proses menerima ketidakidealan pernikahan itu.

Misalnya, menjadi lebih rajin beribadah, mendekat kepada Allah, sampai meminta petunjuk, adakah makna lain selain yang kita pahami yang bisa kita petik pelajarannya dari sebuah pernikahan penuh masalah. Kemampuan untuk tetap bertahan di situasi yang terberat sekalipun sambil mengubah jalan pikiran untuk menerima keputusan takdir yang ada sebagai sebuah kebaikan, bukankah itu konsep yang dibawa oleh DBT.

Bagaimanapun dalam kehidupan akan selalu terjadi dualisme yang muncul ketika kita menghadapi situasi tidak ideal menurut kita. Di satu sisi kita ingin mendekat, tapi di sisi lain hendak menjauh. Sebuah konsep love-hate ini tergambar jelas ketika kita dituntut ikhlas menerima takdir dari Allah.

Sebagai contoh, kematian orang tercinta adalah sesuatu yang pasti tidak kita sukai. Mendatangkan sebuah kesedihan yang kadang merenggut akal sehat kita. Sayangnya, sebagai makhluk-Nya kita dipaksa untuk menerima ketentuan itu dengan sebuah keyakinan, ada kebaikan lain yang Allah telah siapkan atas nikmat bahagia yang sudah dicabut itu.

Maka, ketika kita bisa menerima rasa kehilangan itu sebagai sebuah takdir yang tak bisa diubah, lalu mencoba mencari maknanya lewat tanda-tanda kebesaran-Nya yang lain, rasa ikhlas itu akan dengan mudahnya kembali hadir. Karena kita tak menghakimi diri, berprasangka buruk kepada Allah, berusaha sekuat tenaga mencari jalan agar tekanan yang kita rasakan itu berkurang.

Lalu, dengan sendirinya kita berlatih mengelola emosi agar emosi-emosi negatif yang muncul terkait permasalahan itu bisa segera tertangani. Terakhir, tentunya apa lagi yang paling penting selain menjaga muamalah, hubungan kita dengan orang lain? Yaitu kita bisa memaafkan, lalu kembali menjalin hubungan baik kepada mereka yang telah menyakkti kita.

Tentunya tidak sebentar waktu yang kita butuhkan untuk sampai pada titik ikhlas ini. Butuh perjuangan seumur hidup karena ada kalanya konsistensi kita diuji dengan beragam ujian yang hadir silih berganti. Selama ini kita mungkin memaksakan diri agar bisa langsung berubah begitu mencoba satu-dua teknik atau berpuluh teknik. Dengan demikian, hati menjadi kecil ketika tak ada satu pun di antara teknik itu berhasil mengobati.

Bagaimanapun, sebuah perubahan adalah ujian yang harus kita jalani sepanjang hidup. Maka, ketika disarankan untuk menjalani teknik terapi tertentu, bersabarlah menekuninya. Bersabarlah pula ketika harus semakin banyak menata diri, bukan orang lain. Karena fokus terapi itu bukan pada orang lain, melainkan diri kita sendiri.

Jadi, apa terapi yang paling cocok?

Jawabannya kembali pada diri sendiri. Seberapa jauh niat untuk berubah, seberapa siap untuk berubah. Seberapa kita ingin naik level ke tingkatan yang lebih tinggi lagi.

Karena perubahan itu berlangsung seumur hidup. Jika tak ada lagi yang harus diubah, artinya memang kita tak perlu lagi hidup di dunia. Namun, siapa yang menentukannya?

Surat untuk Ayah-Ibu

Sepanjang hidup ini, apa yang sudah dirimu beri untuk ayah dan ibumu? Doa, hadiah, kebersamaan, atau yang lainnya?

Sudahkah memberikan karya kepada mereka, sebagai wujud kecintaanmu? Atau sudahkah memberikan kesempatan untuk mewujudkan sebuah karya sebagai bentuk baktimu kepada mereka?

Alhamdulillah tahun ini bisa bergabung dalam satu proyek luar biasa lagi, Buku untuk Ayah-Ibu. Yap, sebuah gerakan memberikan karya atau buku untuk ayah dan/atau ibu dari tangan kita sendiri.

Gerakan ini sudah dimulai tahun lalu dengan nama buku untuk ibu, dengan momen hari Ibu sebagai waktu pemberiannya. Sebagai sebuah gerakan, tentunya ini menggebrak pemikiran, mengapa kita banyak memberi karya kepada orang lain, tetapi kepada orang tua sendiri bagaimana?

Tahun lalu, saya membuat sebuah antologi dengan judul Melepas Luka: Perjalanan Memaafkan Ibu yang Tak Sempurna, yang saya inisiasi untuk mengakomodir teman-teman yang mungkin masih menyisakan sedikit ganjalan kepada ibu mereka.

Alhamdulillah buku ini bisa diterbitkan tepat waktu dan sampai sekarang masih ada kalau mau dipesan, he-he-he.

Nah, tahun ini sebagai bagian dari gerakan ini, saya menginisiasi sebuah antologi dengan tajuk Surat untuk Ayah-Ibu.

Awalnya meniatkan ini sebagai sekuel dari buku Melepas Luka. Kalau sebelumnya membahas tentang proses pemaafan, kali ini saya ingin bahas tentang proses mengurangi kedukaan.

Ya, tadinya saya ingin memberikan kesempatan kepada teman-teman yang pernah mengalami kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya untuk mengungkapkan rasa mereka. Sebagai saranannya maka tema yang diangkat adalah tentang sebuah surat untuk ayah-ibu yang tiada.

Namun, ada beberapa yang bertanya, bolehkah menulis untuk ayah-ibu yang masih ada. Duh, mendapat pertanyaan ini membuat saya jadi berpikir lagi. Iya juga ya, apa saya terlalu segmented ketika menginisiasi ini.

Sebenarnya tidak salah juga, karena harapan saya ketika mengkhususkan temanya pada ayah-ibu tiada, saya ingin sarana menulis ini menjadi proses healing terhadap rasa bersedih atas kehilangan yang dialami.

Sayangnya, orang-orang yang saya sasar malah tidak banyak yang ikutan. Mungkin memang butuh waktu untuk siap dan mencerna proses kehilangan yang dialami untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Maka, aku pun membuka kesempatan kedua untuk nulis bareng, dengan tajuk yang lebih umum “Surat untuk Ayah-Ibu.”

Sesuai dengan namanya, dalam antologi ini peserta diniatkan untuk menulis surat kepada ayah-ibu mereka, apapun kondisinya. Terpenting adalah surat ini menjadi sarana bagi penulis untuk mengungkap rasa, yang mungkin belum pernah terungkap kepada ayah-ibunya.

Lewat surat ini diharapkan penulis memiliki sebuah karya yang bisa dipersembahkan kepada mereka, orang tua yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Bukan hanya sekedar menulis, setidaknya sebuah surat ini menjadi jalan agar kita merasa bersyukur atas mereka yang membesarkan kita selama ini.

Pendaftarannya masih dibuka sampai 10 November 2020. Kalau ingin ikut serta bisa langsung klik di sini.

Menulislah dan ungkapkan rasamu.

Kunci Pandora yang Hilang

Finally, I find the key to open the Pandora.

Itu yang aku pikirkan selepas mengikuti pelatihan di akhir pekan kemarin. Sebuah kunci yang setelah aku pikir berpengaruh pada momen kehidupanku akhir-akhir ini. Kunci ini menjadi pembuka atas sebuah keputusan: sudah waktunya aku membuka lagi kotak pandora yang telah lama aku simpan di dalam lubuk hati terdalam.

“Empowering Your Innerchild” itu nama pelatihannya. Sebuah pelatihan yang aku incar sejak lama karena temanya memang sedang hits. Sebagai seorang psikolog tentu amat tergelitik untuk menekuni tema ini langsung dari ahlinya: Kang Asep Hairul Gani. Maka jadilah, setelah beberapa kali waktu yang tidak pas, tanggal 22-23 Februari 2020 kemarin menjadi perjodohanku bertemu dengan pelatihan ini.

Sebenarnya pembahasan innerchild ini ternyata tak berbeda jauh dengan apa yang telah aku pelajari selama ini dalam beberapa pelatihan. Innerchild, dalam bentuk ego state atau mini personality, merupakan bahasan yang pernah aku dapatkan ketika mengambil workshop Ego State Therapy.

Dalam kajian seputar traumatologi (secara psikologis), apa yang terjadi pada perilaku kita saat ini akan selalu ada keterkaitannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi semenjak kita kecil. Tentu bukan hanya kejadian yang menyebabkan efek traumatis, kejadian membahagiakan pun telah membentuk kita hingga saat ini. Hal ini yang ditekankan dalam pembahasan innerchild.

Ego state sendiri merupakan sebuah state (kondisi) di dalam diri kita, seakan kita punya “diri” lain. Diri-diri inilah yang membentuk pribadi kita secara utuh. Mudahnya, ego state ini biasa direpresentasikan dalam bentuk kata sifat. Bisa dibilang, kita memiliki “si marah”, “si bahagia”, “si humoris”, dsb dalam diri kita. Semua ini menjadi bagian yang menjadikan “kita”. Kalau tentang saya, berarti si Indah ini punya ego “pemarah”, “penyabar”, “tukang kesal”, “suka bikin bahagia”, “menyebalkan, dan lainnya. Masing-masing representasi dari kata sifat yang ada dan sudah diinterpretasikan secara subjektif oleh saya sendiri.

Kembali pada empowering the innerchild, maka dalam pelatihan ini dilatih untuk mengenali innerchild masing-masing, mana yang selama ini produktif, mana yang traumatik. Pengenalan itu bisa dimulai dengan menuliskan peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi selama ini. Memberi penilaian, kejadian apa saja yang membahagiakan dan tidak. Serta membandingkan derajatnya satu sama lain, apakah ada yang lebih baik atau buruk di antaranya.

Setelah mengenali kita bergeser pada innerchild yang dirasa membawa kenangan negatif, artinya pernah menjadikan kita terpuruk. Ini yang butuh di-“empower”, diberdayakan, disembuhkan, agar bisa kembali baik-baik saja. Sebab kenangan negatif, apalagi yang memberikan efek traumatis, akan menghambat pengembangan diri kita di tahap-tahap selanjutnya.

Contohnya, orang yang mengalami peristiwa traumatis seperti kekerasan di masa kecilnya dan merasakan efek traumatis dari itu, dapat membuat dirinya bermasalah di masa remaja dan dewasa terkait beberapa hal. Salah satunya bisa berkaitan dengan munculnya depresi atau kecemasan. Oleh karena itu, memberdayakan kembali innerchild ini bisa menjadi alternatif untuk menyembuhkan diri, dengan beberapa teknik terapi tentunya.

Membuka Pandora

Ketika praktik di pelatihan, aku sengaja memilih sebuah peristiwa buruk yang menurutku lebih mudah dan “aman” untuk aku selami. Ternyata aku salah!

Kejadian itu justru membawaku pada sebuah ingatan yang terlupakan, atau sengaja aku lupakan. Ingatan yang dengan kesadaran penuh tak berani aku bangkitkan selama ini karena ternyata sangatlah pedih. Namun, saat sekarang kejadian itu teringat lagi, maka aku bisa memastikan, itulah kunci dari kotak pandora yang selama ini aku simpan rapat-rapat.

Selama ini aku merasa kehilangan arah karena kehilangan kunci itu. Meskipun memang aku tak berani untuk membuka kotak itu dengan mem”block” ingatan itu dari semua memori yang ada. Akan tetapi, ketika akhirnya kemarin aku menuliskan sedikit demi sedikit kejadian itu, aku menyadari ada kejadian-kejadian yang terjadi di beberapa tahun belakangan bersumber dari kunci itu. Di saat itulah aku yakin, I have to do something to fix it!

Setiap Orang Punya Trauma

Betul, tiap orang bisa saja mengalami setidaknya satu kejadian traumatik dalam kehidupannya, dari sekian puluh daftar kejadian traumatik. Hanya saja, ada orang-orang yang tetap dapat bersikap biasa, meskipun peristiwa itu pernah mengganggunya di masa lalu. Sebaliknya, ada juga yang mengalami efek traumatis yang menggiring pada munculnya beberapa perilaku maladaptif lain. Menjadi “kunci” dari kesehatan mental kita di masa kini.

Maka jika tiap orang pernah mengalami kejadiannya dan setidaknya ada saja yang memberikan efek traumatis pada dirinya, disadari atau tidak, maka setiap orang bisa saja mengalami trauma. Tinggal apakah trauma itu memang menyisakan luka mendalam dan membuat kita menjadi penuh masalah di masa kini. Tak ada yang salah jika ingin membiarkannya, selagi itu tak mengganggu kita. Tak ada salahnya pula untuk mengobatinya. Paling penting apa langkah selanjutnya yang harus dikerjakan.

Di sesi akhir aku ditanyakan tentang ini, “Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

Jawabannya tentu dengan menyembuhkn lukanya. Memberdayakan diri kecil itu kembali. Lewat teknik yang diajarkan maupun lewat beragam upaya yang pernah aku miliki selama ini.

Terpenting saat ini aku siap, dan harus mau siap untuk memberikan nyawa baru dalam diri ini. Agar pandora itu terbuka dengan aman, melalui kuncinya yang sudah aku temukan.

Mengobati diri yang terluka adalah hal sulit. Oleh karena itu, sebaiknya bagi yang merasa membutuhkan pertolongan ada baiknya langsung menemui profesional, seperti psikolog atau psikiater. Walaupun memang ada banyak cara yang bisa dilakukan secara mandiri (self-healping), kita harus menyadari ada keterbatasan diri yang membuat kita butuh untuk dibantu.

Perlu diingat, saat menangani trauma akan ada lonjakan besar emosi yang dapat menggiring kita pada re-traumatisasi, sehingga butuh supervisi dari pihak yang memiliki kompetensi lebih. Jika salah ditangani, bukannya sembuh, kita mungkin dapat menjadi overwhelmed dengan kondisi kita dan tidak tuntas sepenuhnya.

Selama proses pelatihan pun aku sadar, kita harus paham semua risiko yang ada di baliknya. Dengan demikian, saat mencoba mulai mengobati diri kita memang sepenuh hati siap untuk terobati. Memilih jalan kesembuhan agar kita bisa lebih berdaya di masa depan.